Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH

GLOSSITIS DAN KORELASINYA DENGAN


PENYAKIT SISTEMIK

DISUSUN OLEH :

M. Fadiliza Abinandra G991902035


Astarina Indah Apsari G99172050
Rahadian Arista D. G99181050
Fauziah Nur Sabrina G99181030
M Sandhia Mahardhika P. G991902036
Nabila Aushaf P. G991906024
Periode : 19 Agustus – 1 September 2019

PEMBIMBING :
Christianie, drg., Sp.Perio

KEPANITERAAN KLINIK / PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Berbagai gangguan sistemik telah dikaitkan dengan perubahan rongga


mulut, baik yang spesifik maupun tidak spesifik, dalam banyak keadaan rongga
mulut menjadi area diagnostik yang penting (Islam et al., 2011; Reamy et al.,
2010). Lidah merupakan organ dalam rongga mulut penting pada tubuh manusia
yang memiliki banyak fungsi. Secara khusus, pemeriksaan yang cermat dapat
mengungkapkan tanda dan gejala gangguan metabolisme, endokrinopati, penyakit
pencernaan, hematologi, autoimun, dan patologi neoplastik (Neville et al., 2008).
Glossitis merupakan salah satu kelainan pada lidah berupa perubahan
penampilan pada permukaan lidah akibat suatu peradangan akut ataupun kronis
yang mengakibatkan lidah membengkak, berubah warna dan tekstur permukaan.
Kondisi ini dapat menyebabkan papilla di permukaan lidah menghilang. Papilla
akan berwarna lebih putih dari daerah yang dikelilinginya. Penyebabnya tidak
diketahui, tetapi diperkirakan stress emosional, defisiensi nutrisi dan herediter.
Keadaan ini biasanya terbatas pada dorsal dan tepi lateral dua pertiga anterior
lidah dan hanya mengenai papilla filiformis sedangkan papilla fungiformis tetap
baik. Papilla berisi ribuan sensor kecil yang disebut taste buds. Radang parah
yang mengakibatkan pembengkakan, kemerahan, dan nyeri, dapat mengubah cara
penderita makan ataupun berbicara (Langlais, 2001).
Glositis atau yang biasa disebut lidah geografik adalah umum dan
mengenai kira – kira 1-2% penduduk. Paling sering mengenai laki-laki dan orang-
orang dewasa usia muda sampai pertengahan. Keadaan tersebut dapat timbul tiba-
tiba dan menetap selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun.Dapat terlihat hilang
spontan dan kambuh kembali.Pada kasus yang berat, glossitis dapat menyebabkan
tersumbatnya jalan nafas ketika lidah yang membengkak cukup parah sehingga
membutuhkan penanganan segera (Langlais, 2001).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Glositis merupakan peradangan pada lidah yang ditandai
dengan terjadinya deskuamasi papila filiformis sehingga menghasilkan
daerah kemerahan yang halus dan mengkilat. Glositis bisa terjadi akut
atau kronis. Penyakit ini dapat mencerminkan kondisi dari lidah itu
sendiri atau merupakan cerminan dari penyakit tubuh yang gejalanya
muncul pada lidah. Keadaan ini dapat menyerang pada semua
tingkatan usia. Kelainan ini sering menyerang pada laki- laki
dibandingkan pada wanita.

II. EPIDEMIOLOGI
Glossitis atau yang biasa disebut lidah geografik adalah umum
dan mengenai kira – kira 1-2% penduduk dunia. Paling sering
mengenai wanita dan orang-orang dewasa usia muda sampai
pertengahan

III. ANATOMI
Lidah merupakan massa jaringan ikat yang tersusun oleh otot
lurik yang diliputi oleh membran mukosa. Membran mukosa melekat
erat pada otot karena jaringan penyambung lamina propia menembus
ke dalam ruang-ruang antar berkas-berkas otot. Lidah merupakan
bagian tubuh penting untuk indra pengecap yang terdapat
kemoreseptor untuk merasakan respon rasa asin, asam, pahit dan rasa
manis. Tiap rasa pada zat yang masuk ke dalam rongga mulut akan
direspon oleh lidah di tempat yang berbeda-beda.
Lidah sebagian besar terdiri dari dua kelompok otot yaitu otot
intrinsik dan ektrinsik. Otot intrinsik lidah melakukan semua gerakan
halus, sementara otot ektrinsik mengaitkan lidah pada bagian-
bagian sekitarnya serta melaksanakan gerakan-gerakan kasar yang
sangat penting pada saat mengunyah dan menelan. Lidah mengaduk
makanan, menekannya pada langit-langit dan gigi dan akhirnya
mendorongnya masuk faring. Lidah terletak pada dasar mulut,
sementara pembuluh darah dan urat saraf masuk dan keluar pada
akarnya. Ujung serta pinggiran lidah bersentuhan dengan gigi-gigi
bawah, sementara dorsum merupakan permukaan melengkung pada
bagian atas lidah.

Gambar 1. Anatomi Lidah


IV. ETIOLOGI
Penyebab glositis dapat bermacam-macam, baik lokal maupun
sistemik.
1. Lokal
a. Infeksi (streptococcal, candidiasis, TB, HSV, EBV)
b. Trauma mekanis (luka bakar)
c. Iritasi lokal (alkohol, tembakau, makanan pedas, permen
berlebihan)
d. Mulut kering karena Sjogren syndrome
2. Sistemik
a. Malnutrisi (kurang asupan vitamin B12, niasin, riboflavin,
asam folat)
b. Anemia (kekurangan Fe)
c. Faktor hormonal
d. Penyakit kulit (lichenplanus, erythema multiforme, syphilis,
lesi apthous)
e. HIV (candidiasis, HSV, kehilangan papillae)
f. Obat lanzoprazole, amoxicillin, metronidazole.
Faktor risiko :
1. Seorang pecandu alcohol
2. Seorang perokok
3. Memiliki riwayat keluarga menderita glossitis
4. Mengunyah tembakau
5. Sebelumnya ada riwayat trauma gigi

Kadangkala penyebab dari glossitis ini adalah keturunan.


Suatu pemeriksaan yang mendalam merupakan hal yang perlu
dilakukan guna untuk mendapatkan penyebab dari glossitis ini
secara pasti. Kadangkala bila penyebabnya tidak jelas dan tidak
ada kemajuan setelah dilakukan perawatan, maka perlu dilakukan
biopsi. Pada beberapa kasus, glositis akan menyembuh pada pasien
dengan rawat jalan. Rawat inap diperlukan bila pembengkakan
pada lidah ini membesar dan menghalangi jalan nafas (Taqwa,
2009).

V. KLASIFIKASI
1. Idiopathic Glossitis
Inflamasi pada membran mukosa dan otot lidah secara
keseluruhan.
2. Atrophic Glossitis (Hunter’s Glossitis)
Ditandai dengan kondisi lidah yang kehilangan rasa karena
degenerasi ujung papil. Perasaan lidah terbakar yang menyebar
ke bagian mulut lain yang biasanya dipicu oleh adanya ulserasi.
Lidah terlihat licin dan mengkilat baik seluruh bagian lidah
maupun hanya sebagian kecil. Penyebab yang paling sering
biasanya adalah kekurangan zat besi. Jadi banyak didapatkan
pada penderita anemia.

Gambar 2. Atropic glossitis


3. Herpetic Geometric Glossitis
Terdapat retkan pada dorsum lidah yang bercabang- cabang.
Gambar 3. Herpetic Geometric Glossitis
4. Benign Migratory Glossitis
Ditandai dengan eritema yang dikelilingi garis putih
serpiginosa dan hiperkeratotik.

Gambar 4. Benign Migratory Glossitis


5. Median Rhomboid Glossitis
Ditandai dengan kemerahan dan hilangnya papillae di bagian
dorsum lidah di garis tengah di depan papillae sirkumvalata
(Ghabanchi, 2011).
Gambar 5. Median Rhomboid Glossitis

VI. MANIFESTASI KLINIS


Tanda dan gejala dari glossitis ini bervariasi tergantung penyebab
yang mendasari. Tanda dasar kelainan ini adalah bahwa lidah menjadi
berubah warnanya menjadi pucat atau memerah, terasa nyeri, bengkak,
permukaan lidah terlihat halus dan dapat ditemukan beberapa ulserasi
pada lidah. Pasien dengan glossitis biasanya akan merasakan rasa
terbakar pada lidah. Pasien juga biasanya akan merasakan rasa tidak
nyaman yang dirasakan pada lidah. Pada pemeriksaan lidah akan
terlihat eritema, terutama pada daerah dorsum dan seringkali juga
menyebar ke daerah lateral pada lidah. Pada daerah yang mengalami
eritema, struktur lidah normal tidak terlihat, yaitu dengan hilangnya
papil filiformis dan atrofi pada mukosa. Mengitari daerah eritema
terdapat batas yang jelas, hiperkeratosis, dengan garis serpiginous
berwarna putih-kuning tidak teratur (Dennis et. al., 2012).

VII. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan penunjang Dari anamnesis, dapat ditemukan keluhan lidah
bengkak, panas, dan nyeri. Keluhan dapat juga disertai gangguan
makan dan menelan. Pada pemeriksaan ditemukan permukaan lidah
terlihat halus, dapat ditemukan ulserasi, bengkak serta adanya
perubahan warna lidah, pucat pada penderita anemia pernisiosa dan
berwarna merah gelap bila penyebab glossitis adalah kekurangan
vitamin B yang lain. Penyebab glossitis secara pasti dicari melalui
pemeriksaan yang mendalam, seperti biopsi, tes untuk defisiensi B12,
profil kimia darah, kikisan KOH, kultur lesi dan smear bila terdapat
indikasi (Treister dan Bruch, 2010).
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah
swab/hapusan mulut untuk melihat infeksi jamur candida, pemeriksaan
darah untuk mengidentfikasi kekurangan zat besi, vitamin B12, asam
folat dan kadar glukosa darah, dan tes alergi.

IX. DIAGNOSIS BANDING


Lesi pada lidah memiliki diagnosa banding yang sangat luas yang
berkisar dari proses benigna yang idiopatik sampai infeksi, kanker dan
kelainan infiltratif. Bagaimanapun, lesi lidah yang terlokalisasi dan
non-sistemik lebih sering dijumpai. Penelitian mengenai kelainan lidah
telah dilakukan di luar negeri seperti Iran, Jordania, Israel, Hungaria,
Turki, India dan Malaysia. Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan di negara-negara tersebut, kelainan-kelainan lidah yang
paling sering dijumpai pada pasien berupa hairy tongue, coated
tongue, fissured tongue, depapilated tongue, geographic tongue.

Gambar VI. Perbandingan Gambaran Klinis dan Kemungkinan


Keterlibatan Sistemik pada Berbagai Lesi Lidah yang Sering
Ditemukan (Langlais, 2015)
X. PROGNOSIS
Dalam kebanyakan kasus, glositis hilang dengan waktu atau
perawatan dan pulih dengan penuh. Perawatan mungkin akan berhasil
dengan lebih baik jika pasien menghindari makanan yang mengiritasi
lidah. Mempraktikkan kebersihan mulut yang tepat juga dapat
membantu mengurangi atau mencegah masalah.
Dalam kasus di mana lidah sangat bengkak dan mulai menghalangi
saluran udara, seseorang harus mencari layanan medis darurat karena
pembengkakan parah dapat menunjukkan kondisi mendasar yang
serius.

XI. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi peradangan.
Pengobatan glositis tergantung pada penyebabnya. Antibiotik
digunakan untuk pengobatan infeksi bakteri. Bila penyebabnya adalah
defisiensi besi, maka diperlukan supplement yang memadai yaitu harus
diberikan zat besi yang merupakan ciri defisiensi utama dari glossitis
ini. Penatalaksanaan pembengkakan dan rasa tidak nyaman di mulut
dilakukan dengan pemberian obat-obatan secara oral. Obat kumur
yaitu campuran setengah teh baking soda dan dicampur dengan air
hangat akan membantu keadaan ini. Bila pembengkakan dirasakan
parah, bisa diberikan kortikosteroid. Topikal kortikosteroid juga
mungkin berguna untuk penggunaan sesekali, misalnya triamcinolone
dalam pasta gigi yang diterapkan beberapa kali sehari ketika
diperlukan. Kebersihan mulut yang baik sangat penting. Hindari iritasi
seperti tembakau, panas, pedas makanan dan alkohol (Langlais, 2015)

XII. GLOSSITIS DENGAN PENYAKIT SISTEMIK


Penyakit lidah bisa merupakan refleksi dari perubahan kondisi
sistemik, atau juga menjadi bentuk awal patologi lokal dan menuju
keparahan (misalnya, karsinoma). Penyakit lidah yang paling umum
dijumpai akibat kondisi sistemik adalah median rhomboid glossitis,
glositis atrofi, lidah pecah-pecah, lidah geografis, papilloma lidah, dan
leukoplakia dengan kemungkinan malignansi.
Berikut adalah beberapa contoh kaitan glossitis dengan penyakit
sistemik:

1. Glossitis dengan Penyakit Celiac


Penyakit celiac merupakan penyakit enteropati
proksimal terkait sistem imun yang bersifat reversibel. Penyakit
ini terjadi karena interaksi antara diet yang mengandung gluten
dengan sistem imun di usus. Penyakit celiac berhubungan
dengan Human Leukocyte Antigen (HLA)-DQ2 dan HLA-DQ8.
HLA-DQ2 ditemukan pada hampir >95% pasien dengan
penyakit celiac di Eropa utara, sedangkan sisanya pembawa
HLADQ.
Penyakit celiac memiliki manifestasi klinis yang
beragam dan dapat terjadi pada berbagai usia. Manifestasi klinis
penyakit celiac meliputi gejala saluran cerna, gejala di luar
saluran cerna, atau tanpa gejala. Gejala klasik yang berhubungan
dengan saluran cerna di antaranya yaitu diare, steatorea, dan
penurunan berat badan karena malabsorbsi. Sekitar 50% pasien
penyakit celiac menunjukkan gejala di luar saluran cerna atau
gejala atipikal seperti anemia, osteoporosis, dermatitis
herpetiformis, gejala neurologi, dan hipoplasia enamel gigi.
a. Epidemiologi
Penyakit celiac umumnya ditemukan pada anak-
anak dengan gejala berat berupa diare kronik, dstensi
abdomen dan gagal tumbuh. Penyakit ini juga banyak
ditemukan di negara berkembang, karena pola diet yang
ada di masyarakat.
b. Patofisiologi Penyakit Celiac
Penyakit celiac merupakan kelainan inflamasi
dengan gambaran autoimun yang memengaruhi individu
yang memiliki predisposisi genetik. Penyakit ini dipicu
oleh makanan yang mengandung gluten dan protein
lainnya yang ditemukan pada barley dan gandum hitam.
Interaksi antara faktor genetik dan lingkungan
menyebabkan hilangnya toleransi terhadap gluten dan
berkembangnya lesi di usus halus. Hal tersebut ditandai
dengan meningkatnya jumlah limfosit pada epitel dan
lamina propria, hilangnya vilus usus halus, destruksi sel
epitel, remodelling mukosa, dan munculnya autoantibodi
terhadap enzim tissue transglutaminase type 2 (tTG2).
Lesi pada usus halus yang mengalami inflamasi
akan membaik jika dilakukan diet bebas gluten. Pasien
yang memiliki penyakit celiac juga ditemukan memiliki
perubahan lainnya yang memengaruhi proses pencernaan
pada lumen usus halus. Perubahan tersebut terjadi
melalui aksi langsung peptida gluten pada epitel dan
protein transport gluten yang melintasi epitel menuju
lamina propria di mukosa.
Respons imun yang tidak tepat terhadap protein
gluten ditemukan pada penyakit celiac yang melibatkan
sistem imun alamiah dan adaptif. Elemen kunci pada
patogenesis penyakit celiac adalah aktivasi sel T CD4
pada lamina propria yang ada di mukosa setelah
pengenalan terhadap ikatan antara TG2-deamidated
gluten peptides dengan molekul major histocompatibility
complex class II (MHC-II) yang disebut HLA-II pada
manusia. Kerja TG2 meliputi transformasi beberapa
residu glutamin menjadi asam glutamat, menyebabkan
pajanan muatan negatif dan meningkatnya afinitas antara
molekul HLA-DQ2 dan atau HLA-DQ8 dengan fragmen
peptida yang resisten terhadap enzim pencernaan yang
bersifat proteolitik. Aktivasi sel T CD4 memicu respons
sitokin T helper (Th)-1 pro inflamasi yang didominasi
interferon (IFN)-ɤ, sitokin lainnya seperti tumor necrosis
factor (TNF)-α, interleukin (IL)-18, dan IL21.
Berdasarkan hal tersebut, lesi yang terjadi di mukosa
proksimal usus halus dapat menyebabkan malabsorbsi
dan menurunnya ambilan nutrisi. Manifestasi klinik
bervariasi, tergantung derajat atrofi mukosa.
Aktivasi respons sel T CD4 spesifik terhadap
gluten (sistem imun adaptif) tidak cukup kuat untuk
memicu lesi mukosa yang khas untuk penyakit celiac.
Beberapa peptida gluten seperti α-gliadin p31-43 dan
p31-49 menginduksi perubahan sistem imun alamiah
melalui aksi langsung pada epitel. Hal ini terjadi melalui
peningkatan ekspresi IL15, cyclooxygenase (COX)-2,
CD25, CD83 yang merupakan penanda aktivasi sel
mononuklear di lamina propria. Pada saat yang
bersamaan, sel epitel meningkatkan ekspresi dari ligan
MIC dan HLA-E. Kerusakan epitel menyebabkan
terjadinya peningkatan permeabilitas usus halus yang
selanjutnya menyebabkan terjadinya malabsorbsi.
c. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dari penyakit celiac dapat
berwujud beragam gejala. Manifestasi saluran cerna
biasanya berupa diare kronik, nyeri perut, distensi, dan
gagal tumbuh atau penurunan berat badan. Sedangkan
manifestasi ektraintestinal dapat berupa pubertas yang
terhambat, anemia defisiensi besi, ulkus aftosa di mulut.
Penderita penyakit celiac juga sering mengalami
defisiensi nutrisi, terutama zat besi, vitamin D, asam
folat, vitamin B12, vitamin B6, dan zinc. Selain itu juga
dapat ditemui penyakit autoimun seperti penyakit tiroid
autoimun dan diabetes melitus tipe 1.

d. Diagnosis Penyakit Celiac


Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis penyakit
celiac. Selama dilakukan pemeriksaan tersebut, pasien
harus menjalani diet yang mengandung gluten.

Beberapa uji serologi dapat digunakan sebagai uji


awal pada pasien dengan kecurigaan penyakit celiac.
Karena sensitivitas dan spesifisitasnya yang rendah,
pemeriksaan antibodi antigliadin tidak lagi
direkomendasikan sebagai uji awal. Sementara itu, uji
endomysial antibody (EMA) yang memiliki sensitivitas
dan spesifisitas yang lebih tinggi harganya lebih mahal.
Pemeriksaan tissue transglutaminase (tTG) juga memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi
Pemeriksaan endoskopi pada celiac menurut
beberapa penelitian kurang sensitif dan spesifik, namun
terdapat gambaran endoskopi khas pada celiac, seperti:
1.Fisura di sepanjang lipatan dan pola mosaik dari
mukosa.
2.Lipatan yang semakin mendatar.
3.Penurunan jumlah lipatan, ukuran dan atau
hilangnya lipatan
dengan insuflasi maksimum.
4.Hilangnya vilus usus halus.
5.Gambaran granular dari bulbus deodenum.
Selanjutnya dapat dilakukan biopsy histopatologi.
Pemeriksaan ini merupakan gold standard dari
penegakan diagnosis penyakit celiac. Kombinasi
abnormalitas vilus yang terlihat dari biopsi usus halus
dengan uji serologi yang positif merupakan kriteria
standar diagnosis untuk penyakit celiac. Klasifikasi
Marsh20 yang dimodifikasi mengenai abnormalitas vilus
saat ini telah digunakan untuk menilai derajat keparahan
atrofi vilus dalam praktik klinik. Perubahan histologi
yang terlihat pada penyakit celiac dianggap khas, namun
bukan patognomonik. Sebab, perubahan tersebut dapat
juga ditemukan pada kondisi lainnya seperti infeksi
parasit, kondisi imunodefisiensi, enteropati HIV, dan
enteropati yang dipicu karena alergi obat seperti susu
sapi.

Gambar 7. Histopatologi Usus (kiri normal, kanan pada celiac


disease).
e. Penatalaksanaan celiac disease
Diet bebas gluten merupakan terapi efektif penyakit
celiac.gluten sendiri biasanya terdapat pada gandum. Diet
bebas gluten didefinisikan sebagai diet dengan
mengkonsumsi kadar gluten terendah dan tidak berbahaya
sekita < 10mg per hari.
Diet bebas gluten akan memperbaiki absorbsi nutrisi
pada tubuh penderitanya. Pada perempuan yang mengalami
penyakit celiac biasanya juga menglami infertilitas
sehingga diperlukan diet bebas gluten disertai konsumsi
asupan vitamin.

f. Hubungan celiac disease dengan terjadinya atrophic


glossitis

penyakit
malabsorbsi
celiac

depapilasi defisiensi nutrisi


dan vitamin (zat
dan atrofi besi, zinc, vit B12
papil lidah dan asam folat)

atrhophic
glositis

Pasien dengan penyakit celiac mengalami kerusakan


epitel usus yang menyebabkan terjadinya peningkatan
permeabilitas usus halus yang selanjutnya menyebabkan
terjadinya malabsorbsi. Dampak lanjutannya adalah pasien
akan cenderung mengalami defisiensi nutrisi terutama zat
besi, vitamin D, asam folat, vitamin B12, vitamin B6, dan
zinc.
Defisiensi besi telah dilaporkan terjadi pada hampir
50% pasien dewasa yang baru didiagnosis penyakit celiac.
Diet bebas gluten akan menyebabkan pemulihan anemia
defisiensi besi dalam waktu 6-12 bulan, yang mana
defisiensi zinc akan mengalami perbaikan dalam hitungan
minggu. Beberapa pasien dengan defisiensi asam folat dan
vitamin B12 akan mengalami anemia makrositik yang akan
sulit dideteksi pada pasien yang juga mengalami anemia
defisiensi besi.
Kondisi defisiensi besi dan zinc dapat menyebabkan
depapilasi dan atrofi pada papil lidah, sehingga
menyebabkan lidah menjadi terlihat halus dan berkilau,
disertai dengan pucat pada bibir, yang disebut dengan
atrophic glossitis.
Studi kasus dilakukan oleh Erriu et al (2012) telah
menunjukkan glosititis atrofi sebagai salah satu tanda klinis
untuk diagnosis penyakit celiac. Secara umum, telah
digambarkan bagaimana penyakit lidah bisa menjadi
cermin untuk kondisi sistemik dan tidak hanya untuk
beberapa perubahan patologi local saja. Secara khusus,
telah ditunjukkan bagaimana mulai dari glossitis atrofi,
dokter gigi yang bekerja sama dengan ahli gastroenterologi,
dapat memiliki peran mendasar dalam diagnosis penyakit
celiac.

2. Glossitis dengan SLE


a. Lesi pada SLE
Pasien dengan SLE dipengarhuni oleh berbagai
gangguan orofacial termasuk ulserasi nonspesifik, penyakit
kelenjar saliva dan gangguan sendi temporomandibular.
Berbagai lesi oral termasuk ulserasi, angular cheilitis,
mucositis dan glositis dapat terjadi pada pasien SLE sekitar
75-87,5%. Lesi oral SLE yang disebabkan oleh vaskulitis
dapat muncul sebagai ulserasi atau peradangan mukosa.
Berdasarkan kriteria ACR 1997, lesi ulser pada
mulut dan nasofaring dimasukkan sebagai salah satu kriteria
dalam penegakkan diagnosis terhadap penyakit SLE. lesi
ulser pada SLE berukuran lebih dari 1 cm, dengan tepi
ireguler dan berbatas jelas dengan dikelilingi halo merah
disekitar lesi ulser dan biasanya sulit sembuh. Lesi ini dapat
timbul sebelum, saat atau pun sesudah lesi kulit timbul.
Mukosa bukal merupakan daerah intraoral yang
paling sering terkena, diikuti oleh lidah, palatum, dan gusi
yang timbul. Lesi pada mukosa mulut, berbeda dengan yang
ada pada area kulit dan bibir. Lesi biasanya berupa ulserasi.
Lesi tersebut asimptomatik dan bila semakin parah biasanya
lesi ulser akan menimbulkan rasa sakit dan sore mouth.
Ulserasi pada SLE umumnya akan muncul pada saat SLE
tersebut dalam keadaan aktif (flare up). Penyembuhan lesi
ulseratif cenderung membentuk suatu jaringan parut dan
fibrosis.

Gambar 8. Lesi ulser oral yang dikelilingi halo merah Odapus


Gambaran klinis dari lupus eritematousus di
rongga mulut memiliki banyak istilah seperti oral discoid
lesion, chronis plaque, lupus cheilitis, acute ulcer, oral
ulcer, red ulcer, ulcerative plaque, keratotic lesion dan
white keratotic plaque. Gambaran klasiknya adalah oral
discoid lesion yang dikarakteristikkan dengan daerah eritem,
atropi atau ulserasi yang dikelilingi daerah radiating striae
(Lelyana, 2015).

Gambar 9. Lesi mulut discoid lupus erythematosus


(Lelyana, 2015)

Gambar 10. Lesi kronis pada lidah penderita SLE (Lelyana,


2015)

b. Terapi SLE dan Efek Samping Sistemik dan Oral


Pada dasarnya, terapi pada SLE bertujuan untuk
mempertahankan keadaan remisi dan mencegah kerusakan
organ dengan mengurangi inflamasi dan mempertahankan
fungsi normal tubuh. Pemberian obat pada Odapus
bergantung pada keterlibatan organ yang terkena, dan tingkat
keparahan dari organ yang terserang SLE. Berikut
merupakan daftar obat yang digunakan dalam terapi SLE:

Tabel. Obat- obatan dalam terapi SLE


Jenis Obat- Nama Efek Samping
obatan dagang
Hormon Sistemik: moon face, hipertensi,
Kortikosteroid Inflason, depresi, osteoporosis, gangguan
Prednisone Eltazone elektrolit Na dan K, obesitas,
Prednisolone Orasone ulkus gaster dan duodenal,
Methylprednisolon Medrol, pertumbuhan terhambat, jerawat,
Lameson proses penyembuhan luka
menjadi lama, ecchimosis dan
petechie, katarak

Oral: Kandidiasis, infeksi pada


rongga oral, gangguan
penyembuhan

Salisilat
Aspilet, Sistemik,Oral: perdarahan
Aspirin
Ascardia berkepanjangan

NSAIDs Sistemik: gangguan hati, dan


Motrin ginjal
Ibuprofen
Nalfon
Fenoprofen
Indocin
Indomethacin Oral: perdarahan berkepanjangan,
Naprosyn
Naproxen lesi ulserasi.
Meclome
Meclofenamate
n Feldene
Piroxicam
Clinoril
Sulindax
Tolectin
Tolmetin
Diclovenac Voltaren
Flurbiprofen Ansaid
Diflunisal Dolobid
Etodolac Lodine
Nabumetone Relafen

Antimalaria Sistemik: kerusakan


Hidroxychloroquine Plaquenil retina,kerontokan rambut,kulit
Chloroquine Aralen kering, perut kembung, kram,
mual, muntah, diare, sakit kepala,
sakit otot.

Oral: infeksi, penyembuhan


lambat, perdarahan
berkepanjangan,
median rhomboid glossitis

Immunosuppressan
Azzathioprine Imuran Sistemik: mual, muntah, rambut
Cyclophophamide Cytoxan rontok, uremia, serta anemia,
Methotrexate Rheumatr rasa kantuk, hipertensi,
ex perdarahan berkepanjangan,
pneumonia, Infeksi Herpes
Zoster.

Oral: infeksi meningkat,


penyembuhan lambat, perdarahan
berkepanjangan, infeksi herpes
zoster, kandidiasis
Penggunaan terapi kortikosteroid jangka panjang pada
Odapus, kadang menyebabkan munculnya kandidiasis. Kandidiasis
adalah penyakit infeksi jamur yang tersering pada manusia, yang
terutama disebabkan oleh Candida albicans dan salah satu faktor
predisposisinya adalah karena menurunnya sistem imun Odapus serta
kebersihan mulut yang kurang baik yang diakibatkan oleh penurunan
produksi saliva (hiposalivasi) sebagai dampak penggunaan
kortikosteroid. Pada Odapus, akibat mengkonsumsi kortikosteroid
jangka panjang mengakibatkan imun tubuh menjadi menurun dan
rentan terhadap infeksi.
Median Rhomboid Glossitis juga dapat muncul sebagai efek
samping penggunaan obat-obatan antimalaria pada Odapus. Median
Rhomboid Glossitis muncul dengan tampilan bercak licin, gundul,
merah seperti daging tanpa papilla filiformis. Bentuk dan ukuran lesi
bervariasi, tetapi sering kali oval atau belah ketupat, antara 1-2,5cm,
ireguler, dan berbatas jelas.

Gambar 11. Median rhomboid glossitis

Tujuan pengobatan pada glosistis adalah untuk mengurangi


peradangan. Kortikosteroid seperti prednisolone dapat diberikan untuk
mengurangi peradangan glositis. Untuk kasus ringan, aplikasikan obat
kumur (seperti berkumur prednisone yang tidak ditelan) dan obat topikal
kortikosteroid (seperti hydrocortisone atau betamethasone sodium
phosphate) di sekitar lesi 2-4 kali sehari. Pemberian antibiotik, obat anti
jamur, atau anti mikroba lainnya dapat diresepkan jika penyebabnya
adalah infeksi bakteri atau jamur. Anemia dan kekurangan gizi harus
diperhatikan seiring dengan perubahan pola makan dan atau suplemen
lainnya. Hindari iritasi (seperti makan-makanan pedas atau panas, alkohol
dan tembakau) untuk meminimalkan ketidaknyamanan. Kebersihan mulut
perlu dijaga, termasuk meyikat gigi minimal dua kali sehari dan flossing
setiap hari.

3. Glossitis dengan Diabetes Mellitus


Istilah "diabetes mellitus" digunakan untuk mengidentifikasi

kelompok gangguan yang ditandai dengan peningkatan level glukosa

dalam darah. Peningkatan ini disebabkan oleh defisiensi sekresi insulin

atau peningkatan resistensi terhadap insulin, yang mengarah ke berbagai

kelainan metabolisme yang melibatkan karbohidrat, lemak, dan protein

(Ghabanchi et al., 2011). Pada tahun 1997, American Association of

Diabetes mengusulkan sistem klasifikasi untuk diabetes berdasarkan

etiologinya. Karena itu, diabetes saat ini diklasifikasikan sebagai: Diabetes

tipe 1 atau remaja dan Diabetes tipe 2 atau didapat. Diabetes tipe 1 muncul

pada dekade pertama atau kedua kehidupan, itu disebabkan oleh destruksi

sel beta pankreas, yang bisa disebabkan oleh virus atau proses autoimun

yang mengarah ke blokade dalam produksi insulin. Di sisi lain, diabetes

tipe 2 adalah hasil dari kelainan yang dapat terjadi baik pada tingkat

molekuler insulin dan pada tingkat sel reseptor insulin (Ghabanchi et al.,

2011).

Komplikasi diabetes yang berkontribusi morbiditas dan

mortalitas meliputi penyakit mikrovaskular, penyakit makrovaskular,

khususnya penyakit kardiovaskular dan penyakit perioral. Selain itu,

diabetes meningkatkan risiko patologi oral termasuk infeksi akut,

periodontitis, dan mungkin premaligna dan lesi ganas (Skamagas et al.,


2008). Manifestasi oral yang paling umum pada pasien diabetes meliputi

xerostomia, eritema, dan ulserasi. Infeksi yang disebabkan oleh Candida

albicans, cheilitis, Lichen planus, masalah gingiva, masalah periodontal,

abses dan hilangnya tulang alveolar, meskipun tidak satupun dari mereka

adalah lesi patognomonik (Antunes et al., 2003). Selain itu, kelainan pada

bagian lidah yang disebabkan diabetes mellitus antara lain fisured tongue

(lidah pecah-pecah), median rhomboid glossitis, dan benign migratory

glositis (Dean & Gandara, 2017).

Median rhomboid glositis (MRG), pertama kali dijelaskan oleh

Borcq pada tahun 1914, terjadi pada kurang dari 1% populasi umum.

Sekitar 70-80% kasus ada di laki-laki. Etiologinya tidak diketahui,

meskipun demikian median rhomboid glossitis berasal dari kandidiasis

kronis, atau dari embriologis, peradangan, Staph aureus atau bahkan

imunologis. Median rhomboid glostis biasanya muncul di daerah posterior

dorsum lidah, di garis tengah, anterior ke area "V" papila sirkumvalata,

bagaimanapun, kadang-kadang muncul di lokasi paramedial. Muncul

sebagai plak bulat atau belah ketupat tanpa rasa sakit dengan batas yang

jelas, warna kemerahan atau merah muda karena atrofi atau depapilasi dan

pada palpasi teraba keras (Ghabanchi et al., 2011).

Guggenheimer et al melaporkan bahwa subjek dengan diabetes

mellitus dependen insulin (IDDM) memiliki kecenderungan terjadinya

candidiasis termasuk MRG, stomatitis dan angular chelitis. Farman

mengobservasi bahwa lesi atrofi pada lidah ditemukan pada 26,4% pasien

diabetes dan 91,7% lesi tersebut adalah MRG (Ghabanchi et al., 2011).

Peneliti melaporkan bahwa prevalensi MRG lebih tinggi pada pasien


diabetes dibandingkan dengan populasi lain. Ponte et al melaporkan bahwa

diantara manifestasi inflamasi mukosa oral ditemukan pada pasien

diabetes, glositis menjadi perhatian khusus. Diduga sebagai konsekuensi

dari tingginya infeksi Candida albicans dan perubahan mikrovaskular,

penderita Diabetes Mellitus memiliki atrophic tongue lesions dan

geographic tongue lebih tinggi. MRG dikenal sebagai manifestasi dari

kandidiasis kronis (Ghabanchi et al., 2011).

Gangguan lidah lain yang sering terjadi pada pasien DM adalah

benign migratory glossitis (BMG). BMG memiliki nama lain geographic

tongue karena BMG memiliki gambaran lesi yang mirip seperti peta. BMG

memiliki gambaran atrofi fokal pada papil lidah yang berbentuk ireguler

dengan karakteristik khas tepi yang meninggi. Atrofi fokal terjadi pada

papila filiformis dengan tepi putih yang terbentuk dari papila yang sedang

regenerasi dengan tambahan keratin dan agregasi neutrofil. Bentuk lesi

pada BMG dapat berubah-ubah seiring dengan berjalannya waktu. Etiologi

pasti dari BMG belum diketahui secara pasti, namun berbagai studi telah

menemukan hubungan antara BMG dengan penyakit atau keadaan lain,

termasuk diabetes mellitus. BMG pada umumnya asimtomatik, namun

nyeri dan sensasi terbakar pada lesi bisa terjadi (Khan et al., 2017).

Patogenesis dari BMG belum sepenuhnya diketahui, namun

diperkirakan berhubungan dengan deskuamasi epitel dan keratinisasi.

Normalnya, deskuamasi sel epitel harus sebanding dengan pembaharuan

sel dari lapisan basal epitel mukosa mulut. Pada BMG, diperkirakan proses

deskuamasi epitel ini lebih tinggi daripada pembaharuannya (Dafar, 2016).

Penelitian yang dilakukan oleh Monea et al. (2014) menunjukkan bahwa


terdapat peningkatan kadar TNF-α dan IL-6 pada pasien periodontitis

dengan DM dibandingkan pasien periodontitis tanpa DM. Alikhani et al.

(2014) juga menemukan bahwa terjadi adanya peningkatan kadar TNF-α

dan IL-6 pada pasien BMG dibandingkan pada kelompok kontrol. IL-6

diketahui dapat menyebabkan hiperproliferasi dari keratinosit (Hernández-

Quintero et al., 2006). Hal ini mungkin berkaitan dengan adanya keratin

pada lesi BMG, yakni yang tersebar pada tepinya yang meninggi (Khan et

al., 2017).

Gambar 12. Benign Migratory Glosittis atau geographic tongue (Khan et al.,

2015)

Gambaran lidah yang dapat timbul pada pasien DM lainnya

ialah fissured tongue. Pada fisured tongue tekstur lidah yang terbentuk akibat

papila filiformis, papila sirkumvalata, dan papila fungiformis ini tampak

terputus oleh satu atau lebih patahan yang muncul sepanjang lidah. Patahan ini

kemungkinan terjadi akibat hiposalivasi yang terus menerus pada pasien DM

(Gandara dan Morton, 2011).


Gambar 13. Fissure tongue (Gandara dan Morton, 2011)

Mekanisme diabetes dengan terjadinya infeksi candida belum

diketahui secara pasti. Namun, telah banyak diketahui bahwa tingkat glukosa

saliva yang tinggi akan memicu pertumbuhan jamur. Di sisi lain, Quirino et al

menghubungkan infeksi Candida albicans dengan hiposalivasi (Ghabanchi et

al., 2011).

Gambar 14. Mekanisme manifestasi oral penderita Diabetes Mellitus

(Gandara dan Morton, 2011)


Penelitian lain menyebutkan bahwa diabetes mempengaruhi

kelenjar saliva diantaranya yaitu terjadinya sialoadenosis atau pembengkakan

nonneoplastik kelenjar saliva dan menurunkan aliran saliva. Pembengkakan

terjadi karena adanya akumulasi lemak pada kelenjar, hipertrofi asinus dan

pada akhirnya terjadi ganguan sekresi kelenjar. Xerostomia atau sensasi mulut

kering dilaporkan terjadi pada 40-80% pasien diabetes dan berhubungan

dengan adanya penurunan aliran saliva yang juga akan meningkatkan risiko

terjadinya infeksi jamur. Penurunan immunoglobulin antifungal pada saliva

akibat penyakit diabetes juga dapat memicu pertumbuhan Candida (Gandara

dan Morton, 2011). Pada pasien diabetes terjadi disfungsi saraf atau

perubuahan mikrovaskular yang mempengaruhi kemampuan kelenjar saliva

untuk merespon stimulasi neuronal atau hormonal. Penyebab lain diduga

karena dehidrasi atau efek samping obat yang biasa digunakan oleh pasien

diabetes contohnya antihipertensi, diuretik, dan antidepresan (Gandara dan

Morton, 2011).

4. Glossitis pada Alkoholik


Minuman beralkohol banyak dikonsumsi karena rasanya dan efek
perubahan mood alkohol. Efek menguntungkan pada penggunaa alkohol
sedang termasuk kemungkinan pengurangan risiko penyakit jantung
koroner serta perbaikan stres. Namun, penggunaan alkohol jangka panjang
memiliki konsekuensi medis dan sosial yang luas. Diperkirakan 7% dari
populasi orang dewasa di Amerika Serikat memiliki masalah alkohol.
Lebih jauh, penyakit terkait alkohol adalah penyebab kematian nomor
empat di daerah urban, dan sirosis hati adalah urutan kesembilan
penyebab kematian di Amerika Serikat, dengan prevalensi 3,6 per 1.000
orang. Alkohol secara langsung memiliki efek toksik pada hati,
menyebabkan hati berlemak, hepatitis, dan sirosis. Terdapat adanya bukti
penyalahgunaan alkohol 65% pada kasus pankreatitis akut dan kronis.
Meskipun konsumsi sedang dapat melindungi penyakit jantung koroner,
konsumsi berat bisa memicu untuk kardiomiopati, hipertensi, aritmia, dan
perdarahan serebrovaskular. Konsekuensi medis lainnya termasuk
peningkatan risiko kanker tertentu dan defisiensi nutrisi (Smith dan
Fenske, 2000)
Berbagai perubahan terlihat pada rongga mulut pasien alkoholik,
tidak ada temuan yang spesifik pada pasien penyalahgunaan alkohol. Bibir
mungkin tampak kering, dan kebersihan rongga mulut tampak buruk.
Pasien dapat menunjukkan black hairy tongue, umumnya terkait dengan
penyakit sistemik dan pertumbuhan mikroorganisme berlebih, yang
disebabkan oleh hiperplasia papilla filiform. Selain itu, pada pasien
alkoholik lidah merah, halus, dan mengalami atrofi papil, yang mungkin
merupakan suatu glossitis yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B.
Temuan rongga mulut lainnya termasuk leukoplakia, peradangan gingiva
kronis, dan pembengkakan kronis pada kelenjar parotis.
Alkohol dapat menyebabkan malnutrisi primer dengan
memindahkan nutrisi penting dari diet dan malnutrisi sekunder melalui
malabsorpsi dan cedera seluler hati. Malabsorpsi terjadi melalui
pencernaan di saluran pencernaan karena insufisiensi eksokrin pankreas
dan usus kecil defisiensi laktase, serta malabsorpsi beberapa vitamin yang
larut dalam air seperti tiamin dan folat. Alkohol juga mempengaruhi
pengosongan lambung dan motilitas usus kecil. Selanjutnya,
hepatotoksisitas alkohol memengaruhi metabolisme dan penyimpanan
lipid, karbohidrat, protein, dan vitamin tertentu
Kekurangan vitamin B2 (riboflavin) biasanya terjadi karena
alkoholisme dan sirosis. Terjadi sindrom "oro-okulogenital", ditandai oleh
stomatitis angular, cheilosis bibir, glositis, konjungtivitis, dan dermatitis
skrotum atau vulva. Terkena pasien juga mungkin memiliki dermatitis
seborrhea pada lipatan hidung, pipi, dan dahi.
Gambar. Glossitis dan stomatitis angular pada defisiensi riboflavin

5. Glossitis dengan HIV


Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah
serangkaian gejala yang disebabkan oleh penurunan dari sistem kekebalan
yang terinfeksi oleh human immunodeficiency virus (HIV) (Hidayat et al,
2017), dimana HIV merupakan suatu retrovirus yang menyerang sel-sel
sistem kekebalan tubuh manusia terutama sel T helper Cluster of
Differentiation 4 positif (CD4+) dan makrofag (Kirty, 2019). Penderita
HIV-AIDS akan mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh secara
terus-menerus yang akan menyebabkan sistem kekebalan tubuh tidak
mampu lagi untuk memerangi infeksi sehingga tubuh menjadi lebih rentan
terhadap berbagai macam infeksi (Gondak et al, 2012).

Pasien yang terinfeksi HIV juga memperlihatkan manifestasi


klinis di rongga mulutnya, yang dapat menunjukkan tanda awal dari
infeksi HIV (Smrati & Pazare, 2010). Manifestasi klinis rongga mulut
yang umum ditemui diantaranya : Oral hairy leukoplakia (OHL),
candidiasis, non-specific chronic glossitis, non-specific chronic ulceration
dan herpes simpleks. Sebenarnya tidak terdapat lesi oral khusus yang
hanya berkaitan dengan HIV-AIDS. Akan tetapi terdapat manifestasi klinis
tertentu seperti kandidiasis oral dan oral hairy leukoplakia yang sangat
sering berkaitan dengan HIV-AIDS. Kandidiasis oral dan oral hairy
leukoplakia dianggap sebagai bagian dari penyakit AIDS hingga
diikutsertakan dalam klasifikasi klinis HIV oleh CDC (Vijendran, 2019).

Infeksi HIV mengarah pada hilangnya kompetensi imunitas,


gambaran yang paling mencolok adalah penurunan sel T CD4+. Ketika
jumlah sel T CD4+ jatuh di bawah 200 sel μl darah maka dapat
didiagnosis AIDS. Respon imun terhadap HIV dan pathogen lainnya
kolaps, dan pasien sangat rentan terhadap infeksi oportunistik yang
disebabkan oleh mikroorganisme yang biasanya dikendalikan dengan baik
oleh imunitas yang diperaantarai sel, seperti jamur Candida (Lestari,
2015). Oral hairy leukoplakia (OHL) adalah manifestasi awal infeksi HIV
. Hal ini terbukti dengan banyaknya penelitian yang menemukan kasus
OHL pada penderita HIV. OHL dapat ditemukan pada sekitar 17,3 – 32%
penderita HIV dan menurut penelitian dari 217 pasien yang terinfeksi HIV
40 pasien atau sekitar 18,5%. Greenspan dkk melaporkan dari 55 pasien
HIV terdapat 98% OHL di lateral lidahnya dan 83% pasien OHL dalam 31
bulan berkembang menjadi AIDS (Smrati & Pazare, 2010).

Pada pasien HIV dapat juga ditemukan flora bakteri yang tidak
umum dalam rongga mulut pasien. Bakteri yang paling umum diisolasi
adalah flora pernafasan dan coliform, seperti spesies Klebsiella dan
Escherichia coli. Infeksi oleh organisme ini sering menyebabkan
perubahan lidah yang difus, eritematus dan berulserasi, yang dapat
menyebabkan gejala glositis. Glositis adalah keadaan dimana permukaan
lidah terlihat lebih halus atau licin karena bintil-bintil lidah (papillae)
nampak menghilang akibat peradangan. Selain itu, seperti halnya
peradangan pada bagian tubuh lain, bengkak, lunak dan adanya perubahan
warna pada lidah juga terjadi pada glositis. Median rhomboid
glossitis merupakan jenis glositis yang disebabkan oleh adanya infeksi
jamur. Glositis jenis ini memiliki ciri berupa daerah kemerahan pada lidah,
berukuran 2-3 cm, serta biasanya ditemukan berbentuk V pada bagian
tengah lidah (Kirti, 2019).

Manifestasi klinis kondisi rongga mulut pada pasien HIV –


AIDS sangatlah luas, pada tahun 2017, terdapat 82,5% pasien HIV – AIDS
dengan lesi rongga mulut (Frimpong et al, 2017). Manifestasi klinis HIV
pada kondisi rongga mulut dapat dikelompokkan menjadi (Smrati &
Pazare, 2010):
1. Infeksi: bakteri, fungi, virus
2. Neoplasma: Kaposi’s sarcoma, non-Hodgkin’s lymphoma
3. Dimediasi oleh imun: aphthous mayor, necrotizing stomatitis
4. Lainnya: penyakit parotis, nutrisional, xerostomia
5. Manifestasi pada gigi dan mulut sebagai efek samping dari terapi

Gambar 14. Median Rhomboid Glossitis

antiretroviral

6. Glossitis dengan Tuberkulosis


Tuberkulosis lidah adalah peristiwa yang sangat jarang ditemui,
bahkan di daerah dan negara TB endemik dan kebanyakan ditemukan pada
penderita TB paru. Penyakit ini dapat muncul dengan sendirinya dalam
berbagai penampilan klinis, yang sebagian besar mungkin terlihat seperti
neoplasma lingual secara klinis. TB pada lidah, lebih sering dijumpai pada
lakilaki dengan ratio 4:1 dimana kebanyakan penderita adalah pasien
dengan ekonomi rendah. Salah satu manifestasi TB pada lidah selain ulser
adalah peradangan lidah atau glossitis. (Al Rikabi, 2011)
Pada penyakit TB, glossitis disebabkan oleh infeksi bakteri TB
yang banyak pada saliva di rongga mulut terutama pada sputum sehingga
menyebabkan suatu peradangan yang sering terlihat sebagai granuloma.
Tuberkuloma atau granuloma tuberkulosa dapat terjadi pada penderita TB
karena penumpukan basil TB pada lidah melalui proses yang lambat yang
mengenai lidah, pada penderita TB juga dapat terjadi tuberkuloma yang
terlihat sebagai suatu glossitis yang sering didiagnosa sebagai
macroglossia. (Açıkgöz, 2015)
Diagnosa banding dari lesi tuberkulosa lidah dapat berupa
malignansi, penyakit granulomatosa, sifilis, ulser traumatik, ulser aftosa
dan infeksi jamur.

Gambar X. Glossitis Tuberkulosa pada penderita TB

Gambar X. TB primer lidah. Epiteloid besar dan giant cell granuloma


kepala panah) dan nekrosis caseous sentral (asterix) terlihat pada bagian
ini yang diambil dari massa lidah.(Al-Rikabi, 2011)

Mycobacterium tuberculosis adalah organisme berbentuk


batang yang membentuk anaerob, tidak motil, tidak berkapsulas, non-spora
yang merupakan bakteri utama yang bertanggung jawab untuk tuberculosis
(Ram H, 2012). WHO (2005) memperkirakan bahwa 2 triliun orang atau
sepertiga dari populasi dunia terinfeksi dengan basil tuberkulosis dan
kejadian tuberkulosis global meningkat sebesar 1% per tahun. TB pada
lidah adalah kasus yang jarang dijelaskan dengan tingkat 0,1% (Iype et al,
2001). Selain itu, sebagian besar kasus TB oral merupakan manifestasi
sekunder akibat TB paru, kasus primer sangat jarang (Leslie D, 2008)
Patogenesis tuberkulosis oral tidak dipahami dengan jelas,
namun ada beberapa penelitian yang menerangkan jalur inokulasi yang
berbeda-beda. TB oral dapat terjadi melalui rute hematogen atau limfatik
pada TB sekunder atau melalui inokulasi langsung seperti pada TB primer.
Insiden TB oral jarang dan telah dikaitkan dengan membrane mukosa yang
bertindak sebagai penghalang untuk penetrasi langsung organisme,
pembersihan mukosa mulut secara terus-menerus dengan air liur, adanya
flora normal yang bervariasi selain adanya antibodi submukosa yang
memberikan mukosa bukal resistensi normal, pH local, dan antibodi
meningkatkan resistensi rongga mulut terkena infeksi TB (Sezer B, 2014).
Di sisi lain, trauma, kondisi peradangan, dan pencabutan gigi
menyebabkan kerusakan pada mukosa yang menyediakan akses bagi
organisme. (Jain P, 2014)
Anamnesis klinis yang terperinci dan pemeriksaan penting
untuk menegakkan diagnosis, studi tambahan termasuk tes laboratorium
dan gambar radiologis sangat membantu meskipun biopsi jaringan tetap
menjadi gold standard untuk konfirmasi diagnosis.
BAB III

SIMPULAN

1. Glossitis merupakan peradangan lidah yang ditandai dengan


deskuamasi papila filiformis sehingga menghasilkan daerah
kemerahan yang halus dan mengkilat, dapat terjadi secara akut dan
kronis.

2. Penyebab glossitis dapat terjadi karena penyebab lokal (infeksi,


trauma dan iritasi) maupun sistemik (malnutrisi, anemia, HIV dan
obat-obatan).

3. Glossitis yang berhubungan dengan penyakit sistemik antara lain


glossitis dengan celiac disease, SLE, diabetes melitus, HIV,
tuberkulosis, dan berhubungan dengan konsumsi alkohol
DAFTAR PUSTAKA.

Alikhani M, Khalighinejad N, Ghalaiani P, Khaleghi KA, Askari E, Gorsky M (2014).


Immunologic and psychologic parameters associated with geographic tongue. Oral
Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology and Oral Radiology, 118(1): 68-71
American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes—2009. Diabetes Care.
2009;32(supplement 1):S13–S61. doi: 10.2337/dc09-s013

Antunes FS, Graca MA, Nurkim NL (2003). Diabetes mellitus e a doença


periodontal/periodontal disease and diabetes mellitus. Rev Odonto Cience, 18-107-11
Aškinytė, Daiva, Matulionytė, Raimonda & Rimkevičius, Arūnas. 2015. Oral manifestations
of HIV disease: A review. Stomatologija, Baltic Dental and Maxillofacial Journal, 17:
21-8
Açıkgöz, M., Güven, G. and Ak, G. (2015). Primary Oral Tuberculosis of the Oral Cavity: A
Rare Case Report. Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology and Oral Radiology,
119(3), p.e172.

Al-Rikabi, A. and Arafah, M. (2011). Tuberculosis of the Tongue Clinically Masquerading as


a Neoplasm: A Case Report and Literature Review. Oman Medical journal, pp.267-268.

Baipai S, Pazare AR. 2010.Oral manifestations of HIV. Contemp Clin Dent.1(1):1-5.


Bakta, I Made dkk.2006 Anemia Defisiensi Besi. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Aru W Sudoyo (Editor). Balai Penerbit UI. Jakarta,
Brightman V, J.1994. Diseases of the Tongue; in Lynch M.A,. Burket’s oral Medicine
Diagnosis and Treatment.9 edition. JB Lippincott Co;Philadelphia
Chandran V, Raychaudhuri SP. Geoepidemiology and environmental factors of psoriasis and
psoriatic arthritis. J Autoimmun. 2010;34:J314-21
Chaveli-Lopez, B. and Bagan-Sebastian, J. (2016). Treatment of oral mucositis due to
chemotherapy. Journal of Clinical and Experimental Dentistry, pp.0-0.
Dafar A, Çevik-Aras H, Robledo-Sierra J, Mattsson U, Jontell M (2016). Factors associated
with geographic tongue and fissured tongue. Acta Odontologica Scandinavica, 74(3):
210-216
Daneshpazhooh M, Moslehi H, Akhyani M, Etesami M. Tongue lesions in psoriasis: a
controlled study. BMC Dermatol. 2004;4:16.

Dorko E., Baranová Z., Jenča A., Kizek P., Pilipčinec E., Tkáčiková L. Diabetes mellitus and
candidiases. Folia Microbiologica. 2005;50(3):255–261.

Dean D dan Gandara B (2016). Principles of Diabetes Mellitus. New York: Springer.
Dennis M., Bowen WT, Cho L. 2012. Mechanisms of Clinical Signs. Elsevier: Australia
Erriu, M., Canargiu, F., Orrù, G., Garau, V., & Montaldo, C. (2012). Idiopathic atrophic
glossitis as the only clinical sign for celiac disease diagnosis: a case report. Journal of
medical case reports, 6, 185. doi:10.1186/1752-1947-6-185
Frimpong, P., Amponsah, E. K., Abebrese, J., & Kim, S. M. (2017). Oral manifestations and
their correlation to baseline CD4 count of HIV/AIDS patients in Ghana. Journal of the
Korean Association of Oral and Maxillofacial Surgeons, 43(1), 29–36.
doi:10.5125/jkaoms.2017.43.1.29
Ghabanchi, J., Tadbir AA., Darafshi, R., Sadegholvad, M. 2011. The Prevalence of Median
Rhomboid Glossitis in Diabetic Patients: A Case-Control Study. Iran Red Crescent
Medical Journal 2011; 13(7):503-506
Gandara BK dan Morton TH (2011). Non-periodontal oral manifestations of diabetes: A
framework for medical care providers. Diabetes Spectrum, 24(4): 199-205
Ghom, 2005, Textbook of Oral Medicine, Jaype Medical Brothers Publisher, New Delhi, h.
479
Gondak RO, Alves DB, Silva LF, Mauad T, Vargas PA. Depletion of Langerhans cells in the
tongue from patients with advanced‐stage acquired immune deficiency syndrome:
relation to opportunistic infections. Histopathology. 2012 Feb;60(3):497-503.

Goswami M, Verma A, Verma M. Benign migratory glossitis with fissured tongue. J Indian
Soc Pedod Prev Dent. 2012;30:173-5.
Greenspan, Deborah. 1998. Oral Manifestation of HIV. HIV InSite Knowledge Base Chapter:
University of California San Francisco.
Guggenheimer J, Moore PA, Rossie K, Myers D, Mongelluzzo MB, Block HM, Weyant R,
Orchard T. Insulindependent diabetes mellitus and oral soft tissue pathologies: II.
Prevalence and characteristics of Candida and Candidal lesions. Oral Surg Oral Med
Oral Pathol Oral Radiol Endod. 2000;89:570–6. doi: 10.1067/moe.2000.104477.

Hellstein JW & Marek CL. Candidiasis: Red and White Manifestations in the Oral Cavity.
Head Neck Pathol. 2019;13(1):25-32.
Hidayat W, Dewi TS, Wisaksana R. Oral manifestations of anemia in HIV/AIDS patients
without ARV treatment. Padjadjaran Journal of Dentistry. 2017;29(1):44-47.
Hernández-Quintero M, Kuri-Harcuch W, González R, Arturo, Castro-Muñozledo F (2006).
Interleukin-6 promotes human epidermal keratinocyte proliferation and keratin
cytoskeleton reorganization in culture. Cell and Tissue Research, 325(1): 77-90
Hernández-Pérez F1, Jaimes-Aveldañez A, Urquizo-Ruvalcaba Mde L, Díaz- Barcelot M,
Irigoyen-Camacho ME, et al. Prevalence of oral lesions in patients with psoriasis. Med
Oral Patol Oral Cir Bucal. 2008;13:E703-8.
Honarmand M, Farhad Mollashahi L, Shirzaiy M, Sehhatpour M. Geographic Tongue and
Associated Risk Factors among Iranian Dental Patients. Iran J Public Health.
2013;42:215-9.
International Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas. 7th. International Diabetes Federation;
2015.

Ishibashi M, Tojo G, Watanabe M, Tamabuchi T, Masu T, Aiba S. Geographic tongue treated


with topical tacrolimus. J Dermatol Case Rep. 2010;4:57-9.
Iype EM, Ramdas K, Pandey M, Jayasree K, Thomas G, Sebastian P, et al. (2001). Primary
tuberculosis of the tongue: report of three cases. Br J Oral Maxillofac Surg
Oct;39(5):402-403

Jain P, Jain I. 2014. Oral Manifestations of Tuberculosis: Step towards Early Diagnosis. J
Clin Diagn Res.pp. 8(12):ZE18-21.

Jainkittivong A, Langlais RP Geographic tongue: clinical characteristics of 188 cases. J


Contemp Dent Pract. 2005;6:123-35.
Johnson MA, Armstrong AW. Clinical and histologic diagnostic guidelines for psoriasis: a
critical review. Clin Rev Allergy Immunol. 2013;44:166-72.
Khan S (2019). Benign Migratory Glossitis: Case Report and Literature Review.
International Journal of Clinical Oral and Maxillofacial Surgery, 4(1): 1
Kirti YK. Prevalence of Oral Candidiasis in Indian HIV Sero-Positive Patients with
CD4+ Cell Count Correlation. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2019;71(1):124-
127.

Kolokotronis, A., Kioses, V., Antoniades, D., Mandraveli, K., Doutsos, I. and Papanayotou,
P., 1994. Median rhomboid glossitis: an oral manifestation in patients infected with
HIV. Oral surgery, oral medicine, oral pathology, 78(1), pp.36-40
Ladizinski B, Lee KC, Wilmer E, Alavi A, Mistry N, Sibbald RG. A review of the clinical
variants and the management of psoriasis. Adv Skin Wound Care. 2013;26:271 84.
.
Lamster I. B., Lalla E., Borgnakke W. S., Taylor G. W. The relationship between oral health
and diabetes mellitus. Journal of the American Dental Association. 2008;139(10):19–
24.

Langlais RP, Miller C, Nnield-Gehrig JS. 2015. Atlas Berwarna Lesi Mulut Yang Sering
Ditemukan, edisi 4. Jakarta: EGC, hal : 4,104,109

Leslie D, Nancy WB. (2008). General and Oral Pathology for the Dental Hygienist. Koger B,
Dietz K, Bradshaw N, Aiello G, eds. Lippincotte Williams and Wilkins, Philadelphia,
PA, pp; 243-245.

Lestari PE. Infeksi jamur candida pada penderita HIV/AIDS. Stomatogantic J K G Unej Vol.
10 No. 1. 2013: 35-38.
M.A. Lynch, Vernon J. Brightman, dan Martin S. Greenberg. Burket: Ilmu penyakit mulut.
Ed ke-8. Jakarta: Binarupa Aksara; 2004
Migliari DA, Penha SS, Marques MM, Matthews RW. Considerations on the diagnosis of
oral psoriasis: a case report. Med Oral. 2004;9:300-3.

Monea A, Gruber R, Elod N, Bereşescu G, Moldovan C, Monea M (2014). Saliva and Serum
Levels of TNF-α and IL- 6 in a samle of romanian adult subjects with type 2 diabetes
mellitus and periodontal disease. European Scientific Journal, 10(99):350-359.
Orlando V. A., Johnson L. R., Wilson A. R., et al. Oral health knowledge and behaviors
among adolescents with type 1 diabetes. International Journal of Dentistry.
2010;2010:8. doi: 10.1155/2010/942124.942124

Picciani BL, Silva-Junior GO, Michalski-Santos B, Avelleira JC, Azulay DR, Pires FR, et al.
Prevalence of oral manifestations in 203 patients with psoriasis. J Eur Acad Dermatol
Venereol. 2011;25:1481-3.

Picciani BLS. Investigação oral em pacientes portadores de psoríase e\ou língua geográfica:
estudo clínico, citopatológico, histopatológico e imunogenético [tese]. Niterói (RJ):
Universidade Federal Fluminense; 2014. 140 p.

Rai K., Hegde A., Kamath A., Shetty S. Dental caries and salivary alterations in type I
diabetes. Journal of Clinical Pediatric Dentistry. 2011;36(2):181–184. doi:
10.17796/jcpd.36.2.x436ln878221g364.

Raut AS, Prabhu RH, Patravale VB. Psoriasis clinical implications and treatment: a review.
Crit Rev Ther Drug Carrier Syst. 2013;30:183-216.

Ram H, Kumar S, Mehrotra S, Mohommad S. Tubercular ulcer: mimicking squamous cell


carcinoma of buccal mucosa. J Maxillofac Oral Surg. 2012;11(1):105-8.

Sezer B, Zeytinoglu M, Tuncay U, Unal T. 2014. Oral mucosal ulceration: a manifestation of


previously undiagnosed pulmonary tuberculosis. J Am Dent Assoc Mar;135(3):336-340
Scully C, Bagán JV, Eveson JW, Barnard N, Turner FM. Sialosis: 35 cases of persistent
parotid swelling from two countries. Br J Oral Maxillofac Surg. 2008;46:468–72.

Skamagas M, Breen TL, LeRoithD (2008). Update on diabetes mellitus: prevention,


treatment and association with oral disease. Oral Disease, 14 : 105-14.
Smith, K. E., & Fenske, N. A. (2000). Cutaneous manifestations of alcohol abuse. Journal of
the American Academy of Dermatology, 43(1), 1–18.

Smrati BS & Pazare AR. Oral manifestations of HIV. Contemp Clin Dent. 2010; 1(1): 1–5.

Sonis S.T, Fazio R.C, Fang L.1995.Principles and Practice of Oral Medicine, 9 edition.W.B
Sounders Company Philadelphia. Page 231-5
Stephens, Mark B., et al., editors. "Glossitis." 5-Minute Clinical Consult, 27th ed., Wolters
Kluwer, 2019. 5minute, www.unboundmedicine.com/5minute/view/5-Minute-Clinical-
Consult/116247/all/Glossitis.

Treister NS, Bruch JM. 2010. Clinical oral medicine and pathology. New York: Humana
Press. p. 149. ISBN 978-1-60327-519-4.

Vijendran P, Verma R, Hazra N, Vasudevan B, Debdeep M, Ruby V, Shekar N. A


comparative study of the various patterns of oro-cutaneous fungi and their sensitivity to
anti fungals between HIV patients and normal healthy individuals. Med J Armed Forces
India. 2019;75(1):50-57.

Wu YC, Wang YP, Chang JYF, Cheng SJ, Chen HM, Sun A. 2014. Oral manifestations and
bloodprofile in patients with iron deficiency anaemia. J Formos Med Assoc 113:83–87

Zadik Y, Drucker S, Pallmon S. Migratory stomatitis (ectopic geographic tongue) on the floor
of the mouth. J Am Acad Dermatol. 2011;65:459-60.

Anda mungkin juga menyukai