Anda di halaman 1dari 32

Laporan Kasus

Torus Palatinus
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Departemen Telinga Hidung Tenggorokan dan Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia

Oleh :

Dara Ayu Ramadhani Panjaitan, S.Ked


140611060

Preseptor :
Dr. dr. Indra Zachraeini, Sp. THT-KL (K)

BAGIAN ILMU THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RSUD CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan

kesempatan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan kasus ini yang

berjudul Torus Palatinus yang merupakan pemenuhan syarat untuk

menyeesaikan salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di

Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Aceh

Utara.

Terimakasih saya ucapkan kepada Dr. dr. Indra Zachraeini, Sp. THT-KL

(K) yang telah membimbing saya dalam menyelesaikan tugas ini. Terimakasih

juga saya ucapkan kepada teman-teman sejawat dokter muda yang telah

membantu untuk menyelesaikan tugas ini. Semoga Allah SWT memberi rahmat,

hidayah dan balasan atas segala bantuan yang telah diberikan kepada saya.

Saya menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Saya sangat

mengharapkan banyak kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan

laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Amin.

Aceh Utara, Juli 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................ i


Daftar Isi ........................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB 2. LAPORAN KASUS ............................................................................. 2
2.1 Identitas Pasien .............................................................................. 2
2.2 Anamnesa ...................................................................................... 2
2.3 Pemeriksaan Fisik ......................................................................... 3
2.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................. 7
2.5 Diagnosis Banding ........................................................................ 10
2.6 Diagnosa Kerja .............................................................................. 10
2.7 Terapi ............................................................................................ 10
2.8 Prognosis ....................................................................................... 10
2.9 Perjalanan Penyakit ....................................................................... 11
BAB 3. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 12
3.1 Anatomi Hidung ............................................................................ 12
3.2 Fisiologi Hidung ........................................................................... 18
3.3 Luka ............................................................................................... 20
3.4 Trauma Hidung ............................................................................. 31
BAB 4. KESIMPULAN ................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 45
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Torus palatinus merupakan perluasan tulang yang terdapat pada bagian

tengah palatal, ukuran torus bisa besar atau kecil, dengan bentuk yang bervariasi

berupa tonjolan kecil tunggal atau berupa tonjolan multilobuler yang luas.

Pertumbuhan tulang ini bersifat tetap, dengan masa yang solid dan berisi tulang

yang padat. Torus palatinus ditutupi oleh selapis tipis jaringan lunak hingga teraba

sangat keras dan berada pada tulang sehingga tidak dapat dipindahkandengan

tekanan tangan. Torus palatinus bermula dengan bentuk yang kecil, keras dan

tidak rata pada usia muda kemudian meluas setelah pasien beranjak dewasa. Torus

palatinus berkembang dengan perlahan dan tidak membesar secara tiba-tiba, tetapi

perkembangannya berjalan selama beberapa minggu atau bulan, dapat dikatakan

ukuran dari torus palatinus berkaitan dengan pertumbuhan kepadatan tulang

(Belsky, 2003).

Hampir seluruh penelitian mengungkapkan bahwa torus palatinus lebih

sering terjadi pada wanita dari pada pria dengan rasio 2:1, dan puncaknya pada

usia dewasa muda. Rata-rata usia yang paling banyak dijumpai adanya torus

palatinus sekitar umur 11 sampai 20 tahun. Namun pada beberapa penelitian

menunjukkan umur yang lebih sering terjadi antara 30-50 tahun, dekade 3 dan 4.

Torus palatinus muncul selama pubertas dan berkembang lambat sampai dewasa

(Garcia-garcia, 2010).
Pada kebanyakan kasus, torus ditemukan tidak sengaja dan ditemukan saat

pemeriksaan. Hal ini disebabkan karena asimptomatik dan pasien tidak sadar akan

adanya torus tersebut. Beberapa pasien menyampaikan adanya gangguan seperti

terbatasnya mekanisme pengunyahan, ulserasi mukosa, deposit makanan dan

ketidakstabilan protesa dan beberapa pasien mengalami fobia kanker dan

konsultasi untuk menemukan solusi (Garcia-garcia, 2010).

Diagnosis ditegakan berdasarkan pemeriksaan klinis dimana torus dapat

berbentuk unilobular, polilobular, flat, bentuk spindle yang terletak pada midline

palatum keras. Pemeriksaan x-ray menunjukkan densitas yang sedikit lebih tinggi

dibanging tulang sekitarnya. Pemeriksaan x-ray tidak terlalu berguna, lebih

sederhana dengan pemeriksaan klinis (Belsky, 2003).

Penanganan torus palatinus adalah dengan pembedahan. insisi pada

pembedahan torus palatinus dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, insisi

semilunar dan insisi Y. Pemilihan cara pembedahan tergantung dari bentuk dan

ukuran torus palatinus. Setelah pembedahan, maka dilakukan perawatan pada

bedah dengan pemasangan obturator atau surgical template, pemberian obat-

obatan, dan menginstruksikan pasien agar menjaga kebersihan mulut (Belsky,

2003).
BAB 2
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Nurlailawati

Umur : 21 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Suku : Aceh

Pekerjaan : Mahasiswa

Alamat : Ujong Kuta Batee

Kesadaran : Kompos mentis

Tanggal Masuk : 15 Juli 2019

Tanggal Pemeriksan : 16 Juli 2019

No. RM : 12.23.49

II. ANAMNESA

A. Keluhan Utama

Terdapat benjolan keras di langit-langit mulut

B. Keluhan Tambahan

Nyeri pada saat menelan

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien perempuan usia 21 tahun datang ke poliklinik THT-KL

RSUD Cut Meutia Aceh Utara dengan keluhan terdapat benjolan keras di

langit-langit mulut. Benjolan keras tersebut disadari pasien sejak 3 minggu


sebelum masuk rumah sakit. Pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri

ketika diakukan penekanan terhadap benjolan tersebut.

Pasien mengatakan tidak menyadari awal mula munculnya

benjolan tersebut. keluhan nyeri pada saat menelan muncul ketika ukuran

benjolan tersebut sudah semakin membesar. Benjolan tersebut memiliki

konsistensi yang keras, berbatas tegas, memiliki warna yang sama dengan

kulit sekitarnya dan tidak bisa digerakkan. Dari pengukuran didapatkan

ukuran benjolan secara keseluruhan 5x4x2 cm.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

● Hipertensi (-)

● DM (-)

● Rhinitis Alergi (-)

● Penyakit Jantung (-)

● Riwayat operasi (-)

E. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit.

F. Riwayat Minum Obat

Pasien tidak memiliki riwayat minum obat sebelumnya.

III. Pemeriksaan Fisik

A. Status Generalisata

 Keadaan umum : Tampak sakit ringan

 Kesadaran : compos mentis / E4M6V5

 Tekanan Darah : 120/80 mmHg


 Frekuansi Nadi : 88 x/menit

 Frekuensi Napas : 22 x/menit

 Suhu : 36,8°C

B. Status Lokalis

Aurikula KANAN KIRI


Pinna
 Kelainan kongenital - -
 Othematoma - -
 Fistel retroaurikula - -

 Perikondritis - -

Canalis Aurikularis
 Hiperemis - -
 Oedem - -
 Hiperemis - -

 Tragus sign - -

 Serumen - kuning

 Lain-Lain - -

Membran Timpani
 Bentuk Konkaf Konkaf
 Warna Putih mutiara Putih mutiara
 Refleks Cahaya + +

 Perforasi - -

 Bulging - -

 Retraksi - -
- -
 Lain-Lain
HIDUNG & SINUS KANAN KIRI
Nasal Eksternus - -
 Deformitas - -
 Hematoma - -
 Pembengkakan - -
 Hiperemis - -

 Krepitasi - -

 Lain-lain - -

Sinus Frontalis
 Nyeri Tekan - -
 Nyeri Ketok - -
Sinus Ethmoidalis
 Nyeri Tekan - -
 Nyeri Ketok - -
Sinus Maksilaris
 Nyeri Tekan - -
 Nyeri Ketok - -
Rhinoskopi Anterior
 Lapang - -
 Secret - -
 Mukosa - -

 Konka inferior Hipertrofi gr B Eutrofi

 Septum - -

 Lain-Lain - -

Rhinoskopi Posterior
 Post Nasal Drip Tidak dilakukan pemeriksaan
 Mukosa
Cavum Oris
 Bibir Lembab
 Lidah Beslag (-)
 Gigi Gigi berlubang (-)

FARING KANAN KIRI


Orofaring
 Palatum Benjolan uk Benjolan keras
5x2x2 cm, uk 4x2x2 cm
konsistensi keras, konsistensi
batas tegas, keras, batas
immobile, tegas, immobile,
memiliki warna memiliki warna
yang sama yang sama
dengan jaringan dengan jaringan
sekitarnya sekitarnya
 Uvula Di tengah Di tengah
 Arcus Faring Simetris Simetris
 Dinding Belakang Dbn Dbn
Faring
Tonsil
 Ukuran T1 T1
 Warna Merah muda Merah muda
 Kripta Tidak melebar Tidak melebar

 Detritus - -

 Membran - -

 Lain-lain - -

Laringoscopi indirect
 Epiglotitis Dbn
 Valekula Dbn
Maksilofasial

●Simetris + +

● Massa - -

● Perese N.cranialis - -

● Hematoma - -
Colli

Pembesaran KGB :

● Upper Jugular - -

● Mid Jugular - -

● Lower Jugular - -

● Submental - -

● Submandibular - -

● Colli Anterior - -

● Supra Klavikula - -

Kaku kuduk : -

Retraksi Suprasternal : -

Kelainan lain : -

IV. Pemeriksaan Lanjutan

A. Laboratorium (14 Juli 2019)


Tabel 2.1 Hasil Hematologi Klinik, Hemostasis & Kimia Klinik
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
Hematologi Rutin
Hemoglobin 13,3 g/dl 13-18 g/dl
Eritrosit 4,3 juta/mm³ 4,5-6,5 juta/mm³
Leukosit 8,0 ribu/mm³ 4,0-11,0 ribu/mm³
Hematokrit 44,0 % 42-52 %
Indeks Eritrosit
MCV 86,9 fl 79-99 fl
MCH 31,0 pg 27-32 pg
MCHC 36,7 % 33-37 %
RDW-CV 11,8 % 11,5-14,5 %
Trombosit 253 ribu/mm³ 150-450 ribu/mm³
Golongan Darah B
Hemostasis
Masa Pendarahan/BT 2’ menit 1-3 menit
Masa Pembekuan/CT 8’ menit 9-15 menit
Kimia Klinik
Glukosa Stik 132 mg/dl 70-125 mg/dl

V. Diagnosis Banding

1. Torus Palatinus

2. Eksostosis

3. Abses Palatal

4. Oral Neurofibroma pada palatum

VI. Diagnosis Kerja

Torus Palatinus

VII. Terapi

Medikamentosa

● IVFD RL fls 20 gtt/i

● Inj. Cefotaxime 1 gr vial/12 jam

● Inj. Ranitidine 50 mg amp/12 j

● Inj. Ketorolac 30 mg amp/8 jam

● Inj. Asam traneksamat 500 mg amp/ 8j

Non medikamentosa

 Eksisi torus palatin


Laporan Operasi

1. Alat instrumen yang digunakan untuk eksisi torus palatinus

Ket. Alat instrument: Kikir-Palu-Pahat bengkok-Palu-Respak-hook

Ket. Alat instrument: Mouth gag

2. Langkah operasi :

1. Orang sakit dengan anestesi umum dipasang mouth gag

Ket : Torus palatinus sebelum dilakukan eksisi


Ket: Os setelah dipasang mouth gag

2. Dilakukan infiltrasi pehacain intramukosa disekitar torus palatinus

3. Insisi midline, kemudian mukosa dan submukosa dilepas

4. Benjolan mukosa palatum dipahat sampai rata, ujungnya dikikir sampai rata

5. Kontrol perdarahan, luka operasi di hecting dengan vicryl 3.0

Ket : Torus Palatinus setelah dilakukan eksisi dan hecting dengan vicryl 3.0
6. Observasi pasien

Ket : Post op eksisi Torus Palatinus (Day I)

VIII. Prognosis

Quo ad Vitam : dubia ad bonam

Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam

Quo ad Functionam : dubia ad bonam


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Palatum

3.1.1 Anatomi Palatum

Palatum adalah sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara

rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga

mulut. Palatum merupakan salah satu bagian dari kraniofasial yang juga

merupakan pembentuk dari sepertiga tengah wajah. Struktur palatum sangat

penting untuk dapat melakukan proses mengunyah dan bernafas pada saat yang

sama (Sonnier, 1999).

Secara anatomi palatum terbagi menjadi palatum durum (palatum keras)

2/3 posterior dan palatum mole (palatum lunak) 1/3 anterior. Palatum durum

terletak di bagian anterior atap rongga mulut. Palatum durum terbentuk dari tulang

yang memisahkan antara rongga mulut dan rongga hidung. Palatum durum

dibentuk oleh tulang maksila dan tulang palatin yang dilapisi oleh membran

mukosa. Bagian posterior atap rongga mulut dibentuk oleh palatum mole. Palatum

mole merupakan sekat berbentuk lengkungan yang membatasi antara bagian

orofaring dan nasofaring. Palatum mole terbentuk dari jaringan otot yang sama

halnya dengan palatum durum, juga dilapisi oleh membran mukosa (Sonnier,

1999).
Gambar 3.1 Anatomi Palatum (Sonnier, 1999)

3.1.2 Pembentukan Palatum

Selama minggu ke lima perkembangan prenatal, terjadi pembentukan

segmen intermaksilari yaitu hasil dari penyatuan dua prosessus nasal media di

dalam embrio. Segmen ini adalah suatu massa internal berbentuk baji yang meluas

ke inferior dan bagian dalam nasal dan septum nasal yang terletak diantara

permukaan prosesus intermaksilaris. Segmen intermaksilaris ini akan membentuk

palatum primer, suatu massa triangular. Selama minggu ke enam pada

perkembangan prenatal, prosessus maksilaris bilateral membentuk dua palatal

shelves atau prosessus lateral palatines. Shelves akan berkembang ke inferior dan

ke bagian dalam stomodeum pada arah vertikal di sepanjang kedua sisi lidah yang

sedang berkembang. Palatine shelves ini berkembang ke arah bawah sejajar

dengan permukaan lidah dan menyatu dengan yang lain dengan palatum primer

dan akan membentuk palatum sekunder. Untuk pembentukan palatum yang

lengkap terjadi karena penyatuan dari palatum sekunder dengan bagian posterior

palatum primer. Ke tiga prosessus menyatu secara sempurna, membentuk palatum

akhir bagian lunak dan keras selama minggu ke dua belas perkembangan prenatal.
Gambar 3.2 Proses Pembentukan Palatum (Sonnier,1999)

3.1.3 Vaskularisasi dan Inervasi Palatum

Vaskularisasi palatum durum oleh arteri palatina mayor, arteri

sfenopalatina, dan arteri palatina minor. Suplai darah utama berasal dari arteri

palatina mayor yang masuk ke foramen palatina, merupakan cabang arteri palatina

dessenden. Sedangkan arteri palatina minor dan otot palatina minor bersama

dengan nervus trigeminus cabang maksila membentuk pleksus yang menginervasi

otot-otot palatum melalui foramen palatina mayor yang nantinya akan

beranastomosis dengan arteri palatina mayor. Sedangkan inervasinya berasal dari

nervus palatina mayor dan nervus palatina minor, nervus palatina mayor

merupakan cabang saraf utama, yang berasal dari ganglion pterygopalatina,

nervus palatina mayor utama masuk ke dalam foramen palatina mayor dan terbagi
menjadi cabang yang lebih kecil, yang mensyarafi palatum durum. Pada bagian

anterior nervus palatina mayor berhubungan dengan saraf nasopalatina, fungsi

utama nervus palatina mayor adalah persyarafan pada palatum durum dan

ginggiva rahang atas, nervus palatina minor mensyarafi bagian palatum mole

(Sonnier, 1999).

3.2 Torus Palatinus

3.2.1 Definisi

Torus palatinus merupakan jenis neoplasma dan terlihat seperti

hyperostosis dari perkembangan tulang palatal, terjadi secara bilateral sepanjang

garis sutura media pada permukaan palatum. Torus palatinus merupakan masa

tulang kortikal yang padat dan tebal dengan jumlah inti yang berbeda-beda,

ditutupi oleh lapisan tipis jairngan mukosa. Torus palatinus tidak berbahaya,

berkembang secara perlahan dengan bentuk dan ukuran bervariasi (Abgaje, 2006).

Torus palatinus yang kecil biasanya pada midline dengan bentuk yang

bulat dan terartur. Torus palatinus yang besar mempunyai lobus yang besar dan

banyak serta bentuk yang tidak teratur sehingga menyebabkan gangguan artikulasi

dan menjadi tempat penumpukan sisa-sisa makanan (Firas, 2006).

Gambar 3.3 Variasi torus palatinus berdasarkan ukuran (Firas, 2006).


3.2.2 Etiologi

Torus palatinus merupakan pertumbuhan tulang yang normal dijumpai

pada semua usia, pria maupun wanita dan merupakan lesi kongenital yang

berkmebang secara perlahan, tidak membesar secara tiba-tiba. Di Amerika

Serikat, torus palatinus pernah diobservasi pada wanita dua kali lebih banyak

dibandingkan pada pria (Abgaje, 2006).

Etiologi dan torus palatinus belum diketahui secara pasti, namun ada

beberapa faktor yang diperkirakan merupakan penyebab terjadinya torus

palatinus. Faktor tersebut adalah faktor herediter, trauma superfisial, maloklusi,

respon fungsional pengunyahan. Penyebab torus palatinum masih menjadi

perdebatan antara faktor genetic dengan faktor lingkungan seperti trauma

pengunyahan (Firas, 2006).

Beberapa peneliti berpendapat bahwa torus palatinus terjadi karena faktor

herediter. Ada juga peneliti lain yang berpendapat bahwa perkembangan torus

palatinus disebabkan karena multifactorial yaitu faktor genetic dan faktor

lingkungan. Namun, terdapat beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa torus

palatinus berhubungan dengan (Al-Sebaie, 2011) :

a. Jenis kelamin
Penelitian menyebutkan bahwa prevalensi torus palatinus banyak pada jenis
kelamin wanita. Namun, belum ada penjelasan yang rinci bagaimana prevalensi
pada wanita cenderung lebih tinggi.
b. Usia
Kejadian torus palatinus meningkat pada usia dekade ke 3, yaitu pada usia
berkisar antara 30 – 50 tahun. Sebagian dari penderita tidak menyadari bahwa
terdapat torus palatinus pada palatumnya, sebagian besar baru menyadari ketika
berusia diatas 50 tahun atau tidak sengaja diketahui ketika melakukan
pemeriksaan gigi. Pasien yang mengetahui adanya torus palatinus sejak dini
sebagian besar menyebutkan bahwa tidak perubahan ukuran yang berarti dari
torus palatinus.
c. Densitas tulang
Densitas tulang masing-masing individu tergantung dari genetik, nutrisi dan stress

pada tulang. Torus palatinus cenderung terjadi pada orang dengan densitas

mineral tulang yang tinggi yaitu pada masa puncak masa tulang yaitu pada usia

lebih dari 30 tahun.

d. Terapi hormonal

Salah satu penelitian menyebutkan bahwa defisit atau absen dari estrogen

meningkatkan kejadian torus palatinus. Hal ini dibuktikan dengan didapatkan 77%

wanita menopause dan diberi terapi sulih hormon tidak didapatkan pertumbuhan

torus palatinus pada palatumnya.

e. Genetik dan lingkungan

Variasi massa tulang diturunkan secara genetik. Beberapa penelitian menyebutkan

bahwa torus palatinus diturunkan secara autosomal dominan. Namun, peran gen

dalam mengontrol masa tulang belum diketahui secara pasti bagaimana cara

kerjanya. Massa tulang pada seseorang juga akan menentukan tingkat kepadatan

mineral pada tulang dan hal ini juga berhubungan dengan prevalensi kejadian

torus palatinus. Lingkungan yang berpengaruh pada torus palatinus adalah seperti
tekanan kunyah, hal ini disebutkan juga merupakan penyebab terjadinya torus

palatinus disamping ditambah dengan adanya faktor genetik dari orang tersebut.

3.2.3 Diagnosa

Torus palatinus terlihat seperti suatu pembesaran masa tulang yang padat

dank eras. Kebanyakan torus palatinus berukuran kecil dengan ukuran diameter

kurang lebih 2 cm, berbentuk cembung, permukaan datar dan bentuknya

bertangkai, dilapisi mukosa yang tipis berwarna merah jambu seperti gusi (Al-

Bayaty, 2001).

Torus palatinus yang bermula pada masa kanak-kanak terus berkembang

mencapai puncak perkembangannya pada usia dewasa mda, setelah berada pada

ukuran yang tetap maka perkembangannya berhenti, namun ada juga yang dapat

berkembang menjadi sangat besar (Al-Bayaty, 2001).

Klasifikasi torus palatinus berdasarkan morfologinya (Stenhouse, 2008):

1. Torus datar (flat)

2. Torus gelombang (spindle)

3. Torus nodular

4. Torus lobular
a b

c d

Gambar 3.4 a. torus palatinus datar (flat); b. torus palatinus bergelombang


(spindle); c. torus palatinus nodular; d. torus palatinus lobular (Stenhouse, 2008)

Dari bermacam bentuk torus palatinus di atas yang paling banyak dijumpai

adalah bentuk torus odular dan torus lobular (Stenhouse, 2008).

3.2.4 Gambaran Histopatologis

Jaringan yang menutupi torus palatinus merupakan lapisan submukosa

yang sangat tebal dengan tulang yang padat. Palatum durum merupakan tempat

perlekatan torus palatinus yang dilapisi oleh mukosa pengunyahan. Ciri khas

mukosa pengunyahan adalah lapisan tanduk pada permukaan terluarnya (Belsky,

2003).
Gambaran mikroskopik torus palatinus sseperti lapisan tebal dari tulang

kompak dan area sentral spons. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan masa

yang tebal dan padat, terlihat tulang kortikal dan kadang-kadang terdapat inti

tulang trabekula. Torus palatinus berisi pertumbuhan tulang spons yang dilapisi

periosteum. Torus sendiri mempunyai tulang kortikal yang tipis dan bagian

dalamnya terdiri dari tulang berongga (tulang kanselus) (Belsky, 2003).

Gambar 3.5 lamellar tulang yang telah dewasa tidak memiliki inti lacuna (Belsky,
2003).

3.2.5 Gambaran Radiologi

Pemeriksaan radiologi dilakukan sebelum dilakukan pengambilan torus

palatinus. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui morfologi torus tersebut.

Apabila pada torus terdapat ruang atau celah udara dalam struktur torus maka

pada saat melakukan insisi dapat terjadi kerusakan ataupun perforasi sehingga

terjadi oronasal fistula yang dapat menyulitkan pembedahan (Neville, 2002).

Torus palatinus biasanya dapat terlihat pada foto periapikal karena tidak

menghalangi penempatan film, namun cara terbaik untuk melihat gambaran

radiologi torus palatinus adalah dengan menggunakan foto oklusal. Pada foto
oklusal terlihat bayangan yang tebal dan padat, terlihat gambaran radiopaque.

Torus palatinus bisa terlihat sangat putih dan dapat terjadi superimposed pada film

apabila torus palatinus sangat besar (Garcia-garcia, 2010).

Gambar 3.6 Torus palatinus (tanda panah) (Garcia-garcia,2010).

3.2.6 Indikasi Pembedahan

Indikasi dilakukan pembedahan pada torus palatinus adalah

(Donado,1998):

a. Torus palatinus yang sangat besar dan menutupi hampir seluruh ruang

palatum

b. Torus palatinus yang panjang sampai ke arah posterior dan melewati garis

getar

c. Torus palatinus yang besar dan bentuknya bergelombang naik turun.

Makanan dan debris dapat menumpuk pada daerah ini dan menyebabkan

terjadi inflamasi serta bau mulut yang tidak enak


d. Torus palatinus yang menyebabkan masalah psikologi pada pasien yang

mengalami kankerfobia

3.2.7 Kontraindikasi Pembedahan

Terdapat kontraindikasi yang menyulitkan torus palatinus dilakukan

pembedahan, yaitu (Donado, 1998):

a. Pada gambaran radiografi terlihat celah atau ruang udara didalam struktur

torus palatinus

b. Pada pasien dengan penyakit sistemik yang merupakan kontraindikasi

dilakukan pembedahan

3.2.7 Teknik Pembedahan

Posisi pasien dengan kepala ke belakang seingga palatum searah vertical

plane. Anestesi yang dilakukan adalah blok anestesi untuk nervus palatinus

anterior dan nervs insisivum dengan penambahan submukous infiltrasi anestesi.

Mouth gag dapat digunakan untuk mengurangi kelelahan apabila proses

pembedahan membutuhkan waktu yang lama. Pembedahan torus palatinus reltif

sederhana dengan tingkat keberhasilan yang baik. Insisi pada pembedahan dapat

dilakukan dengan 2 cara, yaitu (Stenhouse, 2008):

1. Insisi pada garis tengah palatum dengan bentuk Y pada kedua ujung insisi

2. Insisi semilunar dengan bentuk huruf U, dimana mukoperios flep yang

menutupi torus dapat dibuka seluruhnya


Gambar 3.7 Metode insisi huruf Y pada torus palatinus (Stenhouse, 2008)

Gambar 3.8 Metode insisi semilunar pada torus palatinus (Stenhouse, 2008)

Dari kedua tipe ini, insisi Y leih mudah dan lebih aman. Seluruh mukosa

yang menutupi torus terbuka sehingga masa tulang terlihat dan mudah dilakukan

eksisi. Kemungkinan terjadinya fraktur dan perforasi pada palatum kecil dan juga

mencegah terjadinya perdarahan dari arteri palatum (Stenhouse, 2008).

Pembedahan untuk menghilangkan torus ini pada dasarnya sama, tanpa

memperhatikan bentuknya dibuat insisi sagittal tunggal pada pertengahan palatal

dimulai 1 cm di depan garis vibrasi dan dilanjutkan ke depan tepat ke papilla

insisivum, dilanjutkan ke anterior sebagi dua insisi yang serong sehingga


keduanya membentuk huruf V. Apabila diperlukan jalan masuk tambahan insisi

pembebas yang serupa dibuat pada bagian posterior, perlu diperhatikan jangan

sampai memotong arteri palatine mayor (Maclnnis, 1998).

Flap mukoperiosteal disingkap kea rah bukal, pengangkatan flap

mukoperosteal yang hati-hati diperlukan untuk memisahkan flap dari tlang. Tang

yang digunakan harus tajam dan cukup kecil untuk dapat masuk ke fisur yang

tidak teratur di antara lobus-lobus torus yang biasanya tidak mempunyai undercut

pada bagian dasarnya (Neville, 2002).

Kemudian potongan-potongan torus diambil dengan osteotom dengan

menggunakan malet atau dengan tangan, dapat digunakan chisel yang bengkok,

chisel yang kecil dan lurus dapat digunakan pada palatum pasien yang sudah tidak

bergigi atau yang masih mempunyai gigi (Neville, 2002).

Pengahalusan akhir dilakukan dengan bur besar bulat atau bur fraser yang

berbentuk buah pir atau kikir tulang untuk penghalusan. Sesudah irigasi dan

inspeksi dilakukan penutupan flap, apabila ada jaringan yang berlebihan maka

dilakukan pemotongan seperlunya (Neville, 2002).

3.2.8 Komplikasi

Beberapa komplikasi yang kemungkinan dapat terjadi yaitu (Jaikittivong, 2007):

a. Perdarahan

Insisi yang tepat dapat mencegah terjadinya luka yang besar pada paltum

dan cederanya pembuluh nasopalatina dan penanganan yang hati-hati terhadap

flep akan mengurangi terjadinya perdarahan. Untuk mengurangi perdarahan dapat


dilakukan elektrokoagulasi yang dapat membantu proses pembentukan

pembekuan darah.

b. Penimbunan bekuan darah

Penimbunan bekuan darah dapat terjadi diantara mukoperiosteum dan

tulang palatm yang merupakan akibat terjadinya perdarahan dibawah

permukaan mukosa.

c. Nekrose dan iritasi mukosa palatal

Vaskularisasi pada mukosa flep dapat terganggu dengan adanya trauma,

laserasi, hematoma dan infeksi.

d. Perforasi dasar hidung

Perforasi jarang terjadi dan menjadi masalah beik perforasi kecil maupun

besar karena dapat menjadi jalan masuk air, udara, dan darah ke hidung.

e. Fraktur palatal

Apabila terjadi maka fraktur utama harus direposisi dan difiksasi kembali

kemudian mukosa dilekatkan ke tempat semula dan kemudian dijahit.


BAB IV
KESIMPULAN

Torus palatinus merupakan masa tulang kortikal yang padat dan terdapat

di sepanjang garis tengah palatum. Letaknya berdekatan dengan palatum durum.

Etiologi torus palatinus belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor

yang diduga menjadi penyebab terbentuknya torus palatinus, yaitu faktor

herediter, trauma superfisial, maloklusi, dan respon fungsional pengunyahan.

Teknik pembedahan torus palatinus pada dasarnya sama tanpa

memperhatikan bentuknya. Ada dua macam insisi pada pengambilan torus

palatinus yaitu insisi Y dan insisi semilunar.

Komplikasi yang dapat terjadi akibat pembedahan torus palatinus adalah

perdarahan, penimbunan bekuan darah, iritasi dan nekrose mukosa palatal,

perforasi dasar hidung dan juga fraktur palatal.


DAFTAR PUSTAKA

Agbaje JO, Arowojulu. 2006. Torus Palatinus and Toris Mandibularis in a


Nigerian Population. African Journal Oral Health vol2. Nigeria. 30-36.

Al-Bayaty, H.F., Murti, P.R., Matthews, R., Gupta, P.C. 2001. An


epidemiological study of tori among 667 dental outpatients in Trinidad &
Tobago, West Indies. Int Dent J. 51:300-4.

Al-sebaie, D., Alwrikat, M. 2011. Prevalence of torus palatinus and torus


mandibularis in Jordanian population. Pakistan Oral & Dental Journal
Vol.31,No. 1; 214-7

Belsky, JL., Hamer, JS., Hubert, JE., Insogna,K., Johns, W. 2003. Torus
palatinus ; A new anatomical correlation with bone density in
postmenopausal women. The Journal of Clinical Endocrinology &
Metabolism 88(5);: 2081-86

Donado, M. 1998. Pre-prosthetic Surgery. Dalam. Donado M, ed. Cirugía bucal.


Patología y técnica. [Oral Surgery. Pathology and Technique]. Ed.ke-2.
Barcelona: Masson. Hlm.481-510.

Firas, A.M., Ziad, N., Al-Dwairi. 2006. Torus palatinus and torus mandiblaris in
edentoulus patients. Journal of Contemporary Dental Practice. Mei:(7);2.
Hlm.112-119.

Garcia-Garcia, A.S., Martinez-Gonzales,J.M., Font, R.G., Rivadeneira, A.,S.,


Roldan, L.,O. 2010. Current Status of the Torus Palatinus and Torus
Mandibularis. Med Oral Patol Oral Cir.Bucal. 1:15(2). Hlm. 353-360.
Jaikittivong A, Apinhasmit W, Swadison S. 2007. Prevalence and Clinical
Characteristic of Oral Teory. Chulankorn University Dental School.
Bangkok. 1-7.

MacInnis, E.L, Hardie, J., Baig, M., Al-Sanea, R.A. 1998. Gigantiform To rus
palatinus: review of the literature and report of a case. Int Dent J. 48:40-
3.

Neville, dkk. 2002. Developmental Defects of The Oral and Maxillofacial


Regionin Oral and Maxillofacial Path. USA: Saunders Company.

Sonnier, K.E., Horning, G.M., Cohen, M.E. 1999. Palatal tubercles, palatal tori,
and mandibular tori: prevalence and anatomical features in a U.S.
population. J Periodontol. 70:329-36

Stenhouse, David. 2008. Textbook of General and Oral Surgery. China.Churchill


Livingstone

Anda mungkin juga menyukai