2
ANTIDIABETES
Disusun Oleh :
EKSTENSI KELAS E
Kurniawati 611810063
Universitas Ma Chung
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Tujuan
Diabetes melitus (DM) adalah auatu penyakit metabolik yang ditandai dengan
DM tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe 1 (insulin dependent DM) diderita oleh 5-10%
dari penderita DM, terjadi karena adanya kerusakan sel β pankreas dan menyebabkan
disebabkan karena pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sama sekali. Penderita
diabetes tipe I harus mendapatkan suntikan insulin atau dikenal dengan istilah Insulin
infeksi virus atau reaksi autoimun (rusaknya sistem kekebalan tubuh). Auto-imun
yang rusak tersebut menyerang sel β pankreas secara menyeluruh. Sel β pankreas
berfungsi untuk memproduksi insulin, oleh karenanya bila sel β pankreas rusak, maka
tidak tersedia lagi insulin bagi tubuh untuk mengatur kadar gula dalam darah
(Hartini,2009). Sedangkan DM tipe 2 (non insulin dependent DM) diderita oleh 90-
95% penderita DM, terjadi karena adanya resistensi insulin, kurangnya produksi
2
insulin, atau keduanya (Dipiro et al., 2011). Pada diabetes mellitus tipe II, insulin
masih diproduksi namun insulin tidak dapat bekerja secara adekuat (retensi insulin).
Diabetes tipe II tidak mutlak memerlukan suntikan insulin seperti penderita penderita
diabetes tipe I. Obat yang diberikan pada penderita diabetes mellitus tipe II adalah
obat untuk memperbaiki kerja insulin dan obat untuk memperbaiki fungsi sel β
meningkatkan kepekaan sel terhadap insulin sehingga gula dapat masuk ke dalam sel
metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah kronis atau menahun
(Punthakee, Goldenberg, & Katz, 2018). Diabetes terjadi karena pankreas tidak dapat
memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang sudah
produksi secara efektif (Kementerian Kesehatan RI, 2014). terdapat pulau Langerhans
pada pankreas salah satunya tersusun atas sel beta yang dapat menghasilkan hormon
glukosa ke dalam otot dan lemak (Lanfranco, Ghigo, & Strasburger, 2016).
non farmakologis (Dipiro et al., 2011), yang keduanya bertujuan mengontrol kadar
glukosa darah dan mencegah komplikasi (Chang et al., 2013). Terapi non
farmakologis berupa pengaturan pola makan dan olahraga secara teratur. Sedangkan
terapi farmakologis meliputi pemberian insulin dan obat antidiabetes oral (Dipiro et
al., 2011). Obat oral antidiabetik (OAD) untuk terapi diabetes melitus memiliki
berbagai mekanisme kerja. Salah satu mekanisme kerja dari obat oral antidiabetik
3
adalah menghambat secara kompetitif kerja dari enzim alfa glukosidase (Goodman &
Gilman, 2012) dimana alfa glukosidase merupakan suatu kelompok enzim hidrolase
enzim alfa glukosidase ini akan mereduksi penyerapan glukosa darah setelah makan
(post prandial) dan juga memperlama absorbsi karbohidrat pada usus halus sehingga
peningkatan dari total glukosa darah dan rata-rata glukosa darah per hari akan
menurun (Kurt et al., 2012). Contoh obat dengan penghambatan terhadap enzim alfa
terhadap pasien dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol (Rosenbaum, 2002)
terjadinya hipoglikemia cukup rendah, tetapi obat antidiabetes ini memiliki efek
pada kondisi asupan nutrisi dan latihan berupa aktivitas fisik yang tidak terkontrol
gula darah postprandial secara signifikan (Aronson, 2016). Acarbose adalah salah
satu jenis obat antidiabetes terutama diabetes tipe 2 yang digunakan untuk
postprandial (Sales et al., 2012). Obat ini membantu menurunkan kadar gula
dalam darah setelah makan (DiNicolantonio et al., 2015). Pada terapi diabetes,
4
penggunaan acarbose bisa dikonsumsi bersama dengan obat lainnya seperti
al., 2015).
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
hiperglikemia yang terjadi karena adanya kelainan dalam hal sekresi insulin, kinerja
merupakan penyakit yang menyerang metabolisme tubuh yang bersifat kronis dengan
glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL atau setara dengan 7.0 mmol/L, kadar glukosa
darah sewaktu ≥ 200 mg/dL atau setara dengan 11.1 mmol/L, serta kadar glukosa
darah 2 jam PP ≥ 200 mg/dL (ADA, 2010). Pada setiap tahunnya, penyakit ini dapat
menyebabkan kematian kurang lebih 3,2 juta manusia di dunia dengan perbandingan
1 orang per 10 detik atau 6 orang per menit yang meninggal akibat penyakit yang
berkaitan dengan diabetes melitus. Diabetes melitus tidak dapat disembuhkan, tetapi
kadar glukosa dalam darah penderita dapat dikendalikan dengan berbagai cara,
farmakologi untuk menurunkan kadar glukosa darah. Hal tersebut bertujuan untuk
seperti neuropati, hipertensi, jantung koroner, retinopati, dan gangren (Perkeni, 2011).
2.1.2 Klasifikasi
6
Menurut American Diabetes Assocation (2010), diabetes melitus
merupakan diabetes melitus yang disebabkan karena terjadinya proses autoimun sel
yang menghancurkan sel-sel beta (β) di organ pankreas yang dalam keadaan normal
berfungsi untuk menghasilkan hormon insulin. Oleh karena sel-sel beta tersebut
dihancurkan oleh autoimun sel, hal tersebut menyebabkan tidak terbentuknya hormon
karena tidak ada hormon insulin yang bertugas untuk memecahnya, sehingga kadar
glukosa dalam darah akan meningkat. Oleh karena itu, penderita diabetes melitus
Berbeda dengan diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe ini tidak
tergantung pada hormon insulin. Diabetes melitus tipe 2 terjadi karena pankreas tidak
dapat menghasilkan insulin yang cukup atau tubuh yang tidak mampu untuk
menggunakan hormon insulin untuk memecah glukosa dalam darah secara efektif,
umumnya, diabetes melitus tipe ini dapat terjadi pada usia pertengahan dan
7
Diabetes melitus gestasional merupakan diabetes yang terjadi pada saat masa
kehamilan dan mempengaruhi ±4% dari semua kehamilan, serta dapat sembuh setelah
proses persalinan. Diabetes jenis ini terjadi karena adanya peningkatan sekresi
Diabetes melitus tipe ini merupakan diabetes yang disebabkan karena adanya
kerusakan pada pankreas yang bertugas untuk memproduksi hormon insulin dan
mutasi gen, serta terjadinya gangguan yang dialami oleh sel beta pankreas yang
dengan kebutuhan tubuh. Sindrom hormonal yang dapat mengganggu sekresi dan
menghambat kerja insulin antara lain sindrom chusing, akromegali dan sindrom
2.1.3 Gejala
Berikut ini merupakan gejala yang umum ditimbulkan oleh penyakit diabetes
dalam 24 jam yang melebihi batas normal. Poliuria timbul sebagai gejala diabetes
melitus dikarenakan kadar glukosa dalam darah yang relatif tinggi, sehingga tubuh
tidak sanggup untuk mengurainya dan berusaha untuk mengeluarkannya melalui urin.
Pada umumnya, gejala ini lebih sering terjadi pada malam hari dan urin yang
8
2. Timbul Rasa Haus (Polidipsia)
glukosa yang terbawa oleh urin, sehingga tubuh merespon untuk meningkatkan
asupan cairan.
Pasien yang mengalami diabetes melitus akan terus merasakan lapar atau yang
juga disebut sebagai polifagia, hal tersebut disebabkan karena glukosa dalam tubuh
yang semakin menurun seiring dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah.
Oleh karena peningkatan kadar glukosa dalam darah, glukosa yang tidak dapat
terurai akan dikeluarkan oleh tubuh melalui keringat sehingga pasien diabetes melitus
Pasien diabetes melitus juga akan mengalami penurunan berat badan yang
signifikan, hal tersebut disebabkan karena tubuh terpaksa mengambil dan membakar
lemak sebagai cadangan energi karena glukosa yang terdapat dalam darah tidak dapat
6. Lesu
Selain beberapa gejala di atas, pasien diabetes melitus juga akan mudah
merasakan lesu yang disebabkan karena glukosa dalam tubuh yang telah banyak
dibuang melalui keringat atau urin, sehingga menyebabkan tubuh merasa lesu dan
mudah lelah.
9
2.1.4 Penanganan Diabetes Melitus
melibatkan obat. Menurut Nugroho (2012), terapi non farmakologi yang dapat
1. Diet
dalam hal karbohidrat, lemak dan protein, serta banyak minum air putih. Adapun
2. Olahraga
teratur akan dapat memperbaiki kondisi glukosa dalam darah, karena latihan fisik
darah oleh otot yang aktif sehingga dapat menyebabkan penurunan kadar glukosa
Berbeda dengan terapi non farmakologi, terapi ini membutuhkan obat agar
pasien diabetes melitus dapat menurunkan dan menjaga kadar glukosa dalam
tubuhnya. Pada umumnya, terapi farmakologi semua tipe diabetes melitus, kecuali
tipe 1 dapat dilakukan dengan cara pemberian beberapa kelompok obat anti diabetes
10
2.2 Perbedaan Obat Anti Diabetes Oral
Pada percobaan yang telah dilakukan, digunakan tiga jenis obat anti diabetes
oral yang memiliki perbedaan dalam hal mekanisme kerja dan waktu pemberiannya,
sebagai berikut.
1. Acarbose
diperoleh pengurangan glukosa postprandial (40-50 mg/dL atau setara dengan 2,2-2,8
mmol/L) dengan tidak mengubah GDP (±10% pengurangan), sehingga diperoleh efek
bersih. Obat golongan ini cocok untuk pasien yang memiliki tingkat target A1C
dengan tingkat FPG mendekati normal, tetapi memiliki tingkat postprandial yang
sehingga penyerapan pati dan karbohidrat lain dari perbatasan intestine terhambat.
Selain itu, acarbose juga memiliki efek hemat insulin yang menyebabkan sekresi
sehingga obat tersebut dieksresikan melalui jalur fekal. Oleh karena mekanisme kerja
dan efek osmotik yang tidak diinginkan, maka disakarida yang tetap berada dalam
11
lumen usus mungkin menyebabkan perut kembung, diare dan sakit perut. Obat
golongan inhibitor glukosidase-α akan lebih efektif bila tertelan pada awal makan,
yaitu suapan pertama dari makanan. Oleh sebab itu, cara penggunaan acarbose
disarankan pada saat makan agar obat tersebut dapat memberikan efek farmakologi
Efek samping dari pemberian acarbose adalah perut kembung, diare dan
kejang abdominal yang dapat dikurangi dengan cara mengurangi dosis pemberian
obat tersebut. Selain itu, karena fungsinya sebagai penurun kadar glukosa dalam
darah, acarbose juga dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Jika terjadi kondisi
2. Glimepirid
Glimepirid merupakan obat anti diabetes oral yang termasuk dalam kelompok
sulfonilurea generasi kedua. Sulfonilurea merupakan obat anti diabetes oral yang
pertama kali ditemukan dan telah menjadi pilihan utama untuk penderita diabetes
dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami
12
sulfonilurea, maka mekanisme kerjanya adalah dengan merangsang sekresi insulin di
apabila sel-sel beta pada Langerhans pankreas masih dapat memproduksi hormon
insulin. Penurunan kadar glukosa dalam darah oleh glimepirid dan obat kelompok
pankreas yang bersifat berbeda dengan perangsangan oleh glukosa (Archer et al.,
2013).
melalui usus, sehingga dapat diberikan dengan rute per oral. Setelah diabsorpsi di
tubuh dan dalam plasma darah sebagian besar terikat pada albumin, yaitu sekitar 70-
90%. Efek samping yang ditimbulkan akibat pemberian glimepirid dan obat
diare, sakit perut, dan hipersekresi asam lambung, serta gangguan susunan saraf pusat
berupa sakit kepala, vertigo, ataksia, dan lain sebagainya (Cheung et al., 2012).
13
3. Metformin
Satu-satunya obat anti diabetes oral dari kelompok biguanid yang masih
digunakan pada saat ini adalah metformin. Mekanisme kerja dari metformin adalah
dengan cara menghambat produksi glukosa hati, yaitu glukoneogenesis hepatik, juga
di perifer. Sebenarnya, mekanisme kerja dari obat ini masih belum diketahui secara
merinci, namun diketahui apabila efek primer yang ditimbulkan setelah penggunaan
simpanan energi sel berkurang. AMPK yang aktif tersebut menstimulasi oksidasi
adalah abdominal discomfort, stomach upset, diare, dan anorexia. Efek samping
dan waktu pemberian yang dilakukan bersamaan dengan makanan. Pada umumnya,
metformin digunakan untuk pasien yang mengalami kelebihan berat badan atau
obesitas diabetes melitus tipe 2. Hal tersebut dikarenakan metformin merupakan satu-
satunya obat anti diabetes oral yang telah terbukti dapat mengurangi resiko kematian
14
Gambar 3. Struktur Kimia Metformin
TIKUS PUTIH
TAKSONOMI MANUSIA
(ALBINO)
KINGDOM Animalia Animalia
FILUM Chordata Chordata
KELAS Mamalia Mamalia
ORDO Primata Rodentia
FAMILI Hominidae Muridae
GENUS Homo Rattus
SPESIES Sapiens Rattus norvegicus
Tikus dan manusia sama-sama mamalia, dan bertulang belakang, jika dilihat
dari gambar diatas, maka manusia dan tikus memiliki struktur, dan anatomi tubuh
15
yang mirip. Berdasarkan penelitian telah diketahui bahwa struktur organ tikus putih
dan metabolisme yang sangat homolog dengan manusia. (Hilmi dkk., 2018).
16
BAB III
METODE KERJA
(300mg/kgBB)
8. Kertas saring
3.2 Metodologi
2. Hewan uji dipuasakan terlebih dahulu selama 12 jam sebelum diinduksi STZ
3. STZ dilarutkan dalam 0,01 M buffer sitrat (pH 4,5) dalam jangka waktu 15
17
5. Pengamatan gula darah dilakukan pada hari ke 5, kemudian dilanjutkan
yang sama
18
3.3 Bagan Kerja
Pemberian STZ (dalam buffer sitrat) pada hari ke 0 dan 3 secara IP,
sebelumnya dipuasakan terlebih dahulu selama 12 jam
Kel. Kontrol (5 ekor) Kel. Uji A (5 ekor) Kel. Uji B (5 ekor) Kel. Uji B (5 ekor)
Aquadest Larutan metformin Suspensi glimepirid Suspensi acarbose
19
3.4. Perhitungan Dosis
1. Acarbose
1 tablet acarbose yang dibuat suspensi 50mL dengan 0,5 g CMC-Na.
C = 100 mg/50 mL
= 2 mg/mL
2. Glimepirid
2 tablet glimepirid dibuat suspensi 50 mL dengan 0,5 g CMC-Na.
C = 4 mg/50 mL
= 0,08 mg/mL
3. Metformin
2 tablet metformin dilarutkan dalam 25 mL aquadest.
C = 1000 mg/25 mL
= 40 mg/mL
A 146 2,19
B 135 2,02
C 162 2,43
D 176 2,64
E 171 2,56
20
VP E = 0,171 / 2mg/mL x 30 mg = 2,56 mL
Keterangan : Tikus E mati karena adanya salah pemberian obat, dimungkinkan
karena obat masuk ke dalam paru-paru tikus sehingga tikus tidak dapat bernafas
2. Pemberian Oral 1 November 2019
Tikus Berat Badan (g) Volume Pemberian (mL)
A 144 2,19
B 133 1,99
C 168 2,52
D 178 2,67
A 151 2,26
B 139 2,08
C 175 2,62
D 178 2,67
21
A 160 2,4
B 149 2,23
C 180 2,7
D 185 2,77
A 185 1,39
B 150 1,12
C 185 1,39
D 200 1,5
A 187 1,4
B 150 1,12
C 187 1,4
D 182 1,36
22
Volume Pemberian = Berat Badan / Konsentrasi x Dosis
VP A = 0,187 / 4mg/mL x 30 mg = 1,4 mL
VP B = 0,15 / 4mg/mL x 30 mg = 1,12 mL
VP C = 0,187 / 4mg/mL x 30 mg = 1,4 mL
VP D = 0,182 / 4mg/mL x 30 mg = 1,36 mL
23
BAB IV
ANALISIS DATA
4.1 Data Penimbangan Berat Badan Awal (Pre) dan Akhir (Post)
Pengukuran berat badan dilakukan pada semua kelompok. Bobot badan semua
praktikum.
Perlakuan (Post)
Pada data diatas selanjutnya kita analisis menggunakan RStudio. Data berat
badan tikus Pre diatas termasuk jenis data rasio dengan jumlah tikus masing-masing
24
berdistribusi normal. Uji Normalitas (Shapiro-wilk normality test) dari data berat
25
Pada analisis diatas dapat diketahui jika data berat badan pre terdistribusi
normal, karena p-value memenuhi syarat diatas 0,05. Sedangkan pada uji
homogenitas, data berat badan pre tidak terdistribusi homogen, karena p-value kurang
dari 0,05. Sehingga dilakukan uji annova Tukey HSD dan ada beda yang signifikan
pada data berat badan sebelum perlakuan, karena terdapat p-value dibawah 0,05.
Selanjutnya adalah analis data berat badan setelah perlakuan peroral (post),
dengan data diatas termasuk jenis data rasio tapi karena ada beberapa tikus mati
berdistribusi normal.
26
Gambar 4.2. Hasil Analisis Berat Badan Sesudah P.O (Post)
27
Berdasarkan hasil uji normalitas di atas, diperoleh hasil bahwa berat badan
berdistribusi normal karena p-value >0,05. Sedangkan berat badan tikus pada
perlakuan acarbose tidak memenuhi syarat berdistribusi normal karena p-value <0,05.
Pada metode analisis dunn.test berat badan tikus sesudah perlakuann didapatkan hasil
bahwa ada beda berat badan tikus. Karena nilai p-value < 0,05. Ditunjukan dengan
Pengambilan cek gula darah dilakukan pada semua kelompok. Gula Darah
semua kelompok selama praktikum disajikan dalam tabel. Berikut hasil cek gula
Perlakuan (Post)
28
4.2.1 Analisis Gula Darah Sebelum Per Oral (Pra)
Pada data diatas selanjutnya kita analisis menggunakan RStudio. Data gula
darah sebelum sebelum perlakuan (Pre) diatas termasuk jenis data rasio dengan
29
Gambar 4.3. Hasil Analisis Gula Darah Sebelum Per Oral (Pra)
p-value = 0.02809, sehingga data diatas terdistribusi normal tapi tidak homogen.
Setelah selesai uji normalitas dan uji homogenitas. Kita menentukan apakah ada beda
Tukey HSD sebagai berikut. Jika nilai p-value >0,05 maka data tidak ada beda
berarti. Sedangkan nilai p-value <0,05 Maka data ada beda. (‘Ula, Zahrotul. 2015)
Selanjutnya adalah analis data gula darah setelah perlakuan peroral (post),
dengan data diatas termasuk jenis data rasio tapi karena ada beberapa tikus mati
30
Gambar 4.4. Hasil Analisis Data Gulaa Darah Sesudah Per Oral (Post)
Berdasarkan hasil uji normalitas di atas, diperoleh hasil bahwa semua berat
badan tikus pada perlakuan kontrol, metformin, glimepirid dan acarbose memenuhi
31
BAB V
Pada praktikum kali ini, dilakukan praktikum uji pengaruh obat antidiabetes.
Dengan tujuan agar dapat mengetahui pengaruh senyawa oral antidiabetic drugs
(OADs). Pada tiap kelompok diberikan masing-masing 5 tikus uji. Dengan obat uji
yang berbeda yakni Kontrol (Tanpa Obat), Metformin, Glimepiride, dan Acarbose.
Sebelum perlakuan, terlebih dahulu tikus diberi pemberian STZ ( dalam buffer sitrat)
pada hari ke 0 dan 3 secara intravena, sebelumnya dipuasakan terlebih dahulu selama
12 jam.
Menurut teori, Induksi diabetes dengan STZ dosis 40 mg/kg berat badan
disertai pemberian sukrosa 30% mampu meningkatkan glukosa darah puasa dan berat
badan tikus secara signifikan. Penggunaa dosis 40 mg/kg berat badan tikus
didasarkan karena aplikasi dosis dibawah 40mg/kg berat badan pada tikus meski pada
awalnya terjadi hiperglikemi akan tetapi secara spontan akan terjadi mekanisme
perbaikan dalam waktu singkat dari kondisi diabetes dengan kondisi volume urin
pada insulin darah dan konsentrasi glukosa yang meyebabkan hiperglikemia dan
menurunnya level insulin dalam darah. STZ mempengaruhi oksidasi glukosa dan
menurunkan biosintesis dan sekresi insulin. STZ masuk ke sel-β pankreas melalui
transporter glukosa GLUT2 menyebabkan menurunnya ekspresi dari GLUT2. Hal ini
32
mengakibatkan penurunnya sensitifitas reseptor insulin perifer sehingga berdampak
pada meningkatnya resistensi insulin dan meningkatkan kadar glukosa darah. STZ
insulin terlambat dan gagal mengembalikan lonjakan gula darah prandial dalam
glukosa darah dan deposit lemak dan juga berat badan pada tikus.
Pemberian larutan sukrosa dan lamanya durasi merujuk pada diet tinggi
sukrosa selama 3-5 minggu telah dapat meningkatkan level glukosa darah dan
hyperinsulinemia dan juga menurunkan sensitifitas insulin pada tikus dan pada
mencit. Diet tinggi sukrosa secara nyata merubah metabolisme glukosa yang
dimediasi insulin yang dapat menghasilkan resistensi isulin pada tikus. Peningkatan
regenerasi populasi sel-β dan terpengaruhnya reseptor insulin pada sel-β akibat STZ.
Mekanisme DMG mirip dengan DM Tipe-2 yang terjadi karena gangguan aksi dan
sekresi insulin pada reseptor insulin yang menyebabkan resistensi, bukan karena
33
Sehingga tingginya asupan kalori pada kelompok tikus diabetes menyebabkan
peningkatan perlemakan subkutan. Karena inilah berat badan pada tikus mengalami
perubahan. Gejala – gejala penyakit diabetes melitus adalah Polyuria yaitu volume
urin yang banyak atau sering buang air kecil, Poltpipsia yaitu kurangnya cairan dalam
Dengan Kelompok kontrol (5 ekor) tanpa diberi obat. Pemberian pada sediaan
kontrol dan uji pada masing-masing kelompok diulangi setiap hari selama 2 minggu
pada waktu yang sama. Sebelum melaksanakan per-oral obat, terlebih dahulu
tiap kelompok obat. Berat badan pada percobaan kali ini ditunjukan dari hasil sebagai
34
Gambar 5.1 Hasil Analisis BB sesudah Perlakuan (post)
Berdasarkan hasil uji normalitas di atas, diperoleh hasil bahwa berat badan
berdistribusi normal karena p-value >0,05. Sedangkan berat badan tikus pada
perlakuan acarbose tidak memenuhi syarat berdistribusi normal karena p-value <0,05.
35
Pada metode analisis dunn.test berat badan tikus sesudah perlakuann didapatkan hasil
bahwa ada beda berat badan tikus. Karena nilai p-value < 0,05. Ditunjukan dengan
Selanjutnya adalah analis data gula darah setelah perlakuan peroral (post),
dengan data diatas termasuk jenis data rasio tapi karena ada beberapa tikus mati
normal:
36
Gambar 5.2 Hasil Kadar Gula Setelah Perlakuan (Post)
Berikut pembahasan mengenai kesesuaian teori dengan hasil pelaksanaan
yang paling tinggi, ini sesuai dengan hasil data berat badan akhir yang didapat
pada analisis data Karena pada kelompok kontrol negatif tidak diberikan
37
OADs, yang memiliki gejala DM salah satunya adalah peningkatan di berat
badan.
kelebihan berat badan atau obesitas diabetes melitus tipe 2. Hal tersebut
telah terbukti dapat mengurangi resiko kematian total (DiPiro, 2015). Hal ini
sesuai dengan hasil data berat badan tikus sebelum perlakuan, ditunjukan
ditunjukan pada hasil analisis data berat badan sebelum pemberian pada bab
sebelumnya. Sedangkan pada data hasil berat badan setelah perlakuan (post)
Tikus pada kelompok uji metformin tidak mengalami penurunan berat badan
yang signfikan. Pada hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
darah menurut teori, metformin merupakan first-line atau obat lini pertama
yang akan diberikan dokter kepada penderita diabetes mellitus tipe 2 karena
paling dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh. Hal ini menunjukan bahwa
3. Lalu menurut teori, Glimepiride merupakan obat anti diabetes oral yang
merupakan obat anti diabetes oral yang pertama kali ditemukan dan telah
menjadi pilihan utama untuk penderita diabetes dewasa, baru, dengan berat
38
badan normal sebelumnya. Oleh karena glimepirid termasuk dalam kelompok
insulin di kelenjar pankreas. Pada praktikum didapatkan juga hasil berat badan
setelah pemberian per-oral yang sesuai karena masih dalam perubahann berat
badan yang normal. Kemudian pada analisis data kadar gula darah menurut
glukosa (Archer et al., 2013). Obat golongan ini umumnya adalah terapi lini
dengan hasil data kadar darah setelah perlakuan oral (post) yang dapat
karbohidrat lain dari perbatasan intestine terhambat. Selain itu, acarbose juga
hasil data berat badan setelah perlakuan per-oral didapatkan hasil yang sesuai
hanya pada tikus 2 yang memang sebelum perlakuan sudah sakit (kepala
39
mengalami kenaikan berat badan. Hal ini dapat terjadi dikarenakan beberapa
factor antara lain: Jenis pakan yang memang membuat para tikus memiliki
berat badan berlebih, dan efek dari acarbose yang memang secara teori
tertelan pada awal makan, yaitu suapan pertama dari makanan. Oleh sebab itu,
cara penggunaan acarbose disarankan pada saat makan agar obat tersebut
Selanjutnya, pada analisis gula darah jika menurut teori, acarbose karena
fungsinya sebagai penurun kadar glukosa dalam darah, acarbose juga dapat
data hasil kadar gula darah setelah pemberian (Gambar 5.2) selama praktikum
Acarbose telah sesuai dengan teori karena mengakibatkan tikus uji mengalami
Pada praktikum kali ini terjadi kematian tikus, 1 tikus pada kelompok
uji glimepiride dan 1 pada kelompok uji acarbose. Total kematian menjadi 2
40
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari percobaan kali ini hasil yang didapatkan adalah tidak ada beda signifikan
pada kadar gula darah setelah pemberian per-Oral Antidiabetic Drugs (OAD) antara
6.2. Saran
(OAD)” ini, diharapkan adanya penyempurnaan lagi dari segi proses praktikum
antara lain: Praktikan agar senantiasa memperhatikan bagaimana cara peroral yang
benar dan tepat volume pemberian. Dan diharapkan kedepan ada fasilitas kampus
khusus untuk pemeliharaan tikus, seperti ruangan khusus praktikum perlakuan tikus.
Dan diharapkan adanya kritik dan saran bagi penulisan laporan penelitan mengetahui
perbedaan Oral Antidiabetic Drugs (OAD) ini, dari segi penulisan yang jauh dari kata
sempurna.
41
DAFTAR RUJUKAN
Chang, C.L.T., Y. Lin, A.P. Bartolome, Y.C. Chen, S.C. Chiu, & W.C. Yang. 2013.
Herbal Therapies for Type 2 Diabetes Mellitus: Chemistry, Biology, and
Potential Application of Selected Plants and Compounds. J Evid Based
Complementary Altern Med, 2013:1-33
Springer, 14:160-166.
DiPiro. 2015. Pharmacotherapy Handbook 9th Ed. United States: McGraw-Hill
Education.
DiNicolantonio, J.J., Bhutani, J., O'Keefe. J.H. 2015. Acarbose: safe and effective for
lowering postprandial hyperglycaemia and improving cardiovascular
outcomesOpen Heart, 2(1):e000327.
Hall, J. E. (2016). Insulin, Glucagon, and Diabetes Mellitus. In Guyton and Hall
Textbookof Medical Physiology (13th ed., pp. 983–999). Philadelphia:
Elsevier.
Hilmi dkk., 2018. Tugas Praktikum Farmakologi dan Toksikologi. Malang: Machung
42
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Situasi dan Analisis Diabetes. Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesheatan RI. Jakarta.
Wicak. 2009. Have Fun with Diabetes Melitus. Bandung: Trix Media.
Raveendran, A. V., & Zargar, A. H. (2017). Diabetes control during Ramadan fasting.
Cleveland Clinic Journal of Medicine, 84(5), 352–356.
Sales, P.M., Souza, P.M., Simeoni, L.A., Silveira, D. 2012. α-amylase inhibitors: a
review of raw material. Journal of Pharmacy & Pharmaceutical Sciences,
15(1):141-183
43
LAMPIRAN
44
Lampiran 2
45
Lampiran 3
46
Lampiran Berat Badan Pre
> kontrol_negatif=c(0.130,0.107,0.109,0.120,0.120)
> metformin=c(0.166,0.154,0.131,0.168,0.237)
> glimepirid=c(0.165,0.155,0.136,0.149,0.166)
> acarbose=c(0.146,0.171,0.162,0.176,0.135)
> shapiro.test(kontrol_negatif)
data: kontrol_negatif
W = 0.91763, p-value = 0.5147
> shapiro.test(metformin)
data: metformin
W = 0.86816, p-value = 0.259
> shapiro.test(glimepirid)
data: glimepirid
W = 0.92141, p-value = 0.5391
> shapiro.test(acarbose)
data: acarbose
W = 0.93726, p-value = 0.6466
> data_c=c(kontrol_negatif,metformin,glimepirid,acarbose)
> data_d=factor(rep(letters[1:4], each=5),labels=c("kontrol_negatif"
,"metformin","glimepirid","acarbose"))
> bartlett.test(data_c,data_d)
> dataT=aov(data_c~data_d)
> summary(dataT)
Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F)
data_d 3 0.008034 0.0026781 5.085 0.0116 *
Residuals 16 0.008426 0.0005266
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
> TukeyHSD(dataT)
Tukey multiple comparisons of means
95% family-wise confidence level
$data_d
diff lwr upr p adj
47
metformin-kontrol_negatif 0.0540 0.0124747834 0.09552522 0.0090477
glimepirid-kontrol_negatif 0.0370 -0.0045252166 0.07852522 0.0896653
acarbose-kontrol_negatif 0.0408 -0.0007252166 0.08232522 0.0550091
glimepirid-metformin -0.0170 -0.0585252166 0.02452522 0.6526594
acarbose-metformin -0.0132 -0.0547252166 0.02832522 0.8001244
acarbose-glimepirid 0.0038 -0.0377252166 0.04532522 0.9934590
> plot(TukeyHSD(dataT))
> boxplot(data_c~data_d)
>
48
Lampiran Berat Badan Post
> kontrol_negatif=c(0.157,0.142,0.143,0.124,0.140)
> metformin=c(0.149,0.143,0.141,0.166,0.206)
> glimepirid=c(0.176,0.160,0.160,0.151)
> acarbose=c(0.187,0.150,0.187,0.182)
> shapiro.test(kontrol_negatif)
data: kontrol_negatif
W = 0.932, p-value = 0.6101
> shapiro.test(metformin)
data: metformin
W = 0.81454, p-value = 0.1059
> shapiro.test(glimepirid)
data: glimepirid
W = 0.90903, p-value = 0.4773
> shapiro.test(acarbose)
data: acarbose
W = 0.72362, p-value = 0.02117
> data_m=c(kontrol_negatif,metformin,glimepirid,acarbose)
>
data_n=factor(rep(letters[1:4],c(5,5,4,4)),labels=c("kontrol_negatif
","metformin","glimepirid","acarbose"))
> install.packages("dunn.test")
Error in install.packages : Updating loaded packages
> library(dunn.test)
> dunn.test(data_m,data_n)
Kruskal-Wallis rank sum test
49
Col Mean-|
Row Mean | acarbose glimepir kontrol_
---------+---------------------------------
glimepir | 0.663293
| 0.2536
|
kontrol_ | 2.656857 1.957684
| 0.0039* 0.0251
|
metformi | 1.314445 0.615272 -1.423843
| 0.0943 0.2692 0.0772
alpha = 0.05
Reject Ho if p <= alpha/2
> plot(data_m~data_n)
> boxplot(data_m~data_n)
50
Lampiran Lampiran Kadar Gula Darah Pre
> kontrol_negatif=c(103,122,116,101,116)
> metformin=c(115,100,83,100,109)
> glimepirid=c(114,103,152,125,132)
> acarbose=c(102,149,85,103,78)
> shapiro.test(kontrol_negatif)
data: kontrol_negatif
W = 0.87708, p-value = 0.2963
> shapiro.test(metformin)
data: metformin
W = 0.93894, p-value = 0.6584
> shapiro.test(glimepirid)
data: glimepirid
W = 0.98531, p-value = 0.9608
> shapiro.test(acarbose)
data: acarbose
W = 0.86642, p-value = 0.2522
> data_d=c(kontrol_negatif,metformin,glimepirid,acarbose)
>
data_e=factor(rep(letters[1:4],each=5),labels=c("kontrol_negatif","m
etformin","glimepirid","acarbose"))
> bartlett.test(data_d,data_e)
> data_Z=aov(data_d~data_e)
> summary(data_Z)
Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F)
data_e 3 1752 584.1 1.742 0.199
Residuals 16 5366 335.4
> TukeyHSD(data_Z)
Tukey multiple comparisons of means
95% family-wise confidence level
51
Fit: aov(formula = data_d ~ data_e)
$data_e
diff lwr upr p adj
metformin-kontrol_negatif -10.2 -43.338465 22.93847 0.8148007
glimepirid-kontrol_negatif 13.6 -19.538465 46.73847 0.6509461
acarbose-kontrol_negatif -8.2 -41.338465 24.93847 0.8924758
glimepirid-metformin 23.8 -9.338465 56.93847 0.2098472
acarbose-metformin 2.0 -31.138465 35.13847 0.9980912
acarbose-glimepirid -21.8 -54.938465 11.33847 0.2740851
> plot(TukeyHSD(data_Z))
> boxplot(data_d~data_e)
52
Lampiran Kadar Gula Post
> kontrol_negatif=c(94,98,111,100,116)
> metformin=c(116,56,82,108,59)
> glimepirid=c(132,104,98,80)
> acarbose=c(98,103,62,38)
> shapiro.test(kontrol_negatif)
data: kontrol_negatif
W = 0.91476, p-value = 0.4967
> shapiro.test(metformin)
data: metformin
W = 0.88735, p-value = 0.344
> shapiro.test(glimepirid)
data: glimepirid
W = 0.9674, p-value = 0.8253
> shapiro.test(acarbose)
data: acarbose
W = 0.90028, p-value = 0.4324
alpha = 0.05
Reject Ho if p <= alpha/2
> plot(data_o~data_p)
> boxplot(data_o~data_p)
53
Lampiran Kadar Gula Post
Perhitungan Dosis
1. Acarbose
1 tablet acarbose yang dibuat suspensi 50mL dengan 0,5 g CMC-Na.
C = 100 mg/50 mL
= 2 mg/mL
2. Glimepirid
2 tablet glimepirid dibuat suspensi 50 mL dengan 0,5 g CMC-Na.
C = 4 mg/50 mL
= 0,08 mg/mL
3. Metformin
2 tablet metformin dilarutkan dalam 25 mL aquadest.
C = 1000 mg/25 mL
= 40 mg/mL
54
1. Pemberian Oral 31 Oktober 2019
A 146 2,19
B 135 2,02
C 162 2,43
D 176 2,64
E 171 2,56
A 144 2,19
B 133 1,99
C 168 2,52
D 178 2,67
55
Tikus Berat Badan (g) Volume Pemberian (mL)
A 151 2,26
B 139 2,08
C 175 2,62
D 178 2,67
A 160 2,4
B 149 2,23
C 180 2,7
D 185 2,77
A 185 1,39
B 150 1,12
C 185 1,39
D 200 1,5
56
Volume Pemberian = Berat Badan / Konsentrasi x Dosis
VP A = 0,185 / 4mg/mL x 30 mg = 1,39 mL
VP B = 0,15 / 4mg/mL x 30 mg = 1,12 mL
VP C = 0,185 / 4mg/mL x 30 mg = 1,39 mL
VP D = 0,2 / 4mg/mL x 30 mg = 1,5 mL
6. Pemberian Oral 13 November 2019
Tikus Berat Badan (g) Volume Pemberian (mL)
A 187 1,4
B 150 1,12
C 187 1,4
D 182 1,36
57