*Staff Pengajar Bagian Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi ,Univeristas Trisakti
**Program Studi Profesi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Trisakti, Jakarta, Indonesia
ABSTRAK
Stomatitis aftosa rekuren merupakan suatu keadaan penyakit mulut yang paling sering
dikeluhkan dan terjadi serta dapat ditemui pada berbagai kalangan usia. Penyakit ini khas
dengan gejala klinis berupa rasa sakit sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari, terutama untuk
bicara dan saat makan . Laporan kasus yang dilaporkan adalah pasien laki-laki berusia 24 tahun
dengan keluhan ingin memeriksakan sariawan yang timbulnya dibeberapa tempat di rongga
mulutnya , berulang dan memakan waktu cukup lama sembuhnya Paien mengatakan sariawan
tersebut terjadi sejak kecil , sekitar 10 tahunan yang lalu . Pada pemeriksaan klinis ditemukan
lesi ulserasi berukuran 3x4mm pada mukosa bukal kanan dan kiri dan 4x2mm pada retromolar
pad kanan, tepi lesi dikelilingi kelim merah, konsistensi lunak, dengan dasar berupa jaringan
nekrotik berwarna putih kekuningan, berjumlah multipel. Penatalaksanaanya dilakukan
perawatan simptomatis berupa pemberian KIN gingival mouthwash®: chlorhexidine digluconate
0,12% serta perawatan kausatif berupa instruksi kepada pasien untuk melakukan manajemen
stress. Kontrol dilakukan pada hari ke-14, dan terlihat lesi sudah sembuh dan pasien tidak
memiliki keluhan lagi. Pada kasus Stoamatitis Aphtosa sangat penting dalam penulusuran fackor
pemicunya sehingga penatalaksanaan nya bisa tepat dan dapat mengurangi berulangnya timbul
nya SAR sampai dengan sama sekali tidak timbul Kembali
PENDAHULUAN
Stomatitis aftosa rekuren (SAR), yang biasa dikenal oleh masyarakat sebagai sariawan
merupakan penyakit mulut yang dapat ditemui pada berbagai kalangan usia , prevalensi
mencapai 25% dari populasi secara keseluruhan dan dilihat dari terjadinya secara
berulang (rekurensi) setiap 3 bulan prevalensi mencapai 50%1 . Stomatitis aftosa
rekuren merupakan peradangan di daalm rongga mulut dengan gambaran klinis
erosi/ulserasi dangkal, berbentuk oval, tepi lesi yang teratur, dikelilingi suatu kelim merah,
dan dasar lesi ditutupi fibrin yang berwarna putih kekuningan, umumnya timbul pada
mukosa mulut yang tidak berkeratin 2. Gejala klinis ada rasa sakit, panas, dan perih yang
dapat menganggu aktivitas sehari-hari terutama pada saat makan dan minum, berbicara,
dan menelan. Etiologi kelainan ini sampai sekarang masih tidak diketahui, tetapi terdapat
multi faktor predisposisi yang mempengaruhi timbulnya SAR yaitu antara lain penyakit
sistemik, faktor imun, genetik, defisiensi vitamin B(asam folat, B12), perubahan hormon,
stress/psikologis , trauma lokal 1,2. Patogenesis terjadinya SAR adalah adanya faktor-
faktor predisposisi yang memicu mediator kimia atau sitokin sehingga terjadinya reaksi
sitotoksik (imunologi) , sehingga menyebabkan rusaknya epitel mukosa 3
Stress psikologis merupakan salah satu faktor predisposisi SAR , kondisi stress yang
sering terjadi seperti pada masa ujian, perubahan signifikan di kehidupan (antara lain
perubahan pekerjaan/ tempat tinggal).2,6,7 Gallo dkk 3 dalam studinya menemukan
adanya hubungan positif antara stress psikologi dan timbulnya SAR, hal serupa juga
disampaikan oleh Peserden 6 dalam penelitiannya bahwa terjadinya SAR terlihat pada
situasi stress. Mekanisme stress dapat menimbulkan terjadinya SAR bervariasi pada
tiap individu tergantung besarnya stressor dan adptasi8
LAPORAN KASUS
Pada pemeriksaan intra oral, oral hygiene pasien sedang, Pada mukosa bukal kanan dan
mukssa dasar mulut (retromolar pad) dekat dekat gigi 47, terdapat lesi ulserasi berbentuk
kotak dan memanjang berukuran sekitar 3x4 mm, tepi lesi dikelilingi kelim merah,
konsistensi lunak, dengan dasar berupa jaringan nekrotik berwarna putih kekuningan,
berjumlah multiple (Gambar 1).
Gambar 1. Lesi ulserasi pada mukosa bukal kanan dan retromolar pad kanan
Pada mukosa bukal kiri dekat gigi 37, terdapat lesi ulserasi berbentuk oval berdiameter
3mm, tepi lesi dikelilingi kelim merah, konsistensi lunak, dengan dasar berupa jaringan
nekrotik berwarna putih kekuningan, berjumlah soliter (Gambar 2).
Perawatan diawali dengan identifikasi faktor predisposisi, untuk itu dirujuk untuk
dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap (hematologi
lengkap, vitamin B12, asam folat, anti HSV-1 igG, anti HSV-1 igM). Perawatan
simptomatis yaitu untuk menghilangkan rasa sakitnya diberikan obat kumur Kin Gingival
Mouthwash®, dengan kandungan Chlorhexidine dygluconate 0,12%. Pada pasien di
komunikasi berupa penjelasan bahwa kelainan pada rongga mulutnya tidak berbahaya ,
bukan merupakan suatu keganasan, tidak menular, memiliki prognosis baik dan dapat
sembuh sendiri (self-limiting disease). Pasien diinstruksikan cara menggunakan obat
yaitu dikumur 3 kali sehari sebanyak 10ml, serta datang kembali 1 minggu kemudian
untuk melakukan kontrol. Pasien diberikan edukasi mengenai diagnosis dari kelainan
yang diderita yaitu stomatitis Aftosa Rekuren Minor Multipel dengan etiologi yang tidak
diketahui, dan faktor predisposisi menunggu hasil dari pemeriksaan penunjang .
Pasien kontrol 14 hari kemudian , sudah tidak merasakan sakit pada rongga mulutnya.
Pada pemeriksaan intra oral, lesi pada mukosa bukal kanan dan retromolar pad kanan (
Gambar 4 ) serta lesi pada mukosa bukal kiri (Gambar 5) sudah menghilang. Pada
lembaran hasil pemeriksaan darah lengkap terlihat hasil pemeriksaan memiliki nilai
normal (tabel 1). Sehingga dari hasil anamnesa didapatkan kesimpulan faktor
predisposisi pada kasus ini adalah stress/psikologis , sehingga untuk perawatan kausatif
dianjurkan pasien untuk dapat mengatur / melakukan manajemen stress , selain itu jika
menjelang banyak tugas maka sebaiknya diimbangi menjaga imun tubuh dengan
mengkonsumsi air, buah, dan vitamin.
Gambar 4.Lesi daerah mukosa bukal kanan Gambar 5. lesi mukosa bukal kiri sudah sembuh
dan retromolar pad kanan, sudah sembuh
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 2 2-4 %
Neutrofil Band 3 3-5 %
Neutrofil Segment 57 50 -70 %
Limfosit 34 25 – 40 %
Monosit 4 2–8 %
Pada keadaa stress, maka kelenjar pituitari akan mensekresi hormon adrenokortikotropik
(ACTH) yang kemudian mengeluarkan hormon kortisol. Respons imun akan dihambat
oleh hormon kortisol sehingga proteksi jaringan menurun dan akan mempermudah terjadi
infeksi. Hormon kortisol juga meningkatkan produksi sitokin pro-inflamasi (IL-1, IL-2,
TNF-α, IFN-γ) yang dapat menyebabkan inflamasi serta kerusakan jaringan dan tulang.
Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Lewkowicz dkk.6 bahwa pada pasien dengan SAR
akan terjadi peningkatan sekresi sitokin pro- inflamasi serta penurunan sekresi sitokin
anti-inflamasi(IL-10,TGF-β)6,7. Penanggulangan stress yang tidak baik akan
menyebabkan hipotalamus pada sistem saraf pusat mengeluarkan corticotropic releasing
hormone (CRH), kelenjar pituitari akan di stimulasi mensekresi hormon
adrenokortikotropik (ACTH), sehingga akan berlanjut menstimulasi korteks adrenal
mengeluarkan kortisol. Glukokortikoid yang termasuk kortisol akan menurunkan fungsi
imun termasuk IgA, IgG dan neutrofil, sehingga proteksi terhadap mikroorganisme dan
daya tahan jaringan menurun, serta mudah terjadi infeksi.6,8.
SAR Minor Multipel pada kasus ini dipicu oleh stress yang meningkatkan faktor
peradangan (sitokin proinflamasi) dan kemudian menyebabkan destruksi jaringan.
Mengetahui predisposisi dari SAR penting dilakukan untuk menentukan perawatan yang
tepat terutama memperkecil terjadi rekurensi. Penatalaksanaan SAR dengan Faktor
stress lebih efektif dengan pendekatas secara psikologis yaitu mengarahkan pasien
untuk dapat mengatur manajemen stressnya dengan keseimbangan pola hidaup serta
pola makan . Walaupun dikatakan SAR adalah suatu penyakit yang bisa sembuh sendiri,
namun perawatan simptomatis dengan penggunaan chlorhexidine digluconate dalam
sediaan obat kumur akan berfungsi sebagai antiseptik yang dapat mencegah infeksi pada
ulser dan mempercepat regenerasi serta reepitelisasi jaringan tetap dibutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Greenberg MS, Woo SB. Ulcerative, Vesicular, and Bullous Lesions in Burket’s Oral
Medicine: Diagnosis and Treatment 11 th ed. Ontario: BC Decker Inc; 2008. H. 57-61.
2. T Bassel, G Giath and Al-Maweri SA. Guideline for the Diagnosis and Treatment of
Recurrent Aphthous Stomatitis for Dental Practitioners. J Int Oral Health. 2015; 7(5): 74–
80.
3. Gallo Cde B, Mimura MA, Sugaya NN. Psychological Stress and recurrent apthous
stomatitis. Clinics (Sao Paulo). 2009; 64: 645-648.
4. A Andreas, E Nadine, M Christiana. The Treatment of Chronic Recurrent Oral Aphthous
Ulcers. Deutsches Ärzteblatt International. 2014; 111: 665-73.
5. T Bassel, G Giath, A Sadeq. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Recurrent
Aphtous Stomatitis for Dental Practitioners. Journal of International Oral Health.2015;
7(5): 74-80.
6. S Zuzanna, S Elzbieta, K Anna. Etiopathogenesis of Recurrent Aphthous Stomatitis and
the Role of Immunologic Aspects: Literature Review. Arch Immunol Ther Exp (Warsz).
2014; 62(3): 205–215.
7. S Mamta, G Ritesh, S Satvinder. Correlation of Pyschological Stress with Recurrent
Aphthous Stomatitis among Dental Students in an Educational Institution. International
Journal of Applied Dental Scienaces. 2017; 3(4): 455-458.
8. H Sri. Mekanisme Seluler dan Molekular Stres Terhadap Terjadinya Rekuren Aptosa
Stomatitis. Jurnal PDGI.2014; 63(1):36-40.
9. S Betadion, P Seno, W Teguh. Daya Antibakteri Obat Kumur Chlorhexidine, povidione
iodine, fluoride suplementasi zinc terhadap Streptococcus mutans dan Porphyromonas
gingivalis. Majalah Kedokteran Gigi. 2014; 47(4): 211-214.