Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PHLEGMON DI RUANG


MAWAR RUMAH SAKIT DAERAH dr. SOEBANDI JEMBER

OLEH:

Reka Saputri Mega Ratna Sari, S.Kep


NIM 192311101128

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2019
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................


DAFTAR ISI ..........................................................................................
LAPORAN PENDAHULUAN .............................................................
A. Anatomi Fisiologi .............................................................................
B. Definisi Plegmon ...............................................................................
C. Epidemiologi Plegmon .......................................................................
D. Etiologi Plegmon ................................................................................
E. Klasifikasi Plegmon ..........................................................................
F. Patofisiologi/ Patologi Plegmon .........................................................
G. Manifestasi Klinis Plegmon ..............................................................
H. Pemeriksaan Penunjang Plegmon ......................................................
I. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi ......................
J. Clinical Pathway ...............................................................................
K. Konsep Asuhan Keperawatan ...........................................................
a. Assessment/ Pengkajian ..............................................................
b. Diagnosa Keperawatan yang Sering Muncul (PES) ...................
c. Perencanaan/ Nuursing Care Plan .............................................
L. Discharge Planning ..........................................................................
M. Daftar Pustaka ...................................................................................
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Anatomi Fisiologi

Ruang yang dibentuk oleh facia pada leher akan menghasilkan selulitis atau abses dan
menyebar melalui berbagai jalan termasuk melalui saluran limfe.

Gambar 2. Letak submandibular dan sublingual

Ruang submandibular adalah ruang diatas os hyoid (suprahyoid) dam m myohyoid,


dibagian anterior m myoyoid memisahkan rang ini menjadi 2 bagian yaitu ruang sublingual di
superior dan ruang submaksilar di inferior.adapula yang membaginya menjadi 3 diantaranya
yaitu ruang sublingual, ruang submental, dan ruang submaksilar.Ruang submaksilar dipisahkan
dengan ruang sublingual dibagian superiornya oleh m mylohyoid dan m hyoglussum. Dibagian
medialnya oleh corpus m styloylossus dan dibagian lateralnya berupa kulit, facia superficial,
dan m platysma superficialis pada facial servikal agian dalam. Dibagian inferiornya dibentuk
ole m digastricus. Dibagian anteriornya ruang ini berhubungan secara bebas dengan ruang
submental dan dibagian posteriornya terhbung dengan ruang pharyuyeal (Dewi et al, n,d).
Gambar 3: Letak detail submandibular dan sublingual

Gambar 4: Kelenjar saliva dan komponenya

Kelenjar saliva dibagi menjadi 3 komponen (Hagberg, Bogomolny, Gilmore, Gibson,


Kaitner, & Khurana, 2006), yaitu:

1. Kelenjar parotis adalah kelenjar saliva terbesar yang berfungsi:

a) Mensintesis lebih banyak protein dibanding glikoprotein sehingga saliva dari


kelenjar parotis menurunkan karbohidrat.
b) Menyuplai 20% saliva ketika istirahat dan mencapai 50% ketika stimulasi.

2. Kelenjar submandibularis adalah kelenjar campuran dengan sekret yang dominan


yang berfungsi :
a) Mensintesis dan mensekresi sejumlah besar glikoproten dibandingkan protein.
b) Menyuplai lebih dari 65% ketika istirahat dan hanya 30% ketika terstimulasi
3. Kelenjar sublingualis adalah kelenjar terkecil yang berfungsi:

a) Mensintesis dan mensekresi sejumlah besar glikoproten dibandingkan protein.


b) Mensuplai kurang lebih hampir sama baik pada kondisi istirahat maupun saat
terstimulasi.

B. Definisi Phlegmon

Phlegmon/ Angina Ludwig didefinisikan Phlegmon merupakan infeksi dan peradangan


serius jaringan ikat (selulitis) pada area di bawah lidah dan dagu. Penyakit ini termasuk dalam grup
penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari gigi. Karakter spesifik yang membedakan
Phlegmon dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua ruang
submandibularis (sublingualis dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral), selanjutnya menuju

kavitas oral dengan menembus lapisan kortikal vestibular dan periosteum dari tulang rahang. 1
Fenomena ini biasanya terjadi di sekitar gigi penyebab infeksi, tetapi infeksi primer dapat
meluas ke regio yang lebih jauh, karena adanya perlekatan otot atau jaringan lunak pada
tulang rahang. Dalam hal ini, infeksi odontogenik dapat menyebar ke bagian bukal, fasial,
dan subkutan servikal kemudian berkembangan menjadi phlegmon, yang apabila tidak segera
ditangani akan mengakibatkan kematian (Gupta et al, 2018).

Wilhelm Fredrick von Ludwig pertama kali mendeskripsikan angina Ludwig ini pada
tahun 1836 sebagai gangrenous cellulitis yang progresif yang berasal dari region kelenjar
submandibula (Ugboko et al, 2005; Cossio et al, 2010).
C. Epidemiologi Phlegmon
Perluasan infeksi odontogenik atau infeksi yang mengenai struktur gigi (pulpa dan
periodontal) ke daerah periapikal, selanjutnya menuju kavitas oral dengan menembus lapisan
kortikal vestibular dan periosteum dari tulang rahang. Fenomena ini biasanya terjadi di sekitar
gigi penyebab infeksi, tetapi infeksi primer dapat meluas ke regio yang lebih jauh, karena
adanya perlekatan otot atau jaringan lunak pada tulang rahang. Dalam hal ini, infeksi
odontogenik dapat menyebar ke bagian bukal, fasial, dan subkutaneus servikal kemudian
berkembangan menjadi selulitis fasial, yang akan mengakibatkan kematian kematian jika tidak
segera diberikan perawatan yang adekuat (Berini, et al, 1999). Selain itu infeksi odontogenik
merupakan fokal infeksi yang dapat menyebabkan Septic emboli, infeksi meluas melalui
pembuluh darah dan pembuluh limfe menyebabkan metastase bakteri sekunder ke paru-paru,
otak , hati, ginjal dan organ-organ lainnya. (Berini, et al, 1999) Karakter klinis dari selulitis
adalah suatu proses inflamasi yang disertai demam dan kondisi umum pasien yang buruk,
kelainan hematologik seperti peningkatan jumlah leukosit dan laju endap darah. Penanggannya
dengan pemberian antibiotik dan tindakan drainase jika diperlukan.
infeksi gigi merupakan penyakit yang umum terjadi, dengan prevalensi lebih dari 40%
pada anak usia 6 tahun pada gigi susu dan lebih dari 85% pada usia diatas 17tahun pada gigi
permanen. infeksi gigi kebanyakan ringan ringan namun pada beberapa kasus dapat
menyebabkan komplikasi serius. salah satu komplikasi tersebut adalah plegomin atau angina
ludwig. angka kejaian penyakit sekitar 13% dari keseluruhan infeksi leher dalam. walaupun
jarang terjadi ini dapat mengancam jiwa.

D. Etiologi Phlegmon

Phlegmon biasanya disebabkan oleh infeksi odontogenik, khususnya dari gigi molar
kedua atau ketiga bawah. Gigi ini mempunyai akar yang berada di atas otot milohioid, dan
abses di lokasi ini dapat menyebar ke ruang submandibular. Infeksi biasanya disebabkan oleh
bakteri streptokokus, stafilokokus, atau bakteroides. Namun, 50% kasus disebabkan
disebabkan oleh polimikroba, baik oleh gram positif ataupun gram negatif, aerob ataupun
anaerob (Moorhead & Guiahi, 2010).

Penyebab lainnya yaitu sialadenitis, abses peritonsil, fraktur mandibula terbuka, kista
duktus tiroglossal yang terinfeksi, epiglotitis, injeksi intravena obat ke leher, bronkoskopi yang
menyebabkan trauma, intubasi endotrakea, laserasi oral, tindik lidah, tindik mulut, infeksi
saluran nafas bagian atas, abses peritonsillar, sialadenitis submandibular, dan kista tiroglosus
yang terinfeksi dan trauma pada dasar mulut. Faktor predisposisi termasuk diabetes, keganasan
oral, karies gigi, alkoholisme, malnutrisi, dan status immunocompromised (An & Singhal,
2019).

E. Klasifikasi Phlegmon
Selulitis dapat digolongkan menjadi:
a. Selulitis Sirkumskripta Serous Akut
Selulitis yang terbatas pada daerah tertentu yaitu satu atau dua spasia fasial, yang tidak
jelas batasnya.Infeksi bakteri mengandung serous, konsistensinya sangat lunak dan
spongius.Penamaannya berdasarkan ruang anatomi atau spasia yang terlibat.
b. Selulitis Sirkumskripta Supurartif Akut
Prosesnya hampir sama dengan selulitis sirkumskripta serous akut, hanya infeksi bakteri
tersebut juga mengandung suppurasi yang purulen. Penamaan berdasarkan spasia yang
dikenainya.Jika terbentuk eksudat yang purulen, mengindikasikan tubuh bertendensi
membatasi penyebaran infeksi dan mekanisme resistensi lokal tubuh dalam mengontrol
infeksi.
c. Selulitis Difus Akut
Dibagi lagi menjadi beberapa kelas, yaitu:
 Ludwig’s Angina
 Selulitis yang berasal dari inframylohyoid,
 Selulitis Senator’s Difus Peripharingeal
 Selulitis Fasialis Difus
 Fascitis Necrotizing dan gambaran atypical lainnya
 Selulitis Kronis
Selulitis kronis adalah suatu proses infeksi yang berjalan lambat karena
terbatasnya virulensi bakteri yang berasal dari fokus gigi. Biasanya terjadi pada
pasien dengan selulitis sirkumskripta yang tidak mendapatkan perawatan yang
adekuat atau tanpa drainase.
 Selulitis Difus yang Sering Dijumpai
Selulitis difus yang paling sering dijumpai adalah Phlegmone / Angina Ludwig’s.
Angina Ludwig’s merupakan suatu selulitis difus yang mengenai spasia
sublingual, submental dan submandibular bilateral, kadang-kadang sampai
mengenai spasia pharingeal. Selulitis dimulai dari dasar mulut. Seringkali
bilateral, tetapi bila hanya mengenai satu sisi/ unilateral disebut Pseudophlegmon.

F. Patofisiologi/ Patologi Phlegmon

Phlegmon biasanya dimulai sebagai selulitis pada ruang submandibular. Infeksi biasanya
dimulai sebagai infeksi gigi pada gigi molar kedua rahang bawah atau ketiga. Sumber infeksi
lain termasuk penyebaran lokal dari abses peritonsillar atau parotitis supuratif. Infeksi
menyebar secara medial daripada lateral karena sisi medial tulang periodontal tipis. Infeksi
awalnya menyebar ke ruang sublingual dan berlanjut ke ruang submandibular. Karena infeksi
tidak menyebar melalui sistem limfatik, infeksi bersifat bilateral. Infeksi biasanya polimikroba
yang melibatkan flora oral. Organisme yang paling umum adalah Staphylococcus,
Streptococcus, Peptostreptococcus, Fusobacterium, Bacteroides dan Actinomyces. Pasien
dengan immunocompromised berisiko lebih tinggi terhadap angina Ludwig. Organisme yang
sering diisolasi pada pasien phlegmon yaitu Streptokokus viridians dan Stafilokokus aureus.
Bakteri anaerob juga sering terlibat, termasuk bakteroides, peptostreptokokus, dan peptokokus.
Bakteri gram positif lainnya yang berhasil diisolasi yaitu usobacterium nucleatum, Aerobacter
aeruginosa, spirochetes, and Veillonella, Candida, Eubacteria, dan Clostridium species.
Bakteri gram negative yang berhasil diisolasi termasuk Neisseria species, Escherichia coli,
Pseudomonas species, Haemophilus influenzae, dan Klebsiella sp (An & Singhal, 2019).

G. Manifestasi Klinis Phlegmon

Pasien dengan Angina Ludwig biasanya memiliki riwayat ekstraksi gigi sebelumnya atau
hygiene oral yang buruk dan nyeri pada gigi. Gejala klinis yang ditemukan konsisten dengan
sepsis yaitu demam, takipnea, dan takikardi. Pasien bisa gelisah, agitasi, dan konfusi. Gejala
lainnya yaitu adanya pembengkakan yang nyeri pada dasar mulut dan bagian anterior leher,
demam, disfagia, odinofagia, drooling, trismus, nyeri pada gigi, dan fetid breath. Suara serak,
stridor, distress pernafasan, penurunan air movement, sianosis, dan “sniffing” position. Dan
pada penelitian Lee dan kawan–kawan di Korea, melaporkan gejala klinis pada 158 kasus
infeksi leher dalam yaitu keluhan leher bengkak (74,7%), keluhan sakit pada leher (41,1%),
demam (14,6%), panas dingin (10,1%), sulit bernafas (10,1%), disfagia (6,3%), dan trismus
(1,9%) (Chou, Lee, & Chao, 2007).

Stridor, kesulitan mengeluarkan secret, kecemasan, sianosis, dan posisi duduk merupakan
tanda akhir dari adanya obstruksi jalan nafas yang lama dan merupakan indikasi untuk
dipasang alat bantu pernafasan. Pasien dapat mengalami disfonia yang disebabkan oleh edema
pada struktur vokalis. Gejala klinis ini harus diwaspadai oleh klinisi akan adanya gangguan
berat pada jalan nafas (Kulkarni, Pai, Battarai, Rao, & Ambareesha, 2008).
H. Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan oral, elevasi dari lidah, terdapat indurasi besar di dasar
mulut dan di anterior lidah, dan pembengkakan suprahioid. Biasanya terdapat
edema submandibular bilateral. Pembengkakan pada jaringan anterior leher diatas
tulang hyoid sering disebut dengan bull’s neck appearance (Vieira, Allen, Stocks,
& Thompson, 2008).

Kewaspadaan dalam mengenal tanda-tanda angina Ludwig penting sangat


penting dalam diagnosis dan manjemen kondisi yang serius ini. Terdapat 4 tanda
cardinal dari angina Ludwig (Vieira, Allen, Stocks, & Thompson, 2008), yaitu :

a. Keterlibatan bilateral atau lebih ruang jaringan dalam


b. Gangrene yang disertai dengan pus serosanguinous, putrid infiltration tetapi
sedikit atau tidak ada pus
c. Keterlibatan jaringan ikat, fasia, dan otot tetapi tidak mengenai struktur
kelenjar
d. Penyebaran melalui ruang fasial lebih jarang daripada melalui sistem limfatik
Adanya brawny induration di dasar mulut merupakan gejala klinis sugestif
bagi klinisi untuk melakukan tindakan stabilisasi jalan nafas dengan secepatnya
diikuti dengan konfirmasi diagnostik selanjutnya (Vieira, Allen, Stocks, &
Thompson, 2008).

Foto polos leher dan dada sering menunjukkan pembengkakan soft-tissue,


adanya udara, dan adanya penyempitan saluran nafas. Sonografi telah digunakan
untuk mengidentifikasi penumpukan cairan di dalam soft-tissue. Foto panorama
dari rahang menunjukkan focus infeksi pada gigi (Vieira, Allen, Stocks, &
Thompson, 2008).
Gambar : Foto Polos menunjukkan adanya pembengkakan supraglotik
(tanda panah)
Pemeriksaan Penunjang :
a. Rontgen servikal lateral
Dapat memberikan gambaran adanya pembengkakan jaringan lunak pada
daerah prevertebra, adanya benda asing, gambaran udara di subkutan, air
fluid levels, erosi dari korpus vertebra. Penebalan jaringan lunak pada
prevertebra setinggi servikal II (C2), lebih 7 mm dan setinggi 14 mm
pada anak, lebih 22 mm pada dewasa dicurigai sebagai suatu abses
retrofaring (Vieira, Allen, Stocks, & Thompson, 2008).

b. Rontgen panoramiks
Dilakukan pada kasus infeksi leher dalam yang dicurigai berasal dari gigi
(Vieira, Allen, Stocks, & Thompson, 2008).

c. Rontgen toraks
Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis,
pneumonia yang dicurigai akibat aspirasi dari abses (Vieira, Allen,
Stocks, & Thompson, 2008).

d. CT Scan
Berdasarkan penelitian Crespo dkk, dikutip dari Murray AD dkk, bahwa
dengan hanya pemeriksaan klinis tanpa CT Scan mengakibatkan estimasi
terhadap luasnya abses yang terlalu rendah pada 70% pasien. CT Scan
memberikan gambaran abses berupa adanya air fluid levels (Vieira,
Allen, Stocks, & Thompson, 2008). Menurut penelitian yang dilakukan
pada 65 penderita infeksi leher dalam di Departemen THT-
KL Universidade Estadual de Campinas, São Paulo, Brazil,
pemeriksaan CT Scan dengan kontras adalah penting dalam
mengevaluasi lokasi infeksi pada ruang leher sehingga
mempermudah tindakan drainase dan pembedahan. John
dan kawan-kawan menggunakan pemeriksaan CT Scan
dengan kontras untuk mendiagnosis infeksi leher dalam
pada anak- anak yang akan diberikan terapi antibiotik
intravena (McClay, Murray, & Booth, 2003).

e. Pemeriksaan bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi pus dari lesi yang dalam. Setelah
desinfeksi kulit, pus dapat diambil dengan aspirasi memakai
jarum aspirasi atau dilakukan insisi. Pus yang diambil
sebaiknya tidak terkontaminasi dengan flora normal yang
ada di daerah saluran nafas atas atau rongga mulut.
Spesimen yang telah diambil dimasukkan ke dalam media
transportasi yang steril (Yang, Lee, See, Huang, Chen, &
Chen, 2008).

Gambar CT scan menunjukkan adanya pembengkakan supraglotik dan adanya


udara dalam soft-tissue

I. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi

Angina Ludwig’s memerlukan penangganan sesegera mungkin, berupa:


rujukan untuk mendapatkan perawatan rumah sakit, antibiotik intravenous
dosis tinggi, biasanya untuk terapi awal digunakan Ampisillin dikombinasikan
dengan metronidazole, penggantian cairan melalui infus, drainase through and
through, serta penangganan saluran nafas, seperti endotracheal intubasi atau
tracheostomi jika diperlukan.

Apabila terdapat tanda-tanda seperti kondisi sistemik seperti malaise dan


demam tinggi, adanya disfagia atau dispnoe, dehidrasi atau pasien kurang
minum, diduga adanya penurunan resistensi terhadap infeksi, toksis
septikemia dan infiltrasi ke daerah anatomi yang berbahaya serta memerlukan
anestesi umum untuk drainase, diperlukan penanganan serius dan perawatan di
rumah sakit sesegera mungkin.

Jalan nafas harus selalu dikontrol, intubasi endotracheal atau tracheostomi


jika diperlukan. Empat prinsip dasar perawatan infeksi (Falace, 1995),
yaitu:menghilangkan causa (Jika keadaan umum pasien mungkinkan segera
dilakukan prosedur ini, dengan cara pencabutan gigi penyebab), drainase
(Insisi drainase bisa dilakukan intra maupun extra oral, ataupun bisa dilakukan
bersamaan seperti

Dalam pemberian antibiotik perlu diperhatikan apakah pasien mempunyai


riwayat alergi terhadap antibiotik tertentu, terutama bila diberikan secara
intravena untuk itu perlu dilakukan skin test terlebih dahulu. Antibiotik
diberikan selama 5-10 hari (Milloro, 2004)

antibiotik per-oral efektif mengatasi infeksi odontogenik :

1. penisilin
2. ertromisin
3. klindamisin
4. sefadroksil
5. metronidazol
6. tetraksiklin

Suppotive Care, seperti istirahat dan nutrisi yang cukup, pemberian


analgesik & antiinflamasi (analgesik-antiinflamasi nonsteroid seperti
Diklofenak (50 mg/8 jam) atau Ibuprofen (400-600 mg/8 jam) dan jika
Kortikosteroid diberikan, perlu ditambahkan analgesik murni, seperti
Paracetamol antiinflamasi diberikan dalam (650 mg/4-6 jam) dan/atau Opioid
rendah seperti Kodein (30 mg/6 jam)), pemberian aplikasi panas eksternal
(kompres panas) maupun peroral (melalui obat kumur saline) dapat memicu
timbulnya pernanahan. Komplikasi yang seringkali menyertai selulitis fasial
antara lain: obstruksi pernafasan, septik syok, dan septikemia.

Penatalaksanaan Keperawatan
a. Untuk mengurangi edema dan nyeri, direkomendasikan untuk elevasi /
meninggikan dan mengistirahatkan ekstremitas yang mengalami keluhan.
b. Perlu dipertimbangkan hospitalisasi untuk monitoring ketat dan pemberian
antibiotik intravena pada kasus yang berat, pada bayi, pasien usia lanjut,
dan pasien dengan imunokompromis.
c. Pada kondisi yang sangat parah dengan nekrosis luas disertai supurasi,
perlu dipertimbangkan dilakukan debridement insisi dan drainase secara
bedah.
d. Memberikan edukasi kepada penderita yaitu diberikan informasi mengenai
perawatan kulit dan higiene kulit yang benar, misalnya mandi teratur,
minimal 2 kali sehari, jika terdapat luka hindari kontaminasi dengan
kotoran.
K. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian Umum
 Identitas
Menyerang sering pada lingkungan yang kurang bersih
 Riwayat Penyakit
a. Keluhan utama
Pasien biasanya mengeluh nyeri pada leher, terkadang disertai demam,
menggigil dan malaise
b. Riwayat penyakit dahulu
Ditanyakan penyebab luka pada pasien dan pernahkah sebelumnya
mengidap penyakit seperti ini, adakah alergi yang dimiliki dan riwat
pemakaian obat.
c. Riwayat penyakit sekarang
Terdapat luka pada bagian tubuh tertentu dengan karakteristik
berwarna merah, terasa lembut, bengkak, hangat, terasa nyeri, kulit
menegang dan mengilap
d. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya dikeluarga pasien terdapat riwayat mengidap penyakit
selulitis atau penyekit kulit lainnya
 Keadaan emosi psikologi : Pasien tampak tenang,dan emosional stabil
 Keadaan social ekonomi : Biasanya menyerang pada social ekonomi yang
sederhana
 Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Lemah
TD : Hipotensi/Hipertensi
Nadi : Bradikardi
Suhu : Hipertermi
RR : Normal/Meningkat
a. Kepala : Dilihat kebersihan, bentuk, adakah oedem atau tidak
b. Mata : Tidak anemis, tidak ikterus, reflek cahaya (+)
c. Hidung : Tidak ada pernafasan cuping
d. Mulut : Kebersihan, tidak pucat
e. Telinga : Tidak ada serumen
f. Leher : ada pembesaran kelenjar
g. Jantung : Denyut jantung meningkat
h. Ekstremitas : tidak Ada luka pada ekstremitas
i. Integumen :
Gejala awal berupa kemerahan dan nyeri tekan yang terasa di suatu daerah
yang kecil di kulit. Kulit yang terinfeksi menjadi panas dan bengkak, dan
tampak seperti kulit jeruk yang mengelupas (peau d'orange). Pada kulit
yang terinfeksi bisa ditemukan lepuhan kecil berisi cairan (vesikel) atau
lepuhan besar berisi cairan (bula), yang bisa pecah.

b. Diagnosa Keperawatan yang Sering Muncul (PES)


1) Nyeri berhubungan dengan iritasi kulit, gangguan integritas kulit, iskemik
jaringan.
2) Hipertermi
3) Defisiensi Pengetahuan berhubungan dengan proses penyakit
4) Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk leher

c. Rencana Keperawatan

N Diagnos Perencanaan
o a Tujuan NOC NIC
dan
Kriteria
Hasil
1 Nyeri Setelah Kontrol Nyeri 1400 Manajemen
berhubu dilakuka Nyeri
Definisi:
ngan n Definsi: Pengurangan
Tindakan
dengan tindakan atau reduksi nyeri
pribadi untuk
iritasi keperaw sampai pada tingkat
mengontrol
kulit, atan nyeri kenyamanan yang
ganggua selama dapat diterima oleh
1. Mengenali
n 3 x 24 pasien.
kapan nyeri
integrita jam, Aktivitas-aktivitas:
terjadi dari
s kulit, nyeri 1. Lakukan pengkajian
skala 1 (tidak
iskemik dapat nyeri komprehensif
pernah
jaringan teratasi yang meliputi lokasi,
menunjukkan)
(00132) karakteristik
ditingkatkan
Domain onset/durasi,
ke skala 3
12 : frekuensi, kualitas,
(kadang-
Kenyam intensitas atau
kadang
anan beratnya nyeri dan
menunjukkan).
Kelas 1 faktor pencetus.
2. Menggunakan
: 2. Pastikan perawatan
tindakan
Kenyam analgesik bagi pasien
pencegahan
anan dilakukan dengan
dari skala 1
fisik pemantauan yang
(tidak pernah
ketat.
menunjukkan)
3.Gali bersama pasien
ditingkatkan
faktor yang dapat
ke skala 3
menurunkan atau
(kadang-
memperberat nyeri.
kadang
4.Berikan informasi
menunjukkan).
mengenai nyeri,
3. Menggunakan
seperti penyebab
analgesik yang
nyeri, berapa lama
direkomendasi
nyeri akan dirasakan,
kan dari skala
dan antisipasi akibat
1 (tidak
ketidanyamanan
pernah
akibat prosedur.
menunjukkan)
5.Ajarkan prinsip-
ditingkatkan prinsip manajemen
ke skala 3 nyeri.
(kadang- Dorong pasien untuk
kadang memonitor nyeri dan
menunjukkan). menangani nyerinya
4. Melaporkan dengan tepat.
perubahan
terhadap
gejala nyeri
pada
profesional
kesehatan dari
skala 1 (tidak
pernah
menunjukkan)
ditingkatkan
ke skala 3
(kadang-
kadang
menunjukkan).
5. Mengenali apa
yang terkait
dengan gejala
nyeri dari
skala 1 (tidak
pernah
menunjukkan)
ditingkatkan
ke skala 3
(kadang-
kadang
menunjukkan).
2 Hiperter Setelah 3740.Perawatan
mi dilakuka 1. Monitor demam
n tanda dan
1. 1. Pantau suhu tubuh
tindakan gejala dan tanda – tanda vital
keperaw penyakit 2. 2. Monitor warna kulit
atan dari skla 1 dan suhu
selama skala 3.
4 3. Monitor asupan dan
2x24 (sering keluaran
jam menunjukka
4. 4. Tingkatkan sirkulasi
hiperter n) udara
mi dapat 2. monitor 5. 5. Fasilitasi istirahat
teratasi tanda dan dan pembatasan aktivitas
gejala jika diperlukan
komplikasi6. 6. Pantau komplikasi
penyakit. yang berhubungan
dari skla 1 dengan demam serta
skala 4 tanda dan gejala
(sering penyebab demam.
menunjukka
7. 7.edukasi kepada pasien
n) perawatan demam yang
3. patuhi tepat
pengobatan
8. Kolaborasi
yang
dengan dokter untuk
direkomend
memastikan obat
asikan. dari
antipiretik yang
skla 1 skala
diberikan ke klien
4 (sering
menunjukka
n)
4. monitor
efek terapi.
dari skla 1
skala 4
(sering
menunjukka
n)
5. sesuaikan
diit selama
sakit. dari
skla 1 skala
4 (sering
menunjukka
n)
3 Domain Setelah 1806 5602 Pengajaran:
5: dilakuka Pengetahuan: Proses penyakit
Persepsi n Proses Definisi: Membantu
/Kognisi perawat Penyakit pasie untuk
an
Kelas 4. Definisi: memahami informasi
selama
Kognisi Tingkat yang berhubungan
3x24 pemahaman dengan proses
(00126)
jam yang penyakit secara
Defisien
pengeta disampaikan spesifik.
si
huan tentang proses
Pengeta Aktivitas-aktivitas:
klien penyakit
huan 1. Kaji tingkat
mengen tertentu dan
ai pengetahuan pasien
komplikasinya.
penyakit terkait dengan proses
1. Karakteristik
nya penyakit yang
spesifik penyakit
meningk spesifik.
dari skala 1 2. Review pengetahuan
at.
(tidak ada pasien mengenai
pengetahuan) penyakitnya.
ditingkatkan ke 3. Jelaskan tanda dan
skala 3 gejala yang umum
(pengetahuan dari penyakit, sesuai
sedang). kebutuhan.
2. Faktor-faktor 4. Jelaskan mengenai
penyebab dan proses penyakit,
faktor yang sesuai kebutuhan.
berkontribusi 5. Berikan informasi
dari skala 1 pada pasien
(tidak ada kondisinya, sesuai
pengetahuan) kebutuhan.
ditingkatkan ke 6. Beri ketenangan
skala 3 terkait kondisi
(pengetahuan pasien, sesuai
sedang). kebutuhan.
3. Faktor risiko dari 7. Beri informasi
skala 1 (tidak kepada /orang yang
ada penting bagi pasien
pengetahuan) mengenai
ditingkatkan ke perkembangan
skala 3 pasien, sesuai
(pengetahuan kebutuhan.
sedang). 8. Diskusikan
4. Efek fisiologis perubahan gaya
penyakit dari hidup yang mungkin
skala 1 (tidak diperlukan untuk
ada mencegah komplikasi
pengetahuan) di masa yang akan
ditingkatkan ke datang dan / atau
skala 3 mengontrol proses
(pengetahuan penyakit.
sedang). 9. Diskusikan pilihan
5. Tanda dan gejala terapi/penanganan.
penyakit dari 10. Edukasi pasien
skala 1 (tidak mengenai tindakan
ada untuk mengontrol
pengetahuan) atau meminimalkan
ditingkatkan ke gejala, sesuai
skala 3 kebutuhan.
(pengetahuan 11. Perkuat informasi
sedang). yang
diberikandengan
anggota tim
kesehatan lain, sesuai
kebutuhan.
5210 Bimbingan
Antisipatif

Definisi: persiapn
untuk mengantisipasi
perkembangan dan
situasi krisis.

1. Bantu klien
mengdentifikasi
kemungkinan
perkembangan situasi
krisis yang akan
terjadi dan efek dari
krisis yang bisa
berdampak pad klien
dan keluarga.
2. Berikan informasi
mengenai harapan-
harapan realistis
terkait dengan
perilaku pasien.
3. Bantu klien
mengidentifikasi
sumber-sumber yang
tersedia dan plihan
yang tersedia
terhadap tindakan
[yang akan dilakukan]
dengan cara yang
tepat.
4. Latih tehnik yang
digunakan untuk
beradaptasi terhadap
perkembangan situasi
krisis, dengan klien
secara tepat.
5. Libatkan keluarga
maupun orang-orng
terdekat klien jika
memungkinkan.
4 Domain Citra tubuh Peningkatan citra tubuh
6: (1200) (5220)
Ganggua 1. Gambaran 1. Tentukan harapan
n citra internal diri citra diri klien
tubuh ditingkatkan didasarkan pada
(00118) dari skala 1 tahap perkembangan.
adalah menjadin 5. 2. Bantu klien
konfusi 2. Deskripsi memisahkan
dalam bagian tubuh penampilan fisik dari
gambara yang terkena perasaan berharga
n mental ditingkatkan secara pribadi dengan
diri-fisik dari skala 1 cara yang tepat.
individu. menjadi 4. 3. Bantu klien
3. Kepuasan menentukan
dengan keberlanjutan dari
penampilan perubahan-perubahan
tubuh aktual dari tubuh atau
ditingkatkan tingkat fusinya.
dari 1 menjadi 4. Bantu klien untuk
4. mengidentifikasi
4. Penyesuaian bagian dari tubuhnya
terhadap yang memiliki
perubahan persepsi positif
tampilan fisik terkait dengan
ditingkatkan tubuhnya.
dari skala 1 5. Tentukan apakah
menjadi 5. perubahan citra tubuh
Penyesuain berkonstribusi pada
terhadap peningkatan isolasi
perubahan sosial.
fungsi tubuh Peningkatan harga diri
ditingkatkan (5400)
dari skala 1 1. Monitor pernyataan
menjadi 4. klien mengenai harga
Harga diri diri.
(1205) 2. Tentukan
1. Penerimaan kepercayaan diri
terhadap klien dalam hal
keterbatasan penilaian diri.
diri 3. Dukung klien untuk
ditingkatkan menemukan
dari skala 1 penerimaan diri.
menjadi 5. 4. Bantu klien untuk
2. Gambaran diri mengatur tujuan yang
ditingkatkan realistik dalam
dari skla 1 rangka mencapai
menjadi 4. harga diri yang lebih
3. Tingkat tinggi.
kepercayaan Dukungan emosional
diri (5270)
ditingkatkan 1. Buat pernyataan yang
dari skala 2 mendukung dan
menjadi skala berempati.
5. 2. Temani klien dan
5. Perasaan berikan jaminan
tentang nilai keselamatan dan
diri keamanan selama
ditingkatkan periode cemas.
dari skala 1 3. Rujuk untuk
menjadi skala konseling sesuai
5. kebutuhan.

d. Evaluasi
NO Diagnosa Evaluasi

1. 00132 Nyeri S : Pasien mengatakan “nyeri di bagian ulu hati


Akut sudah berkurang dan membaik”

O : Tanda tanda vital dalam batas normal dan


pasien tidak terlihat menyeringai

A : Tujuan intervensi tercapai

P : Hentikan intervens.

2 Hipertermi S : Pasien mengatakan bahwa suhu badan


pasien mulai menurun

O : kulit pasien tidak panas, Suhu = 36,5-37,5


o
C

A : Masalah pasien teratasi

P : Hentikan Intervensi

Defisiensi S : Klien menyatakan paham dengan penyakit


pengetehauan Plegmon.
3
O : Klien tampak lebih mengerti akan apa yang
harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan.

A : Klien sudah paham dengan penyakitnya.

P : Hentikan intervensi.

Gangguan S : Klien mengatakan tidak malu lagi dengan


citra tubuh kondisi yang dialaminya.
4
O : Klien tampak lebih terbiasa terlihat klien
tidak terlalu membatasi diri lagi.

A : kepercayaan diri klien kembali.

P : Hentikan intervensi.

L. DISCHARGE PLANNING:

1. pasien sebaiknya mengetahui obat-obat yang harus diajarkan setelah


pulang
2. pengajaran untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut
3. berikan informasi tentang kesehatan gigi dan mulut
4. anjurkan untuk membersihkan gigi sebelum tidur
5. anjurkan keluarga untuk memberikan dukungan yang positif kepada
pasien

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, S., Dharma, A., & Turnip, M. (2017, Juni). JARINGAN SYARAF
TIRUAN PREDIKSI PENYAKIT LUDWIG ANGINA. JURITI PRIMA
(Junal Ilmiah Teknik Industri Prima), 1(1).
An, J., & Singhal, M. (2019, April 3). Ludwig Angina. (t. C. license, Ed.) NCBI.
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M.
(2016).
Nursing Interventions Classification (NIC) (6th ed.). (I. Nurjannah, & R.
D. Tumanggor, Eds.) Yogyakarta: CV. Mocomedia.
Chou, Y. K., Lee, C. Y., & Chao, H. H. (2007, december). An Upper Airway
Obstruction Emergency Ludwig Angina. Pediatric Emergency Care,
23(12).
Cossio, P. I., Hinojosa, E. F., Cruz, M. M., & Perez, L. G. (2010). Ludwig's
angina and ketoacidosis as a first manifestation of diabetes mellitus. Med
Oral Patol Oral Cir Bucal, 1(15), 624-627.
Dewi, I. T., Putra, I. E., & Sucipta, I. W. (n.d.). Abses Ruang Submandibula
Sinistra Dengan Perluasanke Ruang Submental. Universitas Udayana, Ilmi
Kesehatan THT-KL. Denpasar: Fakultas Kedokteran.
Gupta, A. K., Singh, A. P., Tanger, R., & Mathur, V. (2018). Ludwig’s Angina:
Pediatric Case Report and Literature Review. Journal of Mahatma Gandhi
Institute of Medical Sciences, 23(2).
Hagberg, C., Bogomolny, Y., Gilmore, C., Gibson, V., Kaitner, M., & Khurana,
S. (2006). An evaluation of the insertion and function of a new supraglottic
airway device, the King LT, during spontaneous ventilation. Anesth
Analg(102), 621-625.
Hartmann, R. (2011). Ludwig's Angina In Children. Am Fam Physician(60), 109-
112.
Heavey, J., & Gupta, N. (2008). Ludwig’s Angina. The new england journal of
medicine, 359(14), 1501.
International, N. (2018). NANDA-I International nursing diagnoses : Definitions
and Classification 2018-2020 (11 ed.). (T. H. Herdman, S. Kamitsuru, Eds.,
B. A. Keliat, H. S. Mediani, & T. Tahlil, Trans.) Jakarta: EGC.
Kulkarni, A. H., Pai, S. D., Battarai, B., Rao, S. T., & Ambareesha, M. (2008,
June 20). Ludwig's angina and airway considerations: a case report. Cases
Journal, 1, 19.
McClay, J. E., Murray, A. D., & Booth, T. (2003). Intravenous Antibiotic Therapy
for Deep Neck Abscesses Defined by Computa Tomograhy. Archives of
Otolaryngol Head Neck Surgery, 11(129), 1207-1212.
Moorhead, K., & Guiahi, M. (2010). Pregnancy Complicated by Ludwig's Angina
Requiring Delivery. Infectious Diseases in Obstetrics and Gynecology.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing
Outcomes Classification (NOC) (5th ed.). (I. Nurjannah, & R. D.
Tumanggor, Eds.) Yogyakarta: CV. Mocomedia.
Probst, R., Grevers, G., & Iro, H. (2006). Basic Otorhinolarylology: A Step by
Step Learning . Georg Thieme Verlag: Stuttgart, 84-85.
Rizzo, P., & Mosto, M. (2009). Submandibular Space Infection: a Potentially
Lethal Infection. International Journal of Infect Diseases(13), 327-333.
Ugboko, V., Ndukwe, K., & Oginni, F. (2005). Ludwig’ s Angina: An Analysis of
Sixteen Cases in a Suburban Nigerian T ertiary Facility. African Journal of
oral Health, 2, 16-23.
Vieira, F., Allen, S. M., Stocks, R. M., & Thompson, J. W. (2008). Deep Neck
Infection. Otolaryngologic Clinics of North America(41), 459-483.
Yang, S. W., Lee, M. H., See, L. C., Huang, S. H., Chen, T. M., & Chen, T. A.
(2008). Deep neck abscess: an analysis of microbial etiology and the
effectiveness of antibiotics. Infection and Drug Resistance, 1-8.
Berini, et al, 1997, Medica Oral: Buccal and Cervicofacial Cellulitis. Volume 4,
(p337-50).
Dimitroulis, G, 1997, A Synopsis of Minor Oral Surgery, Wright, Oxford (71-81)
Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.2008. Edisi ketujuh. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Doenges.2000. Rencana asuhan keperawatan; pedoman untuk perencanaan
danpendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC
Eron LJ. 2008. Cellulitis and Soft-Tissue Infections. American College of
Physicians.
Falace, DA, 1995, Emergency Dental Care. A Lea & Febiger Book. Baltimore (p
214-26) Milloro, M., 2004, Peterson’s of Principles Oral and Maxillofacial
Surgery, 2nd edition, Canada: BC Decker Inc.
Morris, AD. 2008. Cellulitis and erysipelas. University Hospital of Wales,
Cardiff, UK. 1708
Muttaqin Ariff. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan.Jakarta: Salemba Medika. Muttaqin Ariff. 2008. Asuhan
Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.Jakarta: Salemba
Medika.
Neville, et al, 2004, Oral and Maxillofacial Pathology. WB Saunders, Philadephia
Pedlar, et al, 2001, Oral Maxillofacial Surgery. WB Saunders, Spanyotl (p90-100)
Peterson, et al, 2002, Oral and Maxillofacial Surgery. Mosby, St. Louis
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah. EGC : Jakarta
Swartz MN. 2004. Cellulitis. New England Journal of Medicine. 350:904-12
Topazian, R.G & Golberg, M H, 2002, Oral and Maxillofacial Infection, WB
Wolff K, Johnson RA, Fitspatricks.2008. color atlas and synopsis of clinically
dermatology. New York: McGrawHill.

Anda mungkin juga menyukai