Anda di halaman 1dari 9

A.

Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS)


1. Definisi
Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) merupakan inflamasi berulang
pada mukosa oral yang berbentuk ulkus tunggal atau multipel yang dangkal
dan berwarna putih kekuningan yang dikelilingi oleh halo eritem. Biasanya
pasien akan merasakan sensasi terbakar yang berlangsung lama selama 24-48
jam, disertai perkembangan ulkus yang terasa nyeri hingga mengganggu
aktivitas seperti berbicara atau makan (Yuliana et al, 2019).
2. Epidemiologi
RAS merupakan lesi pada mukosa oral yang paling sering terjadi
(Edgar et al, 2017). Prevalensi RAS adalah sekitar 20% dari populasi. RAS
biasanya terjadi pada masa kanak-kanak, remaja usia 10-20 tahun hingga usia
dewasa, dan lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki
(Ślebioda et al, 2014).
3. Etiologi
Etiologi RAS diperkirakan dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor
lingkungan. Selain itu RAS juga dipengaruhi oleh kondisi stres, trauma fisik
maupun kimia, infeksi, penyakit sistemik, disfungsi hormonal, defisiensi
nutrisi (zing, folat, vitamin B12), alergi makanan. Pada RAS akibat stres,
kebanyakan disebabkan oleh karena trauma lokal akibat gigitan pada mukosa
mulut (Yuliana et al, 2019).
4. Faktor risiko
Faktor risiko RAS meliputi faktor lingkungan dan faktor herediter.
Menurut Tarakji et al (2015), berikut adalah faktor risiko terjadinya RAS:
a. Faktor lingkungan
1) Perubahan hormonal
Pasien perempuan mengalami RAS pada siklus menstruasi,
kehamilan, dan pada saat dismenore.
2) Trauma
RAS dapat muncul karena adanya trauma saat menggosok gigi
dan pada injeksi anestesi lokal pada proses perawatan gigi.
3) Obat-obatan
Obat-obatan seperti sodium hipoklorit, piroxicam, fenobarbital,
phenindione, asam niflamat, nicorandil, captopril, NSAID, dll dapat
berpengaruh terhadap prevalensi RAS.
4) Hipersensitivitas makanan
Makanan seperti keju, almon, sereal, kacang, coklat, kopi, dll
dapat menyebabkan RAS.
5) Defisiensi nutrisi
Pasien dengan anemia (defisiensi besi, serum, ferritin) dan
defisiensi vitamin B1, B2, B6 lebih berisiko mengalami RAS.
6) Stres
Pasien yang mengalami stres lebih mudah mengalami RAS.
7) Rokok
Pasien perokok lebih jarang terkena RAS daripada pasien yang
tidak merokok. Namun prevalensi RAS meningkat pada pasien yang
telah berhenti merokok
b. Faktor herediter
1) Faktor imun
Patofisiologi RAS tampaknya berkaitan dengan gangguan
imunomodulasi. Lesi aphthoid mengandung limfosit dan terdapat
variasi rasio CD4+/CD8+ pada tahapan berbeda RAS (pra-ulserasi,
ulserasi, penyembuhan).
2) Gangguan sistemik
Gangguan sistemik yang berpengaruh terhadap terjadinya RAS antara
lain: anemia, Behcet’s syndrome, cyclic neutropenia, PFAPA
syndrome, infeksi HIV, artritis reaktif, Sweet’s syndrome, dan Magic
syndrome.
5. Klasifikasi
Menurut Wallace et al (2015) RAS dapat diklasifikasikan menjadi 3
jenis, antara lain:
a. RAS minor
RAS minor (>70% kasus) biasanya terjadi pada pasien usia 5-19
tahun. Gejala klinis berupa ulserasi bundar dan superfisial berjumlah
sedikit dengan ukuran <10 mm disertai pseudomembran berwarna
keabuan dan halo eritem. RAS minor biasanya akan sembuh dalam 14
hari (Yasui et al, 2010). Lokasi paling sering terjadi RAS minor yaitu
pada bibir, lidah, dan mukosa buccal (Wallace et al, 2015).

(Tarakji et al, 2015)


b. RAS mayor
RAS mayor (10% kasus) memiliki distribusi yang lebih luas sampai
ke gusi dan mukosa faring, serta berukuran lebih besar (>10 mm). RAS
mayor memiliki durasi lebih panjang daripada RAS minor yaitu 6
minggu. RAS mayor dapat menimbulkan bekas luka (Yasui et al, 2010).
(Tarakji et al, 2015)
c. RAS herpetiform
RAS herpetiform (10% kasus) memiliki gambaran klinis berupa
ulserasi yang kecil dan dalam berjumlah banyak yang sering menyatu
sehingga menimbulkan gambaran ulserasi yang besar dengan tepi
ireguler. RAS jenis ini biasanya sembuh setelah 1 bulan dan tidak
meninggalkan bekas luka (Yasui et al, 2010).

(Tarakji et al, 2015)


6. Patogenesis
Disregulasi imun dapat memfasilitasi perkembangan RAS. Sistem
imun dan proses inflamasi berperan dalam patogenesis RAS. Respon
hiperimun sel TH-1 memicu terjadinya reaksi inflamasi yang menyebabkan
ulserasi. Selain itu, faktor risiko genetik seperti beberapa polimorfisme DNA
dari NOD-like receptor 3, toll-like receptor 4, interleukin (IL)-6, E-selectin,
IL-1β, dan gen TNF-α dapat menyebabkan individu lebih mudah mengalami
RAS (Rivera, 2019). Sel limfosit masuk ke epitel mulut dan terjadi inflamasi
yang menyebabkan munculnya edema. Terjadi vakuolisasi keratinosit dan
vaskulitis lokal sehingga terjadi pembengkakan papular. Papul mengalami
ulserasi dan diinfiltrasi oleh neutrofil, limfosit, sel plasma, dan disertai
dengan penyembuhan dan regenerasi epitel (Cui et al, 2016).
Imunopatogenesis RAS melibatkan aktivasi sel T dan TNF-α oleh
leukosit lainnya seperti makrofag dan sel mast. Inisiasi proses inflamasi
diinduksi oleh adhesi TNF-α pada sel endotel dan efek kemotaktik pada
neutrofil. Pada pasien RAS terjadi elevasi TNF-α dan IL-2 (sitokin
proinflamasi) serta penurunan IL-10 (sitokin antiinflamasi). TNF-α berperan
penting dalam imunopatogenesis RAS dengan cara menstimulasi ekspresi
MHC kelas I. Pada tahap pre-ulseratif dan ulseratif, terjadi peningkatan
ekspresi antigen MHC kelas I dan II pada sel epitel basal. Ekspresi antigen
MHC tidak terdeteksi selama proses penyembuhan, sehingga kemungkinan
MHC berkontribusi terhadap sel T sitotoksik (CD8+) untuk menyerang
jaringan lokal. IL-10 berperan untuk merangsang proliferasi epitel pada tahap
penyembuhan. Oleh karena itu, ekspresi IL-10 yang rendah menunjukkan
durasi ulkus yang lama (Cui et al, 2016).
7. Diagnosis
Diagnosis RAS didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dilakukan dengan menanyakan
kepada pasien mengenai faktor risiko lingkungan dan herediter. Berikut
adalah tabel manifestasi klinis yang dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis RAS:

(Tarakji et al, 2015)


Pemeriksaan fisik RAS meliputi inspeksi dan palpasi. Dari inspeksi
bisa didapatkan gambaran dasar ulkus berupa jaringan nekrotik, granulasi
purulen, atau dilapisi mukus. Tepi ulkus bisa reguler maupun ireguler.
Jaringan di sekitar ulkus bisa berwarna keputihan, berbintik-bintik, eritem,
atau terlihat normal. Konsistensi dasar ulkus (lunak, sedang, atau keras) dan
fiksasi pada struktur dasar dapat diraba dengan cara palpasi. Pemeriksaan
penunjang meliputi pemeriksaan hemoglobin, hitung darah lengkap,
erithrocyte sedimentation rate/ C-reactive protein, serum B12, serum/ red
cell follat, anti-gliadin, dan anti-endomysial autoantibodies (Tarakji et al,
2015).
8. Tatalaksana
Menurut Belenguer-Guallar et al (2014) tatalaksana pasien RAS
diklasifikasikan menjadi 3 tipe:
a. Tipe A
Terjadi RAS beberapa kali dalam 1 tahun dengan tingkat nyeri yang
dapat ditahan. Faktor penyebab RAS harus diidentifikasi dan diatasi
dengan cara menghindari trauma, gunakan sikat gigi yang halus, hindari
makanan keras dan semua kacang-kacangan, coklat, minuman dan makan
asam, makanan asin, makanan pedas, dan minuman beralkohol dan
berkarbonasi.
b. Tipe B
RAS terjadi setiap bulan dan berlangsung sekitar 3-10 hari. Rasa
nyeri mengganggu aktivitas sehingga pasien mengubah kebiasaan
kebersihan dan pola makan. Tanyakan pada pasien mengenai manifestasi
awal seperti gatal atau bengkak untuk memberikan pengobatan topikal.
c. Tipe C
Serangan episode RAS terasa sangat nyeri dan bersifat kronis.
Beberapa lesi akan berkembang setelah lesi sebelumnya sembuh, dan
pengobatan topikal tidak mampu mengatasi hal ini. Pada tipe C, terapi
sistemik lebih dianjurkan.
(Belenguer-Guallar et al, 2014)
9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dari RAS adalah bekas luka (scarring)
dimana kasus ini sangat langka (Thoppay, 2020).
10. Pencegahan
Pencegahan terhadap RAS dapat dilakukan dengan menghindari hal-
hal yang memicu RAS seperti trauma maupun diet (Thoppay, 2020).
11. Prognosis
Prognosis RAS menjadi semakin baik seiring bertambahnya usia
(Thoppay, 2020).
12.
Daftar Pustaka

Belenguer-Guallar, I., Jimenez-Soriano, Y., & Claramunt-Lozano, A. (2014).


Treatment of recurrent aphthous stomatitis. A literature review. Journal of
Clinical and Experimental Dentistry, e168–74. doi:10.4317/jced.51401 
Cui, R. Z., Bruce, A. J., & Rogers, R. S. (2016). Recurrent aphthous stomatitis.
Clinics in Dermatology, 34(4), 475–481. doi:10.1016/j.clindermatol.2016.02.020 
Edgar, N. R., Saleh, D., & Miller, R. A. (2017). Recurrent Aphthous Stomatitis: A
Review. The Journal of clinical and aesthetic dermatology, 10(3), 26–36.
Rivera, C. (2019). Essentials of recurrent aphthous stomatitis (Review). Biomedical
Reports. doi:10.3892/br.2019.1221.
Ślebioda, Z., Szponar, E., Kowalska, A. (2014). Etiopathogenesis of recurrent
aphthous stomatitis and the role of immunologic aspects: Literature review.
Archivum Immunologiae et Therapiae Experimentalis, 62(3): 205-15.
Tarakji, B., Gazal, G., Al-Maweri, S. A., Azzeghaiby, S. N., & Alaizari, N. (2015).
Guideline for the diagnosis and treatment of recurrent aphthous stomatitis for
dental practitioners. Journal of international oral health : JIOH, 7(5), 74–80.
Thoppay, J. R. (2020). Aphthous Ulcers Follow-up.
https://emedicine.medscape.com/article/867080-followup#e2 [diakses Agustus
2020].
Wallace, A., Rogers, H. J., Hughes, S. C., et al. (2015). Management of recurrent
aphthous stomatitis in children. Oral Medicine, 42(6): 564-72.
Yasui, K., Kurata, T., Yashiro, M., et al. (2010). The effect of ascorbate on minor
recurrent aphthous stomatitis. Acta Paediatrica, 99(3): 442-5.
Yuliana, Y., Winias, S., Hendarti, H. T., Soebadi, B. (2019). Reccurent trauma-
induced aphthous stomatitis in adjustment disorder patients. Dental Journal:
Majalah Kedokteran Gigi, 52(3): 163-7.

Anda mungkin juga menyukai