STASE BEDAH
oleh :
Nabilatuz Zulfa Salimah, S.Kep.
NIM 202311101063
Palatum diagi menjadi dua bagian, terdapat palatum keras dan palatum
lunak. Palatum keras membentu perbedaan natara rongga mulut dan rongga
hidung. Palatum keras terbentuk dari proses palatina maksilaris dan prosesus
horizontal dari tulang palatina dan bergabung ke arah interior dan lateral oleh
arkus alveolaris dan terus berkembang kea rah posterior menjadi palatum lunak.
Di tengah palatum lunak menggantung keluar sebuah proses berbentuk kerucut,
yaitu uvula (Kemenkes, 2017) Uvula yaitu daging kecil yang menempel di
belakang palatina lunak yang memiliki fungsi yaitu sebagai pemerang infeksi
serta memberikan saliva atau pelumas saat tenggorokan memluai aktivitasnya
untuk makan atau berbicara. Kemudian terdapat tonsil yang merupakan organ
kecil yang berada diantara uvula dengan gigi yang memiliki fungsi sebagai
penghadang virus atau bakteri yang akan menyebabkan infeksi pada tubuh
(Aphrodita, 2015) Selain itu, juga terdapat tongue atau lidah yang dilekatkan pada
dasar muluit oleh frinulun lingua. Lidah berfungsi untuk menggerakkan makanan
saat dikunyah atau ditelan, untuk pengecapan dan dalam produksi wicara (Sloane,
2016)
B. Definisi Phlegmon
Phlegmon dasar mulut adalah selulitis supuratif difus yang menyebar
terutama pada jaringan ikat longgar. Selulitis sendiri merupakan suatu inflamasi
atau infeksi yang menyebabkan penyebaran edema pada jaringan lunak dan
bersifat difus. Selulitis pada phlegmon dasar mulut sering kali vilateral, tetapi bila
hanya mengenai satu sisi atau unilateral disebut dengan pseudophlegmon (Aditya
dan Janar Wulan, 2015)
Phlegmon atau yang biasa disebut dengab Ludwigs angina ini adalah suatu
infeksi yang menyerang jaringan dasar mulut yang berpotensi untuk
membahayakan hidup seseorang. Penyakit ini merupakan salah satu jenis infeksi
yang menyangkut spasia submandibular kiri dan kanan, submental serta
sublingual. Infeksi ini merupakan kedaruratan yang harus segera ditangani karena
dapat menyebabkan terjadinya sumbatan jalan nafas (Kawulusan Netty N, 2018)
C. Epidemiologi
Pasien dengan kasus phlegmon ini kebanyakan adalah pasien yang berusia
antara 20 hingga 60 tahun. Walau begitu kasus pada usia 12 hari sampai 84 tahun
pernah juga untuk dilaporkan dan pasien dengan jenis kelamin laki-laki lebih
banyak dibandingkan dengan perempuan dengan rasio 3:1 sampai 4:1 (Aditya dan
Janar Wulan, 2015)
Penyakit pada anak seperti gigi caries dapat menyebabkan menyebabkan
komplikasi serius penyakit phlegmon ini, angka kejadian penyakit ini sekitar 13%
dari seluruh infeksi dan sebanyak prevalensi sebanyak 90% kasus disebabkan dari
infeksi akut gigi molar rahang bawah yang menyebar. Penyakit phlegmon ini
umum terjadi pada anak dengan prevalensi lebih dari 40% pada anak usia 6 tahun
dengan pertumbuhan gigi susu dan lebih dari 85% pada usia 17 tahun pada gigi
permanen (Aditya dan Janar Wulan, 2015)
D. Etiologi
Penyakit phlegmon ini paling banyak dilaporkan diakibatkan oleh kuman
Streptococcus sp. Akan tetapi tak menutup kemungkinan juga mikroorganisme
comorbid lainnya seperti Prevotella, Porphyromona dan Fusobacterium yang
merupakan anaerom gram negative yang terlapor sebagai salah satu penyebab
penyakit ini. Selain itu infeksi primer yang terjadi dapat berasal dari gigi
(odontogenic) seperti perluasan infeksi atau abses pariaprikal. Selain
odontogenic, infeksi dapat pula terjadi akibat dari penyuntikan dengan jarum yang
tidak steril, infeksi kelenjar ludah, laserasi dalam mulut, fraktur maksila atau
mandibula serta infeksi sekunder dari keganasan rongga mulut (Aditya dan Janar
Wulan, 2015)
Kasus pasien dengan phlegmon ini terjadi pada pasien dengan kondisi
sehat dan tanpa penyakit komorbid. Akan tetapi tak jarang juga penyakit lain juga
menyadi faktor predisposisi untuk transisi penyakit ini, penyakit bawaan atau
comorbid yang dijadikan praduga untuk penyakit ini adalah seperti HIV, diabtes
mellitus, pengobatan dengan imunosupresan, neutropenia, anemia aplastic,
sistemik lupus eritromatosus atau SLE, alkoholisme dan defisiensi gama globulin.
Penyakit comorbid diatas dapat menyebabkan imunitas menurun sehingga infeksi
supuratif dapat menyebar dengan cepat dan meluas (Aditya dan Janar Wulan,
2015)
E. Manifestasi Klinis
Penyakit phlegmon ini menyebabkan berbagai tanda dan gejala atau manifestasi
klinis, antara lain :
Selain itu, gejala disfonia juga dapat muncul sebagai potensi akibat dari sumbatan
jalan nafas yang dialami oleh pasien (Aditya dan Janar Wulan, 2015)
F. Patofisiologi
Pada umumnya kasus ini dosebabkan oleh infeksi odontogenic yang
berasal dari pulpa dan periodontal. Berawal dari etiologi seperti infeksi pada gigi
dan adanya nekrosis pada gigi yang menyebabkan bakteri masuk ke ruang pulpa
sampai pakes gigi kemudian foramen aplikalis dentis pada pulpa tidak dapat
mendrainase pulpa yang terinfeksi kemudian infeksi tersebut menjalar dengan cepat
keruangan atau jaringan gigi lain yang jaraknya dengan gigi yang nekrosis
(Karasutisna, 2019) Penyebaran ini dipengaruhi oleh struktur anatomi local yang
bertindak sebagai barrier pencegahan penyebaran hal tersebut dapat dijadikan acuan
penyebaran infeksi pada proses septik. Kemudian infeksi ini yang kemudian
menyebabkan abses atau pus ini akibat dari gigi yang nekrosis. Abses ini terbagi
menjadi dua, yaitu penjalaran yang tidak berat sampai penjalaran yang bserat
sehingga menyebabkan abses yang menumpuk dan membutuhkan penanganan
yang lebih intensif (Hutomo, 2018)
Infeksi
Rusaknya sel
Merangsang darah putih
syaraf
Peningkatan
Nyeri Akut pus/debris
Gangguan Membendung di
rasa aman dalam ronga
nyaman
Menurunnya Edema di Pola nafas tidak
Abses
imun kerongkongan efektif
Keluhan Kolaborasi :
1 Menurun(5) 1. Kolaborasi pemberian analgetik
nyeri
Termoregulasi (L.14134) Manajemen Hipertermia (I.14508)
Observasi :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan …x24 jam,
1. Monitor suhu tubuh
kondisi klien membaik dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi penyebab hipertermia
3. Monitor tanda dan gejala
Skor saat Skor yang hipertermia
Indikator
Hipertermia ini ingin dicapai Terapeutik :
3. 4. Sediakan lingkungan yang hangat
(D.0130) Suhu 5. Ganti pakaian atau linen yang basah
1 Membaik(5) 6. Lakukan penghangatan yang
tubuh massif/aktif
Takikardi 4 Menurun(1)
Edukasi :
Takipneu 4 Menurun(1) 7. Anjurkan makan/minum hangat
Pencegahan Infeksi (I.14539)
Observasi
1. Identifikasi kemungkinan interaksi dan
kontraindikasi obat
2. Mintor tanda vital dan nilai
Tingkat Infeksi (L.14137) labolatorium
Setelah dilakukan tindakan keperawatan …x24 jam, 3. Monitor kepatuhan menjalani
pengobatan
kondisi klien membaik dengan kriteria hasil :
Risiko infeksi Terapeutik
Skor Skor yang ingin
4. Indikator
(D.0142) saat ini dicapai 4. Fasilitasi program pengobatan
Demam 1 Menurun (5) 5. Atur interval pemantauan sesuai
Kadar sel darah 1 Membaik (5) kondisi pasien
putih 6. Perhatikan prosedur pemberian obat
yang aman dan akurat
Drainase purulent 1 Menurun (5)
Edukasi
1. Ajarkan pasien mengelola obat,
(dosis, penyimpanan, rute dan waktu
pemberian)
Aditya, M. dan A. Janar Wulan. 2015. Phlegmon dasar mulut odontogenik : laporan
kasus odontogenic mouth floor phlegmon : case report. JuKe Unila. 5(9):76–80.
Aphrodita, R. B. 2015. Tinjauan gambaran anatomis dan kelainan klinis celah bibir dan
palatum. Universitas Trisakti. 1–20.
Kemenkes. 2017. Histologi Dan Anatomi Fisiologi Manusia. Edisi 205. Jakarta: Pusat
Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan. 1.
Mahaputri, A. 2013. Angina kudwig pada pasien laki-laki dewasa muda karena infeksi
odontogen. Hematemesis Melena Et Causa Gastritis Erosif Dengam Riwayat
Penggunaan Obat Nsaid Pada Pasien Laki-Laki Lanjut Usia. 1(September):72–78.
SDKI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Edisi 1. tim pokja SDKI DPP
PPNI.
SIKI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1. tim pokja SDKI DPP
PPNI.
SLKI. 2017. Starndar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1. tim pokja SDKI DPP
PPNI.
Sloane, E. 2016. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Pemula. Edisi 640. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.