TINJAUAN PUSTAKA
3
β-pankreas penghasil insulin. Pasien biasanya berusia dibawah 30 tahun, mengalami onset
akut penyakit ini, tergantung pada terapi insulin, dan cenderung lebih mudah mengalami
ketosis (Rubenstein, Wayne, Bradley, 2014).
Pada kelompok besar diabetes melitus tipe 1 terdapat hubungan dengan HLA (Human
Leukosit Antigen) tertentu pada kromosom 6 dan beberapa autoimunitas serologik dan cell-
mediated. Infeksi virus sebelum onset juga berhubungan dengan patogenesis diabetes
(Gustaviani, 2014).
2. Diabetes mellitus tipe 2
Meliputi 90% pasien yang menyandang diabetes. Pasien diabetes khasnya menderita
obesitas, dewasa dengan usia lebih tua dengan gejala ringan sehingga penegakan diagnosis
bisa saja baru dilakukan pada stadium penyakit yang sudah lanjut, seringkali setelah
ditemukannya komplikasi seperti retinopati atau penyakit kardiovaskular. Walaupun pada
awalnya bisa dikendalikan dengan diet dan obat hipoglikemik oral, banyak pasien akhirnya
memerlukan insulin tambahan, sehingga menjadi penyandang diabetes tipe 2 yang
membutuhkan insulin (Rubenstein, Wayne, Bradley, 2014).
Pada diabetes mellitus tipe 2, tubuh tidak mampu membuat cukup banyak insulin atau
bisa juga walau ada cukup insulin, tubuh bermasalah dalam menggunakan insulin (resistensi
insulin), atau dua-duanya (Waspadji et al, 2009).
Kelompok besar diabetes melitus tipe 2 tidak mempunyai hubungan dengan HLA,
virus atau autoimunitas dan biasanya masih mempunyai sel beta yang masih berfungsi, sering
memerlukan insulin tetapi tidak bergantung insulin seumur hidup (Gustaviani, 2014).
3. Diabetes gestasional
Sebagian besar wanita yang mengalami diabetes saat hamil memiliki homeostasis
glukosa yang normal pada trisemester pertama kehamilan dan berkembang menjadi defisiensi
insulin relative selama trisemester kedua, sehingga terjadi hiperglikemia. Hiperglikemia
menghilang pada sebagian besar wanita setelah melahirkan, namun memilki peningkatan
risiko menyandang diabetes tipe 2 (Rubenstein, Wayne, Bradley, 2014).
4
Hubungan yang erat antara berbagai jenis sel yang terdapat dalam pulau langerhans
menyebabkan timbulnya pengaturan secara langsung sekresi beberapa jenis hormon oleh
hormon lain. Contohnya, insulin menghambat sekresi glucagon, dan somastotatin
menghambat sekresi hormon insulin dan glucagon (Guyton, 2014).
Secara historis, insulin dihubungkan dengan “gula darah” dan ternyata insulin sangat
berpengaruh terhadap metabolisme karbohidrat. Namun, kematian pada pasien diabetes
terutama kelainan metabolisme lemak, yang menyebabkan keadaan seperti asidosis dan
asterosklerosis. Pada penderita yang mengidap diabetes dalam jangka waktu yang lama,
adanya ketidakmampuan untuk mensintesis protein akan menyebabkan pemborosan jaringan
mirip dengan sebagian besar kelainan fungsi sel (Guyton, 2014).
Insulin disintesis oleh sel-sel beta dengan cara yang mirip dengan sintesis protein
yang biasanya dipakai oleh sel, yakni dimulai dengan pembentukan RNA (Ribonucleic Acid)
insulin oleh ribosom yang melekat pada retikulum endoplasma sehingga terbentuk
preprohormon insulin. Sebagian besar proinsulin ini lalu melekat erat pada alat golgi untuk
membentuk insulin sebelum terbungkus dalam granula sekretorik (Guyton, 2014).
Pada orang dewasa sehat tanpa DM, sekresi insulin oleh sel beta pankreas terjadi
secara kontinu dalam jumlah kecil yang disebut dengan insulin basal. Sekresi insulin basal ini
bervariasi antara 0,5 sampai 1 unit perjam. Sekresi insulin juga terjadi pada saat makan,
dimana influks glukosa post-prandial akan merangsang pelepasan insulin dalam 2 fase. Fase
pertama pelepasan insulin berakhir dalam waktu 10 menit dan berefek menekan produksi
glukosa hepar serta mencetuskan pelepasan insulin fase 2 yang berlangsung dalam waktu 2
jam dan cukup memenuhi pemasukan karbohidrat pada saat makan (Pranoto, 2015).
Sewaktu insulin disekresikan ke dalam darah, hampir seluruhnya beredar dalam
bentuk yang tak terikat, waktu paruhnya dalam plasma hanya kira-kira 6 menit lamanya
sehingga dalam waktu 10 menit sampai 15 menit akan dibersihkan dari sirkulasi. Kecuali
sebagian insulin yang berikatan dengan reseptor yang ada pada sel target, insulin yang tersisa
di dalam hati akan dipecah dan sebagian kecil dipecah dalam ginjal. Pembuangan dari plasma
yang cepat ini penting sebab pada suatu saat berguna untuk mengatur fungsi sebaliknya dari
insulin (Guyton, 2014).
Untuk memulai efeknya pada sel target, mula-mula insulin berikatan dengan reseptor
protein yang terdapat pada membrane yang mempunyai berat molekul kira-kira 300.000.
Insulin ini selanjutnya mengaktifkan reseptor yang dapat memicu timbulnya efek insulin,
namun setelah ini mekanisme molecular dalam sel tidak jelas. Reseptor yang sudah
diaktifkan akan sedikit mengaktifkan system siklik AMP(Adenosin Mono Phospat) dari sel,
5
yang diduga selanjutnya akan bekerja sebagai kurir kedua yang akan meningkatkan beberapa
efek insulin (Guyton, 2014).
Sesudah makan makanan tinggi karbohidrat, glukosa yang diabsorbsi darah
menyebabkan timbulnya sekresi insulin yang cepat. Insulin sebaliknya menyebabkan
timbulnya pemasukan yang cepat, penyimpanan, dan penggunaan glukosa oleh sebagian
besar jaringan tubuh, namun khususnya oleh hati, otot, dan jaringan lemak (Guyton, 2014).
Pada nilai normal glukosa darah waktu puasa sebesar 80 sampai 90 mg/dl, maka
kecepatan sekresi insulin minimum yakni 25 kg berat badan. Bila kosentrasi glukosa dalam
darah meningkat dua sampai tiga kali dari kadar normal dan bila untuk selanjutnya kadar
glukosa ini dipertahankan pada kadar atau nilai ini, maka sekresi akan meningkat (Guyton,
2014).
2.5 Patofisiologi Diabetes Mellitus
a. Diabetes Melitus Tergantung Insulin (DMTI)
Diabetes melitus tergantung insulin (DMTI) adalah penyakit autoimun yang
ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju pada proses
bertahap perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Bukti determinan genetic
dari DMTI adalah adanya kaitan dengan histokompatibilitas (HLA) spesifik. Tipe dari gen
histokompatabilitas yang berkaitan dengan DMTI adalah (DW3 dan DW4) adalah gen yang
memberikan kode kepada protein-protein yang berperanan penting dalam interaksi monosit-
limfosit. Jika terjadi kelainan, fungsi limfosit-T yang terganggu akan berperanan penting
dalam pathogenesis perusakan sel-sel pulau langerhans (Price & Wilson, 2009).
b. Diabetes Melitus Tak Tergantung Insulin (DMTTI)
Pasien diabetes mellitus tak tergantung insulin (DMTTI), mempunyai pola familial
yang kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan dalam sekresi insuslin maupun dalam kerja
insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin.
Insulin mula-mula mengangkat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu,
kemudian terjadi reaksi intraselular yang meningkatkan transport glukosa menembus
membrane sel.Pada pasien-pasien dengan DMTTI terdapat kelainan dalam pengikatan insulin
dengan reseptor. Ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang
responsife insulin pada membrane sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara
kompeks reseptor insulin dengan system transport glukosa (Price & Wilson, 2009).
Sekitar 80% pasien DMTTI mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan
resistensi insulin, maka kemungkinan besar gangguan toleransi glukosa dan diabetes melitus
6
yang pada akhirnya terjadi pada pasien DMTTI merupakan akibat dari obesitasnya (Price &
Wilson, 2009).
Pasien dengan diabetes tipe 2 umumnya juga mengalami gangguan aksi insulin
(resistensi insulin) pada sel-sel target. Gangguan fungsi sekresi insulin dapat bermanifestasi
melalui mekanisme hilangnya respons insulin tahap pertama sehingga sekresi insulin
terlambat dan gagal untuk mengembalikan lonjakan gula darah prandial pada waktu yang
normal, penurunan sensitivitas insulin dan penurunan kapasistas sekresi insulin terjadi secara
progresif (Pranoto, 2015).
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan
ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT) dan
glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
7
1. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa
antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
2. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam setelah
TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
3. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
4. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang
menunjukkan angka 5,7-6,4%.
Tabel 3. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan
prediabetes.
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan (dengan karbohidrat yang
cukup) dan melakukan kegiatan jasmani seperti kebiasaan sehari-hari.
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum
air putih tanpa glukosa tetap diperbolehkan .
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.
8
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m2) yang
disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam
keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4
kg atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk
hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
Catatan: Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan diulang
tiap 1 tahun.
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan
TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus diperhatikan
adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler
seperti pada tabel-6 di bawah ini.
9
Kadar Darah kapiler <90 90-99 ≥100
glukosa
darah
puasa
(mg/dl)
10
[NYHA FC III-IV]. Efek samping yang mungkin berupa gangguan saluran pencernaan
seperti halnya gejala dispepsia.
- Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot,
lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa
di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat
memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan
perlu pemantauan faal hati secara
berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.
11
SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin,
Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja mendapat approvable letter dari Badan
POM RI pada bulan Mei 2015.
12
- Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin
13
lispro, 25% menit
lispro)
70/30
NovomixR
(70%
protamine
aspart, 30%
aspart)
50/50 Premix
14
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian
15
- Insulin subkutan dengan rotasi rasional
1. Jangan memberi cairan yang mengandung karbohidrat apabila kadar glukosa masih di atas
250 mg/d. Pasanglah infus Ringer Laktat atau NaCl 0,9% dengan kecepatan 15-20 tts/menit
(bila bukan ketoasidosis KAD); apabila KAD, maka tetesan harus cepat.
2. Berikan InsuLin Reguler Intravena a 4 (empat) unit tiap jam sampai kadar glukosa darah
200 sekitar mg/dl atau reduksi urine positif lemah
3. Cara RCI: dengan dosis insulin reguler 4 unit/ intravena, dapat menurunkan glukosa darah
sekitar 50-75 mg/dl setiap jamnya Contoh: Pada glukosa darah 450 mg/dl, berikan insulin
reguler intra vena 4 unit/jam, sampai 3 kali (Rumus minus-Satu), maka akan memperoleh
glukosa darah sekitar 200 mg/dl. Angka 3 kali diperoleh dari: 4 dikurangi satu (Rumus
Minus- Satu). Angka 4 berasal dari 450
4. Apabila kadar glukosa tersebut sudah tercapai maka insulin reguler dapat diteruskan
secara subkutan dengan interval 8 jam dengan dosis 3 x 8 U (Rumus Kali-Dua). Angka 8
berasal dari 4 x 2 (Rumus Kali-Dua). Sedangkan angka 4 ber asal dari 450 mg/dl.
5. Glukosa 150 mg/di juga dapat mengikuti Rumus 1,2,3,4,5 untuk Regulasinya, dan dapat
menggunakan rumus 4,6,8,10,12 untuk maintenence subkutan.
Indikasi RCI dan RCS pada umumnya adalah untuk kasus-kasus yang memerlukan
kadar glukosa darah harus segera diturunkan, bahkan pada DM kasus biasa (non-darurat)
yang dirawat-inap. misalnya: penderita dengan DM-sepsis pro operasi (gangren, kolesistitis,
batu ginjal, dan lain-lain), DM dengan GDPO (Stroke-CVA), DM pro-amputasi, DM dan
Infark Miokard Akut, semua DM rawat-inap dengan glukosa darah 250 mg/dl (agar NPE
dapat dimulai) (Tjokoprawiro et al, 2015)
16
2.11 Pemantauan Hasil Terapi
Walapun insulin merupakan terapi yang paling efektif dalam menurunkan glukosa
darah, hanya separuh dari penderita dengan terapi insulin yang mencapai A1C < 7%.
Keberhasilan terapi insulin memerlukan dosis titrasi yang cukup dan tepat waktu.
Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DMT2 harus dipantau dengan terencana
dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
yang dapat dilakukan adalah: (Tjokoprawiro et al, 2015)
Untuk penyesuaian dosis perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa,
maupun glukosa darah 2 jam post prandial, atau glukosa darah pada waktu yang lain secara
berkala sesuai kebutuhan
2. Pemeriksaan AlC.
Cara ini digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya.
Pemeriksaan ini dianjurkan 2 kali setahun. Pemeriksaan AlC merupakan gold standard untuk
menilai kontrol glikemik. AIC merupakan hasil dari kenaikan glukosa puasa dan poast
prandial Kontribusi glukosa post-prandial dan puasa tergantung pada tingkat A1C. Semakin
rendah AlC, semakin besar kontribusi glukosa postprandial; semakin tinggi AlC, semakin
besar kontribusi glukosa puasa. Diperlukan pengendalian glukosa puasa dan postprandial
untuk mencapai target AIC.
17
Pengukuran ini memberikan penilaian yang tidak langsung dan kurang akurat.
Ekskresi glukosa renal rata-rata 180 mg/dL., namun dapat bervariasi. hiperglikemia. Glukosa
urin normal tidak dapat membedakan hipoglikemia, euglikemia, atau hiperglikemia sedang.
Pemantauan benda keton darah atau urin cukup penting terutama pada penderita
DMT2 terkendali buruk (kadar glukosa >300 mg/dL) dan dengan penyulit akut serta bila ada
gejala KAD.
Indikasi :
operatif)
Infeksi Sistemik Strategi untuk mencari dosis yang tepat
18
Gambar 1. Protokol Terapi Insulin Intravena
Masa kerja atau waktu paruh pemberian insulin intravena secara bolus sangat cepat
sekitar 4 sampai Sebagai 5 menit, meskipun efek pada jaringan lebih lambat, tetesan dan
umumnya setelah 45 menit glukosa darah bisa kembali ke kadar sebelumnya. Mengingat
pemberian bolus intravena berulang tidak bisa mempertahankan kadar insulin darah dalam
jumlah adekuat, umumnya penggunaan bolus intravena harus diikuti dengan infus insulin
untuk rumatan.(Tjokoprawiro et al, 2015)
Protokol ini dimulai dengan tahap persiapan. yaitu dengan memberikan infus D5%
100 cc Kemudian bila terdapat fasilitas syringe pump, siapkan 50 unit insulin reguler (RI)
dalam spuit ukuran 50cc. Kemudian diencerkan dengan larutan NaCl 0.9% hingga mencapai
50 cc (1 cc NaCI 1 unit RI). Bila diperlukan 1,5 unit insulin per jam misalnya, petugas tinggal
mengatur kecepatan tetesan 1,5 cc per jam. Atau bisa juga diberikan 125 RI dalam 250ml
larutan NaCl 0,9% yang berarti dalam tiap 2 cc NaCl=1 unit RI.(Tjokoprawiro et al, 2015)
Bila tidak tersedia syringe pump, dapat digunakan botol infus 500 cc larutan NaCl
0,9%. Masukkan 12 unit (bisa juga 6 unit atau berapapun, karena nantinya akan
diperhitungkan dalam tetesan) RI ke dalam botol infus 500 cc larutan NaCl 0,9%. Bila
dibutuhkan 1 unit insulin per jam, maka dalam botol infus yang berisis 12 unit RI, diatur
kecepatan tetesan 12 jam per botol, sehingga 12 unit RI akan habis selama 12 jam. Bila
dibutuhkan 2 unit per jam, kecepatan tetesan infus diatur menjadi 6 jam/botol karena 12 unit
RI akan habis dalam 6 jam, demikian seterusnya, tetesan diatur sesuai permintaan. Sebagai
patokan tetesan, 1 cc cairan infus 20 tetesan makro 60 tetesan mikro (Tjokoprawiro et al,
2015)
2.13 Komplikasi
Komplikasi diabetes secara umum terdiri dari dua jenis komplikasi yaitu komplikasi
jangka pendek (komplikasi akut) dan komplikasi jangka panjang (komplikasi kronik).
Komplikasi akut adalah komplikasi yang dapat terjadi pada setiap saat sedangkan komplikasi
19
kronik biasanya lebih serius terutama karena terjadi jangka panjang, kurang disadari oleh
penyandang diabetes sehingga sering terlambat diagnosis (Waspadji, 2009)
1. Komplikasi akut
Krisis Hiperglikemia
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl), disertai dengan tanda dan
gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ml)
dan terjadi peningkatan anion gap.
Status Hiperglikemia Hiperosmolar (SHH) adalah suatu keadaan dimana terjadi
peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dl), tanpa tanda dan gejala asidosis,
osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/ml), plasma keton (+/-), anion gap
normal atau sedikit meningkat.
Kedua keadaan tersebut mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi,
sehingga memerlukan peraatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang
memadai (Soelistijo, 2015).
Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 70mg/dl.
Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa
adanya gejala-gejala sistem otonom, seperti adanya whipple’s triad:
- Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
- Kadar glukosa darah yang rendah
- Gejala berkurang dnegan pengobatan.
Tanda dan gejala Hipoglikemia pada orang dewasa, adalah:
Tanda Gejala
Autonomik Rasa Pucat,takikardia,widened
lapar,berkeringat,gelisah,paresthes pulse pressure.
ia,palpitasi,termulousness.
Neuroglikop Lemah,lesu,dizziness,pusing,conf Cortical-
enik usion,perubahan sikap,gangguan blindness,hipotermia,kejang,
cognitive,pandangan koma.
kabur,diplopia.
Hipoglikemia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian terkait dengan derajat
keparahannya, yaitu:
20
- Hipoglikemia berat: pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk pemberian
karbohidrat, glucagon, atau resusitasi lainnya.
- Hipoglikemia simtomatik apabila GDS <70mg/dl disertai dengan gejala
hipoglikemia.
- Hipoglikemia asimptomatik apabila GDS <70mg/dl tanpa gejala hipoglikemia.
- Hipoglikemia relatif apabila GDS >70mg/dl dengan gejala hipoglikemia.
- Probable hipoglikemia apabila gejala hipoglikemia tanpa pemeriksaan GDS.
2. Komplikasi kronik
a) Makrongiopati
Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner
Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering terjadi pada penderita
DM. ulkus iskemik pada kaki merupakan kelainan yang dapat ditemukan pada
penderita.
Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik.
b) Mikroangiopati
Retinopati diabetik
Nefropati diabetik
Neuropati diabetik
1. Definisi
2. Epidemiologi
Data komunitas di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa insiden KAD sebesar 8/1000
pasien DM per tahun untuk semua kelompok umur, sedangkan untuk kelompok umur kurang
21
dari 30 tahun sebesar 13,4/1000 pasien DM per tahun. Angka kematian menjadi lebih tinggi
pada beberapa keadaan yang menyertai KAD, seperti sepsis, syok berat, infark miokard akut
yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa darah yang tinggi, uremia dan kadar keasaman
darah yang rendah (Soewondo et al,2009).
3. Patofisiologi
Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi menyebabkab diuresis
osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan penurunan glomerular filtration rate.
Keadaan yang terakhir akan memperburuk hiperglikemia. Pada hepar, asam lemak bebas
dioksidasi menjadi benda keton yang prosesnya distimulasi terutama oleh glukagon.
Peningkatan konsentrasi glukagon menurunkan kadar malonyl coenzyme A (Co A) dengan
cara menghambat konservasi piruvat menjadi acetyl Co A melalui inhibisi acetyl Co A
carboxylase, enzim pertama yang dihambat pada sintesis asam lemak bebas. Malonyl Co A
menghambat camitine palmitoyl transferase 1 (CPT 1), enzim untuk transesterifikasi dari
fatty acyl Co A menjadi ifatty acyl camitine, yng mengakibatkan oksidasi asam lemak
menjadi benda keton. CPT 1 diperlukan untuk perpindahan asam lemak bebas ke mitokondria
tempat dimana asam lemak teroksidasi. Peningkatan aktivitas fatty acyl Co A dan CPT 1 pada
KAD mengakibatkan peningkatan ketogenesis (Umpierrez GE et al,2002).
4. Faktor Pencetus
22
Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi dan diperkirakan sebagai pencetus
lebih dari 50% kasus KAD. Pada infeksi akan terjadi peningkatan sekresi kortisol dan
glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang bermakna.
Faktor lain yang juga diketahui sebagai pencetus KAD adalah trauma, kehamilan,
pembedahan dan stress psikologis. Infeksi yang paling sering mencetuskan KAD adalah
infeksi saluran kemih dan pneumonia. Pneumonia atau penyakit paru lainnya dapat
mempengaruhi oksigenasi dan mencetuskan gagal napas, sehingga harus selalu diperhatikan
sebagai keadaan yang serius dan akan menurunkan kompensasi respiratorik dari asidosis
metabolik (Van ZyIDG, 2008).
5. Diagnosis
Langkah pertama yang harus dilakukan pada pasien KAD terdiri dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama memperhatikan patensi jalan napas, status
mental, status ginjal dan kardiovaskular dan status hidrasi. Meskipun gejala DM yang tidak
terkontrol mungkin tampak dalam beberapa hari, perubahan metabolik yang khas untuk KAD
biasanya tampak dalam jangka waktu pendek (<24 jam). Umumnya penampakan berkembang
lebih akut dan pasien dapat tampak menjadi KAD tanpa gejala atau tanda KAD sebelumnya.
Gambaran klasik termasuk riwasyat poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan,
muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of sensoria, dan akhirnya koma. Pemeriksaan
klinis termasuk turgor kulit yang menurun, respirasikussmaul, takikardia, hipotensi,
perubahan status mental, syok dan koma. Lebih dari 25% pasien KAD menjadi muntah-
muntah yang tampak seperti kopi (Soewondo et al, 2009).
Parameter KAD
Ringan Sedang Berat
Gula darah (mg/dl) >250 >250 >250
pH arteri 7,25-7,30 7,00-7,24 <7,00
Serum 15-18 10- (<15) <10
bikarbonat/HCO3(mEq/I)
Keton urine + +
Keton serum + +
Osmolalitas serum efektif variabel Variabel Variabel
(mOsm/kg)
Anion gap >10 >12 >12
23
Perubahan sensorial atau mental alert Alert/drowsy Stupor/coma
obtundation
Catatan:
- pengukuran keton serum dan urine memakai metode reaksi nitroprusida
- Osmolalitas serum efektif (mOsm/kg) = 2x Na (mEq/I) + Glukosa
(mg/dl) 18
- Anion gap = Na – (Cl+HCO3) (mEq/I)
6. Penatalaksanaan
1. Terapi cairan
Hal penting pertama yang harus dipahami adalah penentuan defisit cairan yang
terjadi. Beratnya kekurangan cairan yang terjadi dipengaruhi oleh durasi hiperglikemia yang
terjadi, fungsi ginjal, dan intake cairan penderita.
Pemberian cairan harus dapat mengganti perkiraan kekurangan cairan dalam jangka
waktu 24 jam pertama. Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, cairan diganti atau
ditambahkan dengan cairan yang mengandung dextrose seperti (dextrose 5%, dextrose 5%
pada NaCl 0,9% atau dextrose 5% pada NaCl 0,45%) untuk menghindari hipoglikemia dan
mengurangi kemungkinan edema serebral akibat penurunan gula darah yang terlalu cepat
(McPhee et al,2010).
Tabel 8. Perkiraan jumlah total defisit air dan elektrolit pada pasien KAD
24
6. PO4- (mmol/kg) 5-7
+
7. Mg2 (mEq/kg) 1-2
+
8. Ca2 (mEq/kg) 1-2
Hal ini bisa diperkirakan dengan pemeriksaan klinis atau dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
2. Terapi Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang
memadai. Sumber lain menyebutkan pemberian insulin dimulai setelah diagnosis KAD
ditegakklah dimulai dan pemberian cairan telah dimulai. Pemakaian insulin akan menurunkan
kadar hormon glucagon, sehinnga menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam
lemak bebas dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Sejak
pertengahan tahun 1970-an protokol pengelolaan KAD dengan drip insulin intravena dosis
rendah mulai digunakan dan menjadi popular.
Cara ini dianjurkan karena lebih mudah mengontrol dosis insulin, menurunkan kadar
glukosa darah lebih lambat, efek insulin cepat menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih
lambat, komplikasi hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit. Pemberian insulin dengan
infus intravena dosis rendah adalah terapi pilihan pada KAD yang disebutkan oleh beberapa
literatur, sedangkan ADA menganjurkan insulin intravena tidak diberikan pada KAD derajat
ringan (Sudoyo et al, 2009).
Jika tidak terdapat hipokalemia (K < 3,3mEq/l), dapat diberikan insulin regular 0,15
u/kgBB, diikuti dengan infus kontinu 0,1 u/kgBB/jam (5-7 u/jam). Jika kadar kalium < 3,3
mEq/l, maka harus dikoreksi dahulu untuk mencegah perburukan hipokalemia yang akan
dapat mengakibatkan aritmia jantung.6,12 Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula
darah dengan kecepatan 50-75mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosislebih tinggi.
Jika gula darah tidak menurun sebesar 50 mg/dl dari nilai awal pada jam pertama, periksa
status hidrasi pasien. Jika status hidrasi mencukupi, infus insulin dapat dinaikkan 2 kali lipat
setiap jam sampai tercapai penurunan gula darah konstan antara 50-75 mg/dl/jam. Ketika
kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, turunkan infus insulin menjadi 0,05-0,1 u/kgBB/jam
(3-6 u/jam), dan tambahkan infus dextrose 5-10%.
25
Kriteria resolusi KAD diantaranya adalah kadar gula darah < 200 mg/dl, serum
bikarbonat 18 mEq/l, pH vena > 7,3 dan anion gap 12 mEq/l. Saat ini, jika pasien NPO,
lanjutkan insulin intravena dan pemberian cairan dan ditambah dengan insulin regular
subkutan sesuai keperluan setiap 4 jam. Pada pasien dewasa dapat diberikan 5 iu insulin
tambahan setiap kenaikan gula darah 50 mg/dl pada gula darah di atas 150 mg/dl dan dapat
ditingkatkan 20 iu untuk gula darah 300 mg/dl. Ketika pasien dapat makan, jadwal dosis
multipel harus dimulai dengan memakai kombinasi dosis short atau rapid acting insulin dan
intermediate atau long acting insulin sesuai kebutuhan untuk mengontrol glukosa darah.
Lebih mudah untuk melakukan transisi ini dengan pemberian insulin saat pagi
sebelum makan atau saat makan malam. Teruskan insulin intravena selama 1-2 jam setelah
pergantian regimen dimulai untuk memastikan kadar insulin plasma yang adekuat.
Penghentian insulin tiba-tiba disertai dengan pemberian insulin subkutan yang terlambat
dapat mengakibatkan kontrol yang buruk, sehingga diperlukan sedikit overlapping pemberian
insulin intravena dan subkutan.
Pasien yang diketahui diabetes sebelumnya dapat diberikan insulin dengan dosis yang
diberikan sebelum timbulnya KAD dan selanjutnya disesuaikan seperlunya. Pada pasien DM
yang baru, insulin awal hendaknya 0,5-1,0 u/kgBB/hari, diberikan terbagi menjadi
sekurangnya 2 dosis dalam regimen yang termasuk short dan long acting insulin sampai
dosis optimal tercapai, dua pertiga dosis harian ini diberikan pagi hari dan sepertiganya
diberikan sore hari sebagai split-mixed dose (ADA, 2014).
3. Natrium
Penderita dengan KAD kadang-kadang mempunyai kadar natrium serum yang rendah,
oleh karena level gula darah yang tinggi. Untuk tiap peningkatan gula darah 100 mg/dl di atas
100 mg/dl maka kadar natrium diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar yang
diukur. Hiponatremia memerlukan koreksi jika level natrium masih rendah setelah
penyesuaian efek ini. Contoh, pada orang dengan kadar gula darah 600 mg/dl dan level
natrium yang diukur 130, maka level natrium yang sebenarnya sebesar 130 + (1,6 x 5) = 138,
sehingga tidak memerlukan koreksi dan hanya memerlukan pemberian cairan normal saline
(NaCl 0,9%). Sebaliknya kadar natrium dapat meningkat setelah dilakukan resusitasi cairan
dengan normal saline oleh karena normal saline memiliki kadar natrium lebih tinggi dari
kadar natrium ekstraselular saat itu disamping oleh karena air tanpa natrium akan berpindah
ke intraselular sehingga akan meningkatkan kadar natrium8. Serum natrium yang lebih tinggi
daripada 150 mEq/l memerlukan koreksi dengan NaCl 0,45% (ADA, 2014).
26
4. Kalium
Meskipun terdapat kekurangan kalium secara total dalam tubuh (sampai 3-5
mEq/kgBB), hiperkalemia ringan sampai sedang seringkali cairan fisiologis dan diberikan
dengan kecepatan 200 ml/jam. Natrium bikarbonat tidak diperlukan jika pH > 7,0.7,15
Sebagaimana natrium bikarbonat, insulin menurunkan kadar kalium serum, oleh karena itu
pemberian kalium harus terus diberikan secara intravena dan dimonitor secara berkala.
Setelah itu pH darah vena diperiksa setiap 2 jam sampai pH menjadi 7,0, dan terapi harus
diulangi setiap 2 jam jika perlu (ADA, 2014).
27
BAB 3
KESIMPULAN
28
d. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria,
serta pruritus vulva pada wanita.
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
1. Obat Antihiperglikemia Oral
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
- Sulfonilurea
- Glinid
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
- Metformin
- Tiazolidindion (TZD)
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan
- Penghambat Alfa Glukosidase.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
2. Obat Antihiperglikemia Suntik
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi insulin
dan agonis GLP-1.
a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
- HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Krisis Hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
- Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
29
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
- Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
30
Daftar Pustaka
31
9. Waspadji, S. 2009. Mekanisme terjadinya, Diagnosis dan Strategi Pengelolaan.
In:Sudoyo, AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed: 5. Jilid: 3. Jakarta: FKUI.
11. Guyton, A. C., Hall, J, E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta: EGC, 1022
12. Pranoto A. 2015. Diabetes Mellitus. In: Tjokroprawiro A: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Surabaya: Surabaya: Airlangga University Press.
14. Price, SA., & Wilson, L.M. (2009). Patofisiologi Konsep Klinis proses penyakit,
edisi 6. Jakarta: EGC
15. Hendromartono. 2009. Nefropati diabetik. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
32