Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

ABSES SUBMANDIBULA

DISUSUN OLEH :

M. Fadiliza Abinandra G991902035


Astarina Indah Apsari G99172050
Rahadian Arista D. G99181050
Fauziah Nur Sabrina G99181030
M Sandhia Mahardhika P. G991902036
Nabila Aushaf P. G991906024

PEMBIMBING :

drg. Eva Sutyowati Permatasari, Sp.BM, MARS

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS

RSUD DR. MOEWARDI

2019
BAB I

PENDAHULUAN

Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial di antara fasia leher
sebagai akibat perjalanan infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Yang termasuk abses leher
dalam ialah abses peritonsil, abses parafaring, abses retrofaring dan angina ludovici
(angina Ludwig) atau abses submandibular (Hartmann, 2011).

Abses leher dalam merupakan akumulasi pus didalam ruang potensial


diantara fascia leher dalam. Kumpulan pus ini muncul akibat adanya reaksi
inflamasi seperti infeksi dental,faring, tonsil, sinus paranas, dan telinga atau karena
proses trauma. Gejala klinis berupa nyeri dan bengkak pada daerah yang terjadi
inflamasi. Secara anatomis, ruang leher bagian dalam merupakan area yang
kompleks, sehingga sangat dibutuhkan penguasaan ilmu anatomi yang baik untuk
dapat memberikan terapi yang baik (Johnson et al, 2014).

Ruang submandibular adalah lokasi yang paling sering ditemui pada infeksi
ruang leher dalam (Kinzer et al, 2009). Infeksi leher dalam biasa ditemui pada anak
maupun orang dewasa. Namun presentasi, progresifitas dan penatalaksanaan-nya
sangat berbeda dalam dua kelompok usia tersebut.[3,4] Keterlambatan dalam
diagnosis, atau lebih buruk lagi, kesalahan diagnosis, dapat mengakibatkan
terjadinya mediastinitis dan kematian. Bahkan di era antibiotik modern, telah
dilaporkan angka kematian mencapai 40% (Gadre, 2006).

Abses di ruang submandibula adalah salah satu abses leher dalam yang
sering ditemukan. Ruang submandibula merupakan suatu ruang potensial pada
leher yang terdiri dari ruang sublingual dan submaksila yang dipisahkan oleh otot
milohioid (Rahardjo, 2013). Selain disebabkan oleh infeksi gigi, infeksi di ruang
submandibula bisa disebabkan oleh sialadenitis kelenjar submandibula,
limfadenitis, trauma atau pembedahan dan bisa juga sebagai kelanjutan infeksi
ruang leher dalam lain. Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh kuman aerob,

1
anaerob atau campuran. Infeksi di ruang submandibula biasanya ditandai dengan
pembengkakan di bawah rahang, baik unilateral atau bilateral (Rana et al, 2013).

Obstruksi jalan napas dan penyebaran infeksi ke mediastinum adalah


komplikasi yang paling sulit penanganannya dari infeksi ruang submandibula.
Insisi dan drainase secara dini harus selalu dipertimbangkan pada pasien, bahkan
dalam kasus-kasus yang tampaknya tidak kritis (Rizzo dan Mosto, 2009). Abses
leher dalam masih dihubungkan dengan angka kesakitan dan angka kematian yang
tinggi bila disertai komplikasi. Meskipun ada peningkatan dalam hal perawatan gigi
dan hygiene rongga mulut, tapi baru-baru ini dikemukakan prevalensi yang
bermakna dari infeksi leher dalam yang disebabkan oleh infeksi gigi lebih dari 40%
(Marioni et al, 2008).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi

Abses leher dalam adalah akumulasi pus didalam ruang potensial


diantara fascia leher dalam. Kumpulan pus ini muncul akibat adanya reaksi
inflamasi seperti infeksi dental,faring, tonsil, sinus paranasal, dan telinga atau
karena proses trauma.
Abses di ruang submandibula adalah salah satu abses leher dalam yang
terjadi pada ruang submandibular dan sering ditemukan. Ruang submandibula
merupakan suatu ruang potensial pada leher yang terdiri dari ruang sublingual
dan submaksila yang dipisahkan oleh otot milohioid (Rahardjo, 2013). Pus
yang terbentuk diakibatkan oleh adanya infeksi gigi dan infeksi pada ruang
submandibular akibat sialadenitis kelenjar submandibula, limfadenitis, trauma
atau pembedahan dan bisa juga sebagai kelanjutan infeksi ruang leher dalam
lain. Infeksi dapat disebabkan oleh kuman aerob maupun anaerob. (Rana et al,
2013).

II. Epidemiologi

Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai


pembentukan pus pada daerah submandibula. Keadaan ini merupakan salah
satu infeksi pada leher bagian dalam. Pada umumnya sumber infeksi pada
ruang submandibula berasal dari proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring,
kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher
dalam lain. Abses submandibula sudah semakin jarang dijumpai, hal ini
disebabkan penggunaan antibiotik yang luas dan kesehatan mulut yang
meningkat (Hesley, 2013).Rana dkk dalam penelitiannya menyatakan bahwa
diantara abses leher dalam, abses submandibula merupakan abses leher dalam
yang paling sering terjadi (60%), diikuti oleh abses parafaring (16%), abses
parotis (6%) dan abses retrofaring (4%). Pada penelitian yang dilakukan oleh

3
Paolo Rizzo ditemukan bahwa penderita abses submandibula berusia antara 12
sampai 96 tahun dengan rata-rata usia sekitar 57 tahun. Angka kejadian abses
submandibula lebih banyak ditemukan pada laki-laki (51,9%) dibanding
perempuan (48,1%) (Rizzo, 2009).

Diantara penderita-penderita Abses Submandibula didapatkan bahwa


mayoritas penderita abses Submandibula adalah pria dengan presentasi 53%
dibandingkan dengan wanita yang hanya mencapai 43%. Selain pada pria
presentasi penderita Abses Submandibula terbanyak juga terdapat pada
kelompok umur >50 tahun mencapai 33%. Berdasarkan penelitan Abses
submandibula ini didapatkan juga pada anak-anak dengan usia termuda 1 tahun
dan yang tertua pada umur 70 tahun,oleh karena itu tidak ada batasan umur
pada abses submandibula, seperti yang diungkapkan oleh Sakaguchi bahwa
Abses Submandibula dapat ditemui dari umur 1-81 tahun (Hesley, 2013).

III. Anatomi Leher

Leher merupakan bagian dari tubuh manusia yang terletak di antara


thoraks dan caput. Batas di sebelah cranial adalah basis mandibula dan suatu
garis yang ditarik dari angulus mandibula menuju ke processus mastoideus,
linea nuchae suprema sampai ke protuberantia occipitalis eksterna. Batas
kaudal dari ventral ke dorsal dibentuk oleh incisura jugularis sterni, klavicula,
acromion dan suatu garis lurus yang menghubungkan kedua acromia.
Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potesial yang dibatasi oleh
fasia servikalis. Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang
membungkus organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher
menjadi beberapa ruang potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi dua bagian
yaitu fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda.
Fasia servikalis superfisialis terletak tepat dibawah kulit leher berjalan
dari perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan
ke bawah ke arah toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan.
Ruang antara fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi

4
kelenjar limfe superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis
eksterna.
Fasia superfisial terletak dibawah dermis. Ini termasuk sistem
muskuloapenouretik,yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila dan
dada, dan tidak termasuk bagiandari daerah leher dalam. Fasia profunda
mengelilingi daerah leher dalam terdiri dari 3 lapisan yaitu (gambar 1) :
1. Lapisan superfisial
Lapisan superfisial membungkus musculus sternokleidomastoideus,
musculus trapezius, musculus masseter, kelenjar parotis dan submaksila dan
berlanjut ke garis tengah di leher untuk bertemu dengan fascia sisi lain.
Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal, investing layer, lapisan
pembungkus dan lapisan anterior
2. Lapisan media
Lapisan media membungkus otot-otot pratrakeal dan bertemu pula
dengan fascia sisi lain di garis tengah yang juga merupakan pertemuan
dengan fascia coli superficial. Ke dorsal fascia koli media membungkus
arteri karotis komunis, vena jugularis interna dan nervus vagus jadi satu.
3. Lapisan profunda
Lapisan profunda membungkus musculus prevertebralis dan bertemu
ke lateral dengan fascia koli media.

5
Gambar 1. Potongan obliq leher

Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan


daerah sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid (gambar 2).
1. Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari:
a. ruang retrofaring
b. ruang bahaya (danger space)
c. ruang prevertebra.
2. Ruang suprahioid terdiri dari:
a. ruang submandibula
b. ruang parafaring
c. ruang parotis
d. ruang mastikor
e. uang peritonsil
f. uang temporalis.
3. Ruang infrahioid
a. ruang pretrakeal.

6
Gambar 2. Potongan sagital leher

Anatomi Ruang Mandibula

Ruang submandibular terletak diantara m.mylohyoid, kulit dan fasia


superficialis. Sebelah atas dibatasi oleh margo inferior mandibulae ,membrane
mukosa dasar mulut dan lidah, sebelah bawah dibatasi fasia yang membentang
dari os. Hyoid ke mandibular dan venter anterior dan posterior dari musculus
digastricus. Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan submaksila.
Muskulus mylohyoid memisahkan ruang sublingual dengan submaksila.
Ruang ini mengandung glandula saliva sub mandibular dan sub mandibular
lymphanodes.

7
Ruang submandibula berhubungan dengan beberapa struktur
didekatnya (gambar 3), oleh karena itu abses submandibula dapat menyebar ke
struktur didekatnya.

Gambar 3. Ruang potensial leher dalam (A) Potongan aksial, (B) potongan
sagital.
Ket : SMS: submandibular space; SLS: sublingual space; PPS:
parapharyngeal space; CS: carotid space; MS: masticatory space. SMG:
submandibular gland; GGM: genioglossus muscle; MHM: mylohyoid
muscle; MM: masseter muscle; MPM: medial pterygoid muscle; LPM:
lateral pterygoid muscle; TM: temporal muscle.

8
IV. Etiologi

Sumber infeksi yang biasanya menyebar ke ruang submandibular


sebagian besar berasal dari gigi dan sumber yang lain dari infeksi kelenjar
ludah, faring, tonsil dan sinus dalam presentase yang lebih rendah. Infeksi
dapat timbul dari gigi ke berbagai ruang di sekitarnya seperti ruang submental,
sublingual dan submandibular.
Lokasi perforasi infeksi dengan perlekatan m. mylohyoid menentukan
tempat terjadinya infeksi pada ruang sublingual atauupun ruang submandibula.
Jika lokasi akar gigi lebih tinggi dari perlekatan m. mylohyoid (premolar,
molar 1) maka infeksi terjadi pada ruang sublingual. Sedangkan jika lokasi akar
gigi lebih rendah dari perlekatan m. mylohyoid (molar 2 dan 3) maka infeksi
terjadi pada ruang submandibula.
Pada kasus besar abses leher dalam dijumpai berbagai kuman, baik
kuman aerob dan anaerob secara bersamaan. Kuman aerob yang sering
ditemukan adalah Stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza,
Streptococcus Pneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp.
Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah
kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun
Fusobacterium. dalam satu kasus rata-rata dijumpai lebih dari 5 spesies kuman,
sehingga pemeriksaan kultur dan sensitivitas kuman sangat diperlukan dalam
menunjang keberhasilan terapi.
Tabel 1. Jenis-jenis kuman yang sering menginfeksi leher bagian dalam

9
V. Patofisiologi

Abses adalah kumpulan pus yang terletak dalam satu kantung yang
terbentuk dalam jaringan yang disebabkan oleh suatu proses infeksi oleh
bakteri, parasit atau benda asing lainnya. Abses merupakan reaksi pertahanan
yang bertujuan mencegah agen-agen infeksi menyebar ke bagian tubuh
lainnya. Pus itu sendiri merupakan suatu kumpulan sel-sel jaringan lokal yang
mati, sel-sel darah putih, organisme penyebab infeksi atau bendabenda asing
dan racun yang dihasilkan oleh organisme dan sel-sel darah. Bakteri yang
masuk kedalam jaringan yang sehat dapat menyebabkan terjadinya infeksi.
Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan
sesel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh
dalam melawan infeksi, bergerak kedalam rongga tersebut dan setelah menelan
bakteri maka sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati inilah yang
membentuk pus dan mengisi rongga tersebut. Adanya penimbunan pus ini
menyebabkan jaringan disekitarnya akan terdorong dan tumbuh di sekeliling
abses menjadi dinding pembatas.

Infeksi ruang leher dalam dapat terjadi melalui beberapa cara yaitu
limfogen, hematogen, perkontinuitatum dan infeksi langsung. Beratnya infeksi
tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi. Ruang
submandibula terletak diantara otot dan kulit milohyoid yang memiliki batas
posterior yang terbuka sehingga berhubungan dengan ruang di dekatnya. Saat
ruang submandibula mengalami infeksi, pembengkakan dimulai pada batas
inferior lateral dari mandibula dan meluas ke medial menuju area digastrikus
dan ke posterior menuju tulang hyoid. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
infeksi gigi atau odontogenik merupakan penyebab terbanyak dari abses
submandibula. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran
infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Pada
infeksi odontogenik perkembangan infeksi dapat terjadi antara satu hari sampai
tiga minggu. Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikator
kemudian ke parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung
dari ruang submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah

10
potensial lainnya. Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar melalui
jaringan ikat, pembuluh darah, dan pembuluh limfe. Yang paling sering terjadi
adalah perkontinuitatum karena adanya celah atau ruang diantara jaringan yang
berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus. Perjalanan infeksi pada rahang
atas dapat membentuk abses palatal, abses submukosa, abses gingiva,
thrombosis sinus kavernosus, abses labial, dan abses fasial. Perjalanan infeksi
pada rahang bawah dapat membentuk abses sublingual, submental, abses
submandibula, abses submaseter, dan angina Ludovici. Ujung akar molar
kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea milohioid yang terletak di
aspek dalam mandibula, sehingga jika molar kedua atau ketiga terinfeksi dan
membentuk abses, pusnya akan menyebar ke ruang submandibula dan dapat
meluas ke ruang parafaring.

VI. Manisfestasi Klinis

Pada anamnesis dapat ditemukan sebagai berikut:


 Demam
 Air liur yang banyak
 Trismus akibat keterlibatan musculus pterygoid
 Disfagia
 Sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh lidah yang terangkat ke atas
dan terdorong ke belakang
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
 Pembengkakan di daerah submandibula, fluktuatif, dan nyeri tekan
 Pada insisi didapatkan material yang bernanah atau purulent (merupakan
tanda khas).
 Angulus mandibula dapat diraba.
 Lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.

11
Gambar 4. Abses submandibula

VII. Diagnosis

Diagnosis abses leher dalam ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis


yang cermat, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada beberapa
kasus kadang-kadang sulit untuk menentukan lokasi abses terutama jika
melibatkan beberapa daerah leher dalam dan jika pasien sudah mendapatkan
pengobatan sebelumnya. Kompleksitas anatomi daerah ini membuat diagnosis
dan pengobatan infeksi cenderung sulit. Sampai saat ini infeksi ini tetap
menjadi masalah kesehatan dengan risiko morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. (Rahman, 2013).

VIII. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang sangat berperan dalam menegakkan diagnosis.


Pada foto polos jaringan lunak leher anteroposterior dan lateral didapatkan
gambaran pembengkakan jaringan lunak, cairan di dalam jaringan lunak, udara
di subkutis dan pendorongan trakea. Pada foto polos toraks, jika sudah terdapat
komplikasi dapat dijumpai gambaran pneumotoraks dan juga dapat ditemukan
gambaran pneumomediastinum.
Jika hasil pemeriksaan foto polos jaringan lunak menunjukkan
kecurigaan abses leher dalam, maka pemeriksaan tomografi komputer idealnya
dilakukan. Tomografi Komputer (TK) dengan kontras merupakan standar

12
untuk evaluasi infeksi leher dalam. Pemeriksaan ini dapat membedakan antara
selulitis dengan abses, menentukan lokasi dan perluasan abses. Pada gambaran
TK dengan kontras akan terlihat abses berupa daerah hipodens yang berkapsul,
dapat disertai udara didalamnya, dan edema jaringan sekitar. TK dapat
menentukan waktu dan perlu tidaknya operasi. (Smeltzer, 2001).
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan pencitraan
resonansi magnetik (Magnetic resonance Imaging / MRI) yang dapat
mengetahui lokasi abses, perluasan dan sumber infeksi. Sedangkan
Ultrasonografi (USG) adalah pemeriksaan penunjang diagnostik yang tidak
invasif dan relatif lebih murah dibandingkan TK, cepat dan dapat menilai
lokasi dan perluasan abses. Foto panoramik digunakan untuk menilai posisi
gigi dan adanya abses pada gigi. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada
kasus abses leher dalam yang diduga sumber infeksinya berasal dari gigi.
Pemeriksaan darah rutin dapat melihat adanya peningkatan leukosit
yang merupakan tanda infeksi. Analisis gas darah dapat menilai adanya
sumbatan jalan nafas. Pemeriksaan kultur dan resistensi kuman harus
dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan antibiotik yang sesuai. (Imanto,
2015).

IX. Penatalaksanaan

Antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus


diberikan secara Parenteral. Hal yang paling penting adalah terjaganya
saluran nafas yang adekuat dan drainase abses yang baik. Seharusnya
pemberian antibiotik berdasarkan hasil biakan kuman dan tes kepekaan
terhadap bakteri penyebab infeksi, tetapi hasil biakan membutuhkan
waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pengobatan harus
segera diberikan. Sebelum hasil mikrobiologi ada, diberikan antibiotik
kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anastesi
lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam
narkosis bila letak abses dalam dan luas. Adanya trismus menyulitkan
untuk masuknya pipa endotrakea peroral. Pada kasus demikian diperlukan
tindakan trakeostomi dalam anastesi lokal. Jika terdapat fasilitas

13
bronkoskop fleksibel, intubasi pipa endotrakea dapat dilakukan secara
intranasal. Insisi abses submandibula untuk drainasedibuat pada tempat
yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas
abses. Eksplorasi dilakukan secara tumpul sampai mencapai ruang
sublingual, kemudian dipasang salir.

X. Komplikasi

Infeksi leher dalam dengan penatalaksanaan inadekuat dapat menyebar

ke ruang leher dalam lainnya, ditambah dengan keterlambatan dalam

mendiagnosis dan penatalaksanaan beresiko tinggi untuk meliki berbagai

komplikasi yang mengancam jiwa yaitu:

 Obstruksi jalan nafas akibat tertekannya trakea

 Aspirasi yang dapat terjadi pada intubasi endotracheal

 Komplikasi vaskular seperti trombosis vena jugularis interna, erosi dan

ruptur arteri carotid.

 Defisit neurologis seperti disfungsi saraf kranial atau saraf otonom di leher

yang menimbulkan disfoni akibat terkenanya nervus vagus atau Sindrom

Horners akibat pengaruh saraf simpatis.

 Emboli septik pada paru-paru, otak.

 Shock sepsis.

 Necrotizing Cervical Fasciitis yaitu nekrosis pada jaringan penyambung

akibat penyebaran infeksi melalui fasia. Hal ini memiliki angka morbiditas

dan mortalitas yang cukup tinggi.

 Osteomyelitis akibat penyebaran lansung pada tulang belakang,

mandibula, atau tengkorak.

14
 Sindrom Grisel akibat subluxasi servikal.

Beberapa faktor memiliki resiko yang lebih tinggi untuk timbulnya

komplikasi, yaitu jenis kelamin dimana wanita lebih sering dari pria, pasien

dengan pembengkakan pada leher, serta penderita diabetes yang memperburuk

keadaan umum.

Gambar 5. Abses submandibula pada penderita Diabetes Mellitus

XI. Prognosis

Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat


didiagnosis secara dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak
terjadi. Pada fase awal dimana abses masih kecil maka tindakan insisi dan
pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat menghasilkan penyembuhan
yang sempurna. Sejak ditemukan antibiotik, kejadian komplikasi terkait
dengan abses leher dalam termasuk abses submandibula telah menurun selama
dekade terakhir. Apabila telah terjadi mediastinitis, angka mortalitas mencapai
40-50% walaupun dengan pemberian antibiotik. Ruptur arteri karotis
mempunyai angka mortalitas 20-40% sedangkan trombosis vena jugularis
mempunyai angka mortalitas 60% (Rosen EJ,2002 ; Brook I,2002 ; Surarso
B,2011).

15
DAFTAR PUSTAKA

Brook I, Microbiology of polymicrobial abscess and implication for therapy. J


antimicrob chemother 2002;50:805-10.
Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku
ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 7. Jakarta: Balai
Penerbit FK-UI. 2007: p. 185-8.
Gadre AK, Gadre KC. Infections of the Deep Spaces of the Neck. In Bailey BJ,
Johnson JT, Newlands SD (editors). Head and Neck SurgeryOtolaryngology.
Lippincot Williams and Wilkins 2006; 4th ed: p665-82.
Hartmann RW. Ludwig Angina in Children. Available at http:// www.aafp.orq.
Accessed on 15 march 2011.
Hesley I, Lumintang N, Limpeleh H. Profil Abses Submandibula Di Bagian Bedah
Rs Prof. Dr. R. D. Kando Manado Periode Juni 2009 Sampai Juli 2012.
Bagian Bedah BLU RSU Prof. dr. R.D. Kandou Manado.2013.p.3-4.
Imanto M. Evaluasi Penatalaksanaan Abses Leher Dalam Di Departemen THT-KL
Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode Januari 2012– Desember 2012.
Juke Unila . 2015. 5(9): 33-37.
Johnson J, Rosen C, Newlands S and Amin M. Deep Neck Infections. in: Aynehchi
B, (Ed.). Bailey’s Head and Neck Surgery–Otolaryngology. Philadelphia:
Lippincot Williams & Wilkins, 2014, P. 794-813.
Kinzer S, Pfeiffer J, Becker S et al. Severe Deep Neck Space Infections and
Mediastinitis of Odontogenic Origin: Clinical Relevance and Implications for
Diagnosis and Treatment. Acta Oto-Laryngol, 2009;129: p62-70.
Marioni G, Rinaldi R, Staffieri C et al. Deep Neck Infection with Dental Origin:
Analysis of 85 consecutive Cases (2000-2006). Acta OtoLaryngol, 2008; 128:
p201-6.
Rahardjo P. Infeksi Leher Dalam. Makasar: Graha Ilmu.2013. p.2-16.
Rahman S. Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Leher Dalam. Universitas
Andalas. Padang: Indonesia. 2013.
Raju R, Digoy GP. Deep Space Neck Infection. In Mitchell RB, Pereira KD
(editor). Otolaryngology for the Clinician. Saint Louis, Springer Science, 2009.
p223-9.

16
Rana K, Rathore PK, Wadhwa V, Kumar S. Deep Neck Infections: Continuing
Burden in Developing World. International Journal of Phonosurgery and
Laryngology. 2013;3(1):6-9.
Rizzo PB, Mosto MC. Submandibular Space Infection: a Potentially Lethal
Infection. International Journal of Infect Diseases. Elsevier 2009, 13, p327-
33.
Rosen EJ. Deep neck spaces and infections. Grand rounds resentation, UTMB,
Dept. Of Otolaryngology.2002.
Rosenblatt. Airway Management. In: Barash PG,Cullen BF, Stoelting RK editors.
5th ed Clinical anasthesia. Philadelphia: Lippincont Williams &Wilkins.
2006.p.596-693.
Scott BA, Steinberg CM, Driscoll BP. Infection of the deep Space of the
neck. In: Bailley BJ, Jhonson JT, Kohut RIet al editors. Otolaryngology
Head and neck surgery. Philadelphia: JB.Lippincott Company 2001.p.701-
15.
Smeltzer SC, Bare BG. Buku Ajar Medikal-Bedah. Brunner &Suddarth. Vol. 2.
E/8, EGC, Jakarta. 2001.
Songu M, Demiray U, Adibell ZH et al. Bilateral Deep Neck Space Infection: a
Case Report and Review of the Literature. Acta Otorhinolaryngol Italica
2011; 31: p1-4.
Surarso Bakti. Abses leher dalam didalam pendidikan kedokteran berkelanjutan ix
ilmu kesehatan thtkl.penatalaksanaan kegawatdaruratan di bidang telingan
hidung tenggorok-bedah kepala dan leher. departemen ilmu kesehatan THT-
KL FK UNAIR-RSUD Dr Soetomo. Surabaya. 2011. Hlm. 123-32.
Yusa H, Yoshida H, Euno E, Onizawa K, Yanagawa T. Ultrasound-guided
surgical drainage of face and neck abscess. J oral Maxillofac Surgery. 2002 ;
31:327-9

17

Anda mungkin juga menyukai