Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

MOUTH ULCER

Disusun Oleh
Wincent Candra Diwirya G991902059
Adhitya Bhima Nareshwara G991906001
Advendanu Nur Kristaji G991906002
Alin Putri Imas Yuba M G992003012
Almas Talida Habibah G992003013

Periode: 31 Agustus 2020 – 13 September 2020

Pembimbing:
Widia Susanti, drg., M.Kes.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS /
RS UNS SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RS UNS
Surakarta. Makalah dengan judul:

MOUTH ULCER

Hari, tanggal: Kamis, 3 September 2020

Oleh:
Wincent Candra Diwirya G991902059
Adhitya Bhima Nareshwara G991906001
Advendanu Nur Kristaji G991906002
Alin Putri Imas Yuba M G992003012
Almas Talida Habibah G992003013

Periode: 31 Agustus 2020 – 13 September 2020

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Makalah
Widia Susanti, drg., M.Kes.
BAB I
PENDAHULUAN

Ulkus adalah lesi yang terbentuk akibat kerusakan lokal dari jaringan
epitelium. Ulkus dapat diklasifikan berdasarkan durasi onset, jumlah ulkus, dan faktor
etiologi. Lesi ulserasi yang berlangsung kurang dari dua minggu dianggap sebagai
ulkus akut dan lebih dari dua minggu disebut ulkus kronis. Ulkus rekuren jika
terdapat riwayat episodic berulang dengan penyembuhan tidak teratur. Istilah soliter
menunjukkan adanya lesi ulseratif tunggal sedangkan multiple menggambarkan
adanya beberapa lesi ulseratif. Perkembangan ulkus dapat dipengaruhi faktor lokal
atau sistemik di mana dapat disebabkan berbagai faktor seperti infeksi (bakteri, virus,
jamur, protozoa), gangguan sistem imun (penyakit autoimun, imunodefisiensi,
alergi), trauma (mekanik, kimia, suhu), serta defisiensi zat makanan tertentu (vitamin
C, B12, zat besi).

Ulkus yang terbentuk di mukosa mulut merupakan salah satu penyakit mulut
yang sering ditemukan di masyarakat dan dapat dijumpai pada berbagai usia maupun
jenis kelamin. Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, lesi ulserasi menjadi salah
satu masalah gigi dan mulut di Indonesia. Prevalensi ulkus rongga mulut rata-rata
berkisar 15-30%.

Keberagaman gambaran lesi dan faktor penyebab membuat identifikasi ulkus


mulut cukup menantang. Untuk itu, dalam menegakkan diagnosis diperlukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Penting untuk menetapkan diagnosis
karena kebanyakan kelainan ini membutuhkan penanganan spesifik disamping
pengobatan lokal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Recurrent Aphtous Stomatitis


1. Pengertian
Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) merupakan inflamasi berulang pada
mukosa oral yang berbentuk ulkus tunggal atau multipel yang dangkal dan
berwarna putih kekuningan yang dikelilingi oleh halo eritem. Gejala awal
SAR biasa dirasakan penderita sebagai rasa sakit dan ditandai dengan adanya
ulser tunggal atau multiple yang terjadi secara kambuhan pada mukosa mulut,
berbentuk bulat atau oval, batas jelas, dengan pusat nekrotik berwarna kuning-
keabuan dan tepi berwarna kemerahan. Biasanya pasien akan merasakan
sensasi terbakar yang berlangsung lama selama 24-48 jam, disertai
perkembangan ulkus yang terasa nyeri hingga mengganggu aktivitas seperti
berbicara atau makan (Yuliana et al, 2019; Shafer et al, 2009).
2. Epidemiologi
RAS merupakan lesi pada mukosa oral yang paling sering terjadi (Edgar et al,
2017). Prevalensi SAR pada populasi dunia bervariasi antara 5% sampai 66%
(Neville et al, 2009). RAS biasanya terjadi pada masa kanak-kanak, remaja
usia 10-20 tahun hingga usia dewasa, dan lebih banyak terjadi pada
perempuan daripada laki-laki (Ślebioda et al, 2014).
3. Etiologi
Etiologi RAS diperkirakan dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor
lingkungan. Selain itu RAS juga dipengaruhi oleh kondisi stres, trauma fisik
maupun kimia, infeksi, penyakit sistemik, disfungsi hormonal, defisiensi
nutrisi (zing, folat, vitamin B12), alergi makanan. Pada RAS akibat stres,
kebanyakan disebabkan oleh karena trauma lokal akibat gigitan pada mukosa
mulut (Yuliana et al, 2019).
4. Faktor Risiko
Faktor risiko RAS meliputi faktor lingkungan dan faktor herediter. Menurut
Tarakji et al (2015), berikut adalah faktor risiko terjadinya RAS:
a. Faktor lingkungan
1) Perubahan hormonal
Pasien perempuan mengalami RAS pada siklus menstruasi,
kehamilan, dan pada saat dismenore.
2) Trauma
RAS dapat muncul karena adanya trauma saat menggosok gigi dan
pada injeksi anestesi lokal pada proses perawatan gigi.
3) Obat-obatan
Obat-obatan seperti sodium hipoklorit, piroxicam, fenobarbital,
phenindione, asam niflamat, nicorandil, captopril, NSAID, dll dapat
berpengaruh terhadap prevalensi RAS.
4) Hipersensitivitas makanan
Makanan seperti keju, almon, sereal, kacang, coklat, kopi, dll dapat
menyebabkan RAS.
5) Defisiensi nutrisi
Pasien dengan anemia (defisiensi besi, serum, ferritin) dan defisiensi
vitamin B1, B2, B6 lebih berisiko mengalami RAS.
6) Stres
Pasien yang mengalami stres lebih mudah mengalami RAS.
7) Rokok
Pasien perokok lebih jarang terkena RAS daripada pasien yang tidak
merokok. Namun prevalensi RAS meningkat pada pasien yang telah
berhenti merokok
b. Faktor herediter
1) Faktor imun
Patofisiologi RAS tampaknya berkaitan dengan gangguan
imunomodulasi. Lesi aphthoid mengandung limfosit dan terdapat
variasi rasio CD4+/CD8+ pada tahapan berbeda RAS (pra-ulserasi,
ulserasi, penyembuhan).
2) Gangguan sistemik
Gangguan sistemik yang berpengaruh terhadap terjadinya RAS antara
lain: anemia, Behcet’s syndrome, cyclic neutropenia, PFAPA
syndrome, infeksi HIV, artritis reaktif, Sweet’s syndrome, dan Magic
syndrome.
5. Klasifikasi
Menurut Wallace et al (2015) RAS dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis,
antara lain:
a. RAS minor
RAS minor (>70% kasus) biasanya terjadi pada pasien usia 5-19 tahun.
Gejala klinis berupa ulserasi bundar dan superfisial berjumlah sedikit
dengan ukuran <10 mm disertai pseudomembran berwarna keabuan dan
halo eritem. RAS minor biasanya akan sembuh dalam 14 hari (Yasui et
al, 2010). Lokasi paling sering terjadi RAS minor yaitu pada bibir, lidah,
dan mukosa buccal (Wallace et al, 2015).

Gambar 2.1 RAS Minor


b. RAS mayor
RAS mayor (10% kasus) memiliki distribusi yang lebih luas sampai ke
gusi dan mukosa faring, serta berukuran lebih besar (>10 mm). RAS
mayor memiliki durasi lebih panjang daripada RAS minor yaitu 6
minggu. RAS mayor dapat menimbulkan bekas luka (Yasui et al, 2010).

Gambar 2.2 RAS Mayor


c. RAS herpetiform
RAS herpetiform (10% kasus) memiliki gambaran klinis berupa ulserasi
yang kecil dan dalam berjumlah banyak yang sering menyatu sehingga
menimbulkan gambaran ulserasi yang besar dengan tepi ireguler. RAS
jenis ini biasanya sembuh setelah 1 bulan dan tidak meninggalkan bekas
luka (Yasui et al, 2010).
Gambar 2.3 RAS Herpetiform

6. Patogenesis
Saat terjadi faktor-faktor paparan di atas, sel limfosit masuk ke epitel mulut,
menyebabkan edema akibat adanya stimulus inflamasi. Vakuolisasi
keratinosit dan vaskulitis lokal mengakibatkan pembengkakan popular lokal.
Papul mengalami ulserasi dan diinfiltrasi oleh neutrofil, limfosit, sel plasma,
disertai dengan penyembuhan dan regenerasi epitel. Imunopatogenesis RAS
melibatkan mekanisme respons imun yang dimediasi sel. Hal ini melibatkan
aktivasi sel T dan TNF-α oleh makrofag dan sel mast. Inisiasi proses inflamasi
dapat diinduksi oleh adhesi TNF-α pada sel endotel dan efek kemotaksisnya
pada neutrofil. Pada lesi mukosa pasien RAS terjadi elevasi TNF-α dan IL-2
(sitokin proinflamasi), juga didampingi dengan adanya penurunan IL-10
(sitokin antiinflamasi). TNF-α berperan penting dalam imunopatogenesis RAS
dengan cara menstimulasi ekspresi MHC kelas I. Peningkatan MHC kelas 1
dan II sel epitel basal meningkat pada tahap pre-ulseratif dan ulseratif.
Ekspresi antigen MHC tidak terdeteksi selama proses penyembuhan, sehingga
kemungkinan MHC berkontribusi atas diseragnya jaringan lokal oleh sel T
sitotoksik (CD8+) selama fase ulseratif. Rendahnya ekspresi IL-10
mengindikasikan durasi ulser terjadi sudah berlangsung lama, karena IL-10
dipercaya berperan dalam perangsangan proliferasi epitel pada tahap
penyembuhan (Cui et al., 2016)
7. Diagnosis
Diagnosis dari RAS memiliki ciri pasien dengan rekuren ulser yang simetris,
bulat dan terbatas pada mukosa mulut serta sembuh spontan dengan tidak
disertai oleh tanda ataupun gejala-gejala lainnya. Pemeriksaan laboratorium
harus dilakukan untuk mengesampingkan kemungkinan adanya kelainan
darah (IDI, 2014).
8. Tatalaksana
Pengobatan yang dapat diberikan untuk mengatasi RAS adalah:
a. Larutan kumur chlorhexidine 0,2% untuk membersihkan rongga mulut.
Penggunaan sebanyak 3 kali setelah makan, masing-masing selama 1
menit (Slebioda et al., 2014).
b. Kortikosteroid topikal, seperti krim triamcinolone acetonide 0,1% in ora
base sebanyak 2 kali sehari setelah makan dan membersihkan rongga
mulut (Slebioda et al., 2014).
c. Konseling dan Edukasi Pasien. Pasien perlu menghindari trauma pada
mukosa mulut dan makanan atau zat dalam makanan yang berpotensi
menimbulkan SAR, misalnya: kripik, susu sapi, gluten, asam benzoat, dan
cuka (IDI, 2014).
9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dari RAS adalah bekas luka (scarring) dimana
kasus ini sangat langka (Thoppay, 2020).
10. Pencegahan
Pencegahan terhadap RAS dapat dilakukan dengan menghindari hal-hal yang
memicu RAS seperti trauma maupun diet (Thoppay, 2020).
11. Prognosis
Prognosis RAS menjadi semakin baik seiring bertambahnya usia (Thoppay,
2020).

B. Traumatic Ulcer
1. Pengertian
Adalah lesi ulkus pada mukosa atau jaringan lunak mulut yang disebabkan
oleh berbagai bentuk trauma. Trauma tersebut dapat berupa gigitan, iritasi gigi
tiruan, sikat gigi, iritan, dan sebagainya. Traumatic ulcer paling sering pada
mukosa bukal (42%), lidah (25%) dan bibir bawah (9%). Ulkus ini lebih
sering terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan (2,7:1)
(Mortazavi, Safi, Baharvand and Rahmani, 2016). Ulkus traumatic dapat akut
dan kronis.

2. Etiologi
Ulkus mukosa soliter disebabkan oleh trauma fisik/mekanik, suhu, atau kimia
pada mukosa sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan dan ulserasi.
a. Trauma fisik/mekanik. Contohnya cedera gigitan pada mukosa oral,
maloklusi, protesis gigi tidak tepat, sikat gigi, flossing berlebihan,
kebiasaan self-injury, dan tindik bibir.
b. Termal. Contohnya luka bakar termal akibat menelan makanan dan
minuman panas, instumen dental yang dipanaskan tidak sengaja mengenai
mukosa.
c. Kimiawi. Contohnya, mengunyah obat telan (aspirin, bifosfonat oral), obat
kumur dengan kandungan alcohol tinggi, hydrogen peroksida, fenol yang
digunakan terlalu sering.
3. Diagnosis
Pada anamnesis didapatkan riwayat trauma yang jelas sebelumnya. Biasanya
berupa ulser tunggal berbentuk oval dan cekung. Di bagian tengah ulkus
biasanya berwarna kuning-kelabu atau putih abu-abu dengan tepi eritema
(Bakar, 2018). Ulkus traumatic tidak didahului demam dan tidak ada
pembesaran kelenjar limfe regional.
Luka bakar listrik umumnya cukup luas, melibatkan bibir, dan sering
terjadi pada balita. Lesi awal tampak kehitaman dan kering. Dalam beberapa
hari, lesi akan mengelupas mungkin diikuti perdarahan.
Luka bakar akibat makanan dan minuman panas biasanya berukuran
kecil dan terlokalisir di mukosa palatum durum atau bibir, sering pada remaja
dan dewasa. Luka tersebut biasanya muncul sebagai area nyeri tekan dan
eritema yang berkembang menjadi ulkus dalam beberapa jam setelah cedera.
Perlu beberapa hari untuk sembuh tergantung pada luasnya cedera (Feagans
and Glick, 2015).

Gambar 2.4 Traumatic Ulcer di Lateral Lidah

Gambar 2.5 Traumatic Ulcer di Mukosa Palatum


4. Tatalaksana
a. Lesi berukuran kecil dan ringan akibat trauma termal atau kimiawi akan
sembuh sendiri setelah iritan dihilangkan.
b. Menghindari reinjury dengan memberikan edukasi penghindaran iritan
tertentu dan penggunaan obat yang benar.
c. Antibiotik mungkin diperlukan untuk mencegah infeksi sekunder jika luka
membutuhkan waktu beberapa minggu untuk sembuh (Feagans and Glick,
2015).
d. Ulkus yang nyeri diberi emolien fluocinonide atau triamcinolone
acetonide setelah makan dan sebelum tidur (Sivapathasundharam,
Sundararaman and Kannan, 2018).
e. Antiseptik kumur atau anestesi topical kumur (klorheksidin glukonat
0,2%, suspense tetrasiklin 2%, benzocaine borax gliserin) dapat ditambah
emolien untuk menutup ulkus (orabase).
f. Diet lunak untuk anak.
5. Prognosis
Nyeri pada traumatic ulcer normalnya akan menghilang dalam 3 hari, dan
pada banyak kasus akan sembuh dalam 10 hari (Mortazavi, Safi, Baharvand
and Rahmani, 2016).

C. Herpes Simplex
1. Definisi dan Etiologi
Infeksi Herpes Simpleks Virus 1 (HSV 1) pada rongga mulut merupakan
suatu penyakit yang diawali gejala prodromal yaitu demam diikuti munculnya
vesikel pada wajah, mukosa mulut, dan bibir. HSV 1 bersifat laten di dalam
tubuh dan dapat rekuren yang dipicu oleh paparan sinar matahari, stres
emosional, kondisi imunosupresi, kelainan hormonal dan trauma saraf.
Herpes virus 1 (HSV-1) merupakan prototype dari family α-
herpesvirus yang menginfeksi 60-80% orang di dunia. Herpes simplex virus-
1 (HSV-1) merupakan virus DNA yang besar yang secara primer
menyebabkan herpetic gingivostomatitis, penyakit mukokutaneus orofacial,
dan penyakit ocular dengan lesi rekuren umum terjadi pada wajah dan bibir
dan kurang umum terjadi pada intraoral. Terkadang kasus-kasus tersebut
dapat disebabkan oleh HSV 2 atau HSV 1 mungkin dapat didapatkan sebagai
infeksi primer pada genital. Infeksi Herpes simpleks virus 1 (HSV 1) intraoral
rekuren atau Recurrent Intraoral Herpes (RIH) merupakan infeks HSV 1
berulang yang ditandai adanya lepuh yang sakit dan gatal serta vesikel pada
mukosa oral. Lesi didahului rasa sakit, kesemutan, gatal, dimulai sebagai
makula yang cepat berubah menjadi papula, lalu vesikel selama sekitar 48
jam, kemudian menjadi ulser yang akan pecah menjadi ulser dan keropeng
dalam 72-96 jam serta sembuh tanpa jaringan parut. Lesi yang luas dapat
muncul pada pasien immunokompromis.
Infeksi HSV tipe I pada daerah labialis 80-90%, urogenital 10-30%,
herpetic whitlow pada usia< 20 tahun, dan neonatal 30%. Sedangkan HSV
tipe II di daerah labialis 10-20%, urogenital 70-90%, herpetic whitlow pada
usia> 20 tahun, dan neonatal 70%.
2. Transmisi
Infeksi HSV 1 disebabkan α-herpes virus 1 ditularkan melalui kontak dengan
air liur yang terinfeksi dan mengalami inkubasi selama 4-7 hari. HSV 1
ditularkan melalui kontak lansung oral-ke-oral dari orang yang terinfeksi.
Orang yang tidak bergejala dan tampak sehat juga mampu mennyebarkan
virus HSV ke orang lain, namun daya persebarannya tidak sebesar lesi aktif.
3. Patogenesis
Pada infeksi primer, HSV masuk melalui defek kecil pada kulit atau mukosa
dan bereplikasi lokal lalu menyebar melalui akson ke ganglia sensoris dan
terus bereplikasi. Dengan penyebaran sentrifugal oleh saraf-saraf lainnya
menginfeksi daerah yang lebih luas. Setelah infeksi primer HSV masuk dalam
masa laten di ganglia sensoris. Pada infeksi rekuren terjadi pengaktifan
kembali HSV oleh berbagai macam rangsangan (sinar UV, demam) sehingga
menyebabkan gejala klinis.
Infeksi HSV ada dua tahap, yaitu infeksi primer, dimana virus
menyerang ganglion saraf dan tahap kedua, dengan karakteristik kambuhnya
penyakit di tempat yang sama.
Pada infeksi primer kebanyakan tanpa gejala dan hanya dapat
dideteksi dengan kenanikan titer antibody IgG. Seperti kebanyakan infeksi
virus, keparahan penyakit meningkat seiring bertambahnya usia. Virus dapat
menyebar melalui udara via droplets, kontak langsung dengan lesi, atau
kontak dengan cairan yang mengandung virus seperti ludah. Gejala yang
timbul 3 sampai 7 hari atau lebih setelah kontak yaitu: kulit yang lembek
disertai nyeri, parestesia ringan, atau rasa terbakar akan timbul sebelum
terjadi lesi pada daerah yang terinfeksi. Nyeri lokal, pusing, rasa gatal, dan
demam adalah karakteristik gejala prodormal.
Vesikel pada infeksi primer HSV lebih banyak dan menyebar
dibandingkan infeksi yang rekuren. Setiap vesikel tersebut berukuran sama
besar, berlawanan dengan vesikel pada herpes zoster yang beragam
ukurannya. Mukosa membran pada daerah yang lesi mengeluarkan eksudat
yang dapat mengakibatkan terjadinya krusta. Lesi tersebut akan bertahan
selama 2 sampai 4 minggu kecuali terjadi infeksi sekunder dan akan sembuh
tanpa jaringan parut.
Virus akan bereplikasi di tempat infeksi primer lalu viron akan
ditransportasikan oleh saraf via retrograde axonal flow ke ganglia dorsal dan
masuk masa laten di ganglion. Trauma kulit lokal (misalnya paparan sinar
ultraviolet, abrasi) atau perubahan sistemik (misalnya menstruasi, kelelahan,
demam) akan mengaktifasi kembali virus tersebut yang akan berjalan turun
melalui saraf perifer ke tempat yang telah terinfeksi sehingga terjadi infeksi
rekuren. Gejala berupa rasa gatal atau terbakar terjadi selama 2 sampai 24 jam
dan dalam 12 jam lesi tersebut berubah dari kulit yang eritem menjadi papula
hingga terbentuk vesikel berbentuk kubah yang kemudian akan ruptur
menjadi erosi pada daerah mulut dan vagina atau erosi yang ditutupi oleh
krusta pada bibir dan kulit. Krusta tersebut akan meluruh dalam waktu sekitar
8 hari lalu kulit tersebut akan reepitelisasi dan berwarna merah muda.
Infeksi HSV dapat menyebar ke bagian kulit mana saja, misalnya:
mengenai jari-jari tangan (herpetic whitlow) terutama pada dokter gigi dan
perawat yang melakukan kontak kulit dengan penderita. Tenaga kesehatan
yang sering terpapar dengan sekresi oral merupakan orang yang paling sering
terinfeksi. Bisa juga mengenai para pegulat (herpes gladiatorum) maupun
olahraga lain yang melakukan kontak tubuh (misalnya rugby) yang dapat
menyebar ke seluruh anggota tim.
4. Manifestasi Klinis

Infeksi herpes simpleks virus berlangsung dalam tiga tahap: infeksi primer,
fase laten dan infeksi rekuren. Pada infeksi primer herpes simpleks tipe I
tempat predileksinya pada daerah mulut dan hidung pada usia anak-anak.
Sedangkan infeksi primer herpes simpleks virus tipe II tempat predileksinya
daerah pinggang ke bawah terutama daerah genital. Infeksi primer
berlangsung lebih lama dan lebih berat sekitar tiga minggu dan sering disertai
gejala sistemik, misalnya demam, malaise dan anoreksia. Kelainan klinis
yang dijumpai berupa vesikel berkelompok di atas kulit yang sembab dan
eritematosa, berisi cairan jernih dan menjadi seropurulen, dapat menjadi
krusta dan dapat mengalami ulserasi.

Pada fase laten penderita tidak ditemukan kelainan klinis, tetapi


herpes simpleks virus dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada
ganglion dorsalis.

Pada tahap infeksi rekuren herpes simpleks virus yang semula tidak
aktif di ganglia dorsalis menjadi aktif oleh mekanisme pacu (misalnya:
demam, infeksi, hubungan seksual) lalu mencapai kulit sehingga
menimbulkan gejala klinis yang lebih ringan dan berlangsung sekitar tujuh
sampai sepuluh hari disertai gejala prodormal lokal berupa rasa panas, gatal
dan nyeri. Infeksi rekuren dapat timbul pada tempat yang sama atau tempat
lain di sekitarnya.
Gambar 2.6 Gingivostomatitis Herpetika Primer

Gambar 2.7 Recurrent Herpes Simplex

5. Diagnosis
Demam, kelelahan, nyeri otot, dan iritabilitas sering kali terjadi. Berjumlah
hingga 10-50 ulkus kecil di area non-keratin yang sembuh dalam 10-14 hari.
Fase awal berhubungan dengan nyeri, rasa terbakar, kesemutan, atau
gatal yang terjadi di tempat infeksi sebelum luka muncul. Selanjutnya kulit
bibir tampak sudah tegang dan kering. Setelah sekitar satu hari, vesikula kecil
mulai terbentuk yang kemudian dapat berkumpul menjadi gelembung tunggal
yang lebih besar, menyebabkan area tersebut tampak eritematosa. Pada hari
ketiga kemungkinan terdapat letusan vesikula dan dalam beberapa hari kulit
akan berkeropeng, kering dan kekuningan. Di hari-hari berikutnya terbentuk
kerak yang akan lepas dengan sendirinya tanpa meninggalkan bekas kecuali,
dalam beberapa kasus berbentuk bercak merah tua.
Rasa sakit paling hebat yang disebabkan oleh luka ini terjadi pada
awalnya hingga membuat makan dan minum menjadi sulit. Luka bisa terjadi
di bibir, gusi, bagian depan lidah, bagian dalam pipi, tenggorokan, dan langit-
langit mulut. Mereka juga bisa menjulur ke bawah dagu dan leher. Gusi bisa
membengkak ringan dan merah serta berdarah. Kelenjar getah bening leher
sering membengkak dan menjadi nyeri. Pada orang di usia remaja dan 20-an,
herpes dapat menyebabkan sakit tenggorokan dengan bula dangkal dan
lapisan keabu-abuan pada amandel.
Pemerikasaan alergi, kultur virus, imunofluoresensi, biopsi kulit dan
reaksi berantai polimerase adalah satu-satunya cara untuk memastikan
diagnosis ini, diakibatkan oleh banyaknya penyakit lain yang memiliki
kondisi yang sama. Sehingga klinisi hanya menggunakan anamnesis serta
pemeriksaan vesikel untuk menegakkan diagnosis.
6. Tatalaksana
a. Oral hygiene
b. Simtomatik
Analgesik (ibuprofen dan paracetamol)dapat mengurangi
nyeri dan demam. Terapi anastesi topikal seperti
(prilocaine, lidocaine, benzocaine, atau tetracaine) dapat
mengurangi rasa kesemutan dan nyeri.
c. Antiviral
Seperti acyclovir, famciclovir dan valacyclovir berguna
untuk mempercepat penyembuhan dari infeksi virus.
Pengobatan dengan asiklovir topikal (krim Zovirax 5%)
atau penciclovir (krim Denavir 1%) akan mengurangi
waktu penyembuhan sekitar setengah hari dan mengurangi
rasa sakit yang terkait dengan lesi. Krim asiklovir harus
dioleskan lima kali sehari selama 4 hari, dan krim
penciclovir harus dioleskan setiap dua jam sambil terjaga
selama 4 hari. Krim yang mengandung 5% asiklovir dan
steroid topikal (hidrokortison) yang disebut Xerese juga
tersedia.
Atau dengan sedian oral Asiklovir, 400 mg
(miligram) diminum tiga kali sehari selama 10 hari atau
sampai lesi mengeras, Valacyclovir, 2.000 mg secara oral
setiap 12 jam selama 1 hari, Famciclovir, 250 mg diminum
tiga kali sehari selama 7-10 hari

7. Komplikasi
Komplikasi yang lebih serius adalah infeksi mata, atau herpes okular (herpes
keratitis). Jika tidak diobati, herpes mata dapat menyebabkan kerusakan serius
atau bahkan kebutaan. Herpes simpleks dapat menginfeksi otak, menyebabkan
ensefalitis namun sangat jarang terjadi. Pada orang dengan gangguan sistem
kekebalan, seperti orang dengan infeksi HIV atau mereka yang kemoterapi,
penyebaran herpes yang parah dapat terjadi. Herpes oral bisa menyebar ke
sebagian besar wajah bagian bawah atau menyerang organ tubuh. Obat
antivirus digunakan untuk mencegah atau mengurangi serangan semacam itu.
8. Prognosis
Saat ini, belum ada obat atau vaksin untuk virus herpes simpleks.
Menghindari faktor risiko, seperti sengatan matahari dan stres dapat
membantu mencegah wabah tambahan. Herpes oral biasanya akan sembuh
dalam 2 minggu tanpa pengobatan. Namun, ada pengobatan yang tersedia
digunakan untuk membantu mengurangi waktu penyembuhan, mengurangi
rasa sakit, dan dalam kasus tertentu, menekan kambuhnya virus.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Ulkus pada mukosa mulut memiliki bentuk beragam dan faktor penyebab
berbeda-beda. Penyebab terjadinya ulkus mulut dapat dikarenakan faktor infeksi,
imun, trauma, atau neoplasma. Anamnesis dan pemeriksaan fisik secara terarah
diperlukan untuk mendiagnosis dan memberikan terapi lebih dini. Sehingga,
dapat menurunkan tingkat keparahan berlanjut. Ulkus yang berlangsung dalam
durasi lama atau curiga penyakit spesifik dapat dipertimbangankan pemeriksaan
penunjang sehingga tatalaksana terbaik dapat segera diberikan. Selain itu,
penting untuk mengedukasi terkait kebersihan gigi dan mulut dan rutin merawat
gigi di fasilitas kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Azizah F, Sufiawati I, Satari MH (2019) Pola dan Terapi Infeksi Herpes Simpleks
Virus-1 pada Rongga Mulut di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode
2013-2017. Padjadjaran Journal of Dentistry. 3(1): 57 – 63

Chi CC (2015) Herpes labialis. The British Medical Journal. 10: 1704 – 1418

Cui, R.Z., Bruce, A.J., Rogers, R.S., 2016. Recurrent aphthous stomatitis. Clinics in
Dermatology 34, 475–481. https://doi.org/10.1016/j.clindermatol.2016.02.020

Bakar, A., 2018. Ulkus Traumatikus Disebabkan Trauma Mekanik dari Sayap Gigi
Tiruan Lengkap (Laporan Kasus). B-Dent, Jurnal Kedokteran Gigi
Universitas Baiturrahmah, 1(2), pp.112-117.

Edgar, N. R., Saleh, D., & Miller, R. A. (2017). Recurrent Aphthous Stomatitis: A
Review. The Journal of clinical and aesthetic dermatology, 10(3), 26–36.

Fatahzadeh M, Schwartz RA (2007). Human herpes simplex virus infections:


Epidemiology, pathogenesis, symptomatology, diagnosis, and management.
Journal of the American Academy of Dermatology. 57(5): 737–763

Feagans, W. and Glick, M., 2015. Burket's Oral Medicine. 12th ed. USA: People's
Medical Publishing House.

Frisch, S., & Guo, A. M. (2013). Diagnostic Methods and Management Strategies of


Herpes Simplex and Herpes Zoster Infections. Clinics in Geriatric Medicine.
29(2), 501–526. 
Ikatan Dokter Indonesia. (2014). Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer, Edisi Revisi

Mortazavi, H., Safi, Y., Baharvand, M. and Rahmani, S., 2016. Diagnostic Features
of Common Oral Ulcerative Lesions: An Updated Decision
Tree. International Journal of Dentistry, 2016, pp.1-14.

Neville Damm, Allen, and Bouquot. Oral and Maxillofacial Pathology ThirdEdition.
China: Elsevier Inc. 2009.

Raborn GW, Grace MGA (2003) Recurrent Herpes Simplex Labialis: Selected
Therapeutic Options. Journal of the Canadian Dental Association. 69(8): 498
– 503

Shafer W. G., Hine, M. K., & Levy, B. M.Shafer’s Textbook Of Oral Pathology,6/E.
India: Elsevier. 2009.

Singh, M., Goodyear, H. M., & Breuer, J. (2019). Herpes Simplex Virus Infections.
Harper’s Textbook of Pediatric Dermatology, 598–
611. doi:10.1002/9781119142812.ch50

Sivapathasundharam, B., Sundararaman, P. and Kannan, K., 2018. Oral Ulcers - A


Review. Journal of Dentistry & Oral Disorders, 4(4).

Ślebioda, Z., Szponar, E., Kowalska, A. (2014). Etiopathogenesis of recurrent


aphthous stomatitis and the role of immunologic aspects: Literature review.
Archivum Immunologiae et Therapiae Experimentalis, 62(3): 205-15.

Tarakji, B., Gazal, G., Al-Maweri, S. A., Azzeghaiby, S. N., & Alaizari, N. (2015).
Guideline for the diagnosis and treatment of recurrent aphthous stomatitis for
dental practitioners. Journal of international oral health: JIOH, 7(5), 74–80.
Thoppay, J. R. (2020). Aphthous Ulcers Follow-up.
https://emedicine.medscape.com/article/867080-followup#e2 [diakses Agustus
2020].

Wallace, A., Rogers, H. J., Hughes, S. C., et al. (2015). Management of recurrent
aphthous stomatitis in children. Oral Medicine, 42(6): 564-72.

WHO (2020) Herpex Simplex Virus. Available at: https://www.who.int/news-


room/fact-sheets/detail/herpes-simplex-virus [Diakses pada 2 September 2020]

Yasui, K., Kurata, T., Yashiro, M., et al. (2010). The effect of ascorbate on minor
recurrent aphthous stomatitis. Acta Paediatrica, 99(3): 442-5.

Yuliana, Y., Winias, S., Hendarti, H. T., Soebadi, B. (2019). Reccurent trauma-
induced aphthous stomatitis in adjustment disorder patients. Dental Journal:
Majalah Kedokteran Gigi, 52(3): 163-7.

Anda mungkin juga menyukai