Anda di halaman 1dari 23

DIAGNOSIS BANDING ANTARA HERPES INTRAORAL REKUREN DENGAN STOMATITIS AFTOSA REKUREN

Oleh : Drg. IRNA SUFIAWATI, Sp.PM NIP. 132206501

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2008

ABSTRAK

Herpes intraoral rekuren dan stomatitis aftosa adalah kelainan yang sering terjadi pada rongga mulut dan diagnosis kedua kelainan tersebut sering tertukar satu sama lain. Kesulitan dalam menegakkan diagnosis dengan benar dapat dipahami, karena kedua lesi yang berbeda ini mempunyai beberapa karakteristik yang mirip satu sama lain. Kesalahan dalam menegakkan diagnosis menyebabkan perawatan yang tidak efektif, akibatnya lesi semakin memburuk. Kami melaporkan 4 buah kasus untuk mengevaluasi persamaan dan perbedaannya, meliputi riwayat pasien, informasi mengenai faktor pemicu, frekuensi terjadinya lesi, faktor-faktor yang meringankan dan faktor-faktor pemberat, pemeriksaan fisik dan hasil dari tes yang diindikasikan yang sangat penting dalam proses menegakkan diagnosa. Dengan mempertimbangkan data-data tersebut maka diagnosis kedua kelainan penyakit mulut ini dapat ditegakkan dengan benar. Dapat disimpulkan bahwa RIH dan RAS mempunyai beberapa persamaan dan perbedaan, yang penting diketahui dalam proses menegakkan diagnosis yang akurat dan rencana perawatan selanjutnya, oleh karena itu para profesional di bidang gigi dan mulut harus memiliki pengetahuan yang cukup luas dalam membedakan kedua penyakit mulut tersebut.

Kata kunci : Herpes intraoral rekuren, stomatitis aftosa, diagnosis.

ABSTRACT

Recurrent intraoral herpetic (RIH) and recurrent aphthous stomatitis (RAS) are common oral disorders and these diagnosis are often mistaken for one another. The confusion associated with developing an accurate diagnosis is somewhat understandable since these two very different lesions share some common characteristics. Misdiagnosis may result in effective treatment, thereby worsening the lesion. We reported 4 cases to evaluate these similarities and differences, includes the patients history, information regarding initiating factors, frequency of lesions, relieving factors, aggravating factors, the physical examination, and the results of any indicated tests, which are important data to the diagnostic process of these two lesions. By considering these data, an accurate diagnosis of theses two common oral disordes can be developed. It s concluded that RIH and RAS have some similarities and differences, which are very important to developing an accurate diagnosis and the treatment plan, therefore the dental and oral health professional must be knowledgeable in defferentiating between RIH and RAS.

Key words : Recurrent intraoral herpetic, recurrent aphthous stomatitis, diagnosis .

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia, rahmat dan berkat ridha-Nyalah saya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul Diagnosis Banding: Herpes Intraoral Rekuren dan Stomatitis Aftosa rekuren Dalam penulisan makalah ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan arahan, oleh karena itu perkenankanlah saya menyampaikan rasa terimakasih yang setulus-tulusnya dan perhargaan kepada: 1. Drg. Siti Aliyah Pradono, Sp.PM yang telah membimbing dalam pembuatan makalah ini. 2. Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Unpad 3. Kepala Bagian Ilmu Penyakit Mulut FKG Unpad 4. Staf Akademik Bagian Ilmu Penyakit Mulut FKG Unpad 5. Semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan berkat dan rahmatNya. Amin. Kritik dan saran selalu saya diterima dengan tangan terbuka untuk penyempurnaan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi ilmu kedokteran gigi khususnya dan pembaca umumnya.

Bandung, Desember 2007

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK i ii iii iv 1 2 7 13 14 16

ABSTRACT
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Bab 1. Bab 2. Bab 3. Bab 4. PENDAHULUAN LAPORAN KASUS PEMBAHASAN KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

BAB 1 PENDAHULUAN

Keberhasilan penatalaksanaan kelainan jaringan lunak rongga mulut berhubungan dengan diagnosis yang akurat. Tanda dan gejala yang bervariasi sering menjadi masalah dalam proses menegakkan diagnosis.1 Herpes Intraoral Rekuren (Recurrent intraoral

herpes/RIH) dan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) adalah temuan kelainan yang sering
terjadi pada rongga mulut.2-4 Kesulitan dalam menegakkan diagnosis kedua kelainan tersebut seringkali terjadi, karena kedua lesi yang berbeda ini mempunyai beberapa karakteristik yang mirip satu sama lain.3,5 Menegakkan diagnosis yang akurat untuk RIH dan SAR sangat penting untuk menentukan rencana perawatan, karena pendekatan perawatan yang dilakukan sangat berbeda untuk kedua lesi tersebut. Kesalahan dalam menegakkan diagnosis menyebabkan perawatan menjadi tidak efektif, akibatnya lesi semakin memburuk,5 misal merawat RIH dengan steroid topikal (yang sesuai untuk SAR) dapat berakibat kelainan yang lebih berat.3 Prevalensi yang tinggi dan lesi yang seringkali sakit serta mengganggu, menjadi alasan pasien untuk berobat ke dokter gigi. Oleh karena itu para praktisi di bidang gigi dan mulut seharusnya mampu membedakan kedua kelainan ini. Kami mencoba membahas perbedaan RIH dan SAR pada beberapa kasus yang ada di Klinik Penyakit Mulut RSUPN Cipto Mangunkusumo, sehingga diharapkan dapat menjadi informasi bagi para praktisi di bidang gigi dan mulut dalam menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat.

BAB 2 LAPORAN KASUS

Kasus pertama. Seorang pria berusia 35 tahun, berat badan 55 kg dan tinggi badan 167 cm, mengeluh sariawan kecil-kecil yang pada awalnya melenting di ujung lidah sejak 1 minggu yang lalu, terasa sakit, sulit makan dan minum, sejak tadi malam sulit bicara. Sekitar 2 bulan yang lalu pasien pernah berobat ke dokter umum karena demam dan menderta sariawan di rongga mulut yang serupa dengan kondisi sekarang, diberi obat asam mefenamat dan cyprofloxasin selama 3 hari. Kurang lebih 1 bulan yang lalu pasien datang ke dokter THT, dikatakan radang amandel dan jamur di mulut, diberi 3 macam obat (termasuk antibiotik) tetapi sariawan tidak sembuh juga. Kemudian pasien datang ke dokter bedah mulut, dikatakan karena stres dan tidak diberi obat apapun. Pasien membeli obat kumur yang mengandung obat kumur Betadine dan albothyl, tetapi sariawan tidak ada perbaikan. Sebelumnya pasien jarang sekali menderita sariawan dan tidak pernah menderita sariawan yang berat. Riwayat sariawan pada keluarga disangkal. Pasien mempunyai riwayat gastritis kronis yang jarang sekali kambuh. Satu bulan yang lalu pasien merasa terlalu letih, kurang makan dan tidur, serta stres karena harus membiayai istri yang baru dinikahi 3 bulan yang lalu dan dirawat di rumah sakit karena sakit tifus. Keadaan umum tampak baik, tidak terdapat lesi ekstra oral. Pemeriksaan intra oral menunjukkan beberapa ulser putih , dangkal dan dikelilingi daerah eritema, bentuk oval dan iregular, diameter 1-5 mm, pada mukosa labial (gambar 1a dan b), ventral dan lateral lidah (1c dan d), mukosa bukal (1e dan f). Higiene mulut tampak buruk. Berdasarkan pemeriksaan subjektif dan objektif, ditegakkan diagnosis suspek RIH dengan diagnosis banding SAR herpetiformis. Hasil pemeriksaan hematologi yaitu LED 83.0 mm ,

kadar Hb 13,4 g/dl, Ht 40,5%, eritrosit 4,87 juta/ l, MCV 87 fl, MCH 30 pg, MCHC 34 g/dl, trombosit 288.000l, leukosit 8.700l. Pemeriksaan imunologi anti HSV-I IgG positif (OD=2.30) , anti HSV-I IgM positif (OD=1.30) , anti HSV-II IgG negatif (OD=0,20)

dan anti HSV-II IgM negatif (OD=0,90) menunjukkan kesan adanya infeksi herpes simpleks tipe 1.

Kasus kedua. Seorang wanita berusia 35 tahun, berat badan 43 kg (menurun dari 46 kg selama 2 minggu terakhir) dan tinggi badan 150 cm, mengeluh sariawan yang perih dan sangat mengganggu. Kurang lebih dua bulan yang lalu pasien menderita demam disertai pembengkakan pada leher kanan, dan 1 minggu kemudian timbul sariawan kecil-kecil di bibir bagian dalam serta lidah. Pasien berobat ke dokter umum, dikatakan kemungkinan infeksi paru-paru dan diberi obat-obatan termasuk obat kumur Betadine. Bengkak pada leher sudah hilang dan sariawan mengalami sedikit perbaikan tetapi tidak pernah sembuh total. Pada tahun 1988 pasien pernah menderita sariawan di bibir atas bagian dalam. Saat itu pasien berkunjung ke dokter umum, dikatakan kurang gizi, dan diberi multivitamin serta Enkasari. Tetapi sariawan bertambah banyak dan akhirnya sembuh sendiri setelah pasien sering minum madu. Sebelumnya sariawan jarang terjadi dan timbul hanya jika tergigit. Riwayat sariawan pada keluarga disangkal. Gastritis kronis diderita pasien tetapi jarang kambuh. Pasien mengalami masalah dengan teman dekat pria sejak beberapa bulan terakhir ini. Pada pemeriksaan ekstra oral tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan intra oral ditemukan beberapa ulkus putih, dangkal dengan dikelilingi daerah eritema, bentuk oval dan iregular, diameter 1-6 mm, pada mukosa labial (gambar 2a dan b), dorsum lidah (2c), mukosa bukal

(2d dan e), palatum durum dan molle (2f). Higiene mulut tampak sedang. Saat itu ditegakkan diagnosis suspek RIH dengan diagnosis banding SAR herpetiformis. Hasil pemeriksaan hematologi dan imunologi yaitu LED 110.0mm , Hb 11,8 g/dl, Ht 35,9% ,

eritrosit 4,49 juta/l, MCV 80 fl , MCH 26,3 pg , MCHC 32,9 g/dl, leukosit 8.800l, trombosit 388.000l, anti HSV-I IgG positif (OD=3.00), anti HSV-I IgM positif (OD=1.00), anti HSV-II IgG negatif (OD=0,70) dan anti HSV-II IgM positif (OD=1,50). Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan kesan adanya infeksi herpes simpleks tipe 1 dan tipe 2.

Kasus ketiga. Seorang wanita berusia 34 tahun, berat badan 34 kg dan tinggi badan 156 cm (stabil), datang dengan keluhan sariawan sejak 3 hari yang lalu di bibir bagian dalam, lidah, gusi, langit-langit, yang sangat perih hingga sulit makan. Pasien sudah menggunakan obat kumur Betadine dan VCO (coconut oil) tetapi tidak sembuh. Pasien tidak merasakan gejala demam sebelum sariawan muncul. Beberapa hari terakhir ini pasien merasa letih dalam pekerjaan. Riwayat sariawan yang banyak dan berat pernah diderita pasien sewaktu menjalani pendidikan di Sekolah Menengah Atas, yang disertai gejala demam. Selain itu sariawan terjadi jika terkena gosok gigi. Riwayat sariawan juga dijumpai pada orang tua (ibu) pasien. Riwayat penyakit sistemik disangkal. Pada pemeriksaan klinis tidak ditemukan kelainan ekstra oral. Pada pemeriksaan intra oral ditemukan vesikel pada mukosa labial bawah kiri (gambar 3a) dan dorsal lidah (3b), ulkus putih, dangkal dengan dikelilingi daerah eritema, bentuk oval dan iregular, diameter 1-4 mm, pada mukosa labial (3c), lateral lidah (3e), dasar mulut (3f), mukosa bukal (3g), gingiva (3g), serta bercak eritema pada palatum

durum (3i). Higiene mulut tampak buruk. Diagnosis yang ditegakkan adalah suspek RIH dengan diagnosis banding SAR herpetiformis. Pemeriksaan hematologi dan imunologi menunjukkan LED 17 mm/jam, Hb 13 g/dl, Ht 43,7%, eritrosit 5,09 juta/ l, leukosit 9.600 l, trombosit 253.000l, anti HSV-I IgG positif (OD=2.53 (OD=1,5) ), anti HSV-I IgM positif

, anti HSV-II IgG negatif (OD=0,20) dan anti HSV-II IgM negatif (OD=0,20).

Hasil pemeriksaan tersebut menunjang diagnosis RIH.

Kasus keempat. Seorang pria berusia 62 tahun, berat badan 88 kg (menurun dari 92 kg sejak sakit) dan tinggi badan 174 cm. Keluhan utama yaitu timbul sariawan sejak sekitar 2 bulan yang lalu, lidah perih dan rasa terbakar, dua hari yang lalu pasien sulit berbicara dan tidak merasakan gejala demam sebelumnya. Sariawan letaknya berpindah-pindah, yang satu sembuh kemudian muncul lagi di tempat lain. Pada awalnya pasien mengobati sendiri dengan jamu-jamuan, Enkasari, vitamin C, obat cina, dan dikompres dengan es, tetapi tidak ada perbaikan. Kemudian pasien datang ke dokter umum dengan keluhan sulit makan dan minum, dan diberikan obat antibiotik, penghilang rasa sakit, dan vitamin. Karena tidak kunjung sembuh, pasien berobat ke dokter gigi spesialis bedah mulut, dan diberikan obat Kenalog in orabase, Hemobion, dan obat kumur Bactidol. Rasa sakit berkurang, tetapi sariawan tetap tidak sembuh total. Riwayat sariawan jarang sekali dan tidak mengetahui dengan jelas riwayat sariawan pada keluarga. Pasien menderita asma sejak kecil dan jarang kambuh. Tidak ada kelainan pada pemeriksaan ekstra oral. Pemeriksaan intra oral menunjukkan lidah coating putih kekuningan tebal pada seluruh dorsum lidah (gambar 4a), dan beberapa ulser putih, dangkal dan dikelilingi daerah eritema, bentuk oval dan iregular,

diameter 1-6 mm, pada ventral dan lateral lidah (4b dan c), serta mukosa bukal (4d dan e). Higiene mulut tampak buruk, tampak kalkulus di dekat ulkus pada mukosa bukal kiri (4f). Pada awalnya diagnosis yang ditegakkan adalah RIH dengan diagnosis banding SAR herpetiformis. Hasil pemeriksaan hematologi menunjukkan LED 1 jam 14 mm/jam, Hb 12,4 g/dl , Ht 36% , eritrosit 4,29 juta/l, MCV 82 fl, MCH 28 pg, MCHC 34 g/dl, leukosit 8.700l, trombosit 341.000l, anti HSV-I IgG negatif (OD=0,02), anti HSV-I IgM negatif (OD=0,25), anti HSV-II IgG negatif (OD=0,15) dan anti HSV-II IgM negatif (OD=0,20). Hasil pemeriksaan tersebut tidak menunjang diagnosis RIH dan mengarah kepada SAR herpetiformis.

BAB 3 PEMBAHASAN

Semua kasus di atas menunjukkan diagnosis banding antara recurrent intraoral

herpes (RIH)

dengan

stomatitis

aftosa

rekuren

(SAR)

herpetiformis.

Untuk

membandingkan kedua diagnosis tersebut, digunakan istilah lesi herpes dan lesi afte. Para ilmuwan Yunani, terutama Hippocrates, menggunakan istilah herpes yang berarti creep atau crawl untuk menjelaskan lesi yang menyebar.6 Sedangkan istilah afte juga berawal dari Hippocrates pada tahun 460-370 SM untuk menandai kelainan mulut. Dalam penggunaan umum, kata afte mengacu pada keberadaan ulser yang tidak dapat didefinisikan. 3,7 Stomatitis aftosa digambarkan sebagai lesi terlokalisir pada mukosa ronga mulut atau sebagai komponen dari kelainan vesikulo-ulseratif yang melibatkan berbagai sistem organ. Sulit untuk menentukan diagnosis yang tepat antara RIH dan SAR herpetiformis jika melihat secara langsung pada gambaran klinis di dalam rongga mulut karena kedua lesi tersebut mempunyai tampilan yang mirip. Penegakkan diagnosis yang tepat sangat penting untuk menentukan perawatan selanjutnya yang berbeda satu sama lain. Oleh karena itu selain melihat gambaran klinis, yang sangat penting untuk diketahui dalam proses menegakkan diagnosis adalah riwayat pasien dan keluarga, pemeriksaan ekstra oral, serta hasil pemeriksaan laboratorium yang diindikasikan. Informasi mengenai frekuensi terjadinya lesi, faktor-faktor yang meringankan (obat-obatan yang telah digunakan), dan faktor-faktor yang mempemberat penting untuk diketahui melalui anamnesis pada pasien atau keluarga yang menyertainya.3 Pemeriksaan subyektif berupa anamnesis yang akurat dan lengkap perlu dicatat. Hal pertama yang ditanyakan adalah keluhan utama pasien. Kedua lesi herpes dan afte

seringkali hadir disertai gejala prodromal yang dapat memberikan petunjuk-petunjuk penting dalam menegakkan diagnosis.3 Literatur menyebutkan bahwa gejala prodromal untuk infeksi herpes mungkin membingungkan dan pasien tidak menyadari bahwa gejala demam merupakan gejala prodromal. Tetapi bagi pasien yang seringkali mengalami lesi herpes maka gejala ini akan mudah dikenali. Indikasi pertama terjadinya lesi herpes rekuren mungkin berupa sensasi yang tidak menyenangkan pada jaringan yang terkena dan dapat terasa sebagai berkurangnya sensasi sensorik, serta rasa nyeri terbakar. 3 Pada tiga kasus di atas dengan diagnosis RIH, melalui anamnesis ketiga pasien mengeluh adanya rasa sakit sampai mengganggu makan, minum, tidur, bahkan berbicara. Gejala demam dirasakan oleh dua pasien pertama sedangkan pasien ketiga tidak merasakan demam sebelum lesi mulut muncul. Lesi herpes yang rekuren tidak selalu disertai dengan gejala prodromal seperti demam, bahkan lesi timbul tanpa disadari oleh pasien. Gejala prodromal SAR juga berupa nyeri atau rasa terbakar terlokalisir selama 2448 jam dapat mendahului terjadinya ulser. 13 Derajat nyeri dapat bervariasi dari ringan sampai berat dan seringkali dianggap melebihi ukuran lesi. 3 Kesadaran akan mulai berkembangnya SAR umumya terlihat dari ketidaknyamanan lokal yang dirasakan di daerah lesi. Pada kasus keempat, pasien dengan diagnosis SAR menyatakan adanya gejala perih dan rasa sakit terbakar pada lidah, dan tidak merasa demam sebelumnya. Gejala ini hampir mirip dengan ketiga kasus lainnya, sehingga jika melihat berdasarkan gejala klinis saja sulit untuk menentukan diagnosis mana yang tepat dari kedua kelainan tersebut tanpa melihat parameter klinis lain. Informasi penting lainnya yang perlu diketahui di dalam anamnesis untuk membedakan RIH dan SAR adalah faktor etiologi dan faktor predisposisinya. Telah diketahui bahwa RIH disebabkan oleh herpes simplex virus type 1 (HSV-1) tetapi tidak

tertutup kemungkinan juga oleh herpes simplex virus type 1(HSV-2). Dan reaktivasi virus dapat dipicu oleh demam (misalnya karena infeksi saluran pernafasan atas), sinar matahari (fever blister), trauma, stress, atau immunosuppresi menyebabkan infeksi rekuren atau sekunder.5,11,14 Pada SAR tidak ada faktor etiologi yang pasti, 3,15 tetapi diduga penyebab utama SAR adalah faktor herediter.16 Berbagai faktor pemicu SAR pada pasien yang rentan, antara lain trauma oral, stress, defisiensi hematinik (kekurangan zat besi, vitamin B, atau asam folat), sensitif terhadap makanan (pengawet seperti asam benzoat), kelainan gastrointestinal, defisiensi imun, dan ketidakseimbangan hormonal yang berkaitan dengan siklus menstruasi.4,12,13,17,18 Pada ketiga pasien dengan RIH terbukti bahwa kelainan yang terjadi karena infeksi HSV, yang dapat dilihat pada hasil pemerikasaan imunologi. Dan faktor pemicunya adalah faktor psikologis dan fisik. Sedangkan pada satu pasien dengan SAR, faktor pemicu yang dapat diduga karena kelainan hematinik, hal ini terbukti pada pemeriksaan hematologi. Tetapi pada pasien ini perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui kemungkinan adanya kelainan sistemik lain, oleh karena itu pasien di rujuk ke Klinik Penyakit Dalam. Sebuah literatur menyebutkan bahwa istilah SAR digunakan untuk lesi rekuren yang ditemukan di rongga mulut dan tidak ada riwayat penyakit sistemik. Tetapi lesi dengan gambaran klinis yang mirip dengan SAR, dapat ditemukan pada kelainan sistemik seperti Behcets syndrome, kelainan gastrointestinal, sindrom imunodefisiensi seperti infeksi HIV, dan cyclic neutropenia. Bila pada seseorang tidak ada riwayat lesi dengan gambaran klinis lesi aftosa pada saat kanak-kanak maka ia dinamakan

aphtous like ulcers.4


Gambaran klinis merupakan parameter yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis RIH dan SAR herpetiformis. Oleh karena itu setelah mengetahui gejala klinis, pemeriksaan klinis secara teliti penting dilakukan. Literatur menyebutkan bahwa setelah

tahap prodromal lesi herpetik bermanifestasi dalam bentuk kumpulan vesikel-vesikel kecil berwarna keabuan sampai putih yang ruptur dan membentuk ulser kecil-kecil dengan diameter 1 mm atau kurang. Ulser-ulser ini dapat bersatu membentuk ulser yang lebih besar sampai mencapai 1.5 cm. Pada 3 kasus infeksi herpes di atas, pasien pertama dan kedua tidak ditemukan lesi vesikel sedangkan pada pasien ketiga ditemukan lesi vesikel pada mukosa labial bawah dan dorsal lidah. Ulser yang besar dan iregular yang merupakan gabungan dari ulser-ulser yang kecil dapat dijumpai pada ketiga kasus ini. Lesi afte biasanya berbatas jelas, dangkal, berbentuk bulat atau oval, dengan bagian tengahnya nekrosis dangkal dengan pseudomembran kuning-keabuan dan dikelilingi oleh daerah kemerahan (halo eritema).4,13 Telah diketahui bahwa SAR mempunyai 3 tipe yaitu mayor, minor, dan herpetiformis.3,4,13,15,16 Lesi afte yang menyerupai penampakan lesi herpetik adalah SAR tipe herpetiformis, tetapi lesi afte tidak mengalami transisi lewat tahap spesifik seperti pada lesi herpes. Lesi tersebut dapat meningkat ukurannya dari mulai awal terdeteksi sampai akhirnya maturasi.3 Pada kasus keempat, ditemukan ulser putih, dangkal, dan halo eritema yang jelas ditemukan pada mukosa bukal. Tidak ditemukan lesi vesikel yang menjadi salah satu faktor yang dapat disanggah sebagai infeksi herpes. Lokasi terjadinya lesi awal dapat memberi petunjuk penting akan kondisi yang terjadi. Lesi herpes umumnya timbul di jaringan berkeratin seperti pada vermillion border, palatum keras, gingiva cekat. Sebaliknya, stomatitis aftosa rekuren biasanya terjadi pada jaringan tidak berkeratin atau didekat kelenjar. Lokasi yang umum dijumpai yaitu pada mukosa labial, bukal dasar mulut, orofaring, vestibulum, dan sisi lateral lidah. 3 Pada ketiga kasus infeksi herpes, lokasi lesi tampak pada mukosa berkeratin mapun tidak berkeratin. Sedangkan pada kasus keempat, lesi tampak hanya pada mukosa yang tidak berkeratin. Temuan lokasi lesi ini menunjang diagnosis SAR herpetiformis.

Pemeriksaan penunjang yang sangat penting untuk menegakkan diagnosis pada kedua kelainan tersebut adalah pemeriksaan hematologi dan pemeriksaan imunologi berupa anti HSV IgG dan IgM. Hasil pemeriksaan pada ketiga kasus RIH menunjukkan adanya anti HSV-I IgG dan IgM positif pada dua pasien dan HSV-II IgM positif pada satu pasien, sedangkan kasus keempat anti HSV-I dan II negatif. Temuan ini menunjang pada 3 kasus pertama dengan diagnosis RIH, sedangkan kasus kempat diagnosis yang mengarah pada SAR herpetiformis. Pemeriksaan penunjang merupakan alat penting dalam menegakkan diagnosis, terutama bila gambaran lesi dan riwayat pasien tidak cukup jelas. 19 Literatur menyebutkan bahwa virus herpes mungkin dijumpai tersebar di seluruh lingkungan. Sehingga sering terjadi pemaparan, baik yang menimbulkan gejala maupun tidak. Banyak orang sehat mempunyai antibodi terhadap berbagai jenis virus herpes. Infeksi herpes dapat ditegakkan dengan kenaikan titer antibodi yang bermakna selama sakit atau sesudahnya. Kenaikan jumlah titer antibodi pada infeksi herpes ini masih kontroversial. Sebuah studi melaporkan pada saat dilakukan pemeriksaan pada subyek dengan lesi herpes menunjukkan titer antibodi yang lebih tinggi daripada subyek dengan tanpa lesi. 20 Sebuah literatur lain menyebutkan bahwa untuk menegakkan diagnosis infeksi herpes primer, titer antibodi sekurang-kurangnya 4 kali lipat. Jika tidak, lesi tersebut merupakan rekuren (sekunder).21 Kadar anti HSV yang meningkat secara bermakna belum tentu ditemukan bersamaan dengan ditemukan lesi pada rongga mulut pada pasien. Pada ketiga kasus RIH ini, kenaikan titer antibodi bervariasi. Tetapi, dari hasil pemeriksaan anti HSV ini dapat menunjukkan adanya infeksi yang kronis dan aktif terhadap virus herpes. Selain pemeriksaan serologi, virus herpes biasanya dapat diisolasi melalui dari lesi primer dengan cara dibiakkan. Tetapi pemeriksaan ini tidak dilakukan karena adanya keterbatasan biaya.

Berdasarkan evaluasi pada empat kasus di atas, kedua lesi ini jelas memiliki persamaan dan perbedaan. Oleh karena itu mengetahui secara teliti parameter klinis, riwayat pasien, pemeriksaan ekstra oral, dan hasil pemeriksaan laboratorium yang diindikasikan sangat penting dalam proses menegakkan diagnosis. Sehingga dapat direncanakan perawatan selanjutnya dengan benar dan dapat dihindari tidak rasionalnya pemberian obat-obatan karena kesalahan dalam menegakkan diagnosis. Seperti pada kasus pertama, pasien pernah mendapat terapi antibiotik yang sebetulnya kurang tepat diberikan. Akhirnya, jika para praktisi umum mempunyai masalah saat menemukan lesi herpes atau aftosa, maka keputusan untuk merujuk kepada seorang spesialis perlu dilakukan jika diagnosis tampak tidak jelas, kemungkinan merupakan kelainan yang serius, adanya penyakit sistemik, indikasi untuk pemeriksaan yang kompleks, perawatan yang kompleks, prognosis tidak jelas, dan pasien sendiri yang menghendakinya.12 Hal ini untuk menghindari pengobatan yang tidak rasional dan mencegah keparahan penyakit yang lebih berat.

BAB 4 KESIMPULAN

Herpes Intraoral Rekuren dan Stomatitis Aftosa Rekuren tipe herpetiformis merupakan kelainan rongga mulut yang mempunyai persamaan dan perbedaan dalam beberapa parameter. Diagnosis yang akurat pada kedua kelainan ini sangat penting, karena kesalahan dalam menegakkan diagnosis menyebabkan perawatan yang tidak efektif. Oleh karena itu, para profesional di bidang gigi dan mulut harus memiliki pengetahuan yang cukup luas dalam membedakan kedua penyakit mulut tersebut untuk keberhasilan perawatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nikitakis NG. Oral soft tissue lesions: A guide to differential diagnosis. Part II: Surface alterations. Braz J Oral Sci 2005;4(13):707-715. 2. Gonsalves WC, Chi AC, Nevile BW. Common Oral Lesions: Part I. Superficial Mucosal lesions. American Familiy Physician 2007;75(4):502-507. 3. Tillis TSI, McDowell J. Differential Diagnosis: Is it Herpes or Aphthous? J Contemp

Dent Pract 2002;3(1):001-015.


4. Scully C. Aphthous Ulceration. N engl J Med 2006;355:165-72. 5. Raborn GW, Grace M. Herpes Simplex -1: Orofacial Infecions. Herpes 1999;6(1):8-11. 6. Whitley RJ, Kimberlin DW. Herpes Simplex Virus. CID 1988;26:541-553. 7. Vincent SD, Gilbert EL. Clinical, historic, and therapeutic features of aphthous stomatitis. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1992;74:79-86. 8. Paterson J, Kwong M. Recurrent Herpes Labialis, Assessment and Non-prescription Treatment. 2005. Available at: http://www.pharmacyresource.ca/recurrent_herpes...pdf. Diakses tanggal 13 April 2006. 9. Sandstrom E, Whitley RJ. Genital and Orofacial Herpes Simplex Virus InfectionsClinical Implications of Latency.

IHMF

1996.

Available

at

http://biology.kenyon.edu/...html. Diakses tanggal 18 Maret 2006. 10. McCullough MJ, Savage NW. Oral Viral Infections and The Therapeutic Use of Antiviral Agents in Dentistry. Aus Dent J 2005;50 Suppl 2:531-535. 11. Scully C. Oral and Maxillofacial Medicine. Edinburg: Wright. 2004. p.195-203,321327.

12. Scully C, Felix DH. Oral medicine-Update for the dental practitioner Aphthous and other common ulcers. British Dental Journal 2005;199:259-264. 13. Scully C, Gorsky M, Lozada-Nur F. The diagnosis and managemet recurrent aphthous stomatitis. A consensus approach. JADA 2003;134:200-207. 14. Scully C. Oral Disease: Diagnosis and Management. Revised edition. The united Kingdom: Martin Dunitz ltd. 2001. p.73-82,139-145. 15. Ship JA, Chavez EM, Doerr PA, Henson BS, Sarmadi M. Recurrent aphthous stomatitis. Quintessence Int 2000;31:95-112. 16. Stoopler ET, Sollectio TP. Stomatitis aftosa rekurenUpdate for General Practitioner.

NYSDJ 2003;69(2):27-29.
17. Gill Y, Scully C. Mouth ulcers: a atudy of where members of the general public might seek advice. British dent J 2007;202(E16):1-3. 18. Burkhart N. Aphthous ulcers. RDH 2007;27(5):60-62. 19. Macphail LA, Hilton JF, Heinic GS, Greenspan D. Direct immunofluorescence vs. culture for detecting HIV in oral ulcers: A comparison. JADA 1995;126:74-78. 20. Ratner JJ, Smith KO. Serum antibodies to herpes simplex virus type 1 during active oral herpes infection. Infection and immunity 1980;27(1):113-117. 21. Greenberg M., Glick M., Diseases of the Lower Digestive Tract in Burkets Oral

Medicine, Diagnosis and treatment. 10th . 2003. BC Decker Inc. p 393-5.

LAMPIRAN FOTO KASUS 1

1a.

b.

c.

d.

e.

f.

Gambar 1. Ulkus multipel, putih, dangkal, daerah sekitar eritema, bentuk oval dan iregular, diameter 1 -5 mm, pada mukosa labial (a,b), ventral dan lateral lidah (c,d), mukosa bukal (f).

KASUS 2.

2a.

b.

c.

d.

e.

f.

Gambar 2. Ulkus multipel, putih, dangkal, daerah sekitar eritema, bentuk oval dan iregular, diameter 1 -6 mm, pada mukosa labial (a,b), dorsum lidah (c), mukosa bukal (d,e), palatum durum dan molle (f).

KASUS 3.

3a.

b.

c.

d.

e.

f.

g.

h.

i.

Gambar 3. Vesikel pada mukosa labial bawah (3a) dan dorsum lidah (b), ulkus multipel, putih, dangkal, daerah sekitar eritema, bentuk oval dan iregular, diameter 1-4 mm, pada mukosa labial (c,d), lateral lidah (e), dasar mulut (f). mukosa bukal (g), gingiva (h), dan palatum durum (i).

KASUS 4.

4a.

b.

c.

e.

f.

Gambar 4. Coated tongue tebal (4a). Ulkus multipel, putih, dangkal, daerah sekitar eritema, bentuk oval, iregular, dan memanjang, diameter 1-6 mm, pada ventral dan lateral lidah (b,c), (c,d), mukosa bukal (d,c) dan gambaran OH buruk dengan kalkulus di dekat lokasi ulkus di mukosa bukal kiri (f).

Anda mungkin juga menyukai