Anda di halaman 1dari 17

REFLEKSI KASUS

HERPES ZOSTER

Disusun untuk Memenuhi Syarat Tugas Kepaniteraan


Klinik SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSD dr. Soebandi Jember

Disusun oleh:
Samudra Ayu
222011101002

Pembimbing
dr. Anselma Dyah Kartikahadi, Sp.KK

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSD DR. SOEBANDI JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2023

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................ii
BAB 1. PENDAHULUAN.............................................................................1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................2
2.1 Definisi...........................................................................................2
2.2 Epidemiologi..................................................................................2
2.3 Etiologi...........................................................................................3
2.4 Patofisiologi...................................................................................3
2.5 Manifestasi Klinis..........................................................................5
2.6 Diagnosis........................................................................................5
2.7 Tata Laksana..................................................................................7
2.8 Komplikasi.....................................................................................9
2.10 Pencegahan...................................................................................9
2.11 Prognosis.....................................................................................10
BAB 3. REFLEKSI KASUS.........................................................................11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................15

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

Herpes zoster atau shingles adalah penyakit neurokutan dengan


manifestasi erupsi berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radikuler
unilateral yang umumnya terbatas di satu dermatom. Herpes zoster merupakan
manifestasi reaktivasi infeksi laten endogen virus varisela zoster di dalam neuron
ganglion sensoris radiks dorsalis, ganglion saraf kranialis, atau ganglion saraf
autonomik yang menyebar ke jaringan saraf dan kulit dengan segmen yang sama.
Herpes zoster sering menyerang dewasa tua (> 50 tahun) dan individu
yang mengalami gangguan sistem imun seperti penderita HIV dan kanker
(leukimia atau limfoma). Kejadian penyakit herpes zoster sporadis sepanjang
tahun tanpa mengenal musim dengan insidensi 2-3 kasus per 1000 orang/tahun.
Penyakit ini jarang ditemukan pada penderita usia dini.
Herpes zoster memiliki gejala prodormal nyeri dan paresthesia pada
dermatom yang terkena diikuti dengan munculnya erupsi pada kulit. Gejala
munculnya lesi kulit paling sering pada kulit yang memiliki inervasi ganglion
sensorik tunggal seperti nervus trigeminal bagian oftalmik, dan badan yang
diinervasi T3-L2. Komplikasi yang sering terjadi pada penyakit ini yaitu
komplikasi pada kulit, okular, neurologik, dan viseral sehingga diperlukan
diagnosis dan terapi yang tepat.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Herpes zoster adalah suatu penyakit neurokutan dengan manifestasi erupsi
vesikular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radikular unilateral
yang umumnya terbatas pada satu dermatom. Penyakit ini disebabkan oleh
reaktivasi virus varisela zoster yang dorman atau berbentuk laten di dalam neuron
ganglionik sebagai akibat infeksi virus varicella zoster sebelumnya.

2.2 Epidemiologi
Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa mengenal
musim dan tidak bergantung atau terpengaruh dengan prevalensi varisela. Tidak
terdapat bukti yang menunjukkan bahwa terjadinya herpes zoster diakibatkan oleh
kontak dengan penderita varisela stau herpes zoster yang lain. Berdasarkan
penelitian sebelumnya, insiden herpes zoster lebih dikarenakan oleh faktor
hubungan host virus dan kondisi sistem imun dalam mencegah reaktivasi virus
varisela zoster, yang laten (dorman). Insidensi penyakit ini sebesar 2-3 kasus per
1000/tahun.
Faktor risiko dari penyakit ini yaitu usia. Insidensi herpes zoster
meningkat seiring dengan peningkatan usia. Pada orang tua, insidensi mencapai 8-
12 kasus per 1000 orang per tahun. Di Amerika Serikat, diperkirakan terdapat 1,5
juta kasus baru setiap tahunnya, yang mana lebih dari 50% diantaranya berusia >
60 tahun. Jumlah ini akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Herpes zoster jarang ditemukan pada usia dini (anak dan dewasa muda), namun
apabila terjadi kemungkinan dihubungkan dengan varisela maternal.
Faktor risiko lain yaitu menurunnya imunitas cell mediated specific virus
varisela zoster, jenis kelamin perempuan, trauma fisik pada area dermatom yang
terkena, riwayat herpes zoster pada keluarga dan ras. Rekurensi penyakit herpes
zoster sebesar 1-6 % dari seluruh kejadian herpes zoster.

2
2.3 Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi infeksi laten endogen virus
varisela zoster yang dorman di dalam neuron ganglion seperti ganglion sensoris
radiks dorsalis, ganglion saraf kranialis, atau ganglion saraf autonomik. Varicella
zoster virus (VZV) adalah nama lain dari human herpesvirus 3 (HHV-3), yakni
jenis virus herpes yang menjadi penyebab dari 2 jenis penyakit yaitu cacar air
(varicella) dan herpes zoster/HZ (shingles). Varicella zoster virus merupakan
anggota keluarga herpesviridae. Struktur VZV dapat dilihat pada gambar 2.1

Gambar 2.1 Varicella Zoster Virus

2.4 Patogenesis
Virus varisela zoster melewati lesi di dalam kulit dan mukosa ke dalam
ujung saraf sensoris dan dipindahkan oleh serabut saraf ke ganglion sensoris,
sehingga lesi terlihat sesuai dermatom (Gambar 2.2). Di dalam ganglia, virus
melakukan infeksi laten di saraf. Virus berada pada ganglia yang menginervasi
kulit yang paling banyak lesi dari varisela.

3
Gambar 2.2 Dermatom Saraf Sensorik

Pada fase laten, DNA VZV berbentuk sirkuler dan tidak bereplikasi, namun
saat terjadi reaktivasi, virus terus mengalami replikasi pada dasar ganglion dorsalis,
menyebabkan ganglion menjadi nekrotik dan hemoragik serta menginduksi
ganglionitis yang ditandai dengan rasa nyeri (Gambar 2.3). Pada saat terjadi
ganglionitis terjadi regulasi dari MHC kelas I dan protein II, infiltrasi sel T CD4+
dan CD8+. Ganglionitis dan infiltrasi sel T CD8+ dapat menetap setelah terjadi HZ.
Inflamasi neuronal dan nekrosis dapat menyebabkan neuralgia yang semakin
memberat seiring dengan penyebaran virus di sepanjang saraf sensoris. Cairan dari
vesikel HZ dapat menyebarkan VZV pada individu seronegatif sehingga terjadi
infeksi primer yaitu cacar air (varicella). Varicella zoster virus dapat bertahan hidup
dalam lingkungan intraseluler di tubuh manusia dengan target utama pada sel
limfosit T, sel epitel, dan ganglion, serta berbeda dengan herpes simplex.

4
Gambar 2.3 Patogenesis VZV

2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis HZ dapat bervariasi antarindividu. Pada anak dan usia


dewasa muda umumnya tidak terjadi manifestasi klinis yang parah. Herpes zoster
dimulai dengan gejala prodromal yang dapat menyerupai gejala dari penyakit lain
yang melibatkan organ viseral seperti infark miokardium, cholecystitis, atau kolik
ginjal sehingga dapat menyulitkan penegakan diagnosis dan menunda tata laksana
yang tepat. Gejala prodromal dapat berupa nyeri kepala, fotofobia, malaise, dan
demam. Sensasi tidak nyaman pada kulit menjadi gejala yang paling umum terjadi.

2.6 Diagnosis

Diagnosis klinis HZ dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran


klinis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan vesikel berkelompok dengan dasar
berwarna kemerahan, unilateral dan tersebar dermatomal.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
HZ. Pemeriksaan sederhana menggunakan apusan Tzank dengan pewarnaan
Giemsa dapat membantu menegakkan diagnosis secara cepat untuk
mengidentifikasi adanya perubahan sitologi sel epitel yang menunjukkan gambaran
multinucleated giant sel.
Pemeriksaan vesikel dengan pewarnaan immunofluorescence atau
immunoperoxidase untuk mengamati material sel yang terdeteksi VZV lebih
signifikan dan lebih cepat dibandingkan kultur. Pemeriksaan serum antibodi
memberikan hasil yang akurat namun membutuhkan waktu hingga terbentuk
antibodi pada pasien. Serum antibodi anti-IgM VZV umumnya tidak membantu dan

5
tidak spesifik.
Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat digunakan yaitu pemeriksaan
polymerase chain reaction (PCR) yang digunakan untuk mengidentifikasi antigen/
asam nukleat VZV. Material yang diambil berasal dari vesikel (swab, cairan), saliva
pasien yang tidak terdapat gejala manifestasi kulit, dan cairan serebrospinal jika
terdapat gejala tanda neurologis. Pemeriksaan DNA melalui PCR memiliki
sensitivitas dan specificity yang paling tinggi dan merupakan baku emas untuk
diagnosis dengan mengetahui genom dari VZV. Kultur virus merupakan
pemeriksaan yang sangat spesifik namun tidak sensitif, selain itu hasilnya baru bisa
didapatkan lebih dari 1 minggu.

6
2.7 Tata Laksana

Pada dasarnya, penyakit herpes zoster bersifat self-limiting atau dapat


sembuh dengan sendirinya. Terapi pada HZ bertujuan untuk mempercepat proses
penyembuhan lesi, mengurangi keluhan nyeri akut, mengurangi risiko komplikasi
PHN, dan memperbaiki kualitas hidup pasien. Tata laksana HZ didasarkan pada
strategi 6A yaitu:
1. Attract patient early (penilaian pasien sejak dini dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik)
2. Assess patient fully (menilai pasien dengan lengkap berdasarkan pada kondisi
khusus)
3. Antiviral therapy (pengobatan dengan antivirus)
4. Analgesic (tata laksana nyeri)
5. Antidepressant dan anticonvulsant (pengobatan dengan antidepresan dan
antikonvulsan pada kasus yang membutuhkan)
6. Allay anxiety-counselling atau konseling kecemasan
Tatalaksana terkait antiviral dan analgetik dapat dilihat pada Gambar 2.5 dan 2.6.

7
Gambar 2.5 Tatalaksana Antivirus

Gambar 2.6 Tatalaksana Analgetik

8
2.8 Komplikasi
Komplikasi penyakit herpes zoster dapat terjadi di kulit, okular,
neurologic, dan visceral. Kebanyakan berhubungan dengan penyebaran virus di
tempat awal yaitu ganglion sensoris, serabut saraf atau kulit, baik melalui aliran
darah atau penyebaran langsung melalui jalur saraf misalnya ke medula spinalis.
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu:
a) Cutaneous : 1. Bacterial infection
2. Scarring
3. Zoster gangrenosum
4. Cutaneous disseminahon
b) Viseral : 1. Pneumonits
2. Hepatitis
3. Esofagits
4. Gastritis
c) Neurologic: 1. Post herpetic neuralgia
2. Meningoencephalitis
3. Transverse myelitis
4. Sensory loss
5. Deafness

2.9 Pencegahan

Reaktivasi VZV berkaitan dengan penurunan imunitas yang diperantarai


oleh sel, sehingga vaksin varicella diteliti sebagai salah satu metode profilaksis
untuk HZ. The Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP)
merekomendasikan pemberian vaksin dosis tunggal pada semua individu
imunokompeten yang berusia ≥60 tahun, terlepas dari adanya riwayat terkena
varicella atau HZ sebelumnya. Dosis pemberian vaksin HZ dapat dilihat pada
Gambar 2.7 Vaksin HZ rekombinan sebaiknya diberikan untuk semua pasien
psoriasis dan psoriasis artritis pada usia >50 tahun dan <50 tahun yang tergolong
kelompok risiko tinggi.23 Vaksin ini tidak diindikasikan pada kondisi HZ aktif atau
PHN. Kontraindikasi vaksin HZ yaitu penyakit imunodefisiensi primer (kegagalan
imunitas humoral termasuk hypogammaglobulinemia), keganasan hematologi,

9
transplantasi sel darah dalam waktu 24 bulan, acquired immune deficiency
syndrome (AIDS) dengan nilai CD4+ ≤200 mm3 atau ≤15% dari total limfosit),
penggunaan obat immunosuppressant, termasuk penggunaan steroid dosis tinggi
(setara prednisone ≥20 mg/hari atau pasien yang mendapat terapi agen biologis
(infliximab, adalimumab dan etanercept). Vaksin dapat dilakukan setelah
penghentian obat tersebut minimal 1 bulan. Kehamilan sebaiknya dihindari selama
1 bulan setelah dilakukan vaksinasi HZ.

Gambar 2.7 Vaksin HZ

2.10 Prognosis

Prognosis HZ pada lesi yang mengenai organ dalam seperti pada pasien
yang sedang menjalani kemoterapi dengan jumlah limfosit menurun menjadi
<500/μl menunjukkan angka mortalitas mencapai 30%. Varicella pneumonia dapat
muncul 3-7 hari setelah serangan infeksi kulit dan berlangsung selama 2-4 minggu.
Gejala kelainan sistem saraf pusat dapat muncul pada 4-8 hari setelah infeksi kulit
dan memberikan prognosis yang buruk.

10
BAB 3
REFLEKSI KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. K
Usia : 73 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Ambulu, Jember
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Jawa
Agama : Islam

II. Anamnesis
a) Keluhan utama
Nyeri pada paha dengan plentingan berisi cairan
b) Riwayat penyakit sekarang (RPS)
Pasien mengeluh nyeri disertai plentingan berisi air pada daerah paha kiri sejak 5 hari
yang lalu. Plentingan muncul bergerombol di sisi kiri saja. Keluhan disertai gatal dan
panas. Awalnya timbul sedikit dan kecil-kecil lalu menjadi banyak. Pasien mengeluh
tidak enak badan seperti demam, pegal-pegal, dan pusing satu minggu yang lalu. Pasien
menyangkal terdapat riwayat kontak dengan benda yang membuat gatal. Pasien
mempunyai riwayat DM, riwayat alergi disangkal. Riwayat pengobatan baru kali ini
diperiksakan ke dokter kulit.
c) Riwayat penyakit dahulu (RPD)
Pasien tidak ingat pernah menderita Varicella (cacar air) / tidak sebelumnya
d) Riwayat penyakit keluarga (RPK)
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan serupa dengan pasien.
e) Riwayat sosio ekonomi (RSE)
Di sekitar rumah pasien tidak ada yang menderita penyakit serupa. Pasien tinggal di
lingkungan padat penduduk dengan ekonomi menengah ke bawah.

11
III. Pemeriksaan Fisik
KU : cukup
Kes : compos mentis
TD : 120/90 mmHg
HR : 85x/menit
RR : 20x/menit
Tax : 36.6 °C

a) Status generalis
1. Kepala
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks pupil +/+
Hidung : deformitas (-), rhinorrhea (-)
Telinga : otorrhea -/-
Leher : pembesaran KGB (-) deviasi trakhea (-)
2. Thorax
Inspeksi : bentuk dada simetris, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : pergerakan dinding dada simetris
Perkusi : sonor di lapangan paru
Auskultasi :
- Cor : S1S2 tunggal, regular, ekstrasistol (-), murmur (-), gallop (-)
- Pulmo : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
3. Abdomen
Inspeksi : flat, distended (-), DC (-) DS (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal, metalic sound(-)
Palpasi : soepel, nyeri tekan (-) hepar/lien tidak teraba.
Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen.
4. Ekstremitas: akral hangat (+), edema (-) pada ekstremitas atas dan bawah

12
b) Status dermatologis
Lokasi : Regio Paha, bokong, kaki kiri belakang (Ekstremitas Inferior posterior
sinistra)
Efloresensi :
Tampak vesikel multiple, penyebaran unilateral dan segmental disertai krusta dan erosi
setinggi persarafan sacrum 1-2 sinistra

IV. Usulan Pemeriksaan Penunjang


a) Tzanck tes
b) PCR

V. Diagnosis Banding
a) Herpes zoster sacrum 1-2 sinistra
b) Dermatitis venentata

VI. Diagnosis
Herpes zoster sacrum 1-2 sinistra
13
VII. Tata Laksana
a) Non farmakologis
 Istirahat yang cukup hingga sembuh
 Edukasi untuk tidak menyentuh atau menggaruk ruam
 Menjaga hygiene tubuh secara keseluruhan untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder
 Edukasi untuk rutin meminum obat
 Edukasi untuk menghindari kontak dengan non penderita terutamayang belum
pernah terinfeksi VZV untuk meminimalisir risiko penularan

b) Farmakologi
 Acyclovir 5x800 mg selama 7 hari
 Gabapentin 2x1 mg
 Fuson cream

VIII. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad cosmeticam : dubia ad bonam

14
DAFTAR PUSTAKA

Cohen, J. I. 2013. Herpes zoster. New England Journal of Medicine. 369 (3): 255-
263.

Janninger, C. K. 2019. Herpes zoster. http:// emedicine,


medscape.com/article/1132465-overview [Diakses pada 26 Februari 2020]

PERDOSKI. 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin di Indonesia. Jakarta: PERDOSKI.

Pusponegoro, E. H. D. 2015. Herpes Zoster. Dalam Ilmu Penyakit kulit dan


Kelamin. Menaldi S. L. S. W. Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
hal 121 - 124.

Schmader, K. E., Duerkin, R. H., Oxman, M. N. Varicella and herpes zoster.


Dalam Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine 9th ed. Goldsmith L.
A., Kortz, S. I., Gilchrest, B. A., Paller, A.S., Leffel, D. S., Woff, K. New
York: Mc Graw Hill. hal 3035-3098.

15

Anda mungkin juga menyukai