Anda di halaman 1dari 20

Laporan Kasus

Ilmu Penyakit Mulut

Stomatitis Apthosa Rekuren Minor Multiple

Oleh :
ZIETA SAKINAH EMDI
1311411022

Pembimbing :
drg. Surya Nelis, Sp.PM

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS ANDALAS
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Stomatitis Apthosa Rekuren (SAR) adalah ulserasi pada rongga mulut yang

menimbulkan rasa sakit, bersifat kambuh berulang dalam periode bervariasi, sembuh

sendiri dalam waktu 10-14 hari tanpa meninggalkan bekas. Episode awal munculnya

SAR dimulai pada rentang usia anak-anak, remaja, dan puncaknya pada dewasa

muda. Jumlah wanita yang menderita SAR lebih banyak daripada laki-laki, dan lebih

sering terjadi pada usia dekade kedua dan tiga1,3.

Stomatitis Apthosa Rekuren (SAR) merupakan penyakit mulut yang

penyebabnya belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor predisposisi

yang diduga menjadi pencetus SAR. Beberapa faktor predisposisi meliputi faktor

genetik, defisiensi hematologi, kelainan imunologi seperti hipersensitif dan

autoimun, defisiensi nutrisi, kelainan sistim pencernaan, faktor lokal seperti trauma

dan merokok, disfungsi imun, stress, dan ketidakseimbangan hormonal4,5,6.

Gejala awal SAR bisa dirasakan penderita sebagai rasa sakit dan ditandai

dengan adanya ulser tunggal atau multiple, berbentuk bulat atau oval, berbatas jelas,

dengan pusat nekrotik berwarna kuning-keabuan dan disertai haloeritematus 5. Gejala

prodromal lokal muncul sebelum timbulnya SAR meliputi rasa yang tidak nyaman

dan kemerahan selama 1-3 hari, kemudian muncul ulser pada rongga mulut yang

terasa sakit. Rasa sakit tersebut mengganggu fungsi fisiologis, seperti gangguan

bicara, mengunyah, menelan yang dapat mengakibatkan menurunnya kondisi tubuh

bila terjadi dalam waktu yang lama dan frekuensi kejadian yang sering1,8.

Lesi umumnya muncul pada mukosa mulut non-keratin, seperti bibir, pipi,

dasar mulut, palatum lunak dan palatum keras7 dan juga bisa timbul didaerah lain,
seperti mukosa bukal, mukosa labial, lidah dan uvula1. Tipe SAR ada tiga macam,

yaitu SAR minor, SAR mayor, dan jenis herpetiform 1,5,9. SAR minor merupakan

penyakit yang paling sering ditemui, yaitu sekitar 75 – 85% dari kasus SAR lainnya.

SAR Minor terlihat dengan bentuk ulser yang dangkal, oval, diameter < 1 cm,

berwarna kuning kelabu dengan tepi eritematus yang mencolok mengelilingi

pseudomembran fibrinosa sedangkan SAR mayor terjadi berkisar 10-15%, ditandai

dengan adanya ulser berbentuk bulat atau oval dengan batas yang tidak jelas,

diameternya ≥ 1 cm dan disertai rasa sakit hebat5,7.

Diagnosis SAR didasarkan pada anamnesa dan gambaran klinis dari ulser.

Perhatian khusus harus ditujukan pada riwayat keluarga, frekuensi ulser, durasi ulser,

jumlah ulser, lokasi terjadinya ulser (non-keratinisasi atau keratinisasi), ukuran dan

bentuk ulser, kondisi medis, ulser genital, masalah kulit, gangguan pencernaan,

riwayat obat, tepi ulser, dasar ulser, dan jaringan disekitarnya. Hal ini disebabkan

karena banyaknya ulserasi di dalam rongga mulut yang secara klinis mirip dengan

SAR, antara lain ulkus traumatikus, sindrom behcet, herpes simplek dan karsinoma

sel skuamosa5,10.

Pada makalah ini dilaporkan kasus dengan diagnosa Stomatitis Apthosa

Rekuren (SAR) yang terjadi pada laki-laki berusia 12 tahun.


BAB II

LAPORAN KASUS

Pasien laki-laki berusia 12 tahun datang ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut

Universitas Andalas dengan keluhan sariawan pada bibir bawah. Pertama kali

disadari 3 hari yang lalu. Saat ini, sakit (+) jika makan panas (+), makan pedas (+),

terkena gigi (+). Bertambah sakit (-) dari hari sebelumnya, bertambah banyak (+)

luka awal 1 buah, berupa lentingan seperti cacar air (-), diobati (-), luka serupa

ditempat lain di rongga mulut (-), pada bagian tubuh lain (-). Sebelum luka disadari,

demam (-), badan terasa tidak enak (-), sensasi mulut terbakar (-), penurunan nafsu

makan (-), sakit kepala (-). Sebelumnya ada luka serupa yang sama dan berulang (+)

terakhir 1 bulan yang lalu didaerah yang sama sembuh sendiri (+) sekitar 7 harian.

Pasien menyadari pertama kali sariawan saat kelas 5 SD (sekitar 2 tahun lalu). Saat

ini, banyak kegiatan (+), istirahat cukup (+) 8 jam sehari, alergi makanan (-),

konsumsi sayur dan buah (+) 1-2 kali seminggu, konsumsi obat (-), konsumsi

vitamin (-), merokok (-), letih lesu (-), suka mengantuk (-), nyeri sendi (-), sering

merasa haus (-), kesemutan pada jari tangan/kaki (-), berkeringat dingin (-), pusing

saat aktivitas normal (-), mudah lelah dan sesak nafas saat aktivitas normal (-),

perasaan yang dipendam (+) tidak sesuai dengan pergaulan dan suasana disekolah,

ada keinginan pindah sekolah, dalam 2 minggu terakhir 4 kali tidak masuk sekolah.

Keluarga pernah mengalami hal serupa (+) saudara perempuan sedarah (1 tahun

terakhir 4 kali). Mengunyah dikedua sisi dan kebersihan mulut baik.

Pemeriksaan ekstra oral tidak ditemukan kelainan pada pasien. Pada

pemeriksaan intra oral terlihat adanya ulser multiple berjumlah 4 berbentuk bulat dan

oval dimukosa labial bawah regio gigi 43, 31, 33 berwarna putih kekuningan dengan
diameter ± 1-2,5 mm dan 4,5x2 mm - 5x2,5 mm, kedalaman dangkal ± 1 mm, batas

tepi jelas dan dikelilingi halo eritema, tidak disertai peninggi tepi.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan riwayat penyakit diagnosa

pada pasien ini adalah stomatitis apthosa rekuren (SAR) minor predisposisi stres

dengan diagnosa bandingnya bechet’s disease dan herpes simplek rekuren intraoral.

Perawatan yang dilakukan adalah KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) yaitu

penjelasan kepada pasien bahwa luka tersebut merupakan stomatitis apthosa rekuren

(SAR) minor yang disebabkan karena faktor genetik dan sering berulang karena

adanya berbagai faktor pemicu seperti trauma, stress, kekurangan nutrisi, dll. Faktor

pemicu timbulnya luka pada pasien saat ini karena adnya beban pikiran yang

mengganggu pasien. Jadi, untuk menghindari terjadinya kekambuhan, instruksikan

pasien agar menghindari faktor yang dapat memicu munculnya luka tersebut.

Instruksikan pasien dan orangtua untuk mencarikan solusi masalah pasien agar

pasien tenang dalam menjalanipergaulan disekolah, rutin berolahraga untuk

meminimalisir stress psikologis. Pasien diinstruksikan kembali ke RSGMP untuk

melakukan kontrol 7 hari kemudian.

Kunjungan I

Pada kunjungan I pada tanggal 15 Januari 2019, pasien datang dengan keluhan luka

di mukosa labial (gambar 1A dan 1B).


1A 1B

Gambar 1AB. Terdapat ulser multiple berbentuk bulat dan oval dimukosa labial
bawah regio gigi 43, 31, 33 berwarna putih kekuningan dengan diameter ± 1-2,5
mm dan 4,5x2 mm - 5x2,5 mm, kedalaman dangkal ± 1 mm, batas tepi jelas dan
dikelilingi halo eritema, tidak disertai peninggi tepi.

Kunjungan II (Kontrol)

Pada kunjungan berikutnya pada tanggal 23 Januari 2019, yaitu 7 hari setelah

kunjungan pertama, pasien merasa lebih baik, tidak merasakan sakit. 1 hari setelah

pemeriksaan awal, pasien merasakan adanya luka baru di mukosa labial bawah dekat

gigi taring, saat ini tidak sakit. Luka di mukosa labial dekat gigi 43 sudah hilang

tanpa meninggalkan jejas sedangkan luka lainnya mengecil dari sebelumnya. Pasien

menyadari luka menghilang sejak 2 hari yang lalu (gambar 2)

Gambar 2. Setelah 7 hari dari pemeriksaan awal


BAB III

PEMBAHASAN

Pada kunjungan pertama (tanggal 15 Januari 2019) pasien datang dengan

keluhan adanya sariawan di mukosa labial bawah dengan diagnosis SAR (Stomatitis

Apthosa Rekuren). Hal ini ditegakan berdasarkan riwayat ulser rekuren sejak kecil

(pertama kali sariawan saat kelas 5 SD). Riwayat penyakit pasien diketahui bahwa

ulser seperti saat ini sudah pernah terjadi sebelumnya. Pasien sering mengalami

sariawan, biasanya muncul saat pasien kelelahan dan trauma mekanis, setidaknya 3

kali dalam setahun pasien pernah mengalami sariawan.

Pada kasus ini, sariawan di mukosa labial bawah terjadi karena pasien

mengalami stres psikologis. Keluarga pasien yaitu saudara perempuan pasien yang

sedarah sering mengalami sariawan karena tergigit dan terkadang sariawan muncul

tanpa diketahui penyebabnya. Hal ini menandakan keterlibatan faktor genetik, stress

dan trauma sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa faktor trauma dan stress

menjadi faktor predisposisi kasus SAR. Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan

klinis yang telah dilakukan, diagnosa untuk keluhan pasien tersebut adalah SAR

Minor Multiple predisposisi genetik dan stres dengan diagnosa bandingnya adalah

bechet’s disease dan herpes simplek rekuren intraoral.

Pasien didiagnosa SAR Minor dengan predisposisi stres karena saat ini

pasien memiliki perasaan terpendam akibat tidak sesuainya pegaulan dilingkungan

sekolah sehingga terjadi penurunan produktivitas, kadang muncul tiba-tiba ditempat

yang berbeda-beda, tidak ada gejala prodromal, tidak ada ulser di bagian tubuh lain

dan pada pemeriksaan intra oral tampak ulser multiple. Terdapat ulser multiple

berjumlah 4 berbentuk bulat dan oval dimukosa labial bawah regio gigi 43, 31, 33
berwarna putih kekuningan dengan diameter ± 1-2,5 mm dan 4,5x2 mm - 5x2,5 mm,

kedalaman dangkal ± 1 mm, batas tepi jelas dan dikelilingi halo eritema, tidak

disertai peninggi tepi. Tidak adanya ulser di bagian tubuh lain dan tidak adanya

gejala prodromal maka kemungkinan bechet’s disease dapat dikesampingkan.

Herpes simpleks rekuren intraoral juga dipertimbangkan sebagai diagnosis banding

pada kasus ini. Dari pemeriksaan klinis, tidak terlihat adanya ulser yang

berkelompok dan dari anamnesa awal ulser muncul tidak didahului dengan lentingan

maka herpes simpleks rekuren intraoral dapat dikesampingkan.

Penatalaksanaan SAR berupa identifikasi dan koreksi faktor-faktor

predisposisi. Pada umumnya pasien SAR tidak memerlukan terapi karena sifat

penyakitnya yang ringan. Beberapa orang memerlukan terapi dengan tujuan

menghilangkan rasa sakit sehingga memungkinkan asupan makanan yang adekuat,

mengurangi infeksi sekunder, memicu penyembuhan ulser sehingga mengurangi

durasi dan mencegah rekurensi.

Perawatan yang dilakukan kepada pasien berupa non-farmakologis melalui

KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi). Pasien diberikan pengetahuan tentang

SAR. Pasien dianjurkan untuk menghindari faktor predisposisi yang dapat

menimbulkan SAR. Saat kunjungan awal, sariawan pasien sudah tidak sakit lagi.

Rasa sakit hanya timbul saat pasien makan panas, pedas dan terkena gigi sehingga

pasien di instruksikan untuk mengurangi mengonsumsi makanan-makanan tersebut.

Pada kunjungan kedua (tanggal 23 Januari 2019) pasien datang untuk kontrol

pada hari ke 7 setelah kunjungan awal. Saat ini keadaan pasien membaik. Rasa sakit

sudah hilang dan 2 ulser sudah sembuh tanpa meninggalkan jejas. Namun, 1 hari

setelah pemeriksaan awal, pasien merasakan adanya luka baru di mukosa labial

bawah dekat gigi taring, saat ini tidak sakit. Tampak 2 ulser dengan ukuran yang
sudah mengecil dari sebelumnya. Pasien menyadari luka menghilang sejak 2 hari

yang lalu.
BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

Stomatitis Apthosa Rekuren (SAR) adalah ulserasi pada rongga mulut yang

menimbulkan rasa sakit, dan terjadi pada interval waktu beberapa hari atau lebih dari

2-3 bulan. SAR paling sering muncul di rongga mulut, terjadi 20%dari populasi

dunia dan 2% diantaranya merasa sangat menderita 1,2,3. SAR dimulai pertama kali

pada rentang usia anak-anak, remaja dan puncaknya pada dewasa awal. Jumlah

wanita yang menderita SAR lebih banyak daripada laki-laki, dan lebih sering terjadi

pada usia dekade kedua dan tiga1,3.

Stomatitis Aptosa Rekuren (SAR) merupakan penyakit mulut yang

penyebabnya belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor predisposisi

yang diduga menjadi pencetus SAR. Beberapa faktor predisposisi tersebut meliputi

faktor genetik, defisiensi hematologi, kelainan imunologi seperti hipersensitif dan

autoimun, defisiensi nutrisi, kelainan sistim pencernaan, faktor lokal seperti trauma

dan merokok, disfungsi imun, stress, dan ketidakseimbangan hormonal4,5,6.

Stomatitis apthous memiliki predisposisi genetik yang jelas. Lebih dari 42%

pasien dengan SAR akan memiliki setidaknya satu kerabat tingkat pertama yang juga

terpengaruh, dan ada kemungkinan 90% mengembangkan SAR jika kedua orang tua

terpengaruh. Ulkus tampak sebagai respon imun seluler di dimana T-sel dan tumor

necrosis factor (TNF) -α terlibat. TNF-α adalah sitokin proinflamasi yang merekrut

sel-T dan leukosit lainnya ke lesi, menciptakan papula yang menyakitkan yang

kemudian memborok sebelum penyembuhan3.

Stres psikologis sebagai faktor pemicu untuk SAR telah disebutkan dalam

literatur, bahwa Stres psikologis menginduksi aktivitas imunoregulatori dengan


meningkatkan jumlah leukosit di tempat peradangan; ini adalah karakteristik yang

sering diamati selama patogenesis SAR2.

Ada tiga presentasi klinis SAR: SAR minor, SAR mayor, dan ulserasi

herpetiform.

1. SAR minor adalah bentuk SAR yang paling umum dan sekitar 85% pasien

memiliki lesi jenis ini. Aphthous minor dapat melibatkan mukosa non-

keratinisasi rongga mulut (labial dan mukosa bukal, dasar mulut dan

permukaan ventral atau lateral lidah). Selain itu, lesi biasanya terkonsentrasi

di bagian anterior mulut. Ulkus superfisial, biasanya berdiameter <1 cm,

ukurannya kira-kira 4-5 mm. Klasifikasi RAS minor tidak tergantung pada

dimensi lesi saja, tetapi pada sejumlah fitur klinis lain seperti jumlah ulkus

dari 1 hingga 5,7-9. Bentuk ulser bervariasi agak sesuai dengan lokasi lesi,

lebih membulat pada labial atau mukosa bukal (Gambar 3.1) dan memanjang

pada sulkus bukal. Aphthae minor tidak menyebabkan jaringan parut

meskipun bertahun-tahun mengalami ulserasi berulang dan cenderung

sembuh dalam 10-14 hari.

2. SAR Mayor, kurang umum daripada lesi SAR kecil (sekitar 10-15% dari

semua SAR). Lesi ini mirip dalam penampilan dengan SAR minor; Namun,

mereka lebih besar dari 10 mm, lebih dalam, sering terluka, dan dapat

berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan (Gambar 3.2).

Lesi ini memiliki predileksi untuk bibir, lidah, langit-langit lunak, dan

faucula palatum dan menyebabkan rasa sakit dan disfagia yang signifikan.

Mereka sering ditemukan pada pasien yang terinfeksi human

immunodeficiency virus (HIV).


3. Ulserasi Herpetiform, hanya merupakan 5-10% dari semua kasus SAR,

memiliki kemiripan dengan lesi yang disebabkan infeksi HVS. Ulser

herpetiform yang kecil (1-2 mm) dan beberapa ulser (5-100) dapat hadir pada

saat yang sama (Gambar 3.3). Meskipun mukosa mulut non-keratinisasi

mungkin terlibat, secara karakteristik wilayah yang terkena adalah margin

lateral dan permukaan ventral lidah dan dasar mulut. Ulser individu berwarna

abu-abu dan tanpa batas tepi eritematosa, sehingga sulit untuk

divisualisasikan. Ulkus ini memiliki ukuran kecil, dan menyebabkan rasa

sakit serta membuat makan dan berbicara menjadi sulit. Ulser dapat

berlangsung selama sekitar 7-30 hari, dan periode remisi antara serangan

bervariasi dengan peyembuhan meninggalkan jaringan parut.

Jumla
Ukuran (mm) Kedalaman Scar Durasi Frekuensi
h
Tida
SAR minor 5-10 Dangkal <10 10-14 75-90
k
SAR mayor >10 Dalam Iya <10 >14 10-15
Ulser <5 Dangkal Tida >10 10-14 5-10
Herpetifor k
m
Tabel 1. Bentuk klinis SAR berdasarkan tipe7

3.1 3.2 3.3

Gambar 3. Tipe SAR


Diagnosis banding untuk SAR minor predisposisi stres pada kasus ini adalah

bechet disease dan herpes simplek rekuren. Perbedaan SAR, bechet disease dan

herpes simplek rekuren dapat dilihat pada tabel 2.

SAR Bechet Syndrome RIH

Gambar

Definisi Lesi yang ditandai Gangguan kronis, Infeksi herpes yang


dengan ulserasi berulang, multisistemik rekuren, memiliki
berulang secara ditandai dengan
riwayat herpes
periodik di rongga manifestasi okular,
mulut dan mukokutan, vaskular simpleks sebelumnya,
diklasifikasikan dan sistem saraf pusat disebabkan reaktivasi
menjadi 3 yaitu,
virus yang tetap laten
apthosa mayor, minor
dan herpetiformis dalam jaringan saraf
Etiologi Tidak diketahui Belum diketahui Reaktivasi HSV-1
Predisposisi  Genetik  Genetik Pemicu : demam,
 Defisiensi hematinik Pemicu : infeksi bakteri radiasi UV, trauma,
 Defisiensi nutrisi dan virus stres, menstruasi,

 Faktor lokal defisiensi nutrisi,


penurunan sistem
 Stres
imun
 Hormonal
 Alergi makanan
 Kelainan imunologi
 Riwayat merokok
Gambaran Ulser berbentuk bulat Lesi oral hampir sama Gejala prodromal
klinis atau oval, berbatas dengan SAR, awalnya lokal :gatal,
jelas, dengan dasar mucul area sirkuler kesemutan, panas,
kuning keabuan, kemerahan , setelah 1-2 nyeri gingiva. Ulserasi
dikelilingi halo eritema, hari timbul ulkus bulat tunggal atau
jika sudah lama dapat atau oval dangkal, berkelompok dengan
berbentuk irregular, berbatas eritematous, ukuran 1-5 mm,
umumnya multiple, kadang ditutupi diawali vesikel, nyeri
self- limiting pseudomembran dengan batas tepi
permukaan ulkus eritema terang, self
-limiting

Lokasi : mukosa non Lokasi oral : lidah, Lokasi : mukosa


keratin bibir, mukosa bukal, berkeratin
Frekuensi : berulang gingiva, palatum,
rutin (3 bulan sekali) pharing, tonsil.
Frekuensi : 3x1 tahun
Persamaan Persamaan : Ulserasi Persamaan : Ulserasi
dan berulang, jenis lesi ulser berulang, jenis lesi
Perbedaan tunggal/ multiple, ulser tunggal/ multiple
bentuk oval/ bulat, ukuran 1-5 mm, batas
dangkal, berbatas tepi eritema terang,
eritematous. self limiting, diawali
gejala prodromal lokal

Perbedaan : Lesi oral Perbedaan : Awal


BD min 3x1 tahun munculnya lesi
disertai 2-4 manifestasi dimulai dengan
(rekuren lesi genital, vesikel, lesi biasanya
lesi mata, lesi kulit, tes berkelompok
pathergy +), biasanya
disertai nyeri sendi
Perawatan Menghilangkan faktor Pemberian: Antiseptic lokal :
predisposisi kortikosteroid sistemik clorhexidine 0,2 %
Diet lunak, perbanyak
asupan cairan dan
istirahat

Tabel 2. Perbedaan SAR, Bechet disease (BD) dan Herpes simplek rekuren intraoral1,2,11,12,13
Gambaran klinis bechet disease menyerupai ulser SAR. Perbedaan mendasar

antara SAR dengan bechet disease yaitu tidak ditemukan lesi abnormal di tubuh

bagian lain. Bechet disease manifestasi klinis berupa ulkus oral rekuren, ulkus

genital rekuren, lesi kulit, lesi mata, gangguan persendian, saluran cerna, sistem saraf

pusat, dan vaskuler12,13.

Setelah diagnosis ditegakkan, tatalaksana SAR dengan meminimalkan

ketidaknyamanan dan mengobati ulser untuk mengurangi perjalanan penyakit.

Perawatan simptomatik pada kondisi akut adalah penting. Sebagian besar perawatan

yang digunakan saat ini bersifat paliatif. Penatalaksanaan dari SAR dibagi dalam dua

tahap, yaitu pengobatan simtomatis suportif dan pengendalian faktor predisposisi.

Pengobatan simtomatis dan suportif dilakukan untuk mengobati keluhannya saja.

Tujuan pengobatan simtomatik adalah mengurangi gejala, megurangi jumlah dan

ukuran ulkus. Obat yang dapat digunakan antara lain: obat kumur antibiotika

(chlorhexidine gluconate 0,2%) atau kortikosteroid topikal (triamcinolone in orbase).

Obat kumur chlorhexidine 0,2% dapat digunakan untuk meredakan durasi dan

ketidaknyamanan pada SAR. Kortikosteroid dapat mengurangi rasa sakit pada

peradangan yang ada. Perawatan suportif dapat dilakukan dengan instruksi

pengaturan diet, pemberian obat kumur salin hangat dan anjuran untuk beristirahat

dengan cukup. Pengendalian faktor predisposisi dilakukan sebelum memulai terapi

yang spesifik. Faktor predisposisi dapat diketahui dengan cara mengumpulkan

informasi tentang faktor genetik yang kemungkinan berperan, trauma yang terlibat,

faktor hormonal yang berperan, juga kondisi stres dan faktor imunologi. Faktor lokal

perlu diperhatikan adanya trauma ataupun faktor lain yang dapat mengiritasi

mukosa, seperti tepi gigi, karies ataupun tambalan yang tajam, perlu dihindari
makanan yang keras dan mempengaruhi OH penderita juga penting

diperhatikan3,14,15.

BAB V

REFLEKSI KASUS

Dalam studi epidemiologi, riwayat keluarga positif sebagai predisposisi

penyakit SAR telah dilaporkan pada 24% hingga 46% dari subyek . Menurut Safadi,

riwayat keluarga positif ditemukan pada 66,4% dari 684 pasien Yordania yang

menderita SAR. Kehadiran ulser pada orang tua mempengaruhi secara signifikan

risiko pengembangan SAR dan perjalanan penyakit pada keturunan. Risiko SAR

terjadi mencapai 90% pada anak yang kedua orang tuanya memiliki riwayat SAR,

sedangkan pada anak-anak dengan orang tua yang sehat diperkirakan mencapai 20%.

Orang dengan riwayat keluarga yang positif cenderung untuk mengalami SAR yang

lebih berat dengan kekambuhan yang lebih sering daripada subjek yang tidak

memiliki riwayat RAS dalam keluarga7.

Penelitian Banuarea menyatakan bahwa mukosa bibir merupakan lokasi

terkenanya SAR yang paling sering terjadi, yaitu sebesar 42,25%, sedangkan gingiva

yang merupakan mukosa mulut yang berkeratin hanya sebesar 3,80%. Mukosa mulut

yang tidak berkeratin mempunyai lapisan stratum korneum lebih tipis dibandingkan

mukosa mulut yang berkeratin, hal ini menyebabkan mukosa mulut yang tidak

berkeratin lebih rentan terhadap terjadinya SAR16.

Menurut Smith dan Wray (1999), SAR dapat terjadi pada semua kelompok

umur tetapi lebih sering ditemukan pada masa dewasa muda. SAR paling sering
dimulai selama dekade kedua dari kehidupan seseorang. Prevalensi pada kelompok

anak-anak (10-15 tahun) sebesar 5-10%. Penelitian Abdullah menyatakan bahwa

angka prevalensi SAR pada tingkat pendidikan mahasiswa sebesar 75%. Banyaknya

mahasiswa yang terkena SAR diduga disebabkan karena pada masa tersebut remaja

laki-laki maupun perempuan mengalami berbagai jenis masalah yang dapat

mengakibatkan terjadinya kekacauan psikologis, yaitu stress 5,11. Sejalan dengan

penelitian Santosh P et al bahwa Stres diidentifikasi sebagai faktor yang paling

umum, yang menyebabkan ulserasi berulang pada 386 pasien (54,8%) dari 705

pasien6. Respon dari stress menyebabkan penekanan fungsi IgA, IgG, dan neutrofil.

Penurunan dari fungsi IgA pada stress akan mempermudah perlekatan

mikroorganisme ke mukosa sehingga mikroorganisme mudah invasi ke jaringan dan

menyebabkan infeksi. Penurunan fungsi IgG memudahkan terjadinya kondisi

patologis karena penurunan fungsi fagositosis, toksin dan virus tidak dapat

dinetralisir. Penurunan neutrofil akan menyebabkan fungsi fagositosis menurun

sehingga terjadi penurunan dalam membunuh mikroorganisme. Berdasarkan hal

tersebut, adanya stress diduga menyebabkan homeostatis terganggu sehingga

jaringan rentan terhadap suatu ulser berupa SAR5,16.

Hasil penelitian di atas sesuai dengan kondisi yang terjadi pada pasien yaitu

sama-sama memiliki genetik dan stres. Maka dari itu sangat perlu mencari solusi

masalah yang menjadi beban pikiran dan banyak mencari kegiatan yang dapat

meringankan beban pikiran sehingga dapat meminimalisir stress psikologis, menjaga

kebersihan mulut.
BAB VI

PENUTUP

Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) merupakan suatu lesi ulserasi yang terjadi

secara berulang secara periodik pada mukosa mulut. Dalam kasus ini, pasien

didiagnosa menderita SAR Minor predisposisi genetik dan stres. Jadi, untuk

menghindari terjadinya kekambuhan, instruksikan pasien agar menghindari faktor

yang dapat memicu munculnya luka tersebut. Instruksikan pasien untuk mencari

solusi masalah yang menjadi beban pikiran dan banyak mencari kegiatan yang dapat

meringankan beban pikiran sehingga dapat meminimalisir stress psikologis, menjaga

kebersihan mulut. Pasien tidak memiliki keluhan adanya rasa sakit yang

mengganggu, sehingga pasien hanya diberikan perawatan non-farmakologis melalui

KIE. Lesi mengalami penyembuhan dalam waktu 7 hari.


Daftar Pustaka

1. Maharani LA & Hening T: Stomatitis Aftosa Rekuren Oleh Karena


Anemia.Dentofasial, Vol.9, No1, April 2010:39-46
2. Gallo CB, Mimura MAM, Sugaya NN. Psychological stress and recurrent
aphthous stomatitis. Clinics. 2009;64(7): 645-8.
3. Hudson J. Recurrent aphthous stomatitis: diagnosis and management in primary
care. J Patient Cent Res Rev. 2014;1:197-200. doi:10.17294/2330-0698.1040
4. Tarakji B et al. Guideline for the Diagnosis and Treatment of Recurrent
Aphthous Stomatitis for Dental Practitioners.Journal of International Oral
Health 2015; 7(5):74-8
5. Sulistiani A, Hernawati, S, Mastirni. 2017. Prevalence and Distribution of
Patients Recurrent Aphthous Stomatitis ( RAS ) in Oral Medicine Departement
of Dental Hospital, Dentistry Faculty, University of Jember in 2014. e-Jurnal
Pustaka Kesehatan, vol. 5 (no. 1), Januari, 2017
6. Santosh P et al. Prevalence of recurrent aphthous ulceration in the Indian
Population. J Clin Exp Dent. 2014;6(1):e36-40.
7. Zuzanna Ś, Elżbieta S, Anna K. Recurrent aphthous stomatitis: genetic aspects
of etiology. Postep Derm Alergol 2013; XXX, 2: 96–102
8. Otik Widyastutik, Angga Permadi. 2017. Faktor Yang Berhubungan Dengan
Stomatitis Aftosa Rekuren (Sar) Pada Mahasiswa Di Pontianak. JKMK ;
4(3):218-225
9. Melky G, Junhar P L, Aurelia S. Gambaran Stomatitis Aftosa Rekuren Dan
Stres Pada Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas Ii B Bitun. Jurnal e-
GiGi (eG), Volume 3, Nomor 1, Januari-Juni 2015
10. Greenberg M.S., Michael G., Jonathan A. S. Burket’s Oral Medicine. 11th Ed.
Hamilton: BC Decker Inc. 2008. 3: 57-60
11. Abdullah, M. J. Prevalence of Reccurent Aphthous Ulceration Experience in
Patients Attending Piramird Dental Speciality in Sulaimani City. J Clin Exp
Dent, 2013: 5 (2): e90.
12. David S&Bertrand W. Behçet's disease. Orphanet Journal of Rare Diseases 2,
2012, 7:20
13. Sukmawati Tansil T, dkk. 2016. Manifestasi Klinis Sindrom Behcet. CDK-245/
vol. 43 no. 10
14. Iqubal Asad, et al. 2017. Recurrent aphtosus stomatitis: case report. The pharma
innovation J;6(7): 908-910
15. I Made A, Ni Wayan M, Michael A. Angka Kejadian Stomatitis Apthosa
Rekuren (Sar) Ditinjau Dari Faktor Etiologi Di Rsgmp Fk Unsrat Tahun 2014.
Jurnal e-GiGi (eG), Volume 3, Nomor 2, Juli-Desember 2015
16. Hernawati, Sri. Mekanisme selular dan molekular stres terhadap terjadinya
rekuren aptosa stomatitis. Jurnal PDGI, Volume 62, Nomor 1, Januari- April
2013.

Anda mungkin juga menyukai