Anda di halaman 1dari 30

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Diabetes Mellitus


Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya (Soelistijo, 2015).

2.2 Etiologi Diabetes Mellitus


Penyebab Diabetes Mellitus (DM) berdasarkan klasifikasi (Soelistijo,2015).
Tabel 1. Etiologi Diabetes Mellitus (DM)
Tipe 1  Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi
 insulin absolut
 Autoimun
 Idiopatik
Tipe 2  Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin
 disertai defisiensi insulin relatif sampai yang
 dominan defek sekresi insulin disertai resistensi
 insulin
Tipe lain  Defek genetik fungsi sel beta
 Defek genetik kerja insulin
 Penyakit eksokrin pankreas
 Endokrinopati
 Karena obat atau zat kimia
 Infeksi
 Sebab imunologi yang jarang
 Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan
 DM
Diabetes
mellitus
gestasional
2.3 Klasifikasi Diabetes Mellitus
1. Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 adalah diabetes mellitus yang tergantung insulin (insulin-
dependent diabetes mellitus) adalah gangguan autoimun di mana terjadi penghancuran sel-sel

3
β-pankreas penghasil insulin. Pasien biasanya berusia dibawah 30 tahun, mengalami onset
akut penyakit ini, tergantung pada terapi insulin, dan cenderung lebih mudah mengalami
ketosis (Rubenstein, Wayne, Bradley, 2014).
Pada kelompok besar diabetes melitus tipe 1 terdapat hubungan dengan HLA (Human
Leukosit Antigen) tertentu pada kromosom 6 dan beberapa autoimunitas serologik dan cell-
mediated. Infeksi virus sebelum onset juga berhubungan dengan patogenesis diabetes
(Gustaviani, 2014).
2. Diabetes mellitus tipe 2
Meliputi 90% pasien yang menyandang diabetes. Pasien diabetes khasnya menderita
obesitas, dewasa dengan usia lebih tua dengan gejala ringan sehingga penegakan diagnosis
bisa saja baru dilakukan pada stadium penyakit yang sudah lanjut, seringkali setelah
ditemukannya komplikasi seperti retinopati atau penyakit kardiovaskular. Walaupun pada
awalnya bisa dikendalikan dengan diet dan obat hipoglikemik oral, banyak pasien akhirnya
memerlukan insulin tambahan, sehingga menjadi penyandang diabetes tipe 2 yang
membutuhkan insulin (Rubenstein, Wayne, Bradley, 2014).
Pada diabetes mellitus tipe 2, tubuh tidak mampu membuat cukup banyak insulin atau
bisa juga walau ada cukup insulin, tubuh bermasalah dalam menggunakan insulin (resistensi
insulin), atau dua-duanya (Waspadji et al, 2009).
Kelompok besar diabetes melitus tipe 2 tidak mempunyai hubungan dengan HLA,
virus atau autoimunitas dan biasanya masih mempunyai sel beta yang masih berfungsi, sering
memerlukan insulin tetapi tidak bergantung insulin seumur hidup (Gustaviani, 2014).
3. Diabetes gestasional
Sebagian besar wanita yang mengalami diabetes saat hamil memiliki homeostasis
glukosa yang normal pada trisemester pertama kehamilan dan berkembang menjadi defisiensi
insulin relative selama trisemester kedua, sehingga terjadi hiperglikemia. Hiperglikemia
menghilang pada sebagian besar wanita setelah melahirkan, namun memilki peningkatan
risiko menyandang diabetes tipe 2 (Rubenstein, Wayne, Bradley, 2014).

2.4 Fisiologi Diabetes Mellitus


Pankreas manusia mempunyai hampir satu juta pulau langerhans, setiap pulau
langerhans hanya berdiameter seratus micron atau lebih dan tersusun mengelilingi pembuluh
kapiler kecil-kecil yang merupakan tempat penampungan hormon yang disekresikan oleh sel-
sel tersebut. Pulau langerhans mengandung tiga jenis sel utama, yakni sel alfa, beta, dan
delta. Sel beta, yang merupakan kira-kira 60 persen dari semua sel, mensekresi insulin.

4
Hubungan yang erat antara berbagai jenis sel yang terdapat dalam pulau langerhans
menyebabkan timbulnya pengaturan secara langsung sekresi beberapa jenis hormon oleh
hormon lain. Contohnya, insulin menghambat sekresi glucagon, dan somastotatin
menghambat sekresi hormon insulin dan glucagon (Guyton, 2014).
Secara historis, insulin dihubungkan dengan “gula darah” dan ternyata insulin sangat
berpengaruh terhadap metabolisme karbohidrat. Namun, kematian pada pasien diabetes
terutama kelainan metabolisme lemak, yang menyebabkan keadaan seperti asidosis dan
asterosklerosis. Pada penderita yang mengidap diabetes dalam jangka waktu yang lama,
adanya ketidakmampuan untuk mensintesis protein akan menyebabkan pemborosan jaringan
mirip dengan sebagian besar kelainan fungsi sel (Guyton, 2014).
Insulin disintesis oleh sel-sel beta dengan cara yang mirip dengan sintesis protein
yang biasanya dipakai oleh sel, yakni dimulai dengan pembentukan RNA (Ribonucleic Acid)
insulin oleh ribosom yang melekat pada retikulum endoplasma sehingga terbentuk
preprohormon insulin. Sebagian besar proinsulin ini lalu melekat erat pada alat golgi untuk
membentuk insulin sebelum terbungkus dalam granula sekretorik (Guyton, 2014).
Pada orang dewasa sehat tanpa DM, sekresi insulin oleh sel beta pankreas terjadi
secara kontinu dalam jumlah kecil yang disebut dengan insulin basal. Sekresi insulin basal ini
bervariasi antara 0,5 sampai 1 unit perjam. Sekresi insulin juga terjadi pada saat makan,
dimana influks glukosa post-prandial akan merangsang pelepasan insulin dalam 2 fase. Fase
pertama pelepasan insulin berakhir dalam waktu 10 menit dan berefek menekan produksi
glukosa hepar serta mencetuskan pelepasan insulin fase 2 yang berlangsung dalam waktu 2
jam dan cukup memenuhi pemasukan karbohidrat pada saat makan (Pranoto, 2015).
Sewaktu insulin disekresikan ke dalam darah, hampir seluruhnya beredar dalam
bentuk yang tak terikat, waktu paruhnya dalam plasma hanya kira-kira 6 menit lamanya
sehingga dalam waktu 10 menit sampai 15 menit akan dibersihkan dari sirkulasi. Kecuali
sebagian insulin yang berikatan dengan reseptor yang ada pada sel target, insulin yang tersisa
di dalam hati akan dipecah dan sebagian kecil dipecah dalam ginjal. Pembuangan dari plasma
yang cepat ini penting sebab pada suatu saat berguna untuk mengatur fungsi sebaliknya dari
insulin (Guyton, 2014).
Untuk memulai efeknya pada sel target, mula-mula insulin berikatan dengan reseptor
protein yang terdapat pada membrane yang mempunyai berat molekul kira-kira 300.000.
Insulin ini selanjutnya mengaktifkan reseptor yang dapat memicu timbulnya efek insulin,
namun setelah ini mekanisme molecular dalam sel tidak jelas. Reseptor yang sudah
diaktifkan akan sedikit mengaktifkan system siklik AMP(Adenosin Mono Phospat) dari sel,

5
yang diduga selanjutnya akan bekerja sebagai kurir kedua yang akan meningkatkan beberapa
efek insulin (Guyton, 2014).
Sesudah makan makanan tinggi karbohidrat, glukosa yang diabsorbsi darah
menyebabkan timbulnya sekresi insulin yang cepat. Insulin sebaliknya menyebabkan
timbulnya pemasukan yang cepat, penyimpanan, dan penggunaan glukosa oleh sebagian
besar jaringan tubuh, namun khususnya oleh hati, otot, dan jaringan lemak (Guyton, 2014).
Pada nilai normal glukosa darah waktu puasa sebesar 80 sampai 90 mg/dl, maka
kecepatan sekresi insulin minimum yakni 25 kg berat badan. Bila kosentrasi glukosa dalam
darah meningkat dua sampai tiga kali dari kadar normal dan bila untuk selanjutnya kadar
glukosa ini dipertahankan pada kadar atau nilai ini, maka sekresi akan meningkat (Guyton,
2014).
2.5 Patofisiologi Diabetes Mellitus
a. Diabetes Melitus Tergantung Insulin (DMTI)
Diabetes melitus tergantung insulin (DMTI) adalah penyakit autoimun yang
ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju pada proses
bertahap perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Bukti determinan genetic
dari DMTI adalah adanya kaitan dengan histokompatibilitas (HLA) spesifik. Tipe dari gen
histokompatabilitas yang berkaitan dengan DMTI adalah (DW3 dan DW4) adalah gen yang
memberikan kode kepada protein-protein yang berperanan penting dalam interaksi monosit-
limfosit. Jika terjadi kelainan, fungsi limfosit-T yang terganggu akan berperanan penting
dalam pathogenesis perusakan sel-sel pulau langerhans (Price & Wilson, 2009).
b. Diabetes Melitus Tak Tergantung Insulin (DMTTI)
Pasien diabetes mellitus tak tergantung insulin (DMTTI), mempunyai pola familial
yang kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan dalam sekresi insuslin maupun dalam kerja
insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin.
Insulin mula-mula mengangkat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu,
kemudian terjadi reaksi intraselular yang meningkatkan transport glukosa menembus
membrane sel.Pada pasien-pasien dengan DMTTI terdapat kelainan dalam pengikatan insulin
dengan reseptor. Ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang
responsife insulin pada membrane sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara
kompeks reseptor insulin dengan system transport glukosa (Price & Wilson, 2009).
Sekitar 80% pasien DMTTI mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan
resistensi insulin, maka kemungkinan besar gangguan toleransi glukosa dan diabetes melitus

6
yang pada akhirnya terjadi pada pasien DMTTI merupakan akibat dari obesitasnya (Price &
Wilson, 2009).
Pasien dengan diabetes tipe 2 umumnya juga mengalami gangguan aksi insulin
(resistensi insulin) pada sel-sel target. Gangguan fungsi sekresi insulin dapat bermanifestasi
melalui mekanisme hilangnya respons insulin tahap pertama sehingga sekresi insulin
terlambat dan gagal untuk mengembalikan lonjakan gula darah prandial pada waktu yang
normal, penurunan sensitivitas insulin dan penurunan kapasistas sekresi insulin terjadi secara
progresif (Pranoto, 2015).

2.6 Diagnosis Diabetes Mellitus


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan
atas dasar adanya glukosuria (Soelistijo, 2015).
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
a. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria,
serta pruritus vulva pada wanita.

Tabel 2.Kriteria Diagnosis DM

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan
ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT) dan
glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

7
1. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa
antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
2. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam setelah
TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
3. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
4. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang
menunjukkan angka 5,7-6,4%.
Tabel 3. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan
prediabetes.

HbA1c Glukosa darah puasa Glukosa plasma 2 jam


(%) (mg/dL) setelah TTGO (mg/dL)
Diabetes > 6,5 > 126 mg/dL > 200 mg/dL
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199

Normal < 5,7 < 100 < 140

Tabel 4.Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):

1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan (dengan karbohidrat yang
cukup) dan melakukan kegiatan jasmani seperti kebiasaan sehari-hari.

2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum
air putih tanpa glukosa tetap diperbolehkan .

3. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa.


4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai.

6. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban


glukosa.

7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.

Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus Tipe-


2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klasik
DM yaitu:

8
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m2) yang
disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam
keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4
kg atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk
hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
Catatan: Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan diulang
tiap 1 tahun.
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan
TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus diperhatikan
adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler
seperti pada tabel-6 di bawah ini.

Tabel 5. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan


penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)

Bukan DM Belum pasti DM DM


Kadar Plasma vena <100 100-199 ≥ 200
glukosa Darah kapiler <90 90-199 ≥ 200
darah
sewaktu
(mg/dl)
Plasma vena <100 100-125 ≥126

9
Kadar Darah kapiler <90 90-99 ≥100
glukosa
darah
puasa
(mg/dl)

2.7 Anti Diabettes Mellitus


Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat anti hiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
- Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan
berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).
- - Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam
obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang mungkin
terjadi adalah hipoglikemia.

b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin


- Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis
Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30-60 ml/menit/1,73
m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan seperti: GFR<30
mL/menit/1,73m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK,gagal jantung

10
[NYHA FC III-IV]. Efek samping yang mungkin berupa gangguan saluran pencernaan
seperti halnya gejala dispepsia.
- Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot,
lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa
di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat
memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan
perlu pemantauan faal hati secara
berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.

c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan


- Penghambat Alfa Glukosidase.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Penghambat
glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan: GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati
yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating
(penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek
samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah
Acarbose.

d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)


Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga
GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif.
Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon
bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah
Sitagliptin dan Linagliptin.

e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)


Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat
kinerja transporter glukosa

11
SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin,
Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja mendapat approvable letter dari Badan
POM RI pada bulan Mei 2015.

3. Obat Antihiperglikemia Suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi insulin
dan agonis GLP-1.
a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
- HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Krisis Hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
- Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
- Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Jenis dan Lama Kerja Insulin


Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :
- Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
- Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
- Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin)
- Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
- Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat dengan
menengah (Premixed insulin)
Jenis dan lama kerja masing-masing insulin dapat dilihat pada tabel 6.
- Efek samping terapi insulin
- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia
- Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian komplikasi akut DM

12
- Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin

Jenis insulin Awitan Puncak efek Lama kerja Kemasan


(onset)
Insulin analog Kerja Cepat (Rapid-Acting)

Insulin Lispro Pen


(HumalogR) 5-15 /cartridge
Insulin Aspart menit 1-2 jam 4-6 jam Pen, vial
(NovorapidR) Pen
Insulin
Glulisin
(ApidraR)
Insulin manusia kerja pendek = Insulin Reguler (Short-Acting)
HumulinR R 30-60 2-4 jam 6-8 jam Vial, pen /
ActrapidR Menit Cartridge
Insulin manusia kerja menengah = NPH (Intermediate-Acting)
Humulin NR
InsulatardR 1,5–4 jam Vial, pen /
4-10 jam 8-12 jam
Insuman Cartridge
BasalR
Insulin analog kerja panjang (Long-Acting)
Insulin Hampir
Glargine 1–3 jam tanpa 12-24 pen
(LantusR) puncak jam
Insulin
Detemir
(LevemirR)
Lantus 300
Insulin analog kerja ultra panjang (Ultra Long-Acting)
Degludec 30-60 Hampir Sampai
(TresibaR)* menit tanpa 48 jam
puncak
Insulin manusia campuran (Human Premixed)
70/30
HumulinR
(70% NPH,
30% 30-60 3–12 jam
reguler) menit
70/30
MixtardR
(70% NPH,
30%
reguler)

Insulin analog campuran (Human Premixed)


75/25
Humalogmix
R
(75%
protamin 12-30 1-4 jam

13
lispro, 25% menit
lispro)
70/30
NovomixR
(70%
protamine
aspart, 30%
aspart)
50/50 Premix

Dasar pemikiran terapi insulin:


 Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin
diupayakan mampu menyerupai pola sekresi insulin yang fisiologis
 Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau
keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada
keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan
 Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi
yang terjadi.
 Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal
(puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin.
Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah insulin
basal (insulin kerja sedang atau panjang)
 Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan
menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai
 Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan HbA1c belum
mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial (mealrelated).
Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah
insulin kerja cepat (rapid acting) yang disuntikan 5-10 menit sebelum makan atau
insulin kerja pendek (short acting) yang disuntikkan 30 menit sebelum makan
 Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan obat antihiperglikemia oral untuk
menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin
kerja pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen
usus (acarbose), atau metformin (golongan biguanid)

14
 Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian

b. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic


Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel-beta sehingga terjadi peningkatan
pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan berat badan,
menghambat pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan. Efek penurunan berat
badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi menurunkan berat badan
pada pasien DM dengan obesitas. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki
cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain
rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk golongan ini adalah: Liraglutide, Exenatide,
Albiglutide, dan Lixisenatide. Salah satu obat golongan agonis GLP-1(Liraglutide) telah
beredar di Indonesia sejak April 2015, tiap pen berisi 18 mg dalam 3 ml. Dosis awal 0.6 mg
perhari yang dapat dinaikkan ke 1.2 mg setelah satu minggu untuk mendapatkan efek
glikemik yang diharapkan. Dosis bisa dinaikkan sampai dengan 1.8 mg. Dosis harian lebih
dari 1.8 mg tidak direkomendasikan. Masa kerja Liraglutide selama 24 jam dan diberikan
sekali sehari secara subkutan.

2.8 Cara Pemberian Insulin


Hingga saat ini dikenal berbagai macam teknologi pemakaian insulin, dari yang paling
sederhana sampai yang paling canggih, antara lain (Tjokoprawiro et al, 2015)

15
- Insulin subkutan dengan rotasi rasional

- Insulin Intravena tiap jam dengan Rumus Minus Satu

- Insulin Sub-kutan tiap jam dengan Rumus kali dua

2.9 Regulasi Cepat Intravena (IRC)

Menurut (Tjokoprawiro et al, 2015)

1. Jangan memberi cairan yang mengandung karbohidrat apabila kadar glukosa masih di atas
250 mg/d. Pasanglah infus Ringer Laktat atau NaCl 0,9% dengan kecepatan 15-20 tts/menit
(bila bukan ketoasidosis KAD); apabila KAD, maka tetesan harus cepat.

2. Berikan InsuLin Reguler Intravena a 4 (empat) unit tiap jam sampai kadar glukosa darah
200 sekitar mg/dl atau reduksi urine positif lemah

3. Cara RCI: dengan dosis insulin reguler 4 unit/ intravena, dapat menurunkan glukosa darah
sekitar 50-75 mg/dl setiap jamnya Contoh: Pada glukosa darah 450 mg/dl, berikan insulin
reguler intra vena 4 unit/jam, sampai 3 kali (Rumus minus-Satu), maka akan memperoleh
glukosa darah sekitar 200 mg/dl. Angka 3 kali diperoleh dari: 4 dikurangi satu (Rumus
Minus- Satu). Angka 4 berasal dari 450

4. Apabila kadar glukosa tersebut sudah tercapai maka insulin reguler dapat diteruskan
secara subkutan dengan interval 8 jam dengan dosis 3 x 8 U (Rumus Kali-Dua). Angka 8
berasal dari 4 x 2 (Rumus Kali-Dua). Sedangkan angka 4 ber asal dari 450 mg/dl.

5. Glukosa 150 mg/di juga dapat mengikuti Rumus 1,2,3,4,5 untuk Regulasinya, dan dapat
menggunakan rumus 4,6,8,10,12 untuk maintenence subkutan.

2.10 Regulasi Cepat Subkutan (RCS)

Indikasi RCI dan RCS pada umumnya adalah untuk kasus-kasus yang memerlukan
kadar glukosa darah harus segera diturunkan, bahkan pada DM kasus biasa (non-darurat)
yang dirawat-inap. misalnya: penderita dengan DM-sepsis pro operasi (gangren, kolesistitis,
batu ginjal, dan lain-lain), DM dengan GDPO (Stroke-CVA), DM pro-amputasi, DM dan
Infark Miokard Akut, semua DM rawat-inap dengan glukosa darah 250 mg/dl (agar NPE
dapat dimulai) (Tjokoprawiro et al, 2015)

16
2.11 Pemantauan Hasil Terapi

Walapun insulin merupakan terapi yang paling efektif dalam menurunkan glukosa
darah, hanya separuh dari penderita dengan terapi insulin yang mencapai A1C < 7%.
Keberhasilan terapi insulin memerlukan dosis titrasi yang cukup dan tepat waktu.

Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DMT2 harus dipantau dengan terencana
dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
yang dapat dilakukan adalah: (Tjokoprawiro et al, 2015)

1. Pemeriksaan glukosa darah.

Untuk penyesuaian dosis perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa,
maupun glukosa darah 2 jam post prandial, atau glukosa darah pada waktu yang lain secara
berkala sesuai kebutuhan

2. Pemeriksaan AlC.

Cara ini digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya.
Pemeriksaan ini dianjurkan 2 kali setahun. Pemeriksaan AlC merupakan gold standard untuk
menilai kontrol glikemik. AIC merupakan hasil dari kenaikan glukosa puasa dan poast
prandial Kontribusi glukosa post-prandial dan puasa tergantung pada tingkat A1C. Semakin
rendah AlC, semakin besar kontribusi glukosa postprandial; semakin tinggi AlC, semakin
besar kontribusi glukosa puasa. Diperlukan pengendalian glukosa puasa dan postprandial
untuk mencapai target AIC.

3. Pemantauan glukosa darah mandiri

(selfmonitoring blood glucose atau SMBG). Pengukuran yang. dilakukan dengan


menggunakan reagen kering dan darah kapiler. Hasil pemeriksaan dengan menggunakan alat-
alat tersebut dapat dipercaya asal dilakukan kalibrasi berkala. Pemantauan dengan cara ini
dianjurkan bagi penderita dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin.
Pemantauan gula acak dilakukan untuk mengetahui profil gula darah saat puasa dan post
prandial. Penyesuaian dosis insulin berdasarkan rata-rata glukosa darah yang dicapai.

4. Pemeriksaan glukosa urin.

17
Pengukuran ini memberikan penilaian yang tidak langsung dan kurang akurat.
Ekskresi glukosa renal rata-rata 180 mg/dL., namun dapat bervariasi. hiperglikemia. Glukosa
urin normal tidak dapat membedakan hipoglikemia, euglikemia, atau hiperglikemia sedang.

1. Penentuan benda keton.

Pemantauan benda keton darah atau urin cukup penting terutama pada penderita
DMT2 terkendali buruk (kadar glukosa >300 mg/dL) dan dengan penyulit akut serta bila ada
gejala KAD.

2.12 Pemberian insulin infus intravena

Indikasi :

Hiperglikemia emergensi Persalinan


IMA Kelainan kulit yang luas
Stroke Terapi Glukokortiokoid dosis tinggi
Fraktur Periode peroperarif (pre intra dan pos

operatif)
Infeksi Sistemik Strategi untuk mencari dosis yang tepat

sebelum konversi keterapi insulin subkutan


Syok Kardiogenik
Transplantasi Organ
Edema Anasarka

18
Gambar 1. Protokol Terapi Insulin Intravena

Masa kerja atau waktu paruh pemberian insulin intravena secara bolus sangat cepat
sekitar 4 sampai Sebagai 5 menit, meskipun efek pada jaringan lebih lambat, tetesan dan
umumnya setelah 45 menit glukosa darah bisa kembali ke kadar sebelumnya. Mengingat
pemberian bolus intravena berulang tidak bisa mempertahankan kadar insulin darah dalam
jumlah adekuat, umumnya penggunaan bolus intravena harus diikuti dengan infus insulin
untuk rumatan.(Tjokoprawiro et al, 2015)

Protokol ini dimulai dengan tahap persiapan. yaitu dengan memberikan infus D5%
100 cc Kemudian bila terdapat fasilitas syringe pump, siapkan 50 unit insulin reguler (RI)
dalam spuit ukuran 50cc. Kemudian diencerkan dengan larutan NaCl 0.9% hingga mencapai
50 cc (1 cc NaCI 1 unit RI). Bila diperlukan 1,5 unit insulin per jam misalnya, petugas tinggal
mengatur kecepatan tetesan 1,5 cc per jam. Atau bisa juga diberikan 125 RI dalam 250ml
larutan NaCl 0,9% yang berarti dalam tiap 2 cc NaCl=1 unit RI.(Tjokoprawiro et al, 2015)

Bila tidak tersedia syringe pump, dapat digunakan botol infus 500 cc larutan NaCl
0,9%. Masukkan 12 unit (bisa juga 6 unit atau berapapun, karena nantinya akan
diperhitungkan dalam tetesan) RI ke dalam botol infus 500 cc larutan NaCl 0,9%. Bila
dibutuhkan 1 unit insulin per jam, maka dalam botol infus yang berisis 12 unit RI, diatur
kecepatan tetesan 12 jam per botol, sehingga 12 unit RI akan habis selama 12 jam. Bila
dibutuhkan 2 unit per jam, kecepatan tetesan infus diatur menjadi 6 jam/botol karena 12 unit
RI akan habis dalam 6 jam, demikian seterusnya, tetesan diatur sesuai permintaan. Sebagai
patokan tetesan, 1 cc cairan infus 20 tetesan makro 60 tetesan mikro (Tjokoprawiro et al,
2015)

2.13 Komplikasi
Komplikasi diabetes secara umum terdiri dari dua jenis komplikasi yaitu komplikasi
jangka pendek (komplikasi akut) dan komplikasi jangka panjang (komplikasi kronik).
Komplikasi akut adalah komplikasi yang dapat terjadi pada setiap saat sedangkan komplikasi

19
kronik biasanya lebih serius terutama karena terjadi jangka panjang, kurang disadari oleh
penyandang diabetes sehingga sering terlambat diagnosis (Waspadji, 2009)
1. Komplikasi akut
 Krisis Hiperglikemia
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl), disertai dengan tanda dan
gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ml)
dan terjadi peningkatan anion gap.
Status Hiperglikemia Hiperosmolar (SHH) adalah suatu keadaan dimana terjadi
peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dl), tanpa tanda dan gejala asidosis,
osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/ml), plasma keton (+/-), anion gap
normal atau sedikit meningkat.
Kedua keadaan tersebut mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi,
sehingga memerlukan peraatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang
memadai (Soelistijo, 2015).
 Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 70mg/dl.
Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa
adanya gejala-gejala sistem otonom, seperti adanya whipple’s triad:
- Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
- Kadar glukosa darah yang rendah
- Gejala berkurang dnegan pengobatan.
Tanda dan gejala Hipoglikemia pada orang dewasa, adalah:
Tanda Gejala
Autonomik Rasa Pucat,takikardia,widened
lapar,berkeringat,gelisah,paresthes pulse pressure.
ia,palpitasi,termulousness.
Neuroglikop Lemah,lesu,dizziness,pusing,conf Cortical-
enik usion,perubahan sikap,gangguan blindness,hipotermia,kejang,
cognitive,pandangan koma.
kabur,diplopia.
Hipoglikemia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian terkait dengan derajat
keparahannya, yaitu:

20
- Hipoglikemia berat: pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk pemberian
karbohidrat, glucagon, atau resusitasi lainnya.
- Hipoglikemia simtomatik apabila GDS <70mg/dl disertai dengan gejala
hipoglikemia.
- Hipoglikemia asimptomatik apabila GDS <70mg/dl tanpa gejala hipoglikemia.
- Hipoglikemia relatif apabila GDS >70mg/dl dengan gejala hipoglikemia.
- Probable hipoglikemia apabila gejala hipoglikemia tanpa pemeriksaan GDS.

2. Komplikasi kronik
a) Makrongiopati
 Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner
 Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering terjadi pada penderita
DM. ulkus iskemik pada kaki merupakan kelainan yang dapat ditemukan pada
penderita.
 Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik.
b) Mikroangiopati
 Retinopati diabetik
 Nefropati diabetik
 Neuropati diabetik

KETOASIDOSIS DIABETIK (KAD)

1. Definisi

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik


yang ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisieni insulin absolut atau relatif (Soewondo et al,2009).

2. Epidemiologi

Data komunitas di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa insiden KAD sebesar 8/1000
pasien DM per tahun untuk semua kelompok umur, sedangkan untuk kelompok umur kurang

21
dari 30 tahun sebesar 13,4/1000 pasien DM per tahun. Angka kematian menjadi lebih tinggi
pada beberapa keadaan yang menyertai KAD, seperti sepsis, syok berat, infark miokard akut
yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa darah yang tinggi, uremia dan kadar keasaman
darah yang rendah (Soewondo et al,2009).

3. Patofisiologi

KAD ditandai oleh adanya hiperglikemi, asidosis, metabolik dan peningkatan


konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis merupakan akibat dari
kekurangan atau inefektifitas insulin yang terjadi bersamaan dengan peningkatan hormon
kontraregulator (glucagon, ketokolamin, kortisol dan growth hormon). Kedua hal tersebut
mengakibatkan perubahan produksi dan pengeluaran glukosa dan meningkatkan liposis dan
produksi benda keton. Hiperglikemia terjadi akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan
ginjal (gluconeogenesis dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada jaringan
perifer. Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya kadar substrat nonkarbohidrat
(alanin, laktat dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada ginjal) dan dari peningkatan
aktivitas enzim glukoneogenik (fosfoenol piruvat karboksilase/PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat
dan piruvat karboksilase). Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan patogenesis
utama yang bertanggung jawab terhadap keadaan hiperglikemia pada psien dengan KAD.

Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi menyebabkab diuresis
osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan penurunan glomerular filtration rate.
Keadaan yang terakhir akan memperburuk hiperglikemia. Pada hepar, asam lemak bebas
dioksidasi menjadi benda keton yang prosesnya distimulasi terutama oleh glukagon.
Peningkatan konsentrasi glukagon menurunkan kadar malonyl coenzyme A (Co A) dengan
cara menghambat konservasi piruvat menjadi acetyl Co A melalui inhibisi acetyl Co A
carboxylase, enzim pertama yang dihambat pada sintesis asam lemak bebas. Malonyl Co A
menghambat camitine palmitoyl transferase 1 (CPT 1), enzim untuk transesterifikasi dari
fatty acyl Co A menjadi ifatty acyl camitine, yng mengakibatkan oksidasi asam lemak
menjadi benda keton. CPT 1 diperlukan untuk perpindahan asam lemak bebas ke mitokondria
tempat dimana asam lemak teroksidasi. Peningkatan aktivitas fatty acyl Co A dan CPT 1 pada
KAD mengakibatkan peningkatan ketogenesis (Umpierrez GE et al,2002).

4. Faktor Pencetus

22
Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi dan diperkirakan sebagai pencetus
lebih dari 50% kasus KAD. Pada infeksi akan terjadi peningkatan sekresi kortisol dan
glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang bermakna.

Faktor lain yang juga diketahui sebagai pencetus KAD adalah trauma, kehamilan,
pembedahan dan stress psikologis. Infeksi yang paling sering mencetuskan KAD adalah
infeksi saluran kemih dan pneumonia. Pneumonia atau penyakit paru lainnya dapat
mempengaruhi oksigenasi dan mencetuskan gagal napas, sehingga harus selalu diperhatikan
sebagai keadaan yang serius dan akan menurunkan kompensasi respiratorik dari asidosis
metabolik (Van ZyIDG, 2008).

5. Diagnosis

Langkah pertama yang harus dilakukan pada pasien KAD terdiri dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama memperhatikan patensi jalan napas, status
mental, status ginjal dan kardiovaskular dan status hidrasi. Meskipun gejala DM yang tidak
terkontrol mungkin tampak dalam beberapa hari, perubahan metabolik yang khas untuk KAD
biasanya tampak dalam jangka waktu pendek (<24 jam). Umumnya penampakan berkembang
lebih akut dan pasien dapat tampak menjadi KAD tanpa gejala atau tanda KAD sebelumnya.
Gambaran klasik termasuk riwasyat poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan,
muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of sensoria, dan akhirnya koma. Pemeriksaan
klinis termasuk turgor kulit yang menurun, respirasikussmaul, takikardia, hipotensi,
perubahan status mental, syok dan koma. Lebih dari 25% pasien KAD menjadi muntah-
muntah yang tampak seperti kopi (Soewondo et al, 2009).

Tabel 7. Kriteria diagnosis KAD menurut American Diabetes Association

Parameter KAD
Ringan Sedang Berat
Gula darah (mg/dl) >250 >250 >250
pH arteri 7,25-7,30 7,00-7,24 <7,00
Serum 15-18 10- (<15) <10
bikarbonat/HCO3(mEq/I)
Keton urine + +
Keton serum + +
Osmolalitas serum efektif variabel Variabel Variabel
(mOsm/kg)
Anion gap >10 >12 >12

23
Perubahan sensorial atau mental alert Alert/drowsy Stupor/coma
obtundation
Catatan:
- pengukuran keton serum dan urine memakai metode reaksi nitroprusida
- Osmolalitas serum efektif (mOsm/kg) = 2x Na (mEq/I) + Glukosa
(mg/dl) 18
- Anion gap = Na – (Cl+HCO3) (mEq/I)

6. Penatalaksanaan

Keberhasilan penatalaksanaan KAD membutuhkan koreksi dehidrasi, hiperglikemia,


asidosis dan kelainan elektrolit, identifikasi faktor presipitasi komorbid dan yang terpenting
adalah pemantauan pasien terus menerus.

1. Terapi cairan

Hal penting pertama yang harus dipahami adalah penentuan defisit cairan yang
terjadi. Beratnya kekurangan cairan yang terjadi dipengaruhi oleh durasi hiperglikemia yang
terjadi, fungsi ginjal, dan intake cairan penderita.

Pemberian cairan harus dapat mengganti perkiraan kekurangan cairan dalam jangka
waktu 24 jam pertama. Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, cairan diganti atau
ditambahkan dengan cairan yang mengandung dextrose seperti (dextrose 5%, dextrose 5%
pada NaCl 0,9% atau dextrose 5% pada NaCl 0,45%) untuk menghindari hipoglikemia dan
mengurangi kemungkinan edema serebral akibat penurunan gula darah yang terlalu cepat
(McPhee et al,2010).

Tabel 8. Perkiraan jumlah total defisit air dan elektrolit pada pasien KAD

No Perkiraan jumlah defisit Nilai


1. Total air (liter) 6
2. Air (ml/kg) 100
3. Na+ (mEq/kg) 7-10
4. Cl- (mEq/kg) 3-5
5. K+ (mEq/kg) 3-5

24
6. PO4- (mmol/kg) 5-7
+
7. Mg2 (mEq/kg) 1-2
+
8. Ca2 (mEq/kg) 1-2
Hal ini bisa diperkirakan dengan pemeriksaan klinis atau dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:

Fluit deficit = (0,6 x BB/kg) x (corrected Na/140)

Corrected Na = Na+ (kadar gula darah)

2. Terapi Insulin

Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang
memadai. Sumber lain menyebutkan pemberian insulin dimulai setelah diagnosis KAD
ditegakklah dimulai dan pemberian cairan telah dimulai. Pemakaian insulin akan menurunkan
kadar hormon glucagon, sehinnga menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam
lemak bebas dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Sejak
pertengahan tahun 1970-an protokol pengelolaan KAD dengan drip insulin intravena dosis
rendah mulai digunakan dan menjadi popular.

Cara ini dianjurkan karena lebih mudah mengontrol dosis insulin, menurunkan kadar
glukosa darah lebih lambat, efek insulin cepat menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih
lambat, komplikasi hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit. Pemberian insulin dengan
infus intravena dosis rendah adalah terapi pilihan pada KAD yang disebutkan oleh beberapa
literatur, sedangkan ADA menganjurkan insulin intravena tidak diberikan pada KAD derajat
ringan (Sudoyo et al, 2009).

Jika tidak terdapat hipokalemia (K < 3,3mEq/l), dapat diberikan insulin regular 0,15
u/kgBB, diikuti dengan infus kontinu 0,1 u/kgBB/jam (5-7 u/jam). Jika kadar kalium < 3,3
mEq/l, maka harus dikoreksi dahulu untuk mencegah perburukan hipokalemia yang akan
dapat mengakibatkan aritmia jantung.6,12 Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula
darah dengan kecepatan 50-75mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosislebih tinggi.
Jika gula darah tidak menurun sebesar 50 mg/dl dari nilai awal pada jam pertama, periksa
status hidrasi pasien. Jika status hidrasi mencukupi, infus insulin dapat dinaikkan 2 kali lipat
setiap jam sampai tercapai penurunan gula darah konstan antara 50-75 mg/dl/jam. Ketika
kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, turunkan infus insulin menjadi 0,05-0,1 u/kgBB/jam
(3-6 u/jam), dan tambahkan infus dextrose 5-10%.

25
Kriteria resolusi KAD diantaranya adalah kadar gula darah < 200 mg/dl, serum
bikarbonat 18 mEq/l, pH vena > 7,3 dan anion gap 12 mEq/l. Saat ini, jika pasien NPO,
lanjutkan insulin intravena dan pemberian cairan dan ditambah dengan insulin regular
subkutan sesuai keperluan setiap 4 jam. Pada pasien dewasa dapat diberikan 5 iu insulin
tambahan setiap kenaikan gula darah 50 mg/dl pada gula darah di atas 150 mg/dl dan dapat
ditingkatkan 20 iu untuk gula darah 300 mg/dl. Ketika pasien dapat makan, jadwal dosis
multipel harus dimulai dengan memakai kombinasi dosis short atau rapid acting insulin dan
intermediate atau long acting insulin sesuai kebutuhan untuk mengontrol glukosa darah.
Lebih mudah untuk melakukan transisi ini dengan pemberian insulin saat pagi
sebelum makan atau saat makan malam. Teruskan insulin intravena selama 1-2 jam setelah
pergantian regimen dimulai untuk memastikan kadar insulin plasma yang adekuat.
Penghentian insulin tiba-tiba disertai dengan pemberian insulin subkutan yang terlambat
dapat mengakibatkan kontrol yang buruk, sehingga diperlukan sedikit overlapping pemberian
insulin intravena dan subkutan.
Pasien yang diketahui diabetes sebelumnya dapat diberikan insulin dengan dosis yang
diberikan sebelum timbulnya KAD dan selanjutnya disesuaikan seperlunya. Pada pasien DM
yang baru, insulin awal hendaknya 0,5-1,0 u/kgBB/hari, diberikan terbagi menjadi
sekurangnya 2 dosis dalam regimen yang termasuk short dan long acting insulin sampai
dosis optimal tercapai, dua pertiga dosis harian ini diberikan pagi hari dan sepertiganya
diberikan sore hari sebagai split-mixed dose (ADA, 2014).

3. Natrium
Penderita dengan KAD kadang-kadang mempunyai kadar natrium serum yang rendah,
oleh karena level gula darah yang tinggi. Untuk tiap peningkatan gula darah 100 mg/dl di atas
100 mg/dl maka kadar natrium diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar yang
diukur. Hiponatremia memerlukan koreksi jika level natrium masih rendah setelah
penyesuaian efek ini. Contoh, pada orang dengan kadar gula darah 600 mg/dl dan level
natrium yang diukur 130, maka level natrium yang sebenarnya sebesar 130 + (1,6 x 5) = 138,
sehingga tidak memerlukan koreksi dan hanya memerlukan pemberian cairan normal saline
(NaCl 0,9%). Sebaliknya kadar natrium dapat meningkat setelah dilakukan resusitasi cairan
dengan normal saline oleh karena normal saline memiliki kadar natrium lebih tinggi dari
kadar natrium ekstraselular saat itu disamping oleh karena air tanpa natrium akan berpindah
ke intraselular sehingga akan meningkatkan kadar natrium8. Serum natrium yang lebih tinggi
daripada 150 mEq/l memerlukan koreksi dengan NaCl 0,45% (ADA, 2014).

26
4. Kalium
Meskipun terdapat kekurangan kalium secara total dalam tubuh (sampai 3-5
mEq/kgBB), hiperkalemia ringan sampai sedang seringkali cairan fisiologis dan diberikan
dengan kecepatan 200 ml/jam. Natrium bikarbonat tidak diperlukan jika pH > 7,0.7,15
Sebagaimana natrium bikarbonat, insulin menurunkan kadar kalium serum, oleh karena itu
pemberian kalium harus terus diberikan secara intravena dan dimonitor secara berkala.
Setelah itu pH darah vena diperiksa setiap 2 jam sampai pH menjadi 7,0, dan terapi harus
diulangi setiap 2 jam jika perlu (ADA, 2014).

5. Tatalaksana terhadap infeksi


Antibiotika diberikan sesuai dengan indikasi, terutama terhadap faktor pencetus
terjadinya KAD. Jika faktor pencetus infeksi belum dapat ditemukan, maka antibiotika yang
dipilih adalah antibiotika spektrum luas.

27
BAB 3
KESIMPULAN

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.
Klasifikasi diabetes mellitus (DM), yaitu:
1. Diabetes mellitus (DM) tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 adalah diabetes mellitus yang tergantung insulin (insulin-
dependent diabetes mellitus) adalah gangguan autoimun di mana terjadi penghancuran sel-sel
β-pankreas penghasil insulin.

2. Diabetes mellitus (DM) tipe 2


Pada diabetes mellitus tipe 2, tubuh tidak mampu membuat cukup banyak insulin atau
bisa juga walau ada cukup insulin, tubuh bermasalah dalam menggunakan insulin (resistensi
insulin), atau dua-duanya.

3. Diabetes mellitus (DM) Gestasional


Sebagian besar wanita yang mengalami diabetes saat hamil memiliki homeostasis
glukosa yang normal pada trisemester pertama kehamilan dan berkembang menjadi defisiensi
insulin relative selama trisemester kedua, sehingga terjadi hiperglikemia.

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.


Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
c. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya.

28
d. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria,
serta pruritus vulva pada wanita.

Tabel 2.Kriteria Diagnosis DM

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
1. Obat Antihiperglikemia Oral
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
- Sulfonilurea
- Glinid
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
- Metformin
- Tiazolidindion (TZD)
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan
- Penghambat Alfa Glukosidase.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
2. Obat Antihiperglikemia Suntik
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi insulin
dan agonis GLP-1.
a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
- HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Krisis Hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
- Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
29
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
- Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Jenis dan Lama Kerja Insulin


Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :
- Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
- Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
- Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin)
- Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
- Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat dengan
menengah (Premixed insulin)
Jenis dan lama kerja masing-masing insulin dapat dilihat pada tabel 6.
- Efek samping terapi insulin
- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia
- Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian komplikasi akut DM
- Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik


yang ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisieni insulin absolut atau relatif.
Diagnosis pada pasien KAD terdiri dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat
dan teliti terutama memperhatikan patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan
kardiovaskular dan status hidrasi. Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin
tampak dalam beberapa hari, perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasanya tampak
dalam jangka waktu pendek (<24 jam). Umumnya penampakan berkembang lebih akut dan
pasien dapat tampak menjadi KAD tanpa gejala atau tanda KAD sebelumnya. Gambaran
klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan, muntah,
sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of sensoria, dan akhirny koma. Pemeriksaan klinis
termasuk turgor kulit yang menurun, respirasikussmaul, takikardia, hipotensi, perubahan
status mental, syok dan koma. Lebih dari 25% pasien KAD menjadi muntah-muntah yang
tampak seperti kopi.

30
Daftar Pustaka

1. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.

2. American Diabetes Association. Hyperglycemic crisis in diabetes. Diabetes Care


2014;27(1):94-102.

3. Masharani U. Diabetic ketoacidosis. In: McPhee SJ, Papadakis MA, editors.


Lange current medical diagnosis and treatment. 49th ed. New York: Lange;
2010.p.1111-5.

4. Van ZyIDG. Diagnosis and Treatment of diabetic ketoacidosis. SA Farm Prac


2010; 50:39-49.

5. Umpierrez GE, Murphy Mb, Kitabachi AE, Diabetic ketoacidosis and


hyperglycemic hyperosmolar syndrome. Diabetes Spectrum 2012;15(1):28-35

6. Soelistijo SA.dr. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes mellitus Dm


tipe 2 di Indonesia.2015.

7. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. 2014. Lecture Notes Kedokteran Klinis.


Jakarta Penerbit Erlangga.

8. Gustaviani, R. 2014. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus. In:Sudoyo,


AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed: 6. Jilid: 3. Jakarta:FKUI.

31
9. Waspadji, S. 2009. Mekanisme terjadinya, Diagnosis dan Strategi Pengelolaan.
In:Sudoyo, AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed: 5. Jilid: 3. Jakarta: FKUI.

10. Tjokroprawiro, Askandar. 2015. Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga


University Press

11. Guyton, A. C., Hall, J, E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta: EGC, 1022

12. Pranoto A. 2015. Diabetes Mellitus. In: Tjokroprawiro A: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Surabaya: Surabaya: Airlangga University Press.

13. Sidartawan,S. 2013. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus Terkini.


Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. 2 ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

14. Price, SA., & Wilson, L.M. (2009). Patofisiologi Konsep Klinis proses penyakit,
edisi 6. Jakarta: EGC

15. Hendromartono. 2009. Nefropati diabetik. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

32

Anda mungkin juga menyukai