DAN MIOPIA
Oleh:
Pembimbing:
I. IDENTITAS
Nama : Tn. R
Umur : 24 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Karanganyar Jawa Tengah
Tanggal periksa : 30 Januari 2019
No. RM : 01447xxx
Cara Pembayaran : BPJS
II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama : Kedua mata merah
G. Kesimpulan
Anamnesis
OD OS
Proses Perdarahan pada Perdarahan pada
subkonjungtiva subkonjungtiva
Lokalisasi Subkonjungtiva, Subkonjungtiva,
konjungtiva, camera konjungtiva, camera
oculli anterior oculli anterior
Sebab Idiopatik Idiopatik
Perjalanan Akut Akut
B. Pemeriksaan Subyektif OD OS
Visus Sentralis Jauh 2/60 1/60
Visus Kacamata >3/60 >3/60
Pinhole tidak dilakukan tidak dilakukan
Koreksi tidak dilakukan tidak dilakukan
Visus Perifer
Konfrontasi test Lapang pandang Lapang pandang
sama dengan pemeriksa sama dengan pemeriksa
Proyeksi sinar tidak dilakukan tidak dilakukan
C. Pemeriksaan Obyektif
1. Sekitar Mata
Tanda radang tidak ada tidak ada
Luka tidak ada tidak ada
Parut tidak ada tidak ada
Kelainan warna tidak ada tidak ada
Kelainan bentuk tidak ada tidak ada
2. Supercilium
Warna hitam hitam
Tumbuhnya normal normal
Kulit sawo matang sawo matang
Geraknya dalam batas normal dalam batas normal
3. Pasangan Bola Mata dalam Orbita
Heteroforia tidak ada tidak ada
Strabismus tidak ada tidak ada
Pseudostrabismus tidak ada tidak ada
Exophtalmus tidak ada tidak ada
Enophtalmus tidak ada tidak ada
Anopthalmus tidak ada tidak ada
4. Ukuran Bola Mata
Mikrophtalmus tidak ada tidak ada
Makrophtalmus tidak ada tidak ada
Ptisis bulbi tidak ada tidak ada
Atrofi bulbi tidak ada tidak ada
Buftalmos tidak ada tidak ada
Megalokornea tidak ada tidak ada
5. Gerakan Bola Mata
Temporal superior dalam batas normal dalam batas normal
Temporal inferior dalam batas normal dalam batas normal
Temporal dalam batas normal dalam batas normal
Nasal dalam batas normal dalam batas normal
Nasal superior dalam batas normal dalam batas normal
Nasal inferior dalam batas normal dalam batas normal
6. Kelopak Mata
Gerakannya dalam batas normal dalam batas normal
Lebar rima 10 mm 10 mm
Blefarokalasis tidak ada tidak ada
Tepi Kelopak Mata
Oedem tidak ada tidak ada
Margo intermarginalis tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada
Entropion tidak ada tidak ada
Ekstropion tidak ada tidak ada
7. Sekitar Saccus Lakrimalis
Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada
8. Sekitar Glandula Lakrimalis
Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada
9. Tekanan Intra Okuler
Palpasi kesan tidak meningkat kesan tidak meningkat
Tonometer Schiotz tidak dilakukan tidak dilakukan
Non contact tonometer tidak dilakukan tidak dilakukan
10. Konjungtiva
Konjungtiva Palpebra
Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada
Sikatrik tidak ada tidak ada
Konjungtiva Fornix
Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada
Sikatrik tidak ada tidak ada
Konjungtiva Bulbi
Pterigium tidak ada tidak ada
Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis ada ada
Sikatrik tidak ada tidak ada
Injeksi konjungtiva tidak ada tidak ada
Caruncula dan Plika Semilunaris
Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada
Sikatrik tidak ada tidak ada
11. Sklera
Warna kemerahan kemerahan
Penonjolan tidak ada tidak ada
12. Kornea
Ukuran 12 mm 12 mm
Limbus jernih jernih
Permukaan rata, mengkilat rata, mengkilat
Sensibilitas normal normal
Keratoskop (Placido) garis lonjong garis lonjong
Fluoresin Test tidak dilakukan tidak dilakukan
Arcus senilis (-) (-)
13. Kamera Okuli Anterior
Isi jernih jernih
Kedalaman dalam dalam
14. Iris
Warna hitam hitam
Gambaran spongious spongious
Bentuk bulat bulat
Sinekia Anterior tidak ada tidak ada
Sinekia Posterior tidak ada tidak ada
15. Pupil
Ukuran 3 mm 3 mm
Bentuk bulat bulat
Tempat sentral sentral
Reflek direk (+) (+)
Reflek indirek (+) (+)
Reflek konvergensi baik baik
16. Lensa
Ada/tidak ada ada
Kejernihan jernih jernih
Letak sentral sentral
17. Corpus Vitreum
Kejernihan jernih jernih
Reflek Fundus cemerlang cemerlang
V. GAMBARAN KLINIS
VII. DIAGNOSIS
ODS Perdarahan Subkonjungtiva dan Miopia
VIII. TERAPI
Non Medikamentosa
1. Edukasi pasien tentang penyakitnya
Tidak perlu khawatir karena perdarahan akan terihat meluas dalam 24
jam pertama, namun setelah itu ukuran akan berkurang secara perlahan
karena diabsorpsi.
Kondisi hipertensi memiliki hubungan yang cukup tinggi dengan
angka terjadinya perdarahan subkonjungtiba sehingga diperlukan
pengontrolan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi.
2. Kompres dingin pada mata kanan dan kiri
Medikamentosa
Cendo Lyteers 4 dd gtt 1 ODS
Terapi kacamata
Terapi hipertensi sesuai TS Interna
IX. PROGNOSIS
OD OS
Ad vitam bonam bonam
Ad sanam bonam bonam
Ad kosmetikum bonam bonam
Ad fungsionam bonam bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Mata
Mata merupakan alat indra yang terdapat pada manusia yang secara konstan
menyesuaikan pada jumlah cahaya yang masuk, memusatkan perhatian pada
objek yang dekat dan jauh serta menghasilkan gambaran yang kontinu yang
dengan segera di hantarkan pada otak. Penglihatan pada manusia melibatkan
deteksi gelombang cahaya yang sangat sempit dengan panjang gelombang
sekitar 400 sampai 750 nm. Panjang gelombang terpendek dipersepsi sebagai
warna biru, dan panjang gelombang terpanjang dipersepsi sebagai warna merah.
Mata memiliki fotoreseptor yang mampu mendeteksi cahaya, tetapi, sebelum
cahaya mengenai reseptor yang bertanggung jawab untuk deteksi ini, cahaya
harus difokuskan ke retina ( ketebalan 200 μm) oleh kornea dan lensa. Mata
adalah sebuah organ yang kompleks yang memiliki lebih dari satu sistem
anatomi yang mendukung fungsi mata itu sendiri. Secara umum ada beberapa
sistem anatomi yang mendukung fungsi organ mata, yaitu :
a. Anatomi kelopak mata
Kelopak mata memiliki peranan proteksi terhadap bola mata dari
benda asing yang menbahayakan mata. Kelopak atau palpebra mempunyai
fungsi melindungi bola mata, serta mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang
membentuk film air mata di depan kornea. Pada kelopak terdapat bagian –
bagian seperti kelanjar sebasea, kelenjar Moll, kelenjar Zeis dan kelenjar
Meibom. Sementara pergerakan kelopak mata dilakukan oleh M. Levator
palpebra yang dipersarafi oleh N. Fasialis.
b. Anatomi sistem lakrimal
Sistem lakrimal terdiri atas 2 bagian, yaitu :
Sistem produksi atau glandula lakrimal. Sistem sekresi air mata
atau lakrimal terletak di daerah temporal bola mata.
Sistem ekskresi mulai pada pungtum lakrimal, kanalikuli
lakrimal, sakus lakrimal, duktus nasolakrimal, meatus inferior.
c. Anatomi konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan
kelopak bagian belakang. Bermacam – macam obat mata dapat diserap
melalui konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang
dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama
kornea.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
Konjungitva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal
sukar digerakkan dari tarsus.
Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari
sklera di bawahnya.
Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang
merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar
dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.
d. Anatomi bola mata
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola
mata di bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih
tajam sehingga terdapat bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda.
Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan, yaitu :
Sklera, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata.
Bagian terdepan sklera disebut kornea yang bersifat transparan yang
memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata.
Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan sklera dan
uvea dibatasi oleh ruang yang potensial mudah dimasuki darah
apabila terjadi perdarahan pada ruda paksa yang disebut perdarahan
suprakoroid. Jaringan uvea terdiri atas iris, badan siliar dan koroid.
Badan siliar menghasilkan cairan bilik mata (akuos humor).
Lapis ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan
mempunyai susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis
membran neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi
rangsangan pada saraf optik dan diteruskan ke otak.
e. Anatomi rongga orbita
Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7
tulang yang membentuk dinding orbita yaitu : lakrimal, etmoid, sfenoid,
frontal, dan dasar orbita yang terutama terdiri atas tulang maksila,
bersama – sama tulang palatinum dan zigomatikus.
Secara garis besar anatomi mata terdiri dari (luar – ke dalam) :
Kornea
Kamera okuli anterior
Iris
Lensa
Kamera okuli posterior (vitreus body)
Retina
Nervus optikus
2. Histologi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan selaput lendir tipis yang melapisi permukaan dalam
kelopak mata dan permukaan anterior mata . Selain berfungsi sebagai
pelindung, konjungtiva memungkinkan kelopak mata untuk bergerak dengan
mudah. Epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel kolumnar dan
lamina basal (Klintworth, Cummings, 2007). Sel basal kuboid menyusun sel
polihedral yang mendatar sebelum sel tersebut terlepas dari permukaan. Sel
goblet terdapat di dalam sel epitelnya. Sel goblet kebanyakan terdapat di
inferoir dari nasal dan di konjungtiva forniks, dimana jumlahnya sekitar 5 –
10% jumlah sel basal (Ilyas, 2008). Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua
hingga lima lapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan
epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas karunkula, dan di dekat
persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel – sel epitel
skuamosa. Sel – sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel – sel
superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen (Vaugan, 2011).
Lapisan inferior kelopak mata adalah membran mukosa yang disebut
konjungtiva palpebra. Epitel konjungtiva palpebra adalah epitel berlapis
kolumnar rendah dengan sedikit sel goblet. Epitel berlapis gepeng kulit tipis
berlanjut hingga ke tepi kelopak mata dan kemudian menyatu menjadi epitel
berlapis silindris konjungtiva palpebra (Difiore, 2008).
Konjungtiva bulbar dimulai pada limbus, di mana titik epitel kornea secara
bertahap digantikan oleh epitel konjungtiva dan terus melewati sclera hingga
forniks superior dan inferior (Klintworth, Cummings, 2007).
Stroma (substansia propria) terdiri atas jaringan ikat yang banyak
kehilangan pembuluh darah. Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan
adenoid (superfisial) dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid
mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung
struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak
berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan
mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler
dan mengapa kemudian menjadi folikuler.
C. Perdarahan Subkonjungtiva
1. Definisi
Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat rapuhnya
pembuluh darah konjungtiva (Ilyas, 2008). Darah terdapat di antara
konjungtiva dan sklera. Keadaan ini biasanya mengkhawatirkan bagi pasien
karean mata akan mendadak terlihat merah (Vaughan, 2000).
3. Epidemiologi
Penelitian epidemiologi di Kongo rata – rata usia yang mengalami
perdarahan subkonjungtiva adalah usia 30.7 tahun (Kaimbo, 2008).
Namun, perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua kelompok
umur, namun hal ini dapat meningkat kejadiannya sesuai dengan
pertambahan umur (Graham, 2009). Perdarahan subkonjungtiva sebagian
besar terjadi unilateral (90%).
Kondisi hipertensi memiliki hubungan yang cukup tinggi dengan
angka terjadinya perdarahan subkonjungtiva (14.3%). Pada perdarahan
subkonjungtiva tipe spontan tidak ditemukan hubungan yang jelas dengan
suatu kondisi keadaan tertentu (64.3%). Kondisi lainnya namun jarang
adalah muntah, bersin, malaria, penyakit sickle cell dan melahirkan.
Pada kasus melahirkan, telah dilakukan penelitian oleh oleh Stolp W
dkk pada 354 pasien postpartum dengan perdarahan subkonjungtiva.
Bahwa kehamilan dan proses persalinan dapat mengakibatkan perdarahan
subkonjungtiva (Stolp, 2013).
4. Manifestasi klinis perdarahan subkonjungtiva
Tidak ada gejala simptomatis yang berhubungan dengan perdarahan
subkonjungtiva selain terlihat darah pada bagian sklera pada
sebagian besar kasus.
Jarang mengalami nyeri ketika terjadi perdarahan subkonjungtiva
pada permulaan.
Pasien akan merasa penuh dibawah konjungtiva palpebra ketika
perdarahan terjadi pertama kali.
Pasien akan mengalami iritasi mata sedang ketika hematoma
menjadi larut.
Perdarahan subkonjungtiva sendiri akan jelas terlihat,
permukaannya berwarna merah terang dan halus disekitar sklera
bahkan seluruh permukaan sklera dapat terisi darah.
Pada perdarahan subkonjungtiva spontan (idiopatik), tidak ada darah
yang akan keluar dari mata. Jika mengusapkan tisu ke bola mata
maka tidak akan didapati darah di tisu tersebut.
Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu
kemudianakan berkurang perlahan ukurannya karena diabsorpsi.
Karena struktur konjungtiva yang halus, sedikit darah dapat
menyebar secara difus di jaringan ikat subkonjungtiva dan
menyebabkan eritema difus, yang biasanya memiliki intensitas yang
sama dan menyembunyikan pembuluh darah.
Jika pasien merasa nyeri pada matanya, terjadi perubahan visus
(misalnya, penglihatan kabur, penglihatan ganda, kesulitan melihat),
terdapat riwayat cedera atau trauma baru-baru ini, terdapat riwayat
gangguan perdarahan, atau riwayat tekanan darah tinggi maka hal
tersebut merupakan suatu penyulit yang harus segera ditangani.
5. Patofisiologi
Konjungtiva adalah selaput tipis transparan yang melapisi bagian
putih dari bola mata (sklera) dan bagian dalam kelopak
mata. Konjungtiva merupakan lapisan pelindung terluar dari bola
mata. Konjungtiva mengandung serabut saraf dan sejumlah besar
pembuluh darah yang halus. Pembuluh-pembuluh darah ini umumnya
tidak terlihat secara kasat mata kecuali bila mata mengalami
peradangan. Pembuluh-pembuluh darah di konjungtiva cukup rapuh
dan dindingnya mudah pecah sehingga mengakibatkan terjadinya
perdarahan subkonjungtiva. Perdarahan subkonjungtiva tampak berupa
bercak berwarna merah terang di sklera.
Karena struktur konjungtiva yang halus, sedikit darah dapat
menyebar secara difus di jaringan ikat subkonjungtiva dan
menyebabkan eritema difus, yang biasanya memiliki intensitas yang
sama dan menyembunyikan pembuluh darah. Konjungtiva yang lebih
rendah lebih sering terkena daripada bagian atas. Pendarahan
berkembang secara akut, dan biasanya menyebabkan kekhawatiran,
meskipun sebenarnya tidak berbahaya. Apabila tidak ada kondisi
trauma mata terkait, ketajaman visual tidak berubah karena perdarahan
terjadi murni secara ekstraokulaer, dan tidak disertai rasa sakit
(Graham, 2009).
Secara klinis, perdarahan subkonjungtiva tampak sebagai
perdarahan yang datar, berwarna merah, di bawah konjungtiva dan
dapat menjadi cukup berat sehingga menyebabkan kemotik kantung
darah yang berat dan menonjol di atas tepi kelopak mata. Perdarahan
subkonjungtiva dapat terjadi secara spontan, akibat trauma, ataupun
infeksi. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah konjungtiva atau
episclera yang bermuara ke ruang subkonjungtiva.
Berdasarkan mekanismenya, perdarahan subkonjungtiva dibagi
menjadi dua, yaitu:
a. Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan
Sesuai namanya perdarahan subkonjungtiva ini adalah
terjadi secara tiba – tiba (spontan). Perdarahan tipe ini
diakibatkan oleh menurunnya fungsi endotel sehingga
pembuluh darah rapuh dan mudah pecah. Keadaan yang dapat
menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh adalah umur,
hipertensi, arterisklerosis, konjungtivitis hemoragik, anemia,
pemakaian antikoagulan dan batuk rejan (Ilyas, 2008).
Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan ini biasanya terjadi
unilateral. Namun pada keadaan tertentu dapat menjadi bilateral
atau kambuh kembali; untuk kasus seperti ini kemungkinan
diskrasia darah (gangguan hemolitik) harus disingkirkan
terlebih dahulu (Vaughan, 2000).
b. Perdarahan subkonjungtiva tipe traumatik
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien sebelumnya
mengalami trauma di mata langsung atau tidak langsung yang
mengenai kepala daerah orbita. Perdarahan yang terjadi kadang
– kadang menutupi perforasi jaringan bola mata yang terjadi.
6. Etiologi
a. Idiopatik, suatu penelitian oleh Parmeggiani F dkk di Universitas
Ferara Itali mengenai kaitan genetik polimorfisme faktor XIII
Val34Leu dengan terjadinya perrdarahan subkonjungtiva didapatkan
kesimpulan baik homozigot maupun heterozigot faktor XIII Val34Leu
merupakan faktor predisposisi dari perdarahan subkonjungtiva
spontan, alel Leu34 diturunkan secara genetik sebagai faktor resiko
perdarahan subkonjungtiva terutama pada kasus yang sering
mengalami kekambuhan (Parmeggiani, 2013). Mutasi pada faktor
XIII Val34Leu mungkin sangat berhubungan dengan peningkatan
resiko terjadinya episode perdarahan subkonjungtiva (Incovaia,
2013).
b. Manuver Valsalva (seperti batuk, tegang, muntah – muntah, bersin)
c. Traumatik (terpisah atau berhubungan dengan perdarahan retrobulbar
atau ruptur bola mata)
d. Hipertensi (Pitts, 2013).
e. Gangguan perdarahan (jika terjadi berulang pada pasien usia muda
tanpa adanya riwayat trauma atau infeksi), termasuk penyakit hati atau
hematologik, diabetes, SLE, parasit dan defisisensi vitamin C.
f. Berbagai antibiotik, obat NSAID, steroid, kontrasepsi dan vitamin A
dan D yang telah mempunyai hubungan dengan terjadinya perdarahan
subkonjungtiva, penggunaan warfarin (Leiker, 2013).
g. Sequele normal pada operasi mata sekalipun tidak terdapat insisi pada
konjungtiva.
h. Beberapa infeksi sistemik febril dapat menyebabkan perdarahan
subkonjungtiva, termasuk septikemia meningokok, demam scarlet,
demam tifoid, kolera, riketsia, malaria, dan virus (influenza, smallpox,
measles, yellow fever, sandfly fever).
i. Perdarahan subkonjungtiva telah dilaporkan merupakan akibat emboli
dari patahan tulang panjang, kompresi dada, angiografi jantung,
operasi bedah jantung.
j. Penggunaan lensa kontak, faktor resiko mayor perdarahan
subkonjungtiva yang diinduksi oleh penggunaan lensa kontak adalah
konjungtivakhalasis dan pinguecula (Mimura, 2013).
k. Konjungtivokhalasis merupakan salah satu faktor resiko yang
memainkan peranan penting pada patomekanisme terjadinya
perdarahan subkonjungtiva.
10. Komplikasi
Perdarahan subkonjungtiva akan diabsorpsi sendiri oleh tubuh
dalam waktu 1 – 2 minggu, sehingga tidak ada komplikasi serius yang
terjadi. Namun adanya perdarahan subkonjungtiva harus segera
dirujuk ke dokter spesialis mata jika ditemui berbagai hal seperti yang
telah disebutkan diatas (Ilyas, 2008)
Pada perdarahan subkonjungtiva yang sifatnya menetap atau
berulang (kambuhan) harus dipikirkan keadaan lain. Penelitian yang
dilakukan oleh Hicks D dan Mick A mengenai perdarahan
subkonjungtiva yang menetap atau mengalami kekambuhan
didapatkan kesimpulan bahwa perdarahan subkonjungtiva yang
menetap merupakan gejala awal dari limfoma adneksa okuler
(Graham, 2009).
11. Prognosis
Prognosis dari perdarahan subkonjungtiva secara umum
adalah baik, karena sifatnya yang dapat diabsorpsi sendiri oleh tubuh.
Namun, dianjurkan untuk melakukan evaluasi lebih lanjut untuk
keadaan tertentu seperti sering mengalami kekambuhan, persisten
atau disertai gangguan pandangan (Ilyas, 2008).
DAFTAR PUSTAKA