Herpes Zoster
Referat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik
senior (KKS) di bagian ilmu kedokteran kulit dan kelamin di RSUD Dr.RM.
Djoelham Binjai
DisusunOleh:
19360026
Pembimbing :
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang MahaEsa yang telah memberikan
rahmat dan bimbingannya sehingga refarat ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam Kepanitraan Klinik Departemen
Pada kesempatan ini penulis juga hendak mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya atas bantuan dari pembimbing yaitudr. Hj. Hervina, Sp.KK berupa bimbingannya
yang sanga tmembantu penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul
“Herpes Zoster”
Penulis berharap refarat ini dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan tentang
Herpes Zoster. Dengan menyadari masih banyaknya kekurangan dalam penyusunan ini.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR...................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
2.1 Definisi............................................................................................3
2.2 Etiologi............................................................................................3
2.3 Epidemiologi...................................................................................3
2.5 Diagnosa..........................................................................................4
2.5.1 Anamnesa..............................................................................4
2.6 Patogenesis......................................................................................6
2.7 Patofisiologi....................................................................................7
2.9 Penatalaksanaan..............................................................................9
2.9.2 Farmakologi..........................................................................9
2.11 Komplikasi..................................................................................10
2.12 Prognosis.....................................................................................11
2.13 Profesionalisme...........................................................................11
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Herpes zoster merupakan sebuah manifestasi oleh reaktivasi virus Varisela-zoster
laten dari saraf pusat dorsal atau kranial. Virus varicella zoster bertanggung jawab
untuk dua infeksi klinis utama pada manusia yaitu varisela atau chickenpox (cacar air)
dan Herpes zoster. Varisela merupakan infeksi primer yang terjadi pertama kali pada
individu yang berkontak dengan virus varicella zoster. Virus varisela zoster dapat
mengalami reaktivasi, menyebabkan infeksi rekuren yang dikenal dengan nama Herpes
zoster atau Shingles. Pada usia di bawah 45 tahun, insidens herpes zoster adalah 1 dari
1000, semakin meningkat pada usia lebih tua. (Juffrie, 2016)
2.2 Epidemiologi
Tingginya infeksi varicella di Indonesia terbukti pada studi yang dilakukan Jufri, et al
tahun 1995-1996, dimana 2/3 dari populasi berusia 15 tahun seropositive terhadap
antibodi varicella.
- Dari total 2232 pasien herpes zoster pada 13 rumah sakit pendidikan di Indonesia
(2011-2013)
Puncak kasus HZ terjadi pada usia 45-64 : 851 (37.95 % dari total kasus HZ)
Trend HZ cenderung terjadi pada usia yang lebih muda
Gender : Wanita cenderung mempunyai insiden lebih tinggi. (Lustig and Niparko,
2016)
2.3 Etiologi
Varicella-zoster virus (VZV) adalah herpesvirus yangmerupakan penyebab dari 2
penyakit berbeda yaitu varicella(juga dikenal cacar air) dan herpes zoster (juga
dikenalsebagai shingles/cacar ular/cacar api/dompo).VZV merupakan anggota dari
keluarga Herpesviridae,seperti herpes simplex virus (HSV) tipe 1 dan
2,cytomegalovirus (CMV), Epstein-Barr virus (EBV), humanherpesvirus 6 (HHV-6),
human herpesvirus 7 (HHV-7), danhuman herpesvirus 8 (HHV-8).
Virus varicella adalah virus DNA, alphaherpesvirusdengan besar genom 125.000 bp,
berselubung/berenvelop, dan berdiameter 80-120 nm (Gambar 1). Virus mengkode
kurang lebih 70-80 protein, salah satunya ensim thymidine kinase yang rentan terhadap
obat antivirus karena memfosforilasi acyclovir sehingga dapat menghambat replikasi
DNA virus. Virus menginfeksi sel Human diploidfibroblast in vitro, sel limfosit T
teraktivasi, sel epitel dan sel epidermal in vivo untuk replikasi produktif, serta
selneuron. Virus varicella dapat membentuk sel sinsitia dan menyebar secara langsung
dari sel ke sel.
Infeksi primer dengan VZV atau varicella padaumumnya ringan, merupakan
penyakit self-limited yangbiasanya ditemukan pada anak-anak ditandai dengan demam
ringan dan disertai vesikel berisi cairan yang gatal pada seluruh tubuh. Sesudah infeksi
primer varicella, VZV menetap dan laten dalam akar ganglion sensoris dorsalis.
Sesudah beberapa dekade, virus neurotropik ini dapatmengalami reaktivasi dan
menyebabkan herpes zoster.Zoster ditandai dengan erupsi vesikel unilateral yang nyeri,
khas nya mengikuti dermatom saraf sensorik. (Puponegoro, 2015)
2.6 Patogenesis
Saat terinfeksi varicella, VZV melewati lesi masuk ke permukaankulit dan mukosa
menuju ujung–ujung saraf sensoris dan di transportasikanoleh serat–serat saraf ke
ganglion sensoris. Di ganglion, virus menetap dan menjadi infeksi laten sepanjang
hidup. Selama virus laten di gangglion tidaktampak gejala infeksi.5,6
Pada ganglion genikuli, terdapat serabut motorik, sensoris, dan parasimpatetik N VII
yang tersebar menginervasi kelenjar air mata, kelenjar submandibula, kelenjar
sublingual, lidah, palatum, faring, meatus akustikus eksternus, stapedius, m. digastrikus
posterior, m. stylohyoideus, dan otot-otot ekspresi wajah. Serabut-serabut yang
mempersarafi bagian-bagian tersebut menjadi alat transportasi VZV yang telah
terreaktivasi. N VIIIdapat terkena karena mayoritas perjalanan serabut saraf yang
sejajar atau melalui segmen labirin dari ganglion tersebut, namun teori-teori tersebut
belum dapat dibuktikan. Bagaimana reaktivasi VZV di ganglion genikuli dan
patofisiologi dari manifestasi yang ditimbulkan masih belum dapat dijelaskan. Hanya
diketahui bahwa enurunnya daya tahan tubuh, stress fisik atau emosional, keganasan,
radioterapi, kemoterapi, dan infeksi HIV adalah faktor resiko terjadinya reaktivasi
VZV.5,7,8 (Arvin and Gilden, 2016) (Moller, 2016) (Ellis, 2017)
2.7 Patofisiologi
Herpes zoster bermula dari Infeksi primer dari VVZ (virus varisells zoster) ini
pertama kali terjadi di daerah nasofaring. Disini virus mengadakan replikasi dan dilepas
ke darah sehingga terjadi viremia permulaan yang sifatnya terbatas dan asimptomatik.
Keadaan ini diikuti masuknya virus ke dalam Reticulo Endothelial System (RES) yang
kemudian mengadakan replikasi kedua yang sifat viremianya lebih luas dan
simptomatik dengan penyebaran virus ke kulit dan mukosa. Sebagian virus juga
menjalar melalui serat-serat sensoris ke satu atau lebih ganglion sensoris dan berdiam
diri atau laten didalam neuron. Selama antibodi yang beredar didalam darah masih
tinggi, reaktivasi dari virus yang laten ini dapat dinetralisir, tetapi pada saat tertentu
dimana antibodi tersebut turun dibawah titik kritis maka terjadilah reaktivasi dari virus
sehingga terjadi herpes zoster. (Sunita, Sepahdari, and Sidell, 2018)
B. Varisela
Varicella adalah suatu penyakit infeksi akut primer oleh virus Varicella
Zoster yang menyerang kulit, mukosa dan selaput lendir, klinis terdapat gejala
konstitusi, kelainan kulit polimorf ditandai oleh adanya vesikel-vesikel.
(Shulkhy, 2015)
Manifestasi klinis varisela terdiri atas 2 stadium yaitu stadium prodormal,
stadium erupsi. Pada stadium prodormal, individu akan merasakan demam yang
tidak terlalu tinggi selama 1-3 hari, mengigil, nyeri kepala anoreksia, dan malaise.
(Putra, 2015)
Stadium erupsi, timbul ruam-ruam kulit “ dew drops on rose petals” tersebar
pada wajah, leher, kulit kepala dan secara cepat akan terdapat badan dan
ekstremitas. Penyebarannya bersifat sentrifugal (dari pusat). Makula kemudian
berubah menjadi papula, vesikel, pustula, dan krusta. Erupsi ini disertai rasa gatal.
Perubahan ini hanya berlangsung dalam 8-12 jam, sehingga varisela secara khas
dalam perjalanan penyakitnya didapatkan bentuk papula, vesikel, dan krusta dalam
waktu yang bersamaan, ini disebut polimorf. (Putra, 2015)
Vesikel yg khas berdinding tipis pada superfisial (teardrops), biasanya
diameternya 2 sampai 3 mm, bentuknya elips, dgn panjang sumbu pararel pada
lipatan kulit. Vesikel di kelilingi oleh warna eritem yg mirip dgn tetesan pada daun
mawar. (Sinaga, 2015)
2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Non Farmakologi
Tidak ada
2.9.2 Farmakologi
Obat antiviral yang dapat diberikan adalah asiklovir atau modifikasinya, seperti
valasiklovir, famsiklovir, pensiklovir. Obat antiviral terbukti efektif bila diberikan pada
tiga hari pertama sejak munculnya lesi, efektivitas pemberian di atas 3 hari sejauh ini
belum diketahui. Dosis asiklovir adalah 5 x 800mg per hari dan umumnya diberikan
selama 7-10 hari. Sediaan asiklovir pada umumnya adalah tablet 200 mg dan tablet 400
mg. Pilihan antiviral lainnya adalah valasiklovir 3 x 1000mg per hari, famsiklovir atau
pensiklovir 3 x 250 mg per hari, ketiganya memiliki waktu paruh lebih panjang dari
asiklovir. (Dworkin et al., 2017)
Obat diberikan terus bila lesi masih tetap timbul dan dihentikan 2 hari setelah lesi
baru tidak timbul lagi. (Gross et al., 2016)
Untuk pengobatan topikal, pada lesi vesikular dapat diberikan bedak kalamin atau
phenol-zinc untuk pencegahan pecahnya vesikel. Bila vesikel sudah pecah dapat
diberikan antibiotik topical untuk mencegah infeksi sekunder. Bila lesi bersifat erosif
dan basah dapat dilakukan kompres terbuka. (Gross et al., 2016)
Pasien dengan komplikasi neuralgia postherpetic dapat diberikan terapi kombinasi
atau tunggal dengan pilihan sebagai berikut. (Adam and Victor, 2015)
1. Antidepresan trisiklik seperti amitriptilin dengan dosis 10-25 mg per hari pada
malam hari;
2. Gabapentin bila pemberian antidepresan tidak berhasil. Dosis gabapentin 100-
300mg per hari;
3. Penambahan opiat kerja pendek, bila nyeri tidak tertangani dengan gabapentin atau
antidepresan trisiklik saja;
4. Kapsaicin topical pada kulit yang intak (lesi telah sembuh), pemberiannya dapat
menimbulkan sensasi terbakar; dan
5. Lidocaine patch 5% jangka pendek.
Pada herpes zoster otikus (sindroma Ramsay Hunt) diindikasikan pemberian
kortikosteroid. Kortikosteroid oral diberikan sedini mungkin untuk mencegah paralisis
dari nervus kranialis VII. Dosis prednisone 3 x 20 mg per hari, kemudian perlu
dilakukan tapering off setelah satu minggu. Pemberiannya dikombinasikan dengan obat
antiviral untuk mencegah fibrosis ganglion karena kortikosteroid menekan imunitas.
Namun perlu diingat kontraindikasi relatif atau absolut kortikosteroid seperti diabetes
mellitus. Pada komplikasi seperti ini, rujukan kepada spesialis terkait sangat dianjurkan.
2.10 Komplikasi
Apabila penegakkan diagnosis dan tatalaksana tidak cepat dilakukan,dapat terjadi
paralysis berat akan mengakibatkan tidak lengkap atautidak sempurnanya
kesembuhan dan berpotensi untuk menjadi paralysisfasial yang permanen dan
synkinesis. (Scott, 2015)
Jika tatalaksana tidak adekuat, sangat memungkinkan terjadinya postherpetic
neuralgia yang berkepanjangan.
Adakalanya, virus dapat menyebar ke saraf-saraf lain atau bahkan keotak dan
jaringan saraf dalam tulang belakang, menyebabkan sakitkepala, sakit punggung,
kebingungan, kelesuan, kelemahan, dantimbulnya lesi herpes yang mengikuti
dermatom. (Arvin and Gilden, 2016)
Serangan vertigo bisa muncul sebagai komplikasi Herpes Zoster diwajah.
2.12 Prognosis
Diagnosa yang ditegakkan lebih cepat dan mendapat terapi sebelum 72jam setelah
onset memberikan hasil yang lebih baik.
Pasien yang datang dengan keluhan erupsi terlebih dahulu sebelumparalisis memiliki
prognosis yang lebih baik.
Pada infeksi yang lama mungkin dapat terjadi paralisis fasialis yangpermanen.
Sejumlah besar pasien akan mengalai penyembuhansepenuhnya setelah sebelumnya
mengalami paralisis.
Herpes zoster otikus yang mengalami vertigo dan tuli sensorineural prognosisnya
lebih jelek terutama pada pasien dengan umur lebih tua (Pau, 2016)
2.13 Profesionalisme
KESIMPULAN
Herpes zoster (nama lain : shingles atau cacar ular cacar api) adalah infeksi yang
disebabkan oleh virus golongan herpes yang lain, yaitu virus varisela zoster. Infeksi
oleh varisela zoster menyebabkan timbulnya vesikel-vesikel puritik yang mengandung
air di kulit. Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat disebabkan oleh virus,
terutama terjadi pada orang tua yang khas ditandai adanya nyeri radikuler unilateral
serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi serabut
saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik dari nervus kranialis. Infeksi ini
merupakan reaktivasi virus varisela zoster dari infeksi endogen yang telah menetap
dalam bentuk laten setelah infeksi oleh virus . herpes zoster ditularkan antara manusia
melalui kontak langsung, salah satunya adalah transmisi melalui pernapasan sehingga
virus tersebut dapat menjadi epidemik di antara inang yang rentan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Puponegoro, Erdina, HD. 2015. Buku Panduan Herpes Zoster Di Indonesia 2015. FK UI.
Jakarta (hal 1-2, 8-10)
2. Katz J & Melzack R. Measurement of Pain. Surgical Clinics North America.
2015;;79(2):231-252.
3. Juffrie M, Graham RR, Tan RI, et al, Seroprevalence Of Hepatitis A Virus And Varicella
Zoster Antibodies In A JavaneseCommunity (Yogyakarta, Indonesia), Southeast Asian J
Trop Med Public Health, 2016, 31(1):21-24.
4. Lustig, LR, Niparko, JK. 2016. “Disorder of Facial Nerve,” dalam: Lalwani, A (Ed.)
Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology,Head and Neck Surgery 3rd Edition.
McGraw-Hill, San Francisco (hal 889-899)
5. Arvin, AM, Gilden, D. 2016. “Varicella Zoster Virus,” dalam: Knipe, DM, Howley, PM
(Ed.) Fields Virology 6th Edition. Lippincot Williamz & Wilkins, Philadelphia (hal 2038-
2052)
6. Moller, AR. 2016. “Disorder of the Auditory System and Their Pathophysiology,” dalam:
Menzel, J, Furrow, H, Donahue, J (Ed.) Hearing: Anatomy, Physiology, and Disorder of
the Auditory System 2nd Edition.
7. Ellis, H. 2017. Clinical Anatomy: A Revision and Applied Anatomy for Clinical Student.
Blackwell Publishing, Victoria (hal 261-263, 270, 383- 384)
8. Scott, K. 2015. “Facial Nerve Condition,” dalam: Debo, RF, Keyes, AS, Leonard, DW
(Ed.) Quick Refernce for Otolaryngology. Springer, New York (hal 94-98)
9. Arvin, AM, Gilden, D. 2016. “Varicella Zoster Virus,” dalam: Knipe, DM, Howley, PM
(Ed.) Fields Virology 6th Edition. Lippincott Williamz & Wilkins, Philadelphia (hal 2038-
2052)
10. Gross G, Schöfer H, Wassilew S, Friese K, Timm A, Guthoff R, et al. Herpes zoster
guideline of the German Dermatology Society (DDG). J. Clin. Virol. Off. Publ. Pan Am.
Soc. Clin. Virol. 2016 Apr;26(3):277–289; discussion 291–293.
11. Dworkin RH, Johnson RW, Breuer J, Gnann JW, Levin MJ, Backonja M, et al.
Recommendations for the management of herpes zoster. Clin. Infect. Dis. Off. Publ.
Infect. Dis. Soc. Am. 2017 Jan 1;44 Suppl 1:S1–26.
12. Adam, RD, Victor, M. 2015. “Disease of Cranial Nerves,” dalam:Ropper, AH, Brown, RH
(Ed.) Principles of Neurology 8th Edition. McGraw-Hill, New York (hal 1180-1182)
13. Ahsan, SF, Bojrab, DI, Sidell, DL et al.2017. “Herpes Zoster Oticus,” dalam: Pasha, R,
Golub, JS (Ed.) Otolaryngology Head & Neck Surgery Clinical Reference Guide 4th
Edition. Plural Publishing, San Diego (hal 428-429)
14. Pau, HW. 2016. “Herpes Zoster Oticus,” dalam: Gross, G, Doerr, HW (Ed.) Herpes
Zoster: Recentaspect of diagnosis and control patient. Karger, Basel (hal 47-55)