Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis

1. Diabetes Mellitus

a. Definisi Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit tidak menular yang


termasuk salah satu penyakit degenerative yang mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Ada banyak pendapat para ahli mengenai diabetes
mellitus salah satunya sebagai berikut:

Menurut American Diabetes Association (ADA), diabetes mellitus


merupakan suatu penyakit kelainan metabolik yang disebabkan
kekurangan insulin atau ketidakmampuan tubuh untuk memanfaatkan
insulin (Insulin resistance), dengan gejala berupa hiperglikemia kronis
dan gangguan karbohidrat, lemak, dan protein sebagai akibat defisiensi
sekresi hormon insulin, kerja insulin atau kedua – duanya (ADA, 2013).

Pendapat lain yang hampir sama, International Diabetes Federation


(IDF) tahun 2013 mendefinisikan diabetes mellitus sebagai suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik tubuh tidak dapat
menghasilkan cukup hormon insulin dan tidak dapat menggunakan
insulin secara efektif. Insulin bertindak sebagai kunci yang
memungkinkan sel –sel tubuh mengambil glukosa dan
menggunakannya sebagai energy (IDF, 2013).

Menurut PERKENI (2019) diabetes melitus merupakan suatu


kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.
Pada diabetes tipe 2, tubuh tidak mampu membuat cukup banyak
insulin atau mungkin juga jika ada cukup insulin, tubuh bermasalah
dalam menggunakan insulin (resisten insulin) atau keduanya (Almatsir,
2004).
b. Klasifikasi diabetes

Menurut perkeni (2019) klasifikasi diabetes melitus dibagi menjadi


empat kelompok berdasarkan

Tabeb 2.1. klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi Deskripsi
Destruksi sel beta, umumnya berhubungan dengan
Tipe 1
pada defisiensi insulin absolut
- Autoimun
- Idiopatik
Bervariasi, mulai yang dominan resistensi
Tipe 2
insulin disertai defisiensi insulin relatif
sampai yang dominan defek sekresi insulin
disertai resistensi insulin
Diabetes yang didiagnosis pada trimester kedua
Diabetes melitus
atau ketiga kehamilan dimana sebelum
gestasional
kehamilan tidak didapatkan diabetes

Tipe spesifik yang - Sindroma diabetes monogenik (diabetes


berkaitan dengan neonatal, maturity – onset diabetes of the
penyebab lain young [MODY])
- Penyakit eksokrin pankreas (fibrosis kistik,
pankreatitis)
- Disebabkan oleh obat atau zat kimia
(misalnya penggunaan glukokortikoid pada
terapi HIV/AIDS atau setelah transplantasi
organ)
c. Patofisiologi dan prognosis diabetes

DM tipe 1 terjadi akibat penghancuran autoimun dimediasi sel T dan

sel β pulau Langerhans pada pankreas yang mengarah pada

ketidakmampuan memproduksi insulin (defisiensi absolut).

Penghancuran sel β pankreas menyebabkan defisiensi sekresi insulin

yang menyebabkan sekresi insulin. Selain disebabkan oleh autoimun,

salah satu etiologi DM tipe 1 adalah faktor genetik (Supariasa, 2019).

Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta

pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM

tipe 2. Hasil penelitian terbaru telah diketahui bahwa kegagalan sel beta

terjadi lebih dini dan lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya.

Organ lain yang juga terlibat pada DM tipe 2 adalah jaringan lemak

(meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi inkretin), sel alfa

pankreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa),

dan otak (resistensi insulin), yang ikut berperan menyebabkan gangguan

toleransi glukosa (Perkeni, 2019).

Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot,

hepar, dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam

patogenesis penyandang DM tipe 2 tetapi terdapat delapan organ lain

yang berperan, disebut sebagai the egregious eleven (Gambar 1).


Gambar 2.1. The Egregious Eleven
Schwatrz SS, et al. The time is right for a new classification system for diabetes rationale and implications of the -
cell-centric classification schema. Diabetes Care. 2016; 39: 179 – 86

Secara garis besar patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh

sebelas hal (egregious eleven) yaitu:

1) Kegagalan sel beta pankreas

Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah

sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini

adalah sulfonilurea, meglitinid, agonis glucagon-like peptide (GLP-1)

dan penghambat dipeptidil peptidase-4 (DPP- 4).

2) Disfungsi sel alfa pankreas

Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam

hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel alfa berfungsi pada

sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam

plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan produksi

glukosa hati (hepatic glucose production) dalam keadaan basal

meningkat secara bermakna dibanding individu yang normal. Obat

yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor

glukagon meliputi agonis GLP-1, penghambat DPP-4 dan amilin.


3) Sel lemak

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,

menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak

bebas (free fatty acid (FFA)) dalam plasma. Peningkatan FFA akan

merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi

insulin di hepar dan otot, sehingga mengganggu sekresi insulin.

Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai

lipotoksisitas. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidinedion.

4) Otot

Pada penyandang DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang

multipel di intramioselular, yang diakibatkan oleh gangguan

fosforilasi tirosin, sehingga terjadi gangguan transport glukosa dalam

sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.

Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin dan tiazolidinedion.

5) Hepar

Pada penyandang DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan

memicu glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan

basal oleh hepar (hepatic glucose production) meningkat. Obat yang

bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses

glukoneogenesis.

6) Otak

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu

yang obese baik yang DM maupun non-DM, didapatkan

hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari

resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat


akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang

bekerja di jalur Ini adalah agonis GLP-1, amilin dan bromokriptin.

7) Kolon/Mikrobiota

Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam

keadaan hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan

DM tipe 1, DM tipe 2, dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa

hanya sebagian individu berat badan berlebih akan berkembang DM.

Probiotik dan prebiotik

diperkirakan sebagai mediator untuk menangani keadaan

hiperglikemia.

8) Usus halus

Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih besar

dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai

efek inkretin ini diperankan oleh 2 hormon yaitu glucagon-like

polypeptide-1 (GLP-1) dan glucose-dependent insulinotrophic

polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP).

Pada penyandang DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten

terhadap hormon GIP. Hormon inkretin juga segera dipecah oleh

keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa

menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah DPP-4

inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam

penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa glukosidase yang

akan memecah polisakarida menjadi monosakarida, dan kemudian

diserap oleh usus sehingga berakibat meningkatkan glukosa darah

setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja enzim


alfa glukosidase adalah acarbosa.

9) Ginjal

Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis

DM tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari.

Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali

melalui peran enzim sodium glucose co-transporter (SGLT-2) pada

bagian convulated tubulus proksimal, dan 10% sisanya akan

diabsorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden,

sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urin. Pada penyandang

DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2, sehingga terjadi

peningkatan reabsorbsi glukosa di dalam tubulus ginjal dan

mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah. Obat yang

menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat reabsorbsi

kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan

lewat urin. Obat yang bekerja di jalur ini adalah penghambar SGLT-2.

Dapaglifozin, empaglifozin dan canaglifozin adalah contoh obatnya.

10) Lambung

Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensi

kerusakan sel beta pankreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan

percepatan pengosongan lambung dan peningkatan absorpsi glukosa di

usus halus, yang berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa

postprandial.

11) Sistem Imun

Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respons fase akut (disebut

sebagai inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari aktivasi


sistem imun bawaan/innate) yang berhubungan kuat dengan

patogenesis DM tipe 2 dan berkaitan dengan komplikasi seperti

dislipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah

berperan dalam induksi stres pada endoplasma akibat peningkatan

kebutuhan metabolisme untuk insulin. DM tipe 2 ditandai dengan

resistensi insulin perifer dan penurunan produksi insulin, disertai

dengan inflamasi kronik derajat rendah pada jaringan perifer seperti

adiposa, hepar dan otot.

Beberapa dekade terakhir, terbukti bahwa adanya hubungan antara

obesitas dan resistensi insulin terhadap inflamasi. Hal tersebut

menggambarkan peran penting inflamasi terhadap patogenesis DM tipe 2,

yang dianggap sebagai kelainan imun (immune disorder). Kelainan metabolik

lain yang berkaitan dengan inflamasi juga banyak terjadi pada DM tipe 2

(Perkeni, 2019).

Prognosis DM bergantung pada tipe DM yaitu 1 atau 2, dan keparahan

penyakit serta komplikasi yang menyertai. Komplikasi dapat muncul 10-20

tahun sejak onset penyakit atau sering kali sekitar 4-7 tahun sebelum diagnosis

ditegakkan. Prognosis menjadi lebih buruk jika penderita merokok, menderita

hipertensi dan hiperkolesterolemia. Pada penderita DM yang terkontrol kadar

glukosa darah dan tekanan darahnya, berhubungan dengan penurunan resiko

terjadinya stroke sebesar 44%, penyakit jantung dan 15% akibat stroke

(Supariasa, 2019).
d. Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.

Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa

secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil

pengobatan dapat dilakukan dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat

ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.

Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa adalah

kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dl 2-jam setelah Tes

Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dngan beban glukosa 75 gram.

Atau

Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang

terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization

Program (NGSP).

Sumber : PERKENI, 2019

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau

kriteria DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang

meliputi : toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa

terganggu (GDPT).

1) Glukosa Darah Puasa Darah Terganggu (GDPDT) : Hasil


pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100 – 125 mg/dl dan

pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2- jam <140 mg/dl;

2) Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) : Hasil pemeriksaan glukosa

plasma 2 – jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa

plasma puasa <100 mg/dl.

3) GDPT dan TGT bersama – sama didapatkan.

4) Diagnosis Prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil

pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel 2.3 kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis


diabetes dan prediabetes
HbA1c Glukosa Glukosa plasma 2
(%) darah puasa jam setelah TTGD
(mg/ dl) ( mg/dl)

Diabetes ≥ 6,5 % ≥ 126 mg/dl ≥200 mg/dl

Prediabetes 5,7 – 6,4 100-125 140-199

Normal < 5,7 <100 < 140

Sumber : PERKENI , 2015

e. Manifestasi klinis

Menurut Supariasa (2019) manifestasi klinis DM tipe 2, berdasarkan

pada patofisiologi yang terjadi, yang dianggap sebagai sejala klasik

sebagai berikut :

1) Penurunan berat badan. Penurunan berat badan yang berlangsung

dalam waktu relative singkat disebabkan oleh glukosa dalam dalam


darah tidak dapat masuk ke dalam sel. Hal ini menyebabkan sel

kekurangan bahan untuk menghasilkan energi. Untuk menjaga

kelangsungan hidup sel maka sumber energi diambil dari cadangan

lain yaitu sel lemak dan otot. Akibatnya terjadi kehilangan jaringan

lemak sehingga pada penderita sering kali mengalami penurunan

berat badan.

2) Polyuria, polidipsi dan polifagia. Polyuria adalah peningkatan

frekuensi dan volume urine yang disebabkan oleh sifat higroskopis

dari glukosa sehingga banyak mengikat cairan. Peningkatan

frekuensi dan volume kencing yang umumnya terjadi pada malam

hari (nocturia) akan sangat mengganggu penderita. Nocturia

merupakan manifestasi yang non spesifi, tetapi dapat sebagai

marker polyuria.

Polidipsi adalah peningkatan kuantitas minum yang disebabkan oleh

rasa haus sebagai akibat dari banyaknya cairan yang keluar melalui

kencing. Umumnya salah diartikan sebagai dampak dari udara yang

panas atau beban kerja yang berat. Oleh sebab itu, untuk

mengurangi dan menghilangkan rasa haus penderita minum banyak.

3) Penglihatan kabur. Pathogenesis yang mendasari penglihatan kabur

adalah peningkatan glukosa dan pembengkakan lensa mata. Hal ini

menimbulkan gangguan refraksi pada lensa dan menyebabkan kabur

pada penglihatan.

4) Infeksi kulit berulang. Tinea cruris (rangen) dapat parah, tinea pedis

dengan onychomycosis dan kandidiasis merupakan kelainan kulit


yang sering terjadi pada penderita DM (Gambar. 2). Kelainan kulit

dapat berupa gatal-gatal yang biasanya terjadi didaerah kemaluan

atau didaerah lipatan kulit seperti ketiak dan di bawah payudara.

Gambar 2.2 (a) tinea pedis (b) tinea cruris; (c) kandidiasis

B. Isoflavone pada Kedelai

Salah satu bahan makanan yang dihubungkan dengan perbaikan

kondisi prediabetes melalui penurunan kadar glukosa darah adalah kedelai.

Kebiasaan konsumsi kacang-kacangan terutama kedelai memiliki risiko

protektif terhadap DM Tipe 2 (Villegas, 2008). Kandungan protein, isoflavon,

serat, lesitin serta rendahnya indeks glikemik kedelai merupakan komponen

yang memberikan efek hipoglikemik (Liu, 2010).

Tempe adalah salah satu makanan tradisional khas Indonesia. Tempe


merupakan makanan yang terbuat biji kedelai atau beberapa bahan lain yang

diproses melalui fermentasi dari apa yang secara umum dikenal sebagai “ragi

tempe”. Lewat proses fermentasi ini, biji kedelai mengalami proses

penguraian menjadi senyawa sederhana sehingga mudah dicerna. Konsumsi

tempe rata-rata pertahun di Indonesia saat ini sekitar 6,45 kg/orang (BSNI,

2012).

Tempe memiliki efek hipoglikemik yang dapat mengembalikan fungsi sel

pankreas sehingga meningkatkan sekresi insulin, menghambat absorbsi glukosa

di usus dan menghambat kinerja enzim α-glukosidase. Enzim α-glukosidase

adalah enzim yang berfungsi untuk menghidrolisis karbohidrat menjadi gula

sederhana (glukosa) pada usus. Senyawa yang dapat menghambat kinerja enzim

tersebut dapat berpotensi sebagai antidiabetes karena dapat menurunkan kadar

gula darah dengan cara memperlambat penyerapan karbohidrat postprandial

(Suarsana et al, 2008).

Tempe termasuk sumber protein nabati yang lazim dikonsumsi oleh

masyarakat Indonesia. Tempe tergolong sumber makanan dengan kandungan

asam amino esensial dan non esensial yang lengkap, kadar lemak jenuh

rendah,isoflavon tinggi, serat tinggi, indeks glikemik rendah (glycemic index

<55) dan mudah dicerna (Rahadiyanti, 2011).

Produk kedelai terfermentasi, seperti tempe, kandungan isoflavonnya

lebih tinggi jika dibandingkan dengan makanan olahan kedelai yang tidak

melalui proses fermentasi (Carla, 2012). Jika dibandingkan antara kedelai dan

tempe, kandungan isoflavon aglikon seperti daidzein dan genistein pada

tempe lebih tinggi, yaitu masing- 3 masing sebesar 38,91 dan 24,03 mg/100

gram, sedangkan pada kedelai hanya sebesar 16,72 dan 11,10 mg/100 gram9

(Ahmad, 2014).
Protein pada tempe tinggi kandungan arginin dan glisin, yang

meningkatkan sekresi insulin dan glukagon dari pankreas. Kandungan

isoflavon berupa genistein dan daidzein dihubungkan dengan aktivitas

penurunan glukosa darah. Genistein dapat menghambat α-glukosidase yang

berperan pada beberapa kelainan metabolik seperti diabetes melitus.

Berdasarkan penelitian, didapatkan hasil yang signifikan dalam meningkatkan

serum insulin dan menurunkan glukosa pada tikus diabetes setelah serum

kedelai (genistein ekuivalen 0,22g/kg diet). Secara in vitro genistein

menghambat aldose reductase yang merupakan enzim kunci dalam jalur

polyol (jalur sorbitol-aldose reductase). Enzim tersebut mengkatalisis

kelebihan glukosa menjadi sorbitol yang berimplikasi terhadap komplikasi

diabetes terutama kerusakan mikrovaskuler seperti retina diabetik dan kaki

diabetik. Genistein dan dadzein berperan sebagai antihiperglikemik melalui

mekanisme aktivasi glukokinase, penghambatan glukosa-6-fosfatase,

phospoenol pyruvate carboxykinase, fatty acid synthase, βoxidation dan

Carnitine Palmitoyltransferase di hati (Rahadiyanti, 2011).

Studi klinis maupun epidemiologis beberapa peneliti menunjukkan

peran isoflavon kedelai dalam memberikan perlindungan dan menjaga

kesehatan tubuh, serta mencegah timbulnya berbagai penyakit. American

Dietetic Association (ADA) melaporkan bahwa konsumsi pangan alami akan

memberikan efek positif bagi kesehatan apabila dikonsumsi sebagai menu

pangan secara teratur pada dosis yang efektif (Astuti, 2008).

Isoflavon dapat ditemukan pada berbagai jenis tanaman, salah satunya

kedelai. Isoflavon pada kedelai mengandung dua belas bentuk yang berbeda,

dengan empat kelompok utama, yaitu aglikon (daidzein, genistein, dan


glycitein); glukosida (daidzin, genistin, dan glycitin); asetilglukosida

(asetildaidzin, asetilgenistin, dan asetilglycitin); serta malonilglukosida

(malonildaidzin, malonilgenistin, dan malonilglycitin) (Wang, 2013).

B. Penelitian Terkait

Table 2.3

Penelitian terkait dengan Pengaruh Pemberian Isoflavon Dalam Kedelai

Dengan Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Melitus Di Ruang Penyakit Dalam

Rumah Sakit Dr. H. Bob Bazar Lampung Selatan

No Nama Tempat Topik/ judul Metode dan Hasil

. peneliti penelitian penelitian variable yang penelitian

digunakan

1. Tri Hidayat, Universitas Analisis Metode : Nilai kadar

Sugiarto, Sebelas Daya Terima eksperimental isoflavon dari

Budiyanti Maret Dan Kadar Lama 2 formula

Wiboworini Surakarta Isoflavon Penelitian : terbaik yaitu

(2020) Fortem September- FD05 sebesar

Dia_Tri Oktober 238,77719

Sebagai Variable bebas μg/ml atau

Dukungan : analisis daya persaji 59,69

Gizi Pasien terima dan mg

Diabetes kadar isoflavon /250

Melitus Tipe isoflavon ml, dan diikuti

2 Variable FD03 sebesar

terikat : 174,39753

dukungan gizi μg/ml atau


pasien DM persaji 34,87

mg isoflavon /

200 ml.

2. Grace Panti Pengaruh Metode : uji Pada

Puspasari, Wredha Pemberian klinis pararel penelitian ini

Drupadi Wisma Tempe terbuka terdapat

Dillon, Mulia, Panti terhadap Lama beberapa

Budiman Wredha Kadar Penelitian : keterbatasan

(2017) Budi Mulia Glukosa empat minggu dalam

Jelambar, Darah Variable bebas pelaksanaan

Panti Penderita : pengaruh dalam

Wredha Diabetes pemberian penelitian

Budi Mulia Melitus Tipe tempe sehingga efek

Cengkareng, 2 Usia Lanjut Variable tempe

dan Panti terikat : kadar terhadap

Wredha gula darah glukosa darah

Santa Anna penderita DM belum terlihat.

3. N.M. Sada, Kem Light Effects of Metode : Hal ini

Y. Tanko, Laboratories fermented eksperimental menunjukkan

A.A.U. Pvt Ltd., soya bean Lama kemanjuran

Dikko, A. Mumbai, supplements Penelitian : - suplemen

Abdulrazak, India on lipid Variable bebas kacang

A. profile and : Effects of kedelai

Mohammed oxidative fermented soya fermentasi

stress bean sebagai


biomarkers in supplements makanan anti-

high fat diet- on lipid profile lipidemia dan

induced Type and oxidative antioksidan

2 diabetes stress yang

mellitus in biomarkers mengurangi

rabbits Variable penyakit

terikat : high kardiovaskular

fat diet- terkait

induced Type diabetes.

2 diabetes

mellitus in

rabbits

C. Kerangka teori

D. Kerangka konsep

E. Hipotesis penelitian

Anda mungkin juga menyukai