Anda di halaman 1dari 21

Recurrent Aphthous Stomatitis

ABSTRAK : Reccurent apthous stomatitis (RAS) adalah salah satu gangguan mukosa mulut
yang paling umum. Walaupun karateristik klinik RAS dapat didefinisikan dengan baik,
etiologi dan patogenesis yang tepat mengenai RAS masih belum jelas. Artikel ini
memaparkan secara rinci tinjauan pengetahuan saat ini patogenesis, etiologi dan penanganan
RAS.

Kata kunci. Mulut, Reccurent aphtous stomatitis. Sindrom Behcet’s

Pendahuluan

Reccurent aphtous stomatitis adalah kelainan mukosa mulut yang umum, walaupun
penelitian tentang RAS telah dilakukan secara rinci namun penyebabnya masih belum
diketahui dan penanganan masih belum efektif (Lehner, 1997 ; Rogers, 1997 ; Rennie dkk.,
1985 ; Scully dan Porter, 1989 ; Porter dan Scully, 1991 ; Eversole, 1994). Makalah ini
menyajikan data etiopatogenik saat ini pada RAS dan menguraikan terapi yang tersedia saat
ini.

Epidemiologi

Penelitian populasi telah ditemukan penderita RAS sekitar 2% dari orang dewasa
Swedia yang diperiksa (Axell dan Henricsson, 1985b). Walaupun sejarah yang cocok dengan
RAS jauh lebih umum. RAS berpengaruh pada beberapa derajat dari 5 sampai 66% dari
jumlah penduduk, tergantung pada kelompok yang diteliti. Kemungkinan lebih didominasi
perempuan dibeberapa kelompok dewasa (Pongissawaranun dan Laohapand, 1991), dan
mungkin ada kecenderungan wanita pada anak-anak yang terkena dampaknya. (Field dkk.,
1992). RAS tampaknya jarang terjadi di Arab Badui tetapi umum terjadi terutama di Amerika
Utara (Embil et al., 1975).

Sekitar 1% anak-anak di negara maju mungkin memiliki ulkus pada mulut yang
berulang (Kleinman et al.,1994), tetapi 40% dari kelompok anak-anak tertentu pada anak-
anak yang memiliki sejarah RAS, dengan awal ulserasi sebelum usia 5 tahun dan frekuensi
pasien yang terkena mungkin sesuai dengan usia (Crevell dkk., 1988)

1
Gejala Klinis

Gejala klinis RAS terdiri dari serangan berulang dari satu atau beberapa bulatan,
dangkal, nyeri ulkus oval pada interval beberapa bulan sampai beberapa hari. RAS memiliki
tiga bentuk- minor (MiRAS), mayor (MaRAS) atau ulkus herpetiform (HU) (Tabel 1).

Minor reccurent aphtous stomatitis (MiRAS) adalah jenis yang paling sering
mempengaruhi sekitar 80% dari pasien RAS dan ditandai oleh luka yang bulat atau oval
dangkal biasanya diameter dari 5 mm diameter dengan pseudomembran abu-abu putih
diselimuti oleh halo eritematosa tipis. MiRAS biasanya terjadi pada mukosa labial dan
mukosa buccal dan dasar mulut, tetapi jarang pada gingiva, langit-langit atau dorsal lidah.
Lesi ini sembuh 10-14 hari tanpa jaringan parut. MiRAS adalah bentuk paling umum dari
RAS pada masa anak-anak. (Field dkk.,1992)

Major reccurent aphthous stomatitis (MaRAS) adalah langka, bentuk yang paling
parah dari RAS, dikenal juga sebagai nekrosis periadenitis mukosa berulang. Lesi ini
berbentuk oval dan dapat melebihi 1 cm diameter serta memungkinkan mendekati 3 cm.
MaRAS lebih cenderung mengenai bagian bibir, langit-langit lunak dan tenggorokan dan
dapat mengenai bagian apapun.

Ulkus dari MaRAS bertahan hingga 6 minggu dan sering sembuh dengan jaringan
parut. MaRAS biasanya memiliki onset setelah pubertas dan bersifat kronik, bertahan sampai
20 tahun atau lebih (Scully dan Porter., 1989).

Jenis ketiga yang paling umum dari RAS adalah herpetiform (HU), ditandai dengan
beberapa potongan berulang kecil, ulkus yang menyakitkan yang luas dan dapat menyebar di
seluruh rongga mulut. Sebanyak 100 ulkus dapat timbul pada saat tertentu, masing-masing
berukuran 2-3 mm, meskipun cenderung kering, produksi ulkus besar yang irreguler. HU
memiliki kecenderungan terkena pada wanita dan pada usia lanjut dibandingkan onset dari
jenis RAS yang lain (Lehner, 1977; Scully dan Porter,1989) atau mungkin gangguan lisan
yang menunjukkan sebagai ulkus yang berulang (Porter and Scully, 1991).

2
Faktor predisposisi sistemik pada RAS

Kebanyakan pada RAS dapat berakibat baik. Sebaliknya, pada RAS-seperti ulkus
dapat terjadi pada penyakit Behcet’s, pasien tersebut mempunyai penyakit multisistem
khususnya mempengaruhi lapisan mukokutan lain seperti mata (cth: uveitis), dan sistem
mukoskletal, neorologi, hematologi, gastrointestinal, dan lainnya. Sebagaimana dijelaskan di
bawah ini, RAS tidak memiliki distribusi geografis yang penting, tidak memiliki asosiasi
HLA mirip dengan penyakit Behcet, dan memiliki sebagian dari kelainan sistem imunologi
yang timbul pada penyakit Behcet. Tidak seperti penyakit Behcet, RAS tidak signifikan
menyebabkan angka kesakitan dan kematian (Mittal dkk., 1985; Schreiner dan Jorizi, 1987;
Arbesfeld dan Kurban, 1988; Jankowski dkk., 1992; Stratigos dkk., 1992)

Ulceration oral serupa pada RAS dapat timbul dalam Sweet Syndrom (Delke dkk.,
1981, Driban dan Alvarez, 1984; Mizguchi dkk., 1988; Von Den Driesch dkk., 1989, 1994),
siklik neutropenia (Lange dan Jones, 1981; Scully dkk., 1982), benign familial neutropenia
(Porter dkk., 1994a), sindrom MAGIC (Orme dkk., 1999; Godeau, 1993; Le Thi Huaong
dkk.,1993) , sindrom priodik dengan demam dan radang tenggorokan (Marshal dkk., 1987),
berbagai kekurangan gizi baik dengan atau tanpa gangguan saluran cerna (Eversole, 1994;
Grattan dan Sculy, 1986) dan beberapa immunodefisiensi primer (Scully dan Porter,
1993a,b), dan sekunder (Porter dkk., 1994b), termasuk HIV (MacPhail dkk., 1992). Kadang-
kadang, obat-obatan seperti antiinflamasi non-steroid dapat menimbulkan ulkus di mulut
yang mirip dengan RAS, bersamaan dengan ulserasi genital (Healy dan Thornhill, 1995).

3
Dalam beberapa penelitian, kekurangan hematinic (besi, asam folat, atau vitamin B12)
disebutkan terjadi dua kali lebih sering pada pasien RAS dari pada kelompok kontrol (Wray
dkk., 1975; Challacombe dkk, 1977a, 1983; Hutcheon dkk, 1978; Tyldesley, 1983; Rogers
dan Hutton, 1986; Field dkk., 1987; Porter dkk, 1988). Sekitar 20% pasien dengan RAS
mungkin kekurangan hematinic, meskipun sebuah penelitian tidak melaporkan adanya
masalah hematinic (Olsen dkk., 1982). Kekurangan vitamin B1,B2,dan B6 yang di amati
dalam penelitian kohort pasien Skotlandia dengan RAS (Nolan dkk., 1991). Kurang dari 5%
pasien rawat jalan yang awalnya datang dengan RAS (Ferguson dkk., 1976, 1980; Velso dan
Saleiro, 1987) mengalamai sensitifitas gluten pada usus halus (GSE, Penyakit Celiac). Pasien
RAS tidak selalu memiliki gejalapada usus atau gambaran klinis lainnya yang mengarah ke
GSE akan tetapi biasanya memiliki kekurangan folat dan kadang-kadang reticulin antibodi
(Ferguson dkk., 1976). Khususnya IgA kelas reticulin dan/atau antibodi gliadin (Merchant
dkk., 1986).. Haplotype dari HLA-DRw10 dan DQw1 bisa mempengaruhi pasien GSE
menjadi RAS (Majorana dkk., 1992; Meini dkk., 1993). Kadang-kadang ada juga pasien yang
menderita RAS tanpa klinis, atau bukti histologi penyakit celiac pada biopsi jejunum, bagi
yang menjalani diet bebas gluten (Wray, 1981; Wruight dkk., 1986). Namun ketiadaan gluten
sering tidak menghasilkan manfaat yang signifikan (Hunter dkk., 1993) dan sulit diatasi dan
secara sederhana menggambarkan respon plasebo yang nyata pada RAS. Data terbaru dari
UK member kesan bahwa antibodi antiendomisial sangat jarang terjadi pada pasien RAS,
sehingga mendukung pernyataan bahwa RAS tidak banyak hubungannya dengan GSE.

Reaksi hipersensitifitas terhadap antigen eksogen selain glaten tidak memiliki


pengaruh yang signifikan dalam etiologi RAS. Beberapa penelitian mencatat sebuah
peningkatan prevalensi atopi antara pasien RAS (Tuft dan Ettleson, 1956), sementara yang
lain gagal menemukan hubungan signifikan (spoge dan Diamon, 1963; Wray dkk., 1982;
Eversole dkk., 1983; Hay dan Reade, 1984). Beberapa pasien RAS behubungan antara
timbulnya ulkus dengan pemaparan terhadap makanan tertentu, namun penelitian terkontrol
gagal dalam mengungkapkan penyebabnya, meskipun fakta bahwa makanan tertentu dapat
menyebabkan reaksi tusukan-kulit positif yang dapat menimbulkan rasa nyeri ketika di
oleskan pada ulkus aphtous (Wilson, 1980). Manipulasi diet, jarang memperbaiki RAS secara
signifikan (spouge dan Diamond, 1963; Wray dkk., 1982; Eversole dkk., 1983; Hay dan
Reade, 1984).

Aphthous-like ulceration telah dilaporkan pada pasien dengan kekurangan zinc dan
sistem imun yang rendah (Endre, 1991). Hal tersebut tidak seperti sebuah hubungan antara

4
RAS dan adanya kekurangan seng, meskipun seorang pasien dilaporkan mendapatkan
tambahan manfaat dari suplemen zinc.

Minoritas perempuan dengan RAS memiliki hubungan cyclical oral ulceration


terhadap fase luteal dalam siklus menstruasi, yang mungkin diatur oleh perubahan kadar
progesteron (Dolby, 196; Segal dkk., 1974; Freguson dkk., 1984) dan demikian pergantian
epitel mukosa oral tidak efektif. Namun demikian, rincian observasi dari seluruh literatur
yang terkait gagal menemukan hubungan antara RAS dan kortikosteroids bagi perempuan
(McCartan dan Sullivan, 1992).

Penyakit psikologis telah diusulkan sebagai awal episode RAS (Ship dkk., 1961b);
Miller dkk,,1977a), dan jarang terdapat data yang menunjukkan bahwa beberapa pasien dapat
mengambil manfaat dari terapi antidepresan (Yaacob dan Hamid, 1985). Walaupun, objek
neurosis yang di observasi selama dua penelitian tidak signifikan (Pedersen, 1989; Buajeeb
dkk,, 1990).

5
Faktor predisposisi lokal RAS

Lokal, ulkus berawal dari trauma fisik pada orang-orang yang rentan (Ross,dkk, 1985; Wray
dkk., 1981), dan RAS jarang terjadi dimana terdapat keratinisasi mukosa (Sallay dan
Banoczy, 1968) atau pada pasien yang menghisap tembakau (Brookman, 1960; Dorsey, 1964;
Shapiro dkk., 1985a).

Dasar Genetik

Pada beberapa individu, RAS mempunyai dasar familial. Sekitar lebih dari 40% dari
pasien RAS mempumyai riwayat keluarga yang tidak jelas terhadap ulkus oral (Sircus dkk.,
1957). Pasien-pasien dengan riwayat keluarga yang positif RAS dapat mengembangkan ulkus
oral saat usia dini serta lebih mempunyai gejala yang berat dari individu yang terkenal tanpa
riwayat keluarga terhadap ulkus oral (Ship, 1965). Kemungkinan berkembangnya hubungan
RAS berpengaruh dari status RAS orang tua (Ship, 1972), dan terdapat korelasi RAS yang
tinggi terhadap kembar identik (Miller dkk., 1977b). Namun, ada variabel yang jelas dalam
host yang rentan dengan pewarisan poligenic tapi bergantug penetrasi dalam faktor lainnya
(Ship, 1965, 1972).

Penelitian awal gagal untuk menunjukkan hubungan yang signifikan antara partikel
HLA haplotipe dan RAS (Platz dkk., 1976; Dolby dkk., 1977). Penelitian selanjutnya
melaporkan berbagai asosiasi atau non-asosiasi. Kenaikan frekuensi yang tidak signifikan
dari HLA-A2 dan Aw-29 pada pasien RAS (Challacombe dkk., 1977b) sudah disampaikan,
dan hubungan dengan HLA-BI2 (Lehner dkk., 1982; Malmstrom dkk., 1983) telah dilaporkan
tetapi tidak dikonfirmasi oleh yang lain (Gallina,dkk, 1985; Ozbakir,dkk, 1987). Hubungan

6
yang signifikan antara HLA-DR2 (biasanya pada haplotype HLA-DR2/BI2) dan RAS telah
diteliti, tapi kelompok penelitiannya hanya terdiri dari 17 pasien (Lenner dkk., 1982). Dalam
penelitian pasien RAS Turki, frekuensi HLA-B5 meningkat tidak signifikan dibandingkan
dengan frekuensi subjek kontrol yang sehat (Ozbakir dkk., 1987). Frekuensi dari HLA-DR4
berkurang pada penelitian kohort dengan pasien Yunani (Albanidoufarmaki dkk., 1988).
Frekuensi dari HLA-B5 didapati menurun, tetapi HLA-DR7 meningkat secara drastis pada
pasien Sililian RAS (Gallina dkk., 1985). Pada setengah tetapi bukan semua kelompok
kemungkinan terdapat asosiasi negatif dari RAS dengan MT2 dan MT3 (sekarang bagian dari
HLA-DQ) yang dapat membedakan RAS dari pada sindrom Bechet’s (Lehner dkk., 1982).
Hubungan yang erat dari sindrom Behcet’s dan RAS dengan HLA-BSI (Shohat-Zabarski
dkk., 1982 ; Albanidou-Farmaki dkk., 1988) menganjurkan bahwa lokus ini kemungkinan
bukan lokus primer yang berperan-tetapi, tetapi gen lain yang mengontrol protein “heat
shock” dan “tumor necrosis factor” (Mizuki dkk., 1995).

Tidak terdapat hubungan yang penting dan konsisten di antara RAS dan antigen HLA
khusus yang dideterminasi secara serologikal ini dapat mencerminkan ketidakcukupan dari
jumlah pasien dan variasi latar belakang etnik yang diteliti, ataupun kekurangan dari latar
belakang immunogenik dari RAS. Jadi, ini meragukan bahwa bahwa penelitian allelotipik
yang lengkap itu dapat bermanfaat.

Immuopatogenesis
Pasien dengan RAS kemungkinan mempunyai peningkatan kadar limfosit CD8+
pada daerah perifer atau penurunan kadar limfosit CD4+ (Sun dkk., 1987; Pedersan dkk.,
1989, 1991; Landesberg dkk.,1990; Ratis dkk.,1991; Savage dan Seymour, 1994). Ada juga
kemungkinan terdapat persentase CD4+ (CD5+(2H4T) “virgin” T-sel yang menurun dan
peningkatan persentase CD4+ (CD29+(4B4+) “memori” limfosit T. Pasien dengan RAS
mempunyai proporsi sel γδ yang meningkat berbanding subjek kontrol yang sehat dan pasien
RAS dengan penyakit yang inaktif. (Pedersen dkk., 1989). Pasien dengan RAS aktif memiliki
peningkatan proporsi sel γδ dibandingkan dengan subjek kontrol yang sehat dan pasien RAS
yang tidak aktif (Pedersen dan Ryder, 1994). Sel γδ pada sel T dapat berperan dalam
antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC); meskipun, stimulus pasti tentang
kenaikan γδ pada sel T di pasien RAS masih belum jelas. Menariknya, kenaikan γδ pada sel T
dapat terjadi pada pasien penyakit Behcet (Suzuki dkk., 1990), dan diprcaya bahwa γδ pada
sel T memainkan peran dalam kerusakan sistem imun (Hasan dkk., 1996). Terdapat kenaikan

7
IL-6, IL-2R dan molekul adhesi interseluler serum yang dapat larut dibandingkan dengan
kontrol. Meskipun demikian, perubahan ini tidak berhubungan dengan aktivitas penyakit
serta kepentingan patogennya masih belum jelas (Yamamoto dkk., 1994).

Tetapi yang mengejutkan ialah terdapat penurunan jumlah sel mononuklear, termasuk
sel T CD4+ dan CD8+ pada mukosa mulut yang terpapar atau tidak terpapar pada pasien
RAS (Hayrinen-Immonen dkk., 1991; Pedersen dkk., 1992). Pada fase pre-ulseratif dari RAS,
terdapat infiltrat mononuklear lokal yang pada awalnya terdiri dari large granular
lymphocytes (LGL) dan T4 (CD4+) helper-induced lymphocytes (Hayrinen-Immonen, dkk,
1991). Fase ulseratif berhubungan dengan keluarnya sel supresor CD4+, tetapi ini diganti
dengan CD4+ selama penyembuhan (Savage dkk., 1985). Limfosit polimorfonuklear juga
timbul pada lesi tetapi fungsi kemotaktiknya normal pada RAS dibanding dengan sindrom
Behcet dimana fungsinya menjadi hiperaktif (Abdulla dan Lehner, 1979; Dagalis dkk., 1987).
Fungsi fagositik PMNL juga tidak efektif (Ueta dkk., 1993).

Agregasi limfosit kemungkinan dimediasi oleh molekul adhesi-molekul adhesi


intraselular 1 (ICAM-1) dan lymphocyte function-antigen-3 (LFA-3)—berikatan dengan
counterpart ligands LFA-1 dan CD-2 pada limfosit (Hayrinen-Immonen dkk., 1992; Verdickt
dkk., 1992). ICAM-1 di ekspresikan pada kapiler dan venal submukosa, menganjurkan
bahwa ia dapat mengontrol pengaliran leukosit kepada submukosa (Savage dkk., 1986;
Eversole, 1994), sementara LFA-3 dan counterpart ligand CD-2 juga terlibat dalam aktivasi
sel-T pada RAS.

Antigen HLA kelas I dan II timbul pada epitelium basal dan kemudian sel serilesional
pada semua lapisan epitelium pada fase awal dari ulserasi (Savage dkk., 1986), dimediasi
oleh interferon gamma yang dilepaskan oleh set T. Antigen MHC dapat mentarget sel ini
untuk serangan oleh sel sitotoksik sel mononuklear yang diaktivasi menginfiltrasi epitelium,
terutama lapisan sel prickle (Honma, 1976) dan dalam kontak langsung dengan sel prickle
apoptosis yang memfagosit dengan bantuan PMNL (Honma dkk., 1985). Berbanding
penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa terdapat respon imun yang dimediasi sel
pada RAS, hasil ini belum dipastikan. (Peavy dkk., 1982; Gadol dkk., 1985; Greenspan dkk.,
1985). Hasil ini menyatakan bahwa terdapat mekanisme yang dimediasi limfosit B yang
melibatkan sitotoksisitas selular yang antibodi dependen dan kemungkinan melibatkan
komleks imun. Kompleks imun yang bersirkulasi belum dapat didemonstrasi pada RAS
(Levinsky and Lehner 1978; Lehner dkk., 1979; Burton Kee dkk., 1981; Bagg dkk., 1987).
Deposit imun juga berlaku pada spesimen biopsy lesional (Ullman dan Gorlin, 1978),

8
terutama pada lapisan stratum spinosum (Schroeder dkk., 1984), yang menyebabkan
penumpukan non spesifik dari immunoglobulin dan komplemen. Selain itu, didapatkan
bahwa terdapat kemugkinan terjadi kerusakan jaringan oleh kompleks imun pada
etiopatogenesis RAS.

Tingkat immunoglobulin serum adalah normal pada umumnya tetapi peningkatan


IgA, IgG, IgD dan IgE serum dilaporkan oleh kelompok pasien RAS yang berbeda. (Lehner,
1969; Ben-Aryeh dkk., 1976; Scully dkk., 1983). Didapatkan juga tingkat immunoglobulin
yang normal atau menurun pada kelompok pasien RAS lain (Brady dan Silverman, 1969).
Tingkat C9 pada serum didapati meningkat pada sekelompok pasien (Adinolfi dan Lehner,
1976; Lehner dan Adinolfi, 1980) dan juga disertai peningkatan tingkat 2 mikroglobulin
serum (Scully, 1982), yang menunjukkan respon fase akut nonspesifik. Pasien dengan RAS
tidak mempunyai defisiensi subklas IgG (Porter dkk., 1992).

Seperti yang dinyatakan di atas, kemungkinan terdapat peningkatan sel T , yang
penting dalam antibodi dependen sel-mediated sitotoksisitas. Penelitian in-vitro menyatakan
bahwa leukosit darah perifer pada pasien RAS menunjukkan peningkatan sitotoksisitas
terhadap epithelium mukosa oral. (Lehner 1967; Dolby, 1969; Rogers dkk., 1974, 1976;
Greenspan dkk., 1981; Burnett dan Wray, 1985), dan akibatnya terdapat kemungkinan bahwa
RAS mewakili reaksi tipe ADCC terhadap mukosa oral. Konsep ini disokong oleh
pengetahuan tentang sel mononuclear pada darah perifer pasien RAS (tanpa penyakit yang
aktif) yang melisis sel mukosa oral yang mengekspresi antigen MHC kelas I dan II. Yang
lebih penting adalah sel T CD4+ pada arah perifer pasien RAS boleh menyebabkan lisis
epitelial (Savage dan Seymour, 1994). Jadi terdapat kemungkinan terjadi reaksi sitotoksik
yang diperantarai oleh sel T CD4+ dan CD8+ pada pasien RAS.

Sel natural killer (NK) tidak memainkan peran penting dalam pathogenesis dari RAS.
Pada RAS, tingkat sel NK pada darah perifer dapat meningkat (Thomas dkk., 1990) atau
sama dengan kelompok kontroldan subset sel NK (CD16+, CD56+, CD14+) tidak berubah
pada RAS (Pederson, 1993).Seperti itu, fungsi sel NK basal juga tidak berubah dalam RAS ,
walaupun ia dapat berkurang pada MaRAS atau stase ulseratif akhir dari MIRAS (Sun dkk.,
1991).

Jadi terbuktilah tidak terdapat teori unifying dari imunopatogenesis pada RAS.
Ulserasi itu kemungkinan disebabkan oleh reaksi sitotoksik dari limfosit dan monosit
terhadap epithelium oral, tetapi pemicu dari respons ini masih belum diketahui.

9
Aspek Mikrobial dari RAS.

Sebelumnya streptococci oral dianjurkan penting dalam pathogenesis RAS, sama ada
sebagai pathogen langsung atau sebagai stimulus antigenik yang berperan dalam genesis
antibodi yang bereaksi–silang dengan determinan antigenik keratinosit (martin dkk., 1979;
Lindemann dkk., 1985). Bentuk awal dari L-form isolate dari pasien RAS dikelompokkan
sebagai S. Sanguis (barile dkk., 1963), tetapi analisis yang dilakukan seterusnya menyatakan
bahwa organisma itu sebenarnya adalah satu strain dari S. Mitis (Hoover dan Greenspan,
1983). Sementara beberapa penelitian menyatakan peningkatan titer antibody serum terhadap
streptococcus viridians pada pasien RAS, penelitian lain pula menyatakan hasil yang
berlawanan (Barile dkk., 1968; Donatsky, 1976). Seterusnya, respons mitogenik limfosit
terhadap S.sanguis dan S.mitis pada pasien RAS tidak berbeda berbanding subjek kontrol
(Barile dkk., 1968; Gadol dkk., 1985; Greenspan dkk., 1985).

Penelitian terbaru menyatakan terdapat reaksi silang di antara streptococci 60-65 kDa
protein heat shock (hsp) dan mukosa oral didemonstrasi dan terdapat peningkatan tingkatan
antibody serum terhadap hsp pada RAS (Lehner dkk., 1991). Sementara limfosit pada pasien
Behcet’s disease mempunyai reaktivitas terhadap 3 dari 4 epitop sel T dari 65 kDa hsp dari
Mycobacterium tuberculosis (Pevin dkk., 1993), limfosit pada pasien RAS pula mempunyai
reaktivitas terhadap peptida lain, peptide 91-105 (Hasan dkk., 1995). Hubungan khususnya
adalah peningkatan respons limfoproliferatif yang jelas terhadap peptide pada stase ulseratif
yang tidak berlaku sewaktu remisi. Terdapat juga reaksi silang antara hsp 65-kDa dan hsp 60-
kDa pada mitokondria manusia. Jadi terdapat anjuran bahwa terdapat basis molecular pada
reaksi yang dinyatakan sebelum yang membuktikan kaitan antara RAS dan Streptokokus
sanguis, karena antibodi monoklonal yang merupakan bagian dari HSP 65-kDa dari
Mycobacterium tuberculosia bereaksi dengan S.sanguis (Lehner dkk., 1991). Jadi, RAS
kemungkinan satu respons yang diperantarai sel T terhadap antigen dari S. sanguis yang
bereaksi silang dengan hsp mitokondria dan memicu kerusakan mukosa mulut (Hasan dkk.,
1995).

Berlaku juga mekanisme patogenik seperti dalam penyakit Behcet yang dibuktikan
oleh perubahan dalam jumlah sel T  dan juga timbulnya kompleks imun pada jaringan
lesional. Tetapi, buktinya masih belum lengkap dan sebab untuk oral involvement yang
terbatas pada RAS berbanding penyakit Behcet yang bersifat multisistemik masih belum
jelas.

10
Helicobacter pylori juga dideteksi pada jaringan lesional pada ulser oral yang ill-
defined, tetapi frekuensi dari antibody IgG serum terhadap H.pylori tidak menunjukkan
peningkatan pada RAS (Porter dkk., in press).

Juga dianjurkan bahwa virus dapat berperan pada RAS dan penyakit Behcet (Hooks,
1978). Juga didapatkan adanya asosiasi antara RAS dan adenovirus (Sallay dkk., 1971,
1973), tetapi adenovirus adalah organisme uniquibitous dan hasilnya perlu dikonfirmasikan.

Juga terdapat kemungkinan RAS berkaitan dengan herpesvirus 1-6 seperti yang
dinyatakan akhir-akhir ini (Pedersan, 1993). Virion herpesvirus dan antigen tidak dapat
didemonstrasi pada RAS (Dodd dan Ruchman, 1950; Driscoll dkk., 1961; Ship dkk., 1961a;
Griffin, 1963). RNA yang berkaitan dengan herpes simplex virus (HSV) dideteksi pada sel
mononuclear yang bersirkulasi pada beberapa pasien RAS (Eglin dkk., 1982) dan HSV-1
pada kompleks imun yang bersirkulasi (Hussain dkk., 1986). Bagaimanapun, tingkat
interferon serum tidak meningkat pada RAS (Hooks dkk., 1979). Partikel yang menyerupai
virus ditemukan pada beberapa jaringan pada sindrom Behcet tetapi bukan pada mukosa oral
dan tidak didemonstrasi langsung pada RAS. HSV belum dapat diisolasi dari material lesi
(Donatsky dkk., 1977; Rothe dkk., 1978). Hanya sepertiga pasien RAS adalah seropositif-
HSV (Ship dkk., 1967), dan HSV jarang dideteksi pada jaringan lesional melalui polymerase
chain reaction (PCR) (Studd dkk., 1991).

Antibodi IgG dan IgM terhadap virus varicella zoster (VZV) mungkin meningkat
pada beberapa pasien RAS (Pedersen dan Hornsleth, 1993), yang menganjurkan asosiasi
antara reaktivasi dari VZV dan RAS. Selanjutnya, DNA VZV boleh dideteksi pada jaringan
lesi melalui PCR (Pesersen dkk., 1993), tetapi kontaminasi dapat berlaku dan mengganggu
observasi ini (Pedersen dkk., 1993).

Antibodi terhadap cytomegalovirus (CMV) mungkin meningkat secara signifikan


pada beberapa pasien RAS. dan DNA CMV telah dideteksi pada ulserasi oral yang ill defined
pada orang yang tidak terinfeksi HIV (Leimola-Virtanen dkk., 1995).

DNA dari human herpesvirus 6 (HHV-6) dan HHV-7 belum didemonstrasi pada RAS,
tetapi DNA HHV-8 dijumpai pada ulser oral yang HIV-related (Di Alberti et al., 1997 a,b).
Peran virus pada RAS tidak direview dalam penelitian lain (Scully,1993).

Jadi tidak terdapat data epidemiologi definitif untuk menyokong etiologi infeksius
pada RAS. Sepertinya, tidak mungkin virus menjadi penyebab dan bukti terbaru menyatakan

11
bahwa terdapat reativitas-silang di antara protein heat shock bakteri dan komponen epitelium
yang berperan dalam kejadian RAS.

Manejemen.

(A) Diagnosis

Diagnosis RAS biasanya ditegakkan berdasarkan riwayat keluhan pasien dan


manifestasi klinis. Biasanya pasien mengeluhkan timbulnya lesi ulser yang recurrent pada
permukaan mukosa oral yang mobile. Setiap lesi ulserasi dijumpai selama beberapa minggu,
dan kadang-kadang penyembuhannya disertai dengan timbulnya ulser baru. Pasien pada
umumnya sehat kecuali timbulnya ulserasi oral. Pemeriksaan histopatologi termasuk
imunofluoresensi direk dari jaringan lesi biasanya tidak membantu diagnosis karena
penemuan histopatologinya non spesifik. Pada pemeriksaan hematologi dan serologi
mungkin dijumpai defisiensi hematinik sebagai penyerta khususnya ferritin, serta jarang
dijumpai abnormalitas lain yang signifikan. Pemeriksaan virologi yang detail dari jaringan
lesi atau serum biasanya tidak disarankan kecuali untuk mengeliminasi kemungkinan infeksi
herpetik atipikal.

(B) Terapi

Tidak terdapat terapi spesifik yang efektif untuk RAS. Gejalanya dapat berkurang
tetapi tidak mungkin mencegah rekurens penyakitnya. Terapi pembedahan tidak disarankan
dan hasil dari debridement fisik dari ulser tidak diketahui. (Potoky, 1981). Menariknya,
ketiadaan sodium lauryl sulphate di pasta gigi dapat memperkecil kemungkinan terjadinya
RAS (Herlofson and Kkarkovoll, 1994).

Kortikosteroid topical tetap digunakan sebagai terapi utama apada RAS. Spektrum
kortikosteroid yang berbeda dapat digunakan. Semuanya dapat mengurangi gejala, baik
sediaan hidrokortison maupun triamcinolone dapat menyebabkan penekanan pada kelenjar
adrenal, tetapi ulkus masih muncul (Cooke and armitage, 1960; Zegarelli dkk., 1960;
Merchant dkk., 1978; Yeoman dkk., 1978; Fisher, 1979; Pimlott dan Walker, 1983; Scaglione
dkk., 1985). Mungkin, yang paling baik adalah kortikosteroid topikal dan chlorhexidine yang
dapat mengurangi gejala nyeri tetapi tidak mengurangi cepatnya kekambuhan ulkus.

Levamisole dianjurkan sebagai pengobatan RAS yang memungkinkan. Melalui


sifatnya yang menimbulkan efek imunostimulator secara luas dan beberapa penelitian
menyebutkan khasiatnya. Perbaikan subjektif mungkin ada dan efek samping yang mungkin

12
seperti mual, gangguan penciuman, disgeusia dan agranulositosis dapat mengurangi
penggunaannya (Lehner dkk., 1976; De Meyer dkk., 1977; Drinnan dan Fischman, 1978;
Gier dkk., 1978; Silverman, 1978). Belakangan ini, meskipun grup pasien Taiwan
mengalamai perbaikan klinis yang signifikan (contoh : mengurangi nyeri, jumlah, frekuensi
dan durasi ulkus) dengan pengobatan amisole (100-150 mg/hari selama 2-3 bulan). Walaupun
hal ini mungkin tidak biasa, namun seringkali dapat menurunkan CD4+ dalam jumlah kecil
dan meningkatkan CD8+ pada Limfosit-T darah perifer, munculnya antibodi antinuklear dan
antibodi anti-basement membrane (Sun dkk., 1994). Frekuensi efek samping levamisole tidak
dilaporkan pada penelitian ini.

Faktor transfer (Schulkind dkk., 1984) dan pengobatan gamaglobulin (Kaloyannides,


1971) dapat dianjurkan dan berkhasiat, tetapi penelitian selanjutnya dibutuhkan untuk
memperkuat pengamatan awal ini.

Sodium cromoglycate lozenges dapat sedikit meringankan gejala, tetapi cromoglycate


yang terkandung dalam pasta gigi tidak bekhasiat (Potts,dkk, 1984). Pencuci mulut
carbenoxolone sodium dapat mengurangi keparahan RAS dalam sebuah penelitian (Posusillo
dan Partridge, 1984).

Dapsone dilaporkan dapat mengurangi luka mulut pada beberapa pasen dengan RAS-
like syndrome, tetapi crri-ciri klinis dari grup pasien ini tidak dijelaskan (Handfield, Lones
dkk,, 1985). Thalidomide dapat menyembuhkan atau mengurangi gejala RAS (Mascaro dkk.,
1979; Grinspan, 1985; Gunzles, 1992).

Meskipun demikian, pengobatan ini tidak tanpa bahaya, pengobatan thalidomide


seharusnya dipertimbangkan pada pasien yang memiliki riwayat ulkus yang dalam (profound
ulcer) dan mungkin dibatasi pada pasien yang memiliki riwayat penyakit HIB (Wiliams dkk.,
1991). Disamping efek teratogenik, thalidomide dapat menyebabkan kemungkinan dari
beberapa efek samping yang serius (contoh : polineuropati yang ireversibel).

kemungkinan akibat aksi pada fungsi mikrotubular dari leukosit polimorfonuklear dan
adhesi dari ekspresi molekul, colchine berkhasiat secara klinis pada penyakit Behcet. Pada
awalnya, colchicines dilaporkan memiliki hasil yang menguntungan pada kelompok kecil
pasien RAS (Gatot dan Tovi, 198; Ruah dkk., 1988) dan penelitian terbaru lainnya pada 20
pasien, colchicines (1,5 mg/hari selama 2 bulan) menghasilkan penurunan signifikan pada
skor nyeri dan frekuensi dari ulkus yang dilaporkan (Katz dkk., 1994). Sayangnya, tidak
semua pasien mendapatkan keuntungan dari colchicines dan sedikitnya 20% mengalami

13
gejala nyeri gastrointestinal atau diare (Karts dkk., 1994) dan dapat menyebakan infertil pada
laki-laki muda. Kombinasi pengobatan colchicines dan thalidomide kadang-kadang
menguntungkan pada RAS yang sukar disembuhkan (Genvo dkk., 1984).

Pentoxifylline adalah agen dengan efek samping yang kecil tetapi memiliki aksi
imunosupresi (contoh : gangguan pada perlekatan neutrofil, penghambatan aktifasi limfosit T
dan B dan aktifitas sel Natural Killer). Pentoxifylline memiliki keuntungan klinis pada
poengobatan vasculitides (Ely, 1988) dan sindrom Behcet (Yasim dkk., 1996). Pada
penelitian terbaru, pentoxifylline (400 mg 3 kali 1 hari selama 1 bulan) mengurangi riwayat
RAS sampai 9 bulan setelah pengobatan dan tidak ada efek samping yang dilaporkan (Piarro
dkk., 1995,1996; Wahwa-Yohav, 1995). Ini memperlihatkan jumlah agen yang diharapkan
tersedia. Agen imunomodulator lain yang dapat dianjurkan bermanfaat pada pengobatan RAS
meliputi azathioprine (Brown dan Bottomley, 1990) prednisolone sistemik (Yel dkk., 1994),
human alpha interferon dalam krim (Hamuryudan dkk., 1990, 1991), ciclosporin topikal
(Eisen dan Ellis, 1990), deglycirrhizinated liquorice (Das dkk., 1989), asam 5-aminosalisilat
topical (Collier dkk., 1992), amlexanox (Breer dkk., 1993) dan gel prostaglandin E2 (PGE-2)
(Taylor,dkk, 1993).

Sucralfate di suatu penelitian cross-over RAS dapat mengurangi durasi gejalam dan
mempercepat masa penyembuhan, (Rattan dkk., 1994).

Pengobatan penghambat-monoamine oksidase menyembuhkan RAS pada 3 pasien


(Rosenthal, 1984; Lejonc dan Fourestie, 1985). Meskipun peningkatan klinis dapat terjadi,
hal ini harus disertai dengan modifikasi diet dan perubahan status psikologis,

Di beberapa penelitian tersebut, beberapa pasien dilaporkan dengan perbaikan klinis


pada pengobatan placebo. Efek placebo ini dikombinasikan dengan RAS yang terjadi secara
alami (often-limited nature of RAS) dapat memastikan banyak pasien yang mengalami
pengurangan gejala pada akhirnya.

Kesimpulan :
Penyembuhan RAS menyisakan gangguan mukosa mulut yang umum terjadi pada
kebanyakan komunitas di dunia. Penyebab yang jelas masih belum diketahui. Tidak ada
factor pencetus yang jelas yang dapat diperlihatkan, dan tidak ada bukti yang meyakinkan
bahwa adanya pengarus genetic RAS di beberapa pasien.

14
Lesi muncul sebagai konsekuensi dari proses imun yang diperantarai citotoksisitas sel
epitel. Hal ini menyebabkan tidak ada terapi yang aman untuk menjamin tidak berulangnya
ulkus. Memang, ada beberapa penelitian yang menyimpulkan bukti dari beberapa at, selain
zat anti inflamasi, dpat mengurangi frekuensi atau keparahan RAS yang dapat lebih baik
daripada efek plasebo.

Gambar 1. Typical minor aphtous stomatitis

Gambar 2. Minor aphtous stomatitis.

Gambar 3. Atypical aphtous ulceration of the dorsum of tongue

15
16
DAFTAR PUSTAKA

Abdulla YH, Lehner T (1979). The effect of immune complexes on chemotaxis in Behcet's
syndrome and recurrent oral ulcers. In: Behcet's syndrome: clinical and immunological
features. Lehner T, Barnes CG, editors. London: Academic Press, p. 55-59.
Addy M (1977). Hibitane in the treatment of recurrent aphthous ulceration. I Clin Periodontol
4:108-116.
Addy M, Tapper-Jones L, Seal M (1974). Trial of astringent and antibacterial mouthwashes in
the managementof recurrent aphthous ulceration. Br Dent 1 141:118-20.
Addy M, Carpenter R, Roberts WR (1976). Management of recurrent aphthous ulceration-a
trial of chlorhexidine gluconate gel. Br Dent J 141:118-120.
Adinolfi M, Lehner T (1976). Acute phase proteins and C9 in patients with Behcet's
syndrome and aphthous ulcers. Clin Exp Immunol 25:36-39.
Albanidou-Farmaki E, Kayavis IG, Polymenidis Z, Papanayotou P (1988). HLA-A, B, C and
DR antigens in recurrent oral ulcers. Ann Dent 47:5-8.
Arbesfeld Si, Kurban AK (1988). Behcet's disease-new perspectives on an enigmatic
syndrome. J Am Acad Dermatol 19:767-779.
Axell T, Henricsson V (1985a). Association between recurrent aphthous ulcers and tobacco
habits. I Dent Res 93:239-242.
Axell T, Henricsson V (1985b). The occurrence of recurrent aphthous ulcers in an adult
Swedish population.Acta Odontol Scand 43:12 1-125.
Bagan J (1995). Recurrent aphthous stomatitis. In: Innovations and developments in
noninvasive orofacial health care. Porter SR, Scully C, editors. Northwood: Science Reviews,
pp. 75-95.
Bagg 1, Williams BD, Amos N, Dagalis P, Walker DM (1987). Absence of circulating IgG
immune complexes in minor recurrent aphthous ulceration. I Oral Pathol 16:53-56.
Barile MF, Graykowski EA, Driscoll El, Riggs DB (1963). Lform of bacteria isolated from
recurrent aphthous stomatitis lesions. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 16:1395-1402.
Barile MF, Francis TC, Graykowski EA (1968). Streptococcus sanguis in the pathogenesis of
recurrent aphthous stomatitis. In: Microbial protoplasts, spheroplasts and L-forms. Guze LB,
editor. Baltimore: Williams and Wilkins, p. 444-449.
Ben-Aryeh H, Malberger E, Gutman D, Anavi Y (1976). Salivary IgA and serum IgG and IgA
in recurrent aphthous stomatitis. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 42:746-752.
Brady H, Silverman S (1969). Studies on recurrent oral aphthae. Oral Surg Oral Med Oral
Pathol 27:27-34.
Brookman R (1960). Relief of canker sores on resumption of cigarette smoking. CA Med
93:235-236.
Brown RS, Bottomley WK (1990). Combination immunosuppressant and topical steroid
therapy for treatment of recurrent major aphthae. A case report. Oral Surg Oral Med Oral
Pathol 69:420-424.
Buajeeb W, Laohapand P, Vongsavan N, Kraivaphan P (1990). Anxiety in recurrent aphthous
stomatitis patients. J Dent Assoc Thai 40:253-258.

17
Burnett PR, Wray D (1985). Lytic effects of serum and mononuclear leukocytes on oral
epithelial cells in recurrent aphthous stomatitis. Clin Immunol Immunopathol 34:197-204.
Burton-Kee IE, Mowbray IF, Lehner T (1981). Different cross-reacting circulating immune
complexes in Behcet's syndrome and recurrent oral ulcers. J Lab Clin Med 97:559-567.
Challacombe SJ, Barkhan P, Lehner T (1977a). Haematological features and differentiation of
recurrent oral ulceration. Br I Oral Surg 1 5:37-48.
Challacombe SJ, Batchelor JR, Kennedy LA, Lehner T (1977b). HLA antigens in recurrent
oral ulcerations. Arch Dermatol 113:1717-1719.
Challacombe SJ, Scully C, Keevil B, Lehner T (1983). Serum ferritin in recurrent oral
ulceration. J Oral Pathol 12:290-299.
Collier PM, Neill SM, Copeman PW (1992). Topical 5-aminosalicylic acid: a treatment for
aphthous ulcers. Br J Dermatol 126:185-188.
Convissar RA, Massoumi-Sourey M (1992). Recurrent aphthous ulcers: Etiology and laser
ablation. Gen Dent 44: 512-515.
Cooke BED, Armitage P (1960). Recurrent Mikulicz's aphthae treated with topical
hydrocortisone hemisuccinate sodium. Br Med J 1:764-766.
Crevelli MR, Aguas S, Adler 1, Ouarracino C, Bazerque P (1988). Influence of
socioeconomic status on oral mucosa lesion prevalence in schoolchildren. Community Dent
Oral Epidemiol 16:58-60.
Dagalis P, Bagg J, Walker DM (1987). Spontaneous migration and chemotactic activity of
neutrophil polymorphonuclear leukocytes in recurrent aphthous ulceration. Oral Surg Oral
Med Oral Pathol 64:298-301.
Das SK, Das V, Gulati AK, Singh VP (1989). Deglycyrrhizinated liquorice in aphthous
ulcers. I Assoc Phys India 37:647.
De Meyer J, Degreave M, Clarysse J, De Loose F, Peremans W (1977). Levamisole in
aphthous stomatitis: evaluation of three regimens. Br Med I 1:671-674.
Delke 1, Veridiano NP, Tancer ML, Gomez L, Diamond I (1981). Sweet's syndrome with
involvement of the female genital tract. Obstet Gynecol 58:394-396.
Denman AR, Schiff AA (1979). Recurrent oral ulceration treatment of recurrent aphthous
ulceration of the oral cavity. Br Med J 1: 1248-1249.
Di Alberti L, Ngui SL, Porter SR, Speight PM, Scully C, Zakrzewska IM, et al. (1997a).
Presence of human herpesvirus-8 variants in the oral tissues of human immunodeficiency
virus-infected individuals. I Infect Dis 175:703-707.
Di Alberti L, Porter SR, Speight P, Scully C, Zakrzewska JM, Williams 1, et al. (1997b).
Detection of human herpesvirus-8 DNA in oral ulcer tissues of HIV-infected individuals. Oral
Diseases 3(Suppl 1): S 133-S 134.
Dodd K, Ruchman I (1950). Herpes simplex virus not the aetiologic agent of recurrent
stomatitis. Pediatrics 5:883-887.
Dolby AE (1968). Recurrent Mikulicz's oral aphthaetheir relationship to the menstrual cycle.
Br Dent J 124:359-360.
Dolby AE (1969). Recurrent aphthous ulceration. Effect of sera and peripheral blood
lymphocytes upon oral epithelial tissue culture cells. Immunology 17:709-714.

18
Dolby AE, Walker DM (1975). A trial of cromoglycic acid in recurrent aphthous ulceration.
Br I Oral Surg 12:292-295.
Dolby AE, Walker DM, Slade M, Allan C (1977). HLA histocompatibility antigens in
recurrent aphthous ulceration. J Dent Res 56:105-107.
Donatsky 0 (1976). A leucocyte migration study on the cell-mediated immunity against adult
human oral mucosa and streptococcal antigens in patients with recurrent aphthous stomatitis.
Acta Pathol Microbiol Scand 84(C):227-234.
Donatsky 0, Justesen T, Lind K, Faber Vestergaard B (1977). Microorganisms in recurrent
aphthous ulcerations. Scand J Dent Res 85:426-433.
Donatsky 0, Worsaae N, Schi0dt M, Johnsen T (1983). Effect of Zendium toothpaste on
recurrent aphthous stomatitis. Scand J Dent Res 91:376-80.
Dorsey C (1964). More observation on relief of aphthous stomatitis on resumption of
cigarette smoking. CA Med 101:377-378.
Driban NE, Alvarez MA (1984). Oral manifestations of Sweet's syndrome. Dermatologica
169:102-103.
Drinnan Al, Fischman SL (1978). Randomised, doubleblind study of levamisole in recurrent
aphthous stomatitis. J Oral Pathol 7:414-417.
Driscoll EJ, Ship II, Barow S, Stanley HR, Utz JP (1961). Chronic aphthous stomatitis,
herpes labialis and related conditions. Ann Intern Med 50:1475-1496.
Eglin RP, Lehner T, Subak-Sharpe JH (1982). Detection of RNA complementary to herpes
simplex virus in mononuclear cells from patients with Behget's syndrome and recurrent oral
ulcers. Lancet 2:1356-1361.
Eisen D, Ellis CN (1990). Topical cyclosporine for oral mucosal disorders. J Am Acad
Dermatol 23:1259-1263.
Eisenbud L, Horowitz I, Kay B (1987). Recurrent aphthous stomatitis of the Behget's type:
successful treatment with thalidomide. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 64:289- 292.
Ely H (1988). Pentoxifylline therapy in dermatology. Dermatol Clin 6:585-608.
Embil IA, Stephens RG, Mauriel R (1975). Prevalence of recurrent herpes labialis and
aphthous ulcers amoung young adults on six continents. Can Med Assoc 1 113:630-637.
Endre L (1991). Recurrent aphthous ulceration with zinc deficiency and cellular immune
deficiency. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 72:559-561.
Eversole LR (1994). Immunopathology of oral mucosal ulcerative, desquamative, and
bullous diseases. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 77:555-571.
Eversole LR, Shopper TP, Chambers DW (1983). Effects of suspected foodstuff challenging
agents in the aetiology of recurrent aphthous stomatitis. Oral Surg Oral Med Oral Pathol
56:33-38.
Fahmy MS ( 1976). Recurrent aphthous ulcers in a mixed Arab community. Community Dent
Oral Epidemiol 4:160-164.
Ferguson MM, Wray D, Carmichael HA, Russell RI, Lee FD (1980). Coeliac disease
associated with recurrent aphthae. Gut 21:223-226.
Ferguson MM, Carter 1, Boyle P (1984). An epidemiological study of factors associated with
recurrent aphthae in women. J Oral Med 39:212-217.

19
Ferguson R, Basu MK, Asquith P, Cooke WT (1976). lejunal mucosal abnormalities in
patients with recurrent aphthous ulceration. Br Med 1 1:111- 13.
Field EA, Rotter E, Speechley JA, Tyldesley WR (1987). Clinical and haematological
assessment of children with recurrent aphthous stomatitis. Br Dent 1 163:19-22.
Field EA, Brookes V, Tyldesley WR (1992). Recurrent aphthous ulceration in children-a
review. Int I Paed Dent 2: 1-10.
Fisher N (1979). Bextasol and aphthous ulcers (letter). Br MedI 1:1357.
Gadol N, Greenspan JS, Hoover CI, Olsen 1 (1985). Leukocyte migration inhibition in
recurrent aphthous ulceration. J Oral Pathol 14:121 -132.
Gallina G, Cumbo V, Messina P, Caruso C (1985). HLA-A, B, C, DR, MT and MB antigens
in recurrent aphthous stomatitis. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 59:364-370.
Gatot A, Tovi F (1984). Colchicine therapy in recurrent oral ulcers (letter). Arch Dermatol
120:994.
Genvo MF Faure M, Thivolet J (1984). Traitement del aphtose par la thalidomide et la
colchicine. Dermatologica 168:182-188.
Gier RE, George B, Wilson T, Rueger A, Hart IlK, Quaison F,et al. (1978). Evaluation of the
therapeutic effect of levamisole in treatment of recurrent aphthous stomatitis. I Oral Pathol
7:405-413.
Godeau P (1993). Aortic insufficiency and recurrent valve prosthesis dehiscence in MAG1C
syndrome. I Rheumatol 20:397-398.
Grattan CEH, Scully C (1986). Oral ulceration: a diagnostic problem. Br Med 1 292:1093-
1094.
Graykowski EA, Kingman A (1978). Double-blind trial of tetracycline in recurrent aphthous
ulceration. J Oral Pathol 7:376-382.
Greenspan JS, Gadol N, Olsen IA, Talal N (1981). Antibody-dependent cellular cytotoxicity
in recurrent aphthous ulceration. Clin Exp Immunol 44:603-610.
Greenspan IS, Gadol N, Olson IA, Hoover CI, Jacobsen PL Shillitoe El, et al. (1985).
Lymphocyte function in recurrent aphthous ulceration. I Oral Pathol 14:492-502.
Greer RO Jr, Lindenmuth JE, Juarez T, Khandwala A (1993). A double-blind study of
topically applied 5% amlexanox in the treatment of aphthous ulcers. I Oral Maxillofac Surg 5
1:243-248.
Griffin IW (1963). Fluorescent antibody study of herpes simplex virus lesions and recurrent
aphthae. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 16:945-52.
Grinspan D (1985). Significant response of oral aphthosis to thalidomide treatment. J Am
Acad Dermatol 12:85-90.
Grinspan D, Blanco GF, Aguero S (1989). Treatment of aphthae with thalidomide. J Am Acad
Dermatol 20: 1060-1063.
Guggenheimer J, Brightman VI, Ship 11 (1968). Effect of chlortetracycline mouthrinses on
the healing of recurrent aphthous ulcers: a double-blind controlled trial. J Oral Therapeut
Pharmacol 4:406-408.
Gunzler V (1992). Thalidomide in human immunodeficiency virus (HIV) patients. A review
of safety considerations. Drug Saf 7:116-134.

20
Hakemer D, Piatowska D, Zabinska 0 (1971). Chronic diseases of the oral mucosa in children
in light of own observations. Czas Stomatol 24:871-875.
Hamuryudan V, Yurdakul S, Serdaroglu S, Tuzun Y, Rosenkaimer F, Yazici H (1990). Topical
alpha interferon in the treatment of oral ulcers in Behqet's syndrome: a preliminary report.
Clin Exp Rheumatol 8:51-54.
Hamuryudan V, Yurdakul S, Rosenkaimer F, Yazici H (1991). Inefficacy of topical alpha
interferon in the treatment of oral ulcers of Behget's syndrome: a randomised, double-blind
trial (letter). Br J Rheumatol 30:395-396.
Handfield-Jones S, Allen SR, Littlewood SM (1985). Dapsone use with oral genital ulcers. Br
J Dermatol 113:501.
Hasan A, Childerstone A, Pervin K, Shinnick T, Mizushima Y, van der Zee R, et al. (I1995).
Recognition of a unique peptide epitope of the mycobacterial and human heat shock protein
65-60 antigen by T cells of patients with recurrent oral ulcers. Clin Exp Immunol 99:392-397.

21

Anda mungkin juga menyukai