Disusun oleh:
ROMZI HANIF
14/373978/PKG/940
Saliva adalah suatu cairan mulut yang kompleks, tidak berwarna, yang disekresikan dari
kelenjar saliva mayor dan minor untuk mempertahankan homeostasis dalam rongga mulut
(Amerongan,1991). Pada orang dewasa yang sehat, diproduksi saliva lebih kurang 1,5 liter dalam
waktu 24 jam. Sekresi saliva dikendalikan oleh sistem persarafan, terutama sekali oleh reseptor
kolinergik. Rangsang utama untuk peningkatan sekresi saliva adalah melalui rangsang mekanik
(Amerongan,1991).
Saliva mempunyai beberapa fungsi penting di dalam rongga mulut, diantaranya sebagai
pelumas, aksi pembersihan, pelarutan, pengunyahan dan penelanan makanan, proses bicara,
sistem buffer dan yang paling penting adalah fungsi sebagai pelindung dalam melawan karies
gigi (Amerongan, 1991; AI- Saif, 1991). Kelenjar saliva dan saliva juga merupakan bagian dari
sistem imun mukosa. Sel-sel plasma dalam kelenjar saliva menghasilkan antibodi, terutama
sekali dari kelas Ig A, yang ditransportasikan ke dalam saliva. Selain itu, beberapa jenis enzim
antimikrobial terkandung dalam saliva seperti lisozim, laktoferin dan peroksidase (Amerongan,
1991).
b. Kelenjar Submandibula
Kelenjar submandibula merupakan kelenjar saliva terbesar kedua setelah kelenjar
parotis. Kelenjar ini menghasilkan sekret mukoid maupun serosa, berada di segitiga
submandibula yang pada bagian anterior dan posterior dibentuk oleh muskulus
digastrikus dan inferior oleh mandibula. Kelenjar ini berada di medial dan inferior ramus
mandibula dan berada di sekeliling muskulus milohioid, membentuk huruf ”C” serta
membentuk lobus superfisial dan profunda (Kontis dkk, 2001).
Lobus superfisial kelenjar submandibula berada di ruang sublingual lateral. Lobus
profunda berada di sebelah inferior muskulus milohioid dan merupakan bagian yang
terbesar dari kelenjar. Kelenjar ini dilapisi oleh fasia leher dalam bagian superfisial.
Sekret dialirkan melalui duktus Wharton yang keluar dari permukaan medial kelenjar dan
berjalan di antara muskulus milohioid dan muskulus hioglosus menuju muskulus
genioglosus. Duktus ini memiliki panjang kurang lebih 5 cm, berjalan bersama dengan
nervus hipoglosus di sebelah inferior dan nervus lingualis di sebelah superior, kemudian
berakhir dalam rongga mulut di sebelah lateral frenulum lingual di dasar mulut (Tamin
dkk, 2012).
c. Kelenjar Sublingual
Kelenjar sublingual merupakan kelenjar saliva mayor yang paling kecil. Kelenjar ini
berada di dalam mukosa di dasar mulut, dan terdiri dari sel-sel asini yang mensekresi
mukus. Kelenjar ini berbatasan dengan mandibula dan muskulus genioglosus di bagian
lateral, sedangkan di bagian inferior dibatasi oleh muskulus milohioid (Tamin dkk, 2012).
5. Sialadenitis kronis
Etiologi dari sialadenitis kronis adalah sekresi saliva yang sedikit dan adanya stasis
saliva. Kelainan ini lebih sering terjadi pada kelenjar parotis. Beberapa pasien dengan
sialadenitis kronis merupakan rekurensi dari parotitis yang diderita saat masih kecil.
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya kerusakan yang permanen pada kelenjar yang
disebabkan infeksi supuratif akut. Penyakit ini dapat memudahkan terjadinya sialektasis,
ductal ectasia, se serta destruksi asinar yang progresif (Tamin dkk, 2012).
6. Sialolitiasis
Salah satu penyakit pada kelenjar saliva adalah terdapatnya batu pada kelenjar saliva.
Angka kejadian terdapatnya batu pada kelenjar submandibula lebih besar dibandingkan
dengan kelenjar saliva lainnya, yaitu sekitar 80%. Juga 20% terjadi pada kelenjar parotis, dan
1% terjadi pada kelenjar sublingualis. Salah satu penyakit sistemik yang bisa menyebabkan
terbentuknya batu adalah penyakit gout, dengan batu yang terbentuk mengandung asam urat.
Kebanyakan, batu pada kelenjar saliva mengandung kalsium fosfat, sedikit mengandung
magnesium, amonium dan karbonat. Batu kelenjar saliva juga dapat berupa matriks organik,
yang mengandung campuran antara karbohidrat dan asam amino. (Tamin dkk, 2012).
7. Sarkoidosis
Sarkoidosis merupakan penyakit granulomatosa dengan etiologi yang belum jelas. Secara
klinis, manifestasi penyakit ini ke kelenjar saliva hanya sekitar 6%, namun secara histologi,
keterlibatan pada kelenjar saliva dapat mencapai 33%. Salah satu contoh dari penyakit ini
adalah sindroma Heerfordt dengan gejala berupa uveitis, pembesaran kelenjar parotis, serta
paralisis fasialis. Gejala awal yang dialami dapat berupa demam, malaise, kelemahan, mual,
serta keringat di malam hari (Kontis dkk, 2001).
8. Sindroma Sjogren
Sindroma Sjogren dapat ditandai dengan adanya destruksi kelenjar eksokrin yang
dimediasi oleh limfosit. Hal ini menyebabkan terjadinya xerostomia dan keratokonjuntivitis
sika. Penyakit ini merupakan penyakit autoimun yang terbanyak setelah artritis rematoid.
Sembilan puluh persen sindrom ini terjadi pada wanita dewasa namun dapat juga diderita
oleh anak-anak. Kebanyakan penderita berusia sekitar 50 tahun.
Sindroma ini diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu primer dan sekunder. Pada tipe primer,
penyakit ini hanya melibatkan kelenjar eksokrin saja, sedangkan pada tipe sekunder
berhubungan dengan penyakit autoimun seperti rematoid artritis. Gejala yang ada meliputi
rasa terbakar pada mulut, rasa ada pasir pada mata, xerostomia, pembengkakan pada kelenjar
saliva (pada tipe primer terjadi sekitar 80% dan pada tipe sekunder antara 30-40%).
Pembengkakan bisa terjadi secara intermiten ataupun permanen (Kontis dkk, 2001).
9. Sialadenosis
Kelainan ini merupakan istilah nonspesifik untuk mendeskripsikan suatu pembesaran
kelenjar saliva yang bukan merupakan reaksi inflamasi maupun neoplasma. Patofisiologi
penyakit ini masih belum jelas. Pembesaran kelenjar saliva biasanya terjadi asimtomatik.
Pada penderita obesitas dapat terjadi pembengkakan kelenjar parotis bilateral karena
hipertrofi lemak. Namun perlu dilakukan pemeriksaan endokrin dan metabolik yang lengkap
sebelum menegakkan diagnosis tersebut karena obesitas dapat berkaitan dengan berbagai
macam penyakit seperti diabetes melitus, hipertensi, hiperlipidemia dan menopause (Kontis
dkk, 2001).
II. SIALOLITIASIS
A. Pengertian Sialolitiasis
Sialolitiasis merupakan pembatuan yang terjadi akibat pengendapan dari bahan-bahan
organik dan anorganik antara lain deposisi garam-garam kalsium di sekitar nidus organik yang
terdiri dari alterasi musin-musin saliva bersama dengan adanya deskuamasi sel-sel epitel,
dekomposisi protein yang dihasilkan oleh aktivitas bakteri dan mikroorganisme (infeksi akut).
Gambar 2. Sialolitiasis
D. Penegakkan Diagnosis
1. Gejala dan Tanda
Pembengkakan berulang dan nyeri pada kelenjar submandibular dengan eksaserbasi
apabila makan adalah gejala yang sering muncul pada batu kelenjar liur. Obstruksi yang lama
dapat menyebabkan terjadinya infeksi akut dengan nyeri yang semkain berat dan eritema
pada kelenjar tersebut. Pasien juga mengeluhkan adanya riwayat xerostomia dan kadang-
kadang terasa ada benda asing seperti pasir di rongga mulut. Pemeriksaan fisik sangat
penting karena batu sering dapat dipalpasi pada dua pertiga anterior kelenjar submandibular.
Selain itu, indurasi pada dasar mulut biasanya dapat terlihat. Batu yang lokasinya di dalam
badan kelenjar lebih sukar untuk di palpasi
2. Pencitraan
Foto Rontgen dengan posisi lateral dan oklusal dapat menunjukkan batu radiopak tetapi
posisi ini tidak selalu dapat diandalkan. Posisi intraoral mungkin lebih membantu. Sialografi
adalah metode pencitraan yang paling akurat untuk mendeteksi kalkuli. Sialografi dapat
dikombinasi dengan CT scan atau MRI, terutama CT scan sangat sensitif terhadap garam
kalsium. Ultrasound ternyata tidak dapat membantu.
3. Endoskopi
Kemajuan dalam Endoskopi yang terbaru telah membolehkan pemeriksaan duktus
submandibular untuk mendeteksi kalkuli.
E. Komplikasi Sialolitiasis
Obtruksi yang persisten pada sialolitiasis dapat menyebabkan statis aliran saliva. Hal ini
juga dapat sebagai predisposisi pada kelenjar untuk terjadi infeksi akut berulang dan
pembentukan abses.
F. Penanganan Sialolitiasis
Pengambilan sialolit dari duktus submandibularis merupakan prosedur yang relatif tidak
rumit jika batu tersebut terletak di dasar mulut dekat muara duktus. Terdapat beberapa cara
penanganan sialolitiasis, yaitu :
1. Ekstraksi Intraoral
Terapi adalah berdasarkan lokasi dari batu kelenjar liur. Jika batu tersebut dapat dipalpasi
atau terlihat di bagian anterior duktus submandibular dan tidak lewat secara spontan, ianya
dapat diekstrak secara intraoral. Duktus papila didilatasikan secara serial dengan bantuan alat
lakrimal bergred, batu tersebut kemudiannya di keluarkan. Jika batu tersebut terlalu besar,
prosedur intraoral yang lebih ekstensif harus dilakukan di bawah anestesi lokal atau umum.
Duktus tersebut dikanulasikan dan insisi di atas batu tersebut untuk mempermudahkan
ekstraksi. Insisi tidak ditutup kembali dan perhatian harus diberikan pada saraf lingual
berdekatan.
2. Eksisi Operasi
Batu yang lebih besar biasanya terletak di hilum atau pada badan kelenjar submandibular
sehingga menimbulkan gejala dan ini memerlukan operasi eksisi pada kelenjar. Batu
simptomatik yang terletak pada badan kelenjar parotid juga memerlukan tindakan
parotidektomi.
3. Teknik Endoskopik
Teknik endoskopik yang terbaru membolehkan ekstraksi endoskopik intraoral pada batu
kelenjar liur dan eksisi pada kelenjar submandibular. Prosedur ini telah dilakukan dengan
morbiditas yang minimal dan dapat mencegah insisi servikal transversal.
4. Metode lain
Metode lain untuk pembuangan batu termasuk ekstraksi wire basket dengan bantuan dari
radiologi, pulsed dye laser lithotripsy dan extracorporeal shock wave lithotripsy.
G. Prognosis Sialolitiasis
Kekambuhan batu kira-kira 18%. Jika faktor resiko telah terkoreksi, maka dapat
mengurangi kadar rekurensi.
III. KESIMPULAN
AI-Saif, KM, 1991, Clinical Management of Salivary Deficiency, A Review Article The Saudi
Dental Journal, Vol.3. No.2. 77-80.
Amerongan, A.V.N, 1991, Ludah dan Kelenjar Ludah. Arti Bagi Kesehatan Gigi, alih bahasa
Prof.drg.Rafiah Abyono, Ed. Ke-1, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Kontis TC, Johns ME, 2001, Anatomy and Physiology of The Salivary Gland. In: Baily BJ, ed.
Head and Neck Surgeryotolaryngology, Philadelphia, Lippincott, p. 429-36.
Pederson, G.W., 1996, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, EGC, Jakarta.
Tamin S., Yassi, D., 2012, Penyakit Kelenjar Saliva dan Peran Sialoendoskopi Untuk Diagnostik
dan Terapi, www.perhati.org/wp-content/uploads/2012/01/Sialoendoscopy-2-dr-susy-
Endang-Final-edit-anjar-2.pdf, diunduh 12/09/12.