PENDAHULUAN
Herpes zoster merupakan salah satu penyakit kulit akibat infeksi virus, yaitu reaktivasi
virus varisela zoster. Insidennya meningkat seiring bertambahnya usia, di mana lebih
dari 2/3 kasus terjadi pada usia lebih dari 50 tahun dan kurang dari 10% di bawah 20
tahun.1 Meingkatnya insidensi pada usia lanjut ini berkaitan dengan menurunnya respon
imun dimediasi sel yang dapat pula terjadi pada pasien imunokompromais seperti pasien
HIV-AIDS, pasien dengan keganasan, dan pasien yang mendapat obat imunosupresi.
Namun, insidensinya pada pasien imunokompeten pun besar.
Herpes zoster sendiri meskipun bukan penyakit yang life-threatening, namun dapat
menggangu pasien sebab dapat timbul rasa nyeri. Lebih lanjut lagi nyeri yang dialami
saat timbul lesi kulit dapat bertahan lama, hingga berbulan-bulan lamanya sehingga
dapat menggangu kualitas hidup pasien suatu keadaan yang disebut dengan
postherpetic neuralgia. Prevalensi herpes zoster di Indonesia diprediksi kecil, yakni
hanya mencakup 1%.
Menurut Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang diterbitkan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) pada tahun 2012, tercantum bahwa herpes zoster
merupakan daftar masalah dermatologi yang perlu ditangani oleh dokter. Kompetensi
herpes zoster tanpa komplikasi bagi dokter umum adalah 4A, yang berarti level
kompetensi tertinggi yang perlu dicapai oleh dokter umum, di mana dokter dapat
mengenali tanda klinis, mendiagnosis, menatalaksana hingga tuntas kecuali pada
perjalanannya timbul komplikasi.2
Berkaca dari hal tersebut, presentasi kasus ini dimaksudkan untuk menambah
pemahaman klinis mahasiswa tentang penyakit herpes zoster tanpa komplikasi, mulai
dari anamnesis, pemeriksaan fisik, diagnosis, hingga penatalaksanaan. Setelah
pemaparan kasus ini diharapkan mahasiswa dapat memiliki informasi yang semakin
kaya tentang herpes zoster sehingga dalam pelayanan primer di masa yang akan datang
kompetensi yang disyaratkan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Herpes zoster merupakan sebuah manifestasi oleh reaktivasi virus Varisela-zoster laten
dari saraf pusat dorsal atau kranial. Virus varicella zoster bertanggung jawab untuk dua
infeksi klinis utama pada manusia yaitu varisela atau chickenpox (cacar air) dan Herpes
zoster. Varisela merupakan infeksi primer yang terjadi pertama kali pada individu yang
berkontak dengan virus varicella zoster.
Virus varisela zoster dapat mengalami reaktivasi, menyebabkan infeksi rekuren yang
dikenal dengan nama Herpes zoster atau Shingles. Pada usia di bawah 45 tahun,
insidens herpes zoster adalah 1 dari 1000, semakin meningkat pada usia lebih tua.3
Patogenesis
Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster yang laten di dalam
ganglion posterior atau ganglion intrakranial. Virus dibawa ke tepi ganglion spinal atau
ganglion trigeminal, kemudian menjadi laten. Varicella zoster merupakan virus rantai
ganda DNA, anggota famili virus herpes yang tergolong virus neuropatik atau
neurodermatotropik. Reaktivasi virus varicella zoster dapat dipicu oleh berbagai faktor
seperti pembedahan, penyinaran, lanjut usia, dan keadaan tubuh yang lemah meliputi
malnutrisi, seseorang yang sedang dalam pengobatan imunosupresan jangka panjang,
atau menderita penyakit sistemik. Jika virus ini menyerang ganglion anterior, maka
menimbulkan gejala gangguan motorik.3,4
Gambaran Klinis
Lesi herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun membran mukosa.
Herpes zoster biasanya diawali dengan gejala-gejala prodromal selama 2-4 hari, yaitu
sistemik (demam, pusing, malaise), dan lokal (nyeri otot-tulang, gatal, pegal). Setelah
itu akan timbul eritema yang berubah menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit
yang edema dan eritematosa. Vesikel tersebut berisi cairan jernih, kemudian menjadi
keruh, dapat menjadi pustul dan krusta. Jika mengandung darah disebut sebagai herpes
zoster hemoragik. Jika disertai dengan ulkus dengan sikatriks, menandakan infeksi
sekunder.4
Masa tunas dari virus ini sekitar 7-12 hari, masa aktif berupa lesi baru yang tetap
timbul, berlangsung seminggu, dan masa resolusi berlangsung 1-2 minggu. Selain gejala
kulit, kelenjar getah bening regional juga dapat membesar. Penyakit ini lokalisasinya
unilateral dan dermatomal sesuai persarafan. Saraf yang paling sering terkena adalah
nervus trigeminal, fasialis, otikus, C3, T3, T5, L1, dan L2. Jika terkena saraf tepi jarang
timbul kelainan motorik, sedangkan pada saraf pusat sering dapat timbul gangguan
motorik akibat struktur anatomisnya. Gejala khas lainnya adalah hipestesi pada daerah
yang terkena.4,5
Dermatom
Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf spinalis. Masing
masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang dipersarafinya ke otak.
Dermatom pada dada dan perut seperti tumpukan cakram yang dipersarafi oleh saraf
spinal yang berbeda, sedangkan sepanjang lengan dan kaki, dermatom berjalan secara
longitudinal sepanjang anggota badan.
Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk menemukan tempat
kerusakan saraf saraf spinalis. Virus yang menginfeksi saraf tulang belakang seperti
infeksi herpes zoster (shingles), dapat mengungkapkan sumbernya dengan muncul
sebagai lesi pada dermatom tertentu.6
Komplikasi
Postherpetic neuralgia
Postherpetic neuralgia merupakan komplikasi herpes zoster yang paling sering terjadi.
Postherpetic neuralgia terjadi sekitar 10-15 % pasien herpes zoster dan merusak saraf
trigeminal. Resiko komplikasi meningkat sejalan dengan usia. Postherpetic neuralgia
didefenisikan sebagai gejala sensoris, biasanya sakit dan mati rasa. Rasa nyeri akan
menetap setelah penyakit tersebut sembuh dan dapat terjadi sebagai akibat
penyembuhan yang tidak baik pada penderita usia lanjut. Nyeri ini merupakan nyeri
neuropatik yang dapat berlangsung lama bahkan menetap setelah erupsi akut herpes
zoster menghilang.4,7
dari 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster. Penyebab paling umum timbulnya
peningkatan virus ialah penurunan sel imunitas yang terkait dengan pertambahan umur.
Berkurangnya imunitas di kaitkan dengan beberapa penyakit berbahaya seperti limfoma,
kemoterapi atau radioterapi, infeksi HIV, dan penggunaan obat immunesuppressan
setelah operasi transplantasi organ atau untuk manajemen penyakit (seperti
kortikoteroid) juga menjadi faktor risiko.8,9
Postherpetic neuralgia dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia herpetik akut (30 hari
setelah timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik subakut (30-120 hari setelah
timbulnya ruam pada kulit), dan postherpetic neuralgia (di defenisikan sebagai rasa sakit
yang terjadi setidaknya 120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit).9
Postherpetic neuralgia memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri herpes zoster
akut, dapat berhubungan dengan erupsi akut herpes zoster yang disebabkan oleh
replikasi jumlah virus varicella zoster yang besar dalam ganglia yang ditemukan selama
masa laten. Oleh karena itu, mengakibatkan inflamasi atau kerusakan pada serabut
syaraf sensoris yang berkelanjutan, hilang dan rusaknya serabut-serabut syaraf atau
impuls abnormal, serabutsaraf berdiameter besar yang berfungsi sebagai inhibitor hilang
atau rusak dan mengalami kerusakan terparah. Akibatnya, impuls nyeri ke medulla
spinalis meningkat sehingga pasien merasa nyeri yang hebat.5,8
Herpes Zoster Oftalmikus
Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus trigeminus
sehingga manifestasinya pada mata, selain itu juga memengaruhi cabang kedua dan
ketiga. Jika cabang nasosiliar bagian luar terlibat, dengan vesikel pada ujung dan tepi
hidung (Hutchinsons sign), maka keterlibatan mata dapat jelas terlihat. Vesikel pada
margo palpebra juga harus diperhatikan. Kelainan pada mata yang sering terjadi adalah
uveitis dan keratitis, akan tetapi dapat pula terjadi glaukoma, neuritis optik, ensefalitis,
hemiplegia, dan nekrosis retina akut.4,5
Herpes primer umumnya asimptomatik atau gejala yang tidak khas, berupa vesikel serta
limfadenopati regional. Gejala prodromal berupa demam, sakit kepala, malaise, dan
mialgia yang terjadi 3-4 hari setelah lesi timbul, membaik dalam 3-4 hari kemudian.
Virus HSV diklasifikasikan secara biologis menjadi HSV-1 yang sering ditemukan di
wajah dan bibir serta jarang di mukosa; serta HSV-2 yang sering bermanifestasi sebagai
gingivostomatitis, vulvovaginitis, uretritis dan cenderung ditransmisikan secara seksual.
Erupsi yang berbentuk zosteriform dapat terjadi pada HSV zosteriform yang pada
umumnya jarang terjadi.
Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan herpes zoster adalah mempercepat proses penyembuhan,
mengurangi keparahan dan durasi nyeri akut dan kronik, serta mengurangi risiko
komplikasi.1,5 Untuk terapi simtomatik terhadap keluhan nyeri dapat diberikan analgetik
golongan NSAID seperti asam mefenamat 3 x 500mg per hari, indometasin 3 x 25 mg
per hari, atau ibuprofen 3 x 400 mg per hari. 12 Kemudian untuk infeksi sekunder dapat
diberikan antibiotik.4 Sedangkan pemberian antiviral sistemik direkomendasikan untuk
pasien berikut13:
1. Infeksi menyerang bagian kepala dan leher, terutama mata (herpes zoster oftalmikus).
Bila tidak diterapi dengan baik, pasien dapat mengalami keratitis yang akan
menyebabkan penurunan tajam penglihatan dan komplikasi ocular lainnya
2. Pasien berusia lebih dari 50 tahun
3. Herpes zoster diseminata (dermatom yang terlibat multipel) direkomendasikan
pemberian antiviral intravena
4. Pasien yag imunokompromais seperti koinfeksi HIV, pasien kemoterapi, dan pasca
transplantasi organ atau bone marrow. Pada pasien HIV, terapi dilanjutkan hingga
seluruh krusta hilang untuk mengurangi risiko relaps; dan 5. Pasien dengan dermatitis
atopik berat
Obat antiviral yang dapat diberikan adalah asiklovir atau modifikasinya, seperti
valasiklovir, famsiklovir, pensiklovir. Obat antiviral terbukti efektif bila diberikan pada
tiga hari pertama sejak munculnya lesi, efektivitas pemberian di atas 3 hari sejauh ini
belum diketahui.13 Dosis asiklovir adalah 5 x 800mg per hari dan umumnya diberikan
selama 7-10 hari. Sediaan asiklovir pada umumnya adalah tablet 200 mg dan tablet 400
mg. Pilihan antiviral lainnya adalah valasiklovir 3 x 1000mg per hari, famsiklovir atau
pensiklovir 3 x 250 mg per hari, ketiganya memiliki waktu paruh lebih panjang dari
asiklovir.4,10 Obat diberikan terus bila lesi masih tetap timbul dan dihentikan 2 hari
setelah lesi baru tidak timbul lagi.4
Untuk pengobatan topikal, pada lesi vesikular dapat diberikan bedak kalamin atau
phenol-zinc untuk pencegahan pecahnya vesikel. Bila vesikel sudah pecah dapat
diberikan antibiotik topical untuk mencegah infeksi sekunder. Bila lesi bersifat erosif
dan basah dapat dilakukan kompres terbuka.4,12
Sebagai edukasi pasien diingatkan untuk menjaga kebersihan lesi agar tidak terjadi
infeksi sekunder. Edukasi larangan menggaruk karena garukan dapat menyebabkan lesi
lebih sulit untuk sembuh atau terbentuk skar jaringan parut, serta berisiko terjadi infeksi
sekunder. Selanjutnya pasien tetap dianjurkan mandi, mandi dapat meredakan gatal.
Untuk mengurangi gatal dapat pula menggunakan losio kalamin. Untuk menjaga lesi
dari kontak dengan pakaian dapat digunakan dressing yang steril, non-oklusif, dan nonadherent.14
Pasien dengan komplikasi neuralgia postherpetic dapat diberikan terapi kombinasi atau
tunggal dengan pilihan sebagai berikut:
1. Antidepresan trisiklik seperti amitriptilin dengan dosis 10-25 mg per hari pada malam
hari;
2. Gabapentin bila pemberian antidepresan tidak berhasil. Dosis gabapentin 100-300mg
per hari;
3. Penambahan opiat kerja pendek, bila nyeri tidak tertangani dengan gabapentin atau
antidepresan trisiklik saja;
4. Kapsaicin topical pada kulit yang intak (lesi telah sembuh), pemberiannya dapat
menimbulkan sensasi terbakar; dan
5. Lidocaine patch 5% jangka pendek.
Pada herpes zoster otikus (sindroma Ramsay Hunt) diindikasikan pemberian
kortikosteroid. Kortikosteroid oral diberikan sedini mungkin untuk mencegah paralisis
dari nervus kranialis VII. Dosis prednisone 3 x 20 mg per hari, kemudian perlu
dilakukan tapering off setelah satu minggu. Pemberiannya dikombinasikan dengan obat
antiviral untuk mencegah fibrosis ganglion karena kortikosteroid menekan imunitas.
Namun perlu diingat kontraindikasi relatif atau absolut kortikosteroid seperti diabetes
mellitus. Pada komplikasi seperti ini, rujukan kepada spesialis terkait sangat dianjurkan.
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. BS
Tanggal Lahir : 21 April 1970
Status Pernikahan : Menikah
Pekerjaan : Wirausaha
Pendidikan : SMP
Agama : Islam
II. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Embung Fatimah
kota Batam tanggal 19-08-2014..
Keluhan Utama :
Terdapat benjolan dibagian perut disertai rasa gatal dan nyeri sejak seminggu yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Seminggu yang lalu, saat pasien bangun tidur pasien merasakan mendadak perut pasien
nyeri, baik saat diistirahatkan maupun saat aktivitas. Nyeri dirasakan sepanjang waktu,
berdenyut, namun tidak sampai mengganggu aktivitas pasien.
Secara mendadak timbul pula benjolan beberapa buah dan kulit yang kemerahan di
bagian perut sebelah kanan. benjolan tersebut dikatakan merupakan sumber dari
nyerinya, disertai rasa sedikit gatal. Pasien jarang menggaruk benjolan tersebut.
Riwayat demam disangkal,
Keesokan harinya pasien berobat ke Alam sehat, di sana ia diberikan salep yang tidak
diketahui namanya, cara menggunakanya dengan dioleskan sebanyak 1 kali sehari, serta
diberikan obat minum untuk penghilang nyeri namun pasien merasakan tidak ada
perbaikan. Nyeri tidak dirasakan makin berat, namun muncul benjolan yang bertambah
banyak.
Pasien tidak mengeluhkan adanya keluhan kulit di bagian lain, tidak mengeluhkan
gangguan penglihatan dan pendengaran, tidak terdapat kelemahan untuk menggerakkan
kaki. Pasien mandi dua sampai tiga kali sehari, menggunakan sabun detol.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien menderita cacar air pada saat berusia 8-10 tahun (saat pasien masih SD). Riwayat
sakit berat dan dirawat di rumah sakit sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit kulit
lainnya disangkal. Riwayat darah tinggi disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Saat ini tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien. Riwayat
penyakit kulit lainnya pada keluarga disangkal. Ayah dan ibu pasien keduanya memiliki
kencing manis yang tidak terkontrol, saat ini keduanya sudah meninggal.
Riwayat Sosial :
Pasien beraktivitas sebagai wirausaha, memiliki empat orang anak yang semuanya
sudah berumah tangga. Pasien tidak pernah bekerja formal.
III. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG
Kesadaran : Kompos mentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Nadi : 72 kali/menit
Pernafasan : 18 kali/menit
Suhu : Afebris
STATUS DERMATOLOGIKUS
1. Pada abdominal kanan, terdapat vesikel multipel bergerombol yang tersebar
secara dermatomal, dengan ukuran lentikular, terletak di atas kulit yang
eritematosa. Pada palpasi teraba kulit yang hangat, vesikel teraba lunak dengan
permukaan yang licin.
V.DIFERENSIAL DIAGNOSIS
1.Herpes Zoster
2. Herpes simplek
3. Varisela
4. Impertigo Vesikobulosa
VI.DIAGNOSA KERJA
Herpes Zoster
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak diusulkan.
VIII. RENCANA TERAPI
Edukasi: mengurangi sementara aktivitas fisik, jangan digaruk walaupun terasa sedikit
gatal, hindari benjolan yang pecah, jangan berdekatan dengan anak-anak atau orang lain
yang belum pernah mengalami cacar air sebelumnya. Konsumsi obat harus teratur,
termasuk jam-jamnya, sehingga perlu menggunakan alarm jika diperlukan untuk
membangunkan pasien.
VIII. PROGNOSIS
1. Ad vitam : bonam
2. Ad functionam : bonam
3. Ad sanationam : bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang Pria berusia 44tahun datang ke dokter dengan keluhan nyeri yang timbul secara
mendadak di Perut kanan sejak seminggu yang lalu. Pada kulit muncul pula benjolan
yang berkelompok dan tersebar hanya di perut bagian kanan, Tidak terdapat lokasi lain
timbulnya kelainan kulit yang serupa. Dengan timbulnya lesi seperti ini, perlu
dipikirkan terjadinya kelainan kulit yang manifestasinya merupakan benjolan disertai
dengan nyeri yang cukup hebat. Dengan melihat lesi, tampak pada perut kanan terdapat
vesikel multipel bergerombol yang tersebar secara dermatomal, dengan ukuran
lentikular, terletak di atas kulit yang eritematosa. Pada palpasi teraba kulit yang hangat,
vesikel teraba lunak dengan permukaan yang licin.
Lesi yang terlihat cukup karakteristik untuk herpes zoster, yang mana timbul gejala kulit
yang unilateral, bersifat dermatomal sesuai dengan persarafan. Lesi yang timbul juga
khas berupa vesikel yang berkelompok, dengan dasar berupa kulit yang eritematosa
(kemerahan). Keseluruhan penampakan kulit maupun gejala subjektif berupa nyeri
sangat menyokong ke arah herpes zoster, mengingat penyakit ini memiliki perjalanan
berupa masa tunas 7-12 hari, dengan timbulnya lesi dalam 1 minggu berikutnya,
kemudian masa penyembuhan sendiri selama 1-2 minggu berikutnya.
Pada reaktivasi herpes zoster, perlu ditanyakan gejala prodromal. Gejala prodromal
berupa demam disangkal, namun pasien mengeluhkan timbulnya nyeri perut kanan yang
terjadi kurang lebih bersamaan dengan timbulnya lesi pada kulit. Mialgia yang terjadi
dapat merupakan gejala prodromal dari reaktivasi herpes zoster. Gejala prodromal
lainnya berupa pusing dan malaise disangkal oleh pasien.
Setelah yakin bahwa terjadi reaktivasi herpes zoster, perlu dipikirkan mengapa terjadi
reaktivasi. Pada literatur dikatakan bahwa tidak jelas sebetulnya pemicu reaktivasi,
namun herpes zoster dapat terjadi akibat penurunan fungsi sistem imun, seperti yang
ditemui pada seorang berusia di atas 50 tahun. Herpes zoster merupakan suatu reaktivasi
akibat infeksi awal yang bermanifestasi sebagai varicella zoster (cacar air). Pada pasien
ditemukan riwayat cacar air pada saat berusia sekolah di SD. Dengan demikian jelaslah
bahwa infeksi primer pada pasien ini telah terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gnann JW, Whitley RJ. Herpes Zoster. N. Engl. J. Med. 2002;347(5):3406.
2. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012.
Jakarta; 2012.
3. James WD, Berger T, Elston D. Andrews diseases of the skin. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2011.
4. Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. Varicella and herpes zoster. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks
Dermatol. Gen. Med. 7th ed.
5. Baehr M, Frotscher M. Duus topical diagnosis in neurology. 4th ed. New York:
Thieme; 2005
6. Tunsuriyawong S, Puavilai S. Herpes zoster, clinical course and associated diseases:
A 5-year retrospective study at Tamathibodi Hospital. J. Med. Assoc. Thail.
Chotmaihet Thangphaet. 2005 May;88(5):67881
7. Herr H. Prognostic factors of postherpetic neuralgia. J. Korean Med. Sci. 2002
Oct;17(5):6559.
8. Oakes SA. Postherpetic Neuralgia Bacgground Monograph. Med Cases Inc; 2004.
9. Dworkin RH, Johnson RW, Breuer J, Gnann JW, Levin MJ, Backonja M, et al.
Recommendations for the management of herpes zoster. Clin. Infect. Dis. Off. Publ.
Infect. Dis. Soc. Am. 2007 Jan 1;44 Suppl 1:S126.
10. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatricks color atlas & synposis of clinical dermatology.
6th ed. New York: McGraw Hill Medical
11. Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IM, editors. Penyakit kulit yang umum di indonesia:
sebuah panduan bergambar. Jakarta: Medical Multimedia Indonesia
12. Gross G, Schfer H, Wassilew S, Friese K, Timm A, Guthoff R, et al. Herpes zoster
guideline of the German Dermatology Society (DDG). J. Clin. Virol. Off. Publ. Pan
Am. Soc. Clin. Virol. 2003 Apr;26(3):277289; discussion 291293.
13. Federal Bureau of Prisons. Management of varicella zoster virus infections
[Internet].
[cited
2013
May
6].
Available
from:
http://www.bop.gov/news/PDFs/varicella.pdf