Disusun oleh:
1. Fitri Devita Luthfia (8251)
2. Ardy Wiranto Putro (8269)
3. Aisha Qisthia (8285)
4. Yuvita Finishia (8301)
5. Tutut Prabantari A. (8319)
6. Irmannisa Nur Z. (8335)
7. Andita Andrius (8349)
8. M. Rifqi Tri N. (8365)
9. Wisda Septiana (8114)
10. Ninik Nursanti S. (8258)
11. Aqilla Tiara K. (8272)
12. Putu Ghea R. (8288)
13. Magista Luthfia (8302)
14. Annisa Rosalisa (8316)
15. Patricia Winny (8332)
16. Danan Kresno W. (8346)
17. Nur Shadrina I. S. (8374)
18. Aminda Faizura BT Omar Khatab (8378)
Abstract
Keywords:
Bab I
Pendahuluan
Dalam perannya sebagai praktisi kesehatan, seorang dokter gigi tentunya harus
mampu melakukan pemeriksaan kepala dan leher (ekstraoral) sebelum melakukan
pemeriksaan intraoral. Untuk melakukan prosedur ini secara kompeten, maka kita harus
mengetahui bagaimana cara melakukannya dan mengenali kelainan-kelainan dan
mengevaluasinya. Bukanlah suatu keharusan, namun kewajiban untuk mengevaluasi
kelainan yang ada pada ekstraoral.
Banyak penyakit-penyakit yang memiliki penampakan pada rongga mulut yang pada
umumnya berupa suatu lesi, baik berupa lesi primer maupun lesi sekunder. Pada penyakit
atau kelainan pada kulit, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengkategorikan dan
mendeskripsikan kelainan tersebut dari warna, batas, ukuran dan distribusi lesi serta gejala
yang mendahului ataupun yang muncul setelah lesi tersebut. Istilah lesi primer digunakan
pada lesi yang pertama kali muncul, misalnya nodul, papul, vesikel. Sementara lesi
sekunder adalah lesi yang merupakan perubahan dari lesi primer, baik perubahan secara
alami dari suatu penyakit ataupun manipulasi (seperti bekas luka/scar, ulser).
Pada makalah ini, yang akan kami bahas adalah tentang lesi ulseratif dan
vesikobulosa pada pasien wanita berusia 20 tahun. Sebelum mengarah kepada diagnosis,
analisis tentang gejala prodormal yang muncul, bentuk dan lokasi tempat lesi muncul,
kondisi intraoral dan ekstraoral perlu dilakukan. Vesikel adalahsuatu elevasi pada kulit berisi
cairan dengan diameter kurang dari 1 cm dan terkadang mengakibatkan munculnya lesi
sekunder seperti pada herpes simplex, herpes zoster, dan varicella/chickenpox. Sementara
bulla adalah vesikel yang beridameter lebih dari 1 cm. Ulser adalah salah satu lesi sekunder
yang diikuti hilangnya jaringan dari permukaan dari lapisan basal epithel meluas hingga ke
dermis (Bricker dkk, 1994).
Bab II
Tinjauan Pustaka
Fungsi mukosa pada mulut adalah sebagai pelindung/barrier dan bagian dari sistem
mun non-spesifik. Untuk itulah beberapa penyakit yang bermanifestasi di mulut, terutama
mukosa, dapat menganggu fungsi pertahanan dari mukosa itu sendiri.
Lesi yang terdapat pada mulut tentunya bermacam-macam, baik lesi primer maupun
lesi sekunder. Vesikel adalah salah satu lesi primer, berbatas tegas berisi cairan (berupa
serum, limfa atau darah), dengan diameter kurang dari 1 cm, seperti pada herpes simplex,
herpes zoster, dan varicella. Sementara ulser adalah lesi sekunder yang berupa kehilangan
jaringan dari permukaan yang lebih dalam dari lapisan basal epithel dan meluas sampai ke
dermis. Lesi ulseratif misalnya pada herpes zoster dan varicella (Bricket, 1994).
A. Varicella Zoster
Definisi
Varicella Zoster merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
Varicella zoster (Bricker dkk, 1994). Virus Varicella zoster merupakan virus DNA
yang mirip dengan virus Herpes simplex (Lynch dkk, 1994). Varicella (chicken pox)
merupakan suatu bentuk infeksi primer virus Varicella Zoster yang pertama kali
pada individu yang berkontak langsung dengan virus tersebut sedangkan infeksi
sekunder/rekuren disebut Herpes Zoster/shingles (Bricker dkk, 1994).
Epidemiologi
Menurut Forrest (2000) dan Nguyen (2005), sebelum menggunakan vaksin varicella
meluas, 4juta kasus cacar dilaporkan setiap tahun. Penyakit ini bertanggung jawab untuk
11.000 rawat inap setiap tahun dan sekitar 50-100 kematian. Saat ini, kurang dari 10
kematian terjadi tiap tahunnya, sebagian besar dari mereka yang tidak diimunisasi.
Walaupun cakupan vaksinasi telah melampaui 80% selama beberapa tahun terakhir, wabah
varicella masih tetap terjadi di sekolah dan tempat penitipan anak. Varicella mempengaruhi
hampir semua anak yang tidak memiliki kekebalan. Kejadian tahunan diperkirakan mencapai
8-90 kasus. Sebagian besar negara berkembang memiliki tingkat imunisasi yang rendah
karena biaya yang terlibat, dan penyakit varicella merupakan risiko bagi wisatawan ke
negara tersebut. Negara-negara dengan iklim tropis dan semitropik memiliki insiden yang
lebih tinggi dari cacar air dewasa dibandingkan dengan negara-negara dengan iklim yang
hangat.
B. Herpes Zoster
Definisi
Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela-zoster
yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah
infeksi primer (Yanoff,2008).
Epidemiologi
Herpes zoster biasanya terjadi pada dewasa, kadang-kadang juga pada anak-anak.
Ditularkan antar manusia melalui kontak langsung, salah satunya adalah transmisi melalui
pernapasan sehingga virus tersebut dapat menjadi epidemik di antara inang yang rentan.
Resiko terjangkit herpes zoster terkait dengan pertambahan usia. Hal ini berkaitan adanya
immunosenescence, yaitu penurunan sistem imun secara bertahap sebagai bagian dari
proses penuaan. Selain itu, hal ini juga terkait dengan penurunan jumlah sel yang terkait
dalam imunitas melawan virus varicella-zoster pada usia tertentu. Penderita imunosupresi,
seperti pasien HIV/AIDS yang mengalami penurunan CD4 sel-T, akan berpeluang lebih
besar menderita herpes zoster sebagai bagian dari infeksi oportunistik (Bethany, 2009).
Epidemiologi
Menurut Hunter (2002) infeksi ini kebanyakan terjadi pada anak-anak. Namun
menurut Pindborg (1994), terkadang HSV-1 juga muncul pada orang dewasa. Dan setelah
infeksi primer pada 20-30% pasien, virus teraktivasi menjadi laten(Cawson, 2002).
Epidemiologi
Terjadi pada 20%- 40% populasi dewasa (Greenberg, 2008), menurut Scully (2010)
perbandingan pria dan wanita yang terinfeksi sama. Infeksi ulangan biasanya dipicu oleh
sengatan matahari, demam, imunosupresi, dan perubahan hormon.
Seorang wanita pekerja salon, berusia 20 tahun datang ke klinik Oral Medicine
dengan keluhan rasa sakit di mulut yang meluas ke depan sampai ke pipi dan sudut
mulut kanan sehingga mengganggu penampilan dan pengunyahan. Satu bulan yang
lalu pasien menderita demam dan batuk karena sakit tenggorok. Tiga hari yang lalu
ia merasa capek, lemah, tidak enak badan, demam, dan sakit kepala serta otot-otot
terasa sakit, kemudian muncul rasa sakit mulut yang dikeluhkan sekarang. Pasien
belum pernah menderita seperti yang dialami saat ini, tetapi sering sariawan.
Pemeriksaan vital signs: tensi 120/80 mmHg, pernafasan 20x/menit, nadi
100x/menit, dan suhu 38,5oC. Pada pemeriksaan ekstra oral muka simetris, pada
sudut bibir kanan terdapat lesi vesikuler dan ulkus. Limfonodi submandibular kanan
teraba lunak dan nyeri tekan. Intra oral terdapat area ulseratif yang eritematous dan
sakit pada mukosa pipi, sedang pada gingiva regio 16-13 tampak edematous dan
eritematous serta mudah berdarah. Lidah coated dengan indeks CT 60%,
hipersalivasi dan halitosisi positif. Tidak ada lesi di palatum molle dan tenggorok
maupun di bagian tubuh yang lain.
Bab IV
Diskusi
Dari kasus, dapat diketahui bahwa tanda yang pertama muncul adalah ulkus, yang
kemudian diikuti oleh masa prodromal (malaise, demam, sakit kepala dan otot-otot terasa
sakit). Lokasi rasa sakit yang dirasakan pasien meluas sampai ke sudur mulut, termasuk
mukosa buccal dan gingiva.
Adanya lesi vesikuler, menurut Bricker dkk (1994) yang memungkinkan terjadinya lesi
sekunder mengarah pada Herpes Simplex, Herpes Zoster, dan Varicella Zoster. Ketiga
infeksi ini pun terdapat gejala-gejala seperti demam, lemah, capek, hingga myalgia dan
pasien belum pernah mengalami ini sebelumnya namun sering sariawan. Yang perlu
diperhatikan adalah apakah lesi vesikuler dan ulkus muncul mendahului masa prodromal
ataukah sebaliknya. Jika dianalisa, infeksi sekunder HSV-1 bukanlah penyebab keluhan dari
pasien karena Herpes Labialis merupakan reaktivasi dari infeksi primer HSV-1 yang
manifestasinya berupa munculnya vesikel dan menjadi crusta jika ruptur, artinya tanda yang
muncul di Herpes Labialis pernah muncul juga pada infeksi HSV-1.
Jika tanda-tanda yang ada dikaitkan dengan infeksi primer HSV-1 dan Varicella
Zoster, seharusnya vesikel muncul setelah adanya gejala prodromal seperti demam,
myalgia, lemah. Meskipun menurut Cawson (2002) pada infeksi primer HSV limfonodi teraba
lunak dan gejala demam 1-3 hari sebelum munculnya vesikel, namun riwayat pasien sakit
tenggorok dan demam tidak cocok dengan kemungkinan ini.
Menurut Crocetti (2004), infeksi Varicella Zoster berawal di saluran pernapasan diikuti
10-20 hari setelahnya muncul ruam di kulit. Vesikel yang muncul pada kutan ruptur dan
menyebabkan bekas luka seperti kawah (Scully, 2010). Namun pada infeksi Varicella Zoster
tidak berkaitan dengan keluhan utama pasien berupa rasa sakit yang meluas ke depan pada
mulut.
Sementara Herpes Zoster yang merupakan reaktivasi dari Varicella, menurut
kelompok kami merupakan diagnosis yang sesuai dengan kasus pasien tersebut. Herpes
Zoster juga menginfeksi saluran pernafasan, dan ada kemungkinan satu bulan yang lalu
ketika gejala demam, myalgia dan sebagainya muncul adalah awal pasien terinfeksi VZV,
kemudian virus teraktivasi kembali. Menurut Scully (2010), rasa sakit yang muncul
mempengaruhi nervus trigeminus dan menimbulkan nyeri unilateral terkadang setelah
munculnya ulserasi. Ruam yang terdapat di luar mulut dapat berupa vesikel sebelum ruptur.
Lesi Herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun membran mukosa.
Herpes zoster biasanya diawali dengan gejala-gejala prodromal selama 2-4 hari, yaitu rasa
gatal, sakit yang menusuk, parastesi dan gejala-gejala terbakar serta sensitivitas muncul di
sepanjang lintasan syaraf yang terkena, muculnya vesikel dalam bentuk dermatomal.
Pembengkakan dan perdarahan juga kadang terjadi.
Pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk membantu menegakkan diagnosis ini,
misalnya isolasi virus dengan kultur sel atau dengan direct fluorescent antibody dengan
apusan yang sensitifitasnya lebih besar dibandingkan membuat preparat apusan dengan
pengecatan yang masih kurang sesuai untuk membedakan VZV dan HSV (Greenberg,
2008).
Treatment
Pengobatan lesi oral pada varicella dan infeksi Herpes Zoster menuju langsung ke
kontrol nyeri, perawatan pendukung, dan hidrasi. Penggunaan aspirin, khususnya pada
pasien dengan infeksi varicella zoster virus atau influenza, dihubungkan dengan
petumbuhan Reye syndrome, yang berpotensi fatal, dan berkontraindikasi. Ibuprofen adalah
analgetik yang sesuai untuk pengobatan varicella zoster virus.
Pengobatan infeksi primer varicela zoster virus termasuk penggunaan acyclovir
(800mg 5 kali perhari). Obat ini mengurangi infektivitas dan tingkat keparahan lesi. Tetapi
acyclovir memiliki bioavailabilitas yang rendah.
Valacyclovir (1000mg 3 kali sehari) atau famciclovir (500 mg 3 kali sehari)selama 7
hari efektif mengobati infeksi herpes zoster dan harus digunakan dalam waktu 72 jam onset
penyakit. Obat ini juga mengurangi postherpatic neuralgia.
Pengobatan pertama untuk postherpatic neuralgia adalah gabapentin dan 5%
lidokain patch, dan yang kedua adalah pengobatan dengan opioid analgesik dan tricyclic
antidepressants. Penggunaan kortikosteroid bersamaan dengan terapi antiviral untuk
mengurangi postherpatic neuralgia tidak efektif (Greenberg, 2008).
Bab V
Mapping
Vesikel Ulser
HSV-1 VZV
Pemeriksaan
laboratorium: direct
fluorescence
Diagnosis Herpes
zoster
Treatment planning:
pemberian analgetik,
antiviral, post-herpetic
neuralgia
Bab VI
Kesimpulan
Pada kasus di atas, menurut tanda yang pertama muncul dan yang
menyertainya, serta durasi dan distribusi nyeri yang dirasakan pasien, dapat
disimpulkan bahwa diagnosanya adalah Herpes Zoster yang merupakan reaktivasi
dari Varicella Zoster. Namun penegakan diagnosis tidak cukup hanya dengan
pemeriksaan subyektif dan obyektif saja. Pada kasus lesi akibat infeksi virus ini,
pemeriksaan laboratorium berupa apusan dan pengecatan dibutuhkan untuk
membedakan virus Varicella zoster dan Herpes simplex, di mana keduanya memiliki
tanda dan gejala klinis yang hampir sama.
Bab VII
Daftar Pustaka
Ajar AH, dan Chauvin PJ, 2002. Acute Herpetic Gingivostomatitis in Adults: A Review of 13
Cases, Including Diagnosis and Management. Journal de l’Association dentaire
canadienne. 648 (4).247-251
Arndt KA, dan Hsu JTS. 2007. Manual of Dermatology Therapeutics. 7th edition.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins
Arvin AM, 1996. Varicella-Zoster Virus. Clinical Microbiology Reviews, Vol. 9(3): 361–381
Bethany A, dan Weaver DO, 2009. Herpes Zoster Overview: Natural History and Incidence.
J Am Osteopath Assoc
Bricker SL, Langlais RP,dan Miller CS, 1994. Oral Diagnosis, Oral Medicine, and Treatment
Planning. 2nd edition. Pennsylvania: Lea and Febiger
Cawson RA, dan Odell EW, 2002. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral
Medicine. 7th edition. Philadelphia: Churchill Livingstone
Crocetti M, dan Baron MA,2004. Oski’s Essential Pediatric. 2nd edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins
Greenberg MS, Glick M, dan Ship JA, 2008. Burket’s Oral Medicine, 11th edition. Ontario:
BC Decker Inc
Hunter J, Savin J, dan Dahl M. 2002. Clinical Dermatology. 3rd Edition. Massachusettes:
Blackwell
Jordan RCK, dan Lewis MAO, 2004. A Color Handbook of Oral Medicine. New York: Thieme
Lynch MA, Brightman VJ, dan Greenberg MS, 1994. Burket's Oral Medicine: Diagnosis and
Treatment. 9th edition. Philadelphia: Lippincott
Pindborg JJ, 1994. Atlas Penyakit Mukosa Mulut. Edisi 4. Alih bahasa Wangsaraharja K.
Jakarta: Bina Rupa Aksara
Scully C, de Almeida OP, Bagan J, Dios PD, dan Taylor AM, 2010. Oral MEdicine and
Pathology at a Glance.Iowa: Wiley-Blackwell
Trying S, 2002. Mucocutaneous Manifestations of Viral Diseases. New York: Marcel Dekker
Inc.
Nguyen HQ, Jumaan AO, Seward JF. Decline in mortality due to varicella after
implementation of varicella vaccination in the United States. N Engl J Med. Feb
3 2005;352(5):450-8.
Forrest J, Mego S, Burgess M. Congenital and neonatal varicella in Australia. J Paediatr
Child Health. Apr 2000;36(2):108-13.