Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN KASUS: TATALAKSANA RECURRENT APTHOUS STOMATITIS

DI PUSKESMAS UNTER IWES, SUMBAWA


NUSA TENGGARA BARAT
Laporan kasus
Identitas pasien:
Nama : Tn. R
Umur : 6 tahun
No. RM : 78-00-17-02
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Umber, Sumbawa Besar
Pekerjaan : Siswa sekolah
Visit 1 : 10 Oktober 2023

Skenario
Seorang pasien anak laki-laki berumur 6 tahun datang didampingi ibunya dengan keluhan
banyak sariawan pada rongga mulutnya dan bagian sekitar tenggorokan, susah membuka
mulut, makan dan minum terasa nyeri sejak beberapa hari yang lalu.
Hasil pemeriksaan didapatkan bahwa pasien terdapat riwayat demam setelah sariawan muncul.

Pemeriksaan Subjektif
Keluhan utama :
- Rasa sakit dan nyeri pada gusi antara pipi dan gigi kiri rahang atas
- Rasa sakit dan nyeri pada bibir bagian bawah
- Rasa sakit dan nyeri pada ujung lidah dan bagian tengah lidah
- Rasa sakit dan nyeri di dekat tenggorokan sebelah kiri dan bagian atas tenggorokan
sehingga sulit menelan
Riwayat penyakit sekarang :
Sariawan muncul sejak beberapa hari yang lalu, tidak pasti sejak kapan munculnya, muncul satu
persatu sehingga menjadi banyak tanpa sebab yang jelas.
Saat ini pasien merasakan nyeri yang tak tertahankan.
Riwayat penyakit terdahulu :
Pasien tidak mengonsumsi obat apapun, tidak pernah rawat inap dan sedang tidak menjalani
perawatan apapun.
Riwayat kesehatan gigi dan mulut :
Pasien belum pernah pergi ke dokter gigi sebelumnya
Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada kelainan
Riwayat sosial ekonomi :
Baik
Riwayat alergi :
Tidak ada riwayat alergi obat, makanan/minuman.

Pemeriksaan objektif
Pemeriksaan ekstraoral :
 Fasial : simetris, tidak ada kelainan
 Tulang maksila : tidak ada kelainan
 Tulang mandibula : tidak ada kelainan
 TMJ : tidak ada kelainan
 Kel. Submandibular : teraba, lunak, tidak sakit
Pemeriksaan intraoral :
OHI : Baik
Mukosa rongga mulut :
Terdapat lesi berbentuk ulserasi dan lesi berbentuk erosi dengan bentuk reguler dan
irreguler dengan ukuran bervariasi <1 cm dan >1 cm
Lesi terdapat di beberapa lokasi; vestibulum bukalis depan gigi P1 kanan rahang atas, lower
labial sinistra, 1/3 anterior lingual sinistra, median sulcus lingual, didepan tonsil, 1/3
posterior palatal didepan uvula.
Warna inti bervariasi; berwarna merah lebih pucat dari jaringan sekitarnya dan berwarna
merah lebih terang dari jaringan sekitarnya
Warna sekitar/tepi lesi (batas lesi); berwarna merah lebih terang dari jaringan sekitarnya,
berbatas jelas dan tidak jelas
Konsistensi lesi lunak
Jumlah lesi multiple >5 lesi
Lesi muncul bilateral pada rongga mulut
Lesi tidak ada indurasi
Lesi terasa nyeri dan sakit
Gigi : tidak dilakukan pemeriksaan dengan seksama
Pemeriksaan penunjang : Tidak dilakukan
Diagnosis : Stomatitis apthous recurrent mayor multiple
Diagnosis banding : SAR minor, SAR hepertiform, Primary Herpetic Gingivostomatitis

Gambaran Klinis dan Deskripsi Recurrent Apthous Stomatitis


RAS terjadi pada 20-25% populasi secara keseluruhan dimana saja. Karakteristik RAS adalah
ulserasi yang rekuren pada mukosa rongga mulut tanpa ada tanda-tanda penyakit lainnya. Lesi
RAS berbentuk ulser rekuren yang sakit pada rongga mulut berbentuk bulat atau oval, memiliki
eritematous halo, bisa tunggal atau multipel. Biasanya, lesi ini self limiting disease dan sembuh
dalam waktu 10-14 hari. RAS lebih umum terjadi pada wanita dewasa atau anak-anak, atau kulit
pulit, atau orang dengan status sosioekonomi tinggi. RAS sering terjadi pada umur 10-40 tahun.
(Kurniawati, Atik dan Swasti. 2016. Management of Recurrent Apthous Stomatitis with
Reproductive Hormones Predisposing Factor (Case Report). Procedings Book FORKINAS VI FKG
UNEJ 14th-15th 2016. pp. 365-371) (Priambodo NT, dkk. 2019. Multidisciplinary Management
of Recurrent Apthous Stomatitis Trigerred by Severe Depression. Denta, Jurnal Kedokteran
Gigi. Vol. 15 (1). pp. 40
RAS dikelompokkan ke dalam kelompok penyakit kronis, inflamasi atau ulserasi pada rongga
mulut. Chiang, CP)
Tampakan klinis RAS terdiri dari bentuk bulat atau oval, single atau multipel, ulser putih
kekuningan yang diketahui sebagai halo eritematous, sakit dan rekuren (berulang). (prambodo,
dkk)

Jenis-jenis recurrent apthous stomatitis dan diagnoosis bandingnya


1. Recurrent apthous stomatitis minor
Ukurannya antara 3 mm-10 mm. Yang biasanya muncul dari oral mukosa non keratin
dengan mukosa bukal dan labial sering terkena. Lesi mungkin didahului oleh makula
eritomatosa dengan gejala prodromal berupa rasa terbakar atau menyengat selama
beberapa jam hingga satu atau dua hari. Kemudian, ulserasi oral muncul ditutupi oleh
jaringan pseudomembran fibrinopurulen berwarna kuning putih. Ulserasi oral sembuh
tanpa jaringan parut (bekas luka) dalam 7-14 hari. Meskipun stomatitis apthous
recurrent minor adalah lesi yang kecil, rasa sakitnya seringkali tidak proporsional dengan
ukuran lesinya.
2. Recurrent apthous stomatitis major
Ulser oral stomatitis apthous recurrent mayor berkuran dengan diameter 1 cm – 3 cm.
Biasanya memakan waktu 2-6 minggu untuk sembuh dan bisa jadi meninggalkan
jaringan parut (bekas luka). Mukosa labial, palatum molle, tonsil tenggorokan
merupakan yang paling sering terlibat. Dalam kasus yang berat, proses jaringan parut
yang berulang dapat terjadi keterbasan saat membuka mulut.

3. Recurrent apthous stomatitis hepertiform


Stomatitis apthous recurrent hepertiform merupakan jumlah lesi terbanyak dan
rekurensi yang paling sering terjadi. Ulkus mulut ini bervariasi dari diameter 1 mm
hingga 3 mm dan beberapa diantaranya mungkin menyatu mejadi ulserasi irreguler
uang besar. Ulserasi oral ini sembuh antara 7-10 hari. Stomatitis apthous recurrent
hepertiform memiliki kecenderungan pada wanita dan onset tipikal yang khas pada
masa dewasa. SAR hepertiform mungkin membingungkan untuk dibedakan dengan virus
herpes simplex (HSV-1 atau HHV-1). Namun, lesi SAR hepertiform memang demikian
umumnya ditemukan pada mukosa mulut non keratinisasi dan lesi HSV-1 sering muncul
pada mukosa mulut berkeratin serperti gingiva dan palatum durum. (Chu-Pin Chiang,
dkk). RAS hepertiform biasanya muNcul dengan jumlah multipel 10-100 ulser.
(Prambodo, dkk)
Diagnosa Banding Penyakit Lainnya
1. Primary Herpetic Gingivostomatitis

Etiologi Stomatitis Apthous Recurrent


Etiologi
Sampai sekarang etiologi dari RAS tidak jelas. RAS dipertimbangkan etiopatogenesisnya
multifaktorial.
Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa RAS merupakan gangguan yang dimediasi
secara genetik dan imunitas turunan menjadi peran penting dari perkembangan penyakit ini.
Faktor-faktor yang mengubah respon imunologi pada RAS meliputi kecenderungan genetik,
infeksi virus dan bakteri, alergi (makanan, minuman atau obat-obatan), defisiensi vitamin dan
unsur mikro, penyakit sistemik, ketidakseimbangan hormonal, cedera secara mekanis,
abnormalitas psikologi (seperti stres), defisiensi hematinik (zat besi, asam folat dan vitamin
B12), usia, jenis kelamin. (Chiang, CP) (prambodo, dkk) (kurniawati)
 Beberapa penelitian mengungkapkan hal itu stes mempunyai hubungan yang erat
dengan RAS, dimana ada hubungan dengan kortisol dan spesies oksigen reaktif (ROS).
RAS juga menentang perubahan pada sistem kekebalan tubuh, yaitu modifikasi yang
mempengaruhi banyak sistem kekebalan tubuh seperti distribusi, proliferasi dan
aktivitas limfosit dan sel pendukung alami, fagositosis, dan produksi sitokin dan
antibodi.
 Faktor sistemik sebagai faktor predisposisi terjadinya RAS salah satunya adalah hormon
reproduksi. Hormon yang berkaitan dengan faktor predisposisi terjadinya RAS adalah
hormon progesteron. Terjadinya ulser pada RAS dapat berhubungan dengan fase luteal
pada saat siklus menstruasi, dimana terjadi modulasi level progesteron sehingga
berpengatuh pada terlambatnya pergantia epitel pada mukosa oral. (Kurniawati, Atik
dan Swasti. 2016. Management of Recurrent Apthous Stomatitis with Reproductive
Hormones Predisposing Factor (Case Report). Procedings Book FORKINAS VI FKG UNEJ
14th-15th 2016. pp. 365-371)
Hubungan siklus menstruasi dengan penderita RAS dilaporkan oleh Jason dan Maso.
Pengaruh ini mungkin disebabkam fluktuasi level estrogen dan progesteron yang
reseptornya dapat dijumpai dalam rongga mulut. Peningkatan level proffesteron
berpengaruh pada penekanan respon imun, hal ini berdampak apabila terjadi perlukaan
pada mukosa rongga mulut atau terjadi infeksi, maka proses penyembuhan atau proses
self limiting yang terjadi akan lebih lama. (Kurniawati, Atik dan Swasti. 2016.
Management of Recurrent Apthous Stomatitis with Reproductive Hormones
Predisposing Factor (Case Report). Procedings Book FORKINAS VI FKG UNEJ 14th-15th
2016. pp. 365-371)
 Kecenderungan genetik, keluarga yang positif menderita RAS dilaporkan pada 24%-46%
kasus RAS. Pasien dengan riwayat keluarga positif RAS menderita
kekambuhan/rekurensi yang lebih sering dan perjalanan penyakit yang lebih parah
dibandingkan dengan keluarga yang negatif RAS. (Chiang, CP)
Gambaran Klinis Stomatitis Recurrent

Diagnosa Banding

Rencana Perawatan
Kunjungan 1 :
- Pengobatan stomatitis apthous recurrent
- peresepan antibiotik: amoxicilin 250 mg. Caps. No. X. ʃ 3.dd.1. pc. Habiskan
- peresepan analgesik: paracetamol 250 mg. Tab. No. X. ʃ 3.dd.1. pc. prn.
Penatalaksanaan
Tata laksana :
1. Asepsis dengan cotton pellet dan povidone iodine
2. Observasi
3. Premedikasi:
- peresepan antibiotik: amoxicilin. Syr 125mg/5cc. Fl. No. I. ʃ 3.dd. cth 1. pc.
- peresepan antibiotik: amoxicilin. Syr 125mg/5cc. Fl. No. I. ʃ 3.dd. cth 1. pc.
- peresepan vitamin: vitamin C. 50 mg. Tab. No. X. ʃ 3.dd.1. pc.
- peresepan obat kumur: poviodine iodine 10%. 60 ml. Fl. No. I. ʃ 1.dd.1. col. or.

Instruksi
DHE-KIE
- Meningkatkan oral hygiene
- Instruksi petunjuk penggunaan obat dengan tepat dan teratur
- Instruksi pasien dengan hati-hati terhadap lokasi lesi
- Instruksi pasien untuk memperbaiki pola makan-makanan lunak berkalori tinggi dan
tinggi protein
- Memperbanyak asupan sayur dan buah
- Istirahat yang cukup
- Rehidrasi (Priambodo, dkk)
- Kontrol 3 hari pasca perawatan untuk evaluasi
Diskusi
Tujuan pemberian medikamentosa untuk stomatitis apthous recurrent:
1. Terapi kausatif: antibiotik
Antibiotik
Fungsi
Meresepkan first line antibiotik: amoxicilin
Untuk pasien alergi golongan penicilin: pilihan alternative antibiortic untuk perawatan
gigi dan mulut lainnya: erythromycin, clindamycin, lincomycin.
2. Terapi simptomatik: mouthwash, analgesik
Mouthwash
Povidone iodine:
- Bekerja anti-bakteri dengan sprektrum luas
- Absorbsi povidone iodine lebih cepat dibandingkan chlorhexidine
Chlorhexidine gluconate
- Bekerja sebagai anti-bakteri juga dapat berfungsi untuk mengurangi plak gigi
- Sebaiknya digunakan dalam jangka pendek, apabila jangka panjang akan
menyebabkan stanning gigi, lidah, gusi; meningkatkan deposit kalkulus, perubahan
pengecapan, sensasi terbakar, iritasi mukosa rongga mulut
- Tidak menggantikan fungsi sikat gigi
- Benzydamide hydrochloride
- Sifat: analgesik, anti-inflamasi, anti-mikrobial dan anastetik
- Secara signifikan mengurangi severity, durasi dan insidensi ulkus terutama pasien
ulkus karena radiasi seperti radioterapi
- Recommended untuk ulkus radioterapi dan stomatitis apthous recurrent.
Asam hyaluronat
- Asam hialuronat merupakan komponen untuk meredakan peradangan
- Recommended untuk ulkus radioterapi dan stomatitis apthous recurrent.
Kortikosteroid
- Triamnicolone acetonide 0,1% in ora base
Acetonide merupakan kortikosteroid sedang hingga tinggi, fluorinated turunan
prednisolon dan dianggap a-glukokortikoid dengan aktiglukokortikoid perantara
yang mempunya efek anti inflamasi efek. Glukokortikoid menurunkan produksi
sitokin, kemokin, dan meningkatkan produksi penghambatan migrasi makrofag
faktor. Sebagai anti inflamasi, glukokortikosteroid akan melewati membran secara
difusi. Dalam membran sel, glukokortiskoteroid akan ditangkap oleh reseptor (GR)
dan dibantu oleh kejutan panas protein-90 (hsp90). Sebagai anti inflamasi
glukokortikosteroid dapat melalui 2 jalur. Jalur pertama, glukokortikosteroid dengan
reseptor akan langsung mengaktifkan anti inflamasi protein. Jalur kedua, akan
masuk ke dalam inti nukleus, ia menghambat transkripsi NF kB dalam meproduksi
protein inflamasi. (priambodo, dkk)
3. Terapi suportif: multivitamin, diet lunak, dll
Rajendran R dan Sivapathasundharam B. 2009. Shafer’s textbook of oral pathology. 6th
ed. Noida India: Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai