Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI dan TOKSIKOLOGI

2
ANTIDIABETES

Disusun Oleh :

EKSTENSI KELAS E

Aprillia Dian Partisia 611810041

Dhita Rizki Amalia 611810051

Kurniawati 611810063

Rizka Ayuning Putri Harianto 611910076

Program Studi Farmasi

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Ma Chung

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Tujuan

Untuk mengetahui perbedaan Oral Antidiabetic Drugs (OAD)

1.2. Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) adalah auatu penyakit metabolik yang ditandai dengan

adanya hiperglikemia, yang disebabkan oleh kurangnya produksi insulin, resistensi

insulin, atau keduanya (Dipiro et al., 2011). Umumnya, DM digolongkan menjadi

DM tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe 1 (insulin dependent DM) diderita oleh 5-10%

dari penderita DM, terjadi karena adanya kerusakan sel β pankreas dan menyebabkan

ketergantungan insulin seumur hidup, Diabetes tipe I adalah diabetes yang

disebabkan karena pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sama sekali. Penderita

diabetes tipe I harus mendapatkan suntikan insulin atau dikenal dengan istilah Insulin

Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Penyebab diabetes mellitus tipe I adalah

infeksi virus atau reaksi autoimun (rusaknya sistem kekebalan tubuh). Auto-imun

yang rusak tersebut menyerang sel β pankreas secara menyeluruh. Sel β pankreas

berfungsi untuk memproduksi insulin, oleh karenanya bila sel β pankreas rusak, maka

tidak tersedia lagi insulin bagi tubuh untuk mengatur kadar gula dalam darah

(Hartini,2009). Sedangkan DM tipe 2 (non insulin dependent DM) diderita oleh 90-

95% penderita DM, terjadi karena adanya resistensi insulin, kurangnya produksi

2
insulin, atau keduanya (Dipiro et al., 2011). Pada diabetes mellitus tipe II, insulin

masih diproduksi namun insulin tidak dapat bekerja secara adekuat (retensi insulin).

Diabetes tipe II tidak mutlak memerlukan suntikan insulin seperti penderita penderita

diabetes tipe I. Obat yang diberikan pada penderita diabetes mellitus tipe II adalah

obat untuk memperbaiki kerja insulin dan obat untuk memperbaiki fungsi sel β

pankreas dalam memproduksi insulin. Usaha penurunan berat badan dapat

meningkatkan kepekaan sel terhadap insulin sehingga gula dapat masuk ke dalam sel

untuk proses metabolisme (Hartini, 2009). Diabetes melitus merupakan penyakit

metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah kronis atau menahun

(Punthakee, Goldenberg, & Katz, 2018). Diabetes terjadi karena pankreas tidak dapat

memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang sudah

produksi secara efektif (Kementerian Kesehatan RI, 2014). terdapat pulau Langerhans

pada pankreas salah satunya tersusun atas sel beta yang dapat menghasilkan hormon

insulin (Hall, 2016). Insulin merupakan hormon yang menstimulasi penyerapan

glukosa ke dalam otot dan lemak (Lanfranco, Ghigo, & Strasburger, 2016).

Terapi untuk penyakit DM dapat dibedakan menjadi terapi farmakologis dan

non farmakologis (Dipiro et al., 2011), yang keduanya bertujuan mengontrol kadar

glukosa darah dan mencegah komplikasi (Chang et al., 2013). Terapi non

farmakologis berupa pengaturan pola makan dan olahraga secara teratur. Sedangkan

terapi farmakologis meliputi pemberian insulin dan obat antidiabetes oral (Dipiro et

al., 2011). Obat oral antidiabetik (OAD) untuk terapi diabetes melitus memiliki

berbagai mekanisme kerja. Salah satu mekanisme kerja dari obat oral antidiabetik

3
adalah menghambat secara kompetitif kerja dari enzim alfa glukosidase (Goodman &

Gilman, 2012) dimana alfa glukosidase merupakan suatu kelompok enzim hidrolase

yang berfungsi untuk memecah karbohidrat kompleks (oligosakarida dan disakarida)

menjadi gula sederhana atau monosakarida (Chiba, 1997). Penghambatan terhadap

enzim alfa glukosidase ini akan mereduksi penyerapan glukosa darah setelah makan

(post prandial) dan juga memperlama absorbsi karbohidrat pada usus halus sehingga

peningkatan dari total glukosa darah dan rata-rata glukosa darah per hari akan

menurun (Kurt et al., 2012). Contoh obat dengan penghambatan terhadap enzim alfa

glukosidase adalah acarbose. Acarbose ditujukan untuk terapi diabetes melitus

terhadap pasien dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol (Rosenbaum, 2002)

Acarbose merupakan obat antidiabetes inhibitor alfa glucosidase. Risiko

terjadinya hipoglikemia cukup rendah, tetapi obat antidiabetes ini memiliki efek

samping terhadap saluran pencernaan. Acarbose disarankan untuk hanya diberikan

pada kondisi asupan nutrisi dan latihan berupa aktivitas fisik yang tidak terkontrol

(Raveendran & Zargar, 2017). Acarbose bekerja sebagai enzim, memperlambat

penyerapan glukosa pada usus sehingga mengurangi kemungkinan peningkatan kadar

gula darah postprandial secara signifikan (Aronson, 2016). Acarbose adalah salah

satu jenis obat antidiabetes terutama diabetes tipe 2 yang digunakan untuk

menghambat kerja enzim α-amilase sehingga menunda pencernaan karbohidrat,

mengurangi absorpsi glukosa sehingga mencegah naiknya glukosa plasma

postprandial (Sales et al., 2012). Obat ini membantu menurunkan kadar gula

dalam darah setelah makan (DiNicolantonio et al., 2015). Pada terapi diabetes,

4
penggunaan acarbose bisa dikonsumsi bersama dengan obat lainnya seperti

insulin, metformin, dan sulfonilurea sesuai dengan resep dokter (DiNicolantonio et

al., 2015).

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi

Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena adanya kelainan dalam hal sekresi insulin, kinerja

insulin maupun keduanya. Berdasarkan Perkeni tahun 2011, diabetes militus

merupakan penyakit yang menyerang metabolisme tubuh yang bersifat kronis dengan

karakteristik hiperglikemia. Pada umumnya, pasien diabetes melitus memiliki kadar

glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL atau setara dengan 7.0 mmol/L, kadar glukosa

darah sewaktu ≥ 200 mg/dL atau setara dengan 11.1 mmol/L, serta kadar glukosa

darah 2 jam PP ≥ 200 mg/dL (ADA, 2010). Pada setiap tahunnya, penyakit ini dapat

menyebabkan kematian kurang lebih 3,2 juta manusia di dunia dengan perbandingan

1 orang per 10 detik atau 6 orang per menit yang meninggal akibat penyakit yang

berkaitan dengan diabetes melitus. Diabetes melitus tidak dapat disembuhkan, tetapi

kadar glukosa dalam darah penderita dapat dikendalikan dengan berbagai cara,

misalnya diet, olahraga dan mengkonsumsi obat-obatan yang memiliki efek

farmakologi untuk menurunkan kadar glukosa darah. Hal tersebut bertujuan untuk

mencegah terjadinya komplikasi yang dapat disebabkan akibat diabetes melitus,

seperti neuropati, hipertensi, jantung koroner, retinopati, dan gangren (Perkeni, 2011).

2.1.2 Klasifikasi

6
Menurut American Diabetes Assocation (2010), diabetes melitus

diklasifikasikan ke dalam empat jenis, sebagai berikut.

1. Diabetes Melitus Tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 (Insulin-dependent Diabetes Melitus atau IDDM)

merupakan diabetes melitus yang disebabkan karena terjadinya proses autoimun sel

yang menghancurkan sel-sel beta (β) di organ pankreas yang dalam keadaan normal

berfungsi untuk menghasilkan hormon insulin. Oleh karena sel-sel beta tersebut

dihancurkan oleh autoimun sel, hal tersebut menyebabkan tidak terbentuknya hormon

insulin yang pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya penumpukan glukosa

karena tidak ada hormon insulin yang bertugas untuk memecahnya, sehingga kadar

glukosa dalam darah akan meningkat. Oleh karena itu, penderita diabetes melitus

jenis ini membutuhkan penyuntikan hormon insulin untuk mengendalikan kadar

glukosa dalam darahnya.

2. Diabetes Melitus Tipe 2

Berbeda dengan diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe ini tidak

tergantung pada hormon insulin. Diabetes melitus tipe 2 terjadi karena pankreas tidak

dapat menghasilkan insulin yang cukup atau tubuh yang tidak mampu untuk

menggunakan hormon insulin untuk memecah glukosa dalam darah secara efektif,

sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan kadar glukosa dalam darah. Pada

umumnya, diabetes melitus tipe ini dapat terjadi pada usia pertengahan dan

kebanyakan penderita mengalami kelebihan berat badan atau obesitas.

3. Diabetes Melitus Gestasional

7
Diabetes melitus gestasional merupakan diabetes yang terjadi pada saat masa

kehamilan dan mempengaruhi ±4% dari semua kehamilan, serta dapat sembuh setelah

proses persalinan. Diabetes jenis ini terjadi karena adanya peningkatan sekresi

berbagai hormon yang memiliki efek metabolik terhadap toleransi glukosa.

4. Diabetes Melitus Tipe Khusus

Diabetes melitus tipe ini merupakan diabetes yang disebabkan karena adanya

kerusakan pada pankreas yang bertugas untuk memproduksi hormon insulin dan

mutasi gen, serta terjadinya gangguan yang dialami oleh sel beta pankreas yang

mengakibatkan kegagalan dalam menghasilkan hormon insulin secara teratur sesuai

dengan kebutuhan tubuh. Sindrom hormonal yang dapat mengganggu sekresi dan

menghambat kerja insulin antara lain sindrom chusing, akromegali dan sindrom

genetik (Arisman, 2011).

2.1.3 Gejala

Berikut ini merupakan gejala yang umum ditimbulkan oleh penyakit diabetes

melitus, antara lain (Wicak, 2009).

1. Pengeluaran Urin (Poliuria)

Poliuria merupakan kondisi dimana terjadinya peningkatan volume air kemih

dalam 24 jam yang melebihi batas normal. Poliuria timbul sebagai gejala diabetes

melitus dikarenakan kadar glukosa dalam darah yang relatif tinggi, sehingga tubuh

tidak sanggup untuk mengurainya dan berusaha untuk mengeluarkannya melalui urin.

Pada umumnya, gejala ini lebih sering terjadi pada malam hari dan urin yang

dikeluarkan mengandung glukosa.

8
2. Timbul Rasa Haus (Polidipsia)

Polidipsia merupakan rasa haus berlebihan yang ditim--lkan karena kadar

glukosa yang terbawa oleh urin, sehingga tubuh merespon untuk meningkatkan

asupan cairan.

3. Timbul Rasa Lapar (Polifagia)

Pasien yang mengalami diabetes melitus akan terus merasakan lapar atau yang

juga disebut sebagai polifagia, hal tersebut disebabkan karena glukosa dalam tubuh

yang semakin menurun seiring dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah.

4. Peningkatan Sekresi Keringat

Oleh karena peningkatan kadar glukosa dalam darah, glukosa yang tidak dapat

terurai akan dikeluarkan oleh tubuh melalui keringat sehingga pasien diabetes melitus

akan mudah mengeluarkan banyak keringat.

5. Penurunan Berat Badan

Pasien diabetes melitus juga akan mengalami penurunan berat badan yang

signifikan, hal tersebut disebabkan karena tubuh terpaksa mengambil dan membakar

lemak sebagai cadangan energi karena glukosa yang terdapat dalam darah tidak dapat

dipecah menjadi energi oleh hormon insulin.

6. Lesu

Selain beberapa gejala di atas, pasien diabetes melitus juga akan mudah

merasakan lesu yang disebabkan karena glukosa dalam tubuh yang telah banyak

dibuang melalui keringat atau urin, sehingga menyebabkan tubuh merasa lesu dan

mudah lelah.

9
2.1.4 Penanganan Diabetes Melitus

2.1.4.1 Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologi merupakan penanganan diabetes melitus yang tidak

melibatkan obat. Menurut Nugroho (2012), terapi non farmakologi yang dapat

dilakukan untuk pasien diabetes melitus adalah sebagai berikut.

1. Diet

Diet yang bertujuan sebagai terapi non farmakologi diabetes melitus

dilakukan dengan cara mengkonsumsi makanan dengan komposisi yang seimbang

dalam hal karbohidrat, lemak dan protein, serta banyak minum air putih. Adapun

komposisi makanan yang disarankan untuk pasien diabetes melitus adalah

mengandung 60-70% karbohidrat, 10-15% protein dan 20-25% lemak.

2. Olahraga

Dalam Perkeni (2011), disebutkan bahwa olahraga yang dilaksanakan secara

teratur akan dapat memperbaiki kondisi glukosa dalam darah, karena latihan fisik

pada pasien diabetes melitus dapat menyebabkan peningkatan penggunaan glukosa

darah oleh otot yang aktif sehingga dapat menyebabkan penurunan kadar glukosa

darah dan memperbaiki sensitivitas insulin.

2.1.4.2 Terapi Farmakologi

Berbeda dengan terapi non farmakologi, terapi ini membutuhkan obat agar

pasien diabetes melitus dapat menurunkan dan menjaga kadar glukosa dalam

tubuhnya. Pada umumnya, terapi farmakologi semua tipe diabetes melitus, kecuali

tipe 1 dapat dilakukan dengan cara pemberian beberapa kelompok obat anti diabetes

melitus oral, yaitu penghambat glukosidase-α, sulfonilurea dan biguanid.

10
2.2 Perbedaan Obat Anti Diabetes Oral

Pada percobaan yang telah dilakukan, digunakan tiga jenis obat anti diabetes

oral yang memiliki perbedaan dalam hal mekanisme kerja dan waktu pemberiannya,

sebagai berikut.

1. Acarbose

Acarbose merupakan obat anti diabetes atau anti hiperglikemik golongan

penghambat glukosidase-α yang bekerja dengan cara memecah sukrosa dan

karbohidrat kompleks di usus dan memperpanjang penyerapan karbohidrat hingga

diperoleh pengurangan glukosa postprandial (40-50 mg/dL atau setara dengan 2,2-2,8

mmol/L) dengan tidak mengubah GDP (±10% pengurangan), sehingga diperoleh efek

bersih. Obat golongan ini cocok untuk pasien yang memiliki tingkat target A1C

dengan tingkat FPG mendekati normal, tetapi memiliki tingkat postprandial yang

tinggi (DiPiro, 2015).

Berbeda dengan obat anti diabetes golongan penghambat glukosidase-α

lainnya, acarbose menghambat alpha amilase dan alpha-glukosidase lainnya,

sehingga penyerapan pati dan karbohidrat lain dari perbatasan intestine terhambat.

Selain itu, acarbose juga memiliki efek hemat insulin yang menyebabkan sekresi

hormon incretin dalam tubuh meningkat, menghambat pelepasan postprandial dari

Gastric Inhibitory Polypeptide (GIP), serta membantu mengurangi berat tubuh.

Acarbose tidak diserap di usus karena memiliki bioavailabilitas yang rendah,

sehingga obat tersebut dieksresikan melalui jalur fekal. Oleh karena mekanisme kerja

dari obat golongan penghambat glukosidase-α mengarah kepada penurunan glikemia

dan efek osmotik yang tidak diinginkan, maka disakarida yang tetap berada dalam

11
lumen usus mungkin menyebabkan perut kembung, diare dan sakit perut. Obat

golongan inhibitor glukosidase-α akan lebih efektif bila tertelan pada awal makan,

yaitu suapan pertama dari makanan. Oleh sebab itu, cara penggunaan acarbose

disarankan pada saat makan agar obat tersebut dapat memberikan efek farmakologi

yang semaksimal mungkin (Kalra, 2012).

Efek samping dari pemberian acarbose adalah perut kembung, diare dan

kejang abdominal yang dapat dikurangi dengan cara mengurangi dosis pemberian

obat tersebut. Selain itu, karena fungsinya sebagai penurun kadar glukosa dalam

darah, acarbose juga dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Jika terjadi kondisi

hipoglikemia, maka sebaiknya pemberian acarbose didampingi dengan agen

hipoglikemi, misalnya golongan sulfonilurea atau insulin, produk glukosa oral

maupun parenteral (dextrosa), serta glukagon (Priyanto, 2009).

Gambar 2.1. Struktur Kimia Acarbose

2. Glimepirid

Glimepirid merupakan obat anti diabetes oral yang termasuk dalam kelompok

sulfonilurea generasi kedua. Sulfonilurea merupakan obat anti diabetes oral yang

pertama kali ditemukan dan telah menjadi pilihan utama untuk penderita diabetes

dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami

ketoasidosis sebelumnya. Oleh karena glimepirid termasuk dalam kelompok

12
sulfonilurea, maka mekanisme kerjanya adalah dengan merangsang sekresi insulin di

kelenjar pankreas. Hal tersebut menyebabkan glimepirid hanya efektif digunakan

apabila sel-sel beta pada Langerhans pankreas masih dapat memproduksi hormon

insulin. Penurunan kadar glukosa dalam darah oleh glimepirid dan obat kelompok

sulfonilurea lainnya disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin pada kelenjar

pankreas yang bersifat berbeda dengan perangsangan oleh glukosa (Archer et al.,

2013).

Glimepirid dan obat kelompok sulfonilurea lainnya diabsorpsi dengan baik

melalui usus, sehingga dapat diberikan dengan rute per oral. Setelah diabsorpsi di

usus, selanjutnya glimepirid didistribusikan ke seluruh cairan ekstrasel di dalam

tubuh dan dalam plasma darah sebagian besar terikat pada albumin, yaitu sekitar 70-

90%. Efek samping yang ditimbulkan akibat pemberian glimepirid dan obat

kelompok sulfonilurea lainnya adalah gangguan saluran pencernaan berupa mual,

diare, sakit perut, dan hipersekresi asam lambung, serta gangguan susunan saraf pusat

berupa sakit kepala, vertigo, ataksia, dan lain sebagainya (Cheung et al., 2012).

Gambar 2.2. Struktur Kimia Glimepirid

13
3. Metformin

Satu-satunya obat anti diabetes oral dari kelompok biguanid yang masih

digunakan pada saat ini adalah metformin. Mekanisme kerja dari metformin adalah

dengan cara menghambat produksi glukosa hati, yaitu glukoneogenesis hepatik, juga

memperlambat absorbsi gula oleh usus dan meninggkatkan ambilan, penggunaannya

di perifer. Sebenarnya, mekanisme kerja dari obat ini masih belum diketahui secara

merinci, namun diketahui apabila efek primer yang ditimbulkan setelah penggunaan

metformin adalah teraktivasinya enzim AMP-activated, Protein Kinase (AMPK) dan

mengurangi produksi glukosa hati. AMPK diaktivasi dengan fosfolirasi ketika

simpanan energi sel berkurang. AMPK yang aktif tersebut menstimulasi oksidasi

asam lemak, penyerapan glukosa, dan metabolisme nonoksidatif, serta mengurangi

lipogenesis dan glukoneogenesis, sehingga akhirnya meningkatkan glikogen otot,

menurunkan produksi glukosa hati, meningkatkan sensitivitas insulin, dan

menurunkan kadar glukosa darah (Katzung et al., 2017).

Efek samping yang paling umum ditimbulkan akibat pemberian metformin

adalah abdominal discomfort, stomach upset, diare, dan anorexia. Efek samping

tersebut dapat diminimalisir dengan menggunakan dosis pemberian yang bertahap

dan waktu pemberian yang dilakukan bersamaan dengan makanan. Pada umumnya,

metformin digunakan untuk pasien yang mengalami kelebihan berat badan atau

obesitas diabetes melitus tipe 2. Hal tersebut dikarenakan metformin merupakan satu-

satunya obat anti diabetes oral yang telah terbukti dapat mengurangi resiko kematian

total (DiPiro, 2015).

14
Gambar 3. Struktur Kimia Metformin

2.3. Tikus Putih dan manusia

TIKUS PUTIH
TAKSONOMI MANUSIA
(ALBINO)
KINGDOM Animalia Animalia
FILUM Chordata Chordata
KELAS Mamalia Mamalia
ORDO Primata Rodentia
FAMILI Hominidae Muridae
GENUS Homo Rattus
SPESIES Sapiens Rattus norvegicus

Tikus dan manusia sama-sama mamalia, dan bertulang belakang, jika dilihat

dari gambar diatas, maka manusia dan tikus memiliki struktur, dan anatomi tubuh

15
yang mirip. Berdasarkan penelitian telah diketahui bahwa struktur organ tikus putih

dan metabolisme yang sangat homolog dengan manusia. (Hilmi dkk., 2018).

16
BAB III
METODE KERJA

3.1 Alat, Bahan, dan Hewan Uji


Alat Bahan
1. Spuit injeksi 1 mL 1. Aquadest

2. Jarum oral (ujung tumpul) 2. Larutan metformin HCl

(300mg/kgBB)

3. Stopwatch 3. Suspensi glimepirid (1mg/kgBB)

4. Beaker glass 4. Suspensi acarbose (30mg/kgBB)

5. Gelas ukur 5. Streptozotosin 40mg/kgBB

6. Mortir dan stamper 6. Na sitrat 0,01 M

7. Pipet tetes 7. Larutan CMC Na 1%

8. Kertas saring

9. Corong Hewan Uji

10. Glucometer Tikus Putih

3.2 Metodologi

1. Hewan uji yang telah diadaptasikan dengan lingkungan selama 10 – 14 hari

2. Hewan uji dipuasakan terlebih dahulu selama 12 jam sebelum diinduksi STZ

3. STZ dilarutkan dalam 0,01 M buffer sitrat (pH 4,5) dalam jangka waktu 15

menit sebelum digunakan. Pembuatan Na sitrat 1,47 g dalam 50 mL

4. STZ diberikan secara intra peritoneal pada hari ke 0 dan 3

17
5. Pengamatan gula darah dilakukan pada hari ke 5, kemudian dilanjutkan

dengan pemberian intervensi

6. Hewan uji dalam kelompok tersebut dibagi menjadi 4 kelompok masing –

masing mendapatkan intervensi yang berbeda

a. Pada kelompok I tikus mendapatkan kontrol aquadest

b. Pada kelompok II tikus mendapatkan larutan metformin

c. Pada kelompok III tikus mendapatkan suspensi glimepirid

d. Pada kelompok IV tikus mendapatkan suspensi acarbose

7. Pemberian intervensi dilakukan selama 2 minggu berturut – turut pada waktu

yang sama

8. Dilakukan pengukuran gula darah (post test)

9. Analisis menggunakan anova

18
3.3 Bagan Kerja

Tikus bobot 150 – 180 g, usia 2 – 3 bulan sejumlah 20


Timbang dan beri label / penandaan

Pemberian STZ (dalam buffer sitrat) pada hari ke 0 dan 3 secara IP,
sebelumnya dipuasakan terlebih dahulu selama 12 jam

Kel. Kontrol (5 ekor) Kel. Uji A (5 ekor) Kel. Uji B (5 ekor) Kel. Uji B (5 ekor)
Aquadest Larutan metformin Suspensi glimepirid Suspensi acarbose

Pemberian sediaan kontrol dan uji pada masing – masing kelompok


diulangi setiap hari selama 2 minggu pada waktu yang sama

Pada hari ke 14, setalah mengulangi langkah di atas;


30 menit kemudian ditimbang kembali berat badan dan gula darah
menggunakan glucometer metode tail-tip-nicking

Analisis hasil yang didapatkan

19
3.4. Perhitungan Dosis
1. Acarbose
1 tablet acarbose yang dibuat suspensi 50mL dengan 0,5 g CMC-Na.
C = 100 mg/50 mL
= 2 mg/mL
2. Glimepirid
2 tablet glimepirid dibuat suspensi 50 mL dengan 0,5 g CMC-Na.
C = 4 mg/50 mL
= 0,08 mg/mL
3. Metformin
2 tablet metformin dilarutkan dalam 25 mL aquadest.
C = 1000 mg/25 mL
= 40 mg/mL

Perhitungan Volume Pemberian Acarbose


1. Pemberian Oral 31 Oktober 2019

Tikus Berat Badan (g) Volume Pemberian (mL)

A 146 2,19
B 135 2,02
C 162 2,43
D 176 2,64
E 171 2,56

Volume Pemberian = Berat Badan / Konsentrasi x Dosis


VP A = 0,146 / 2mg/mL x 30 mg = 2,18 mL
VP B = 0,135 / 2mg/mL x 30 mg = 2,02 mL
VP C = 0,162 / 2mg/mL x 30 mg = 2,43 mL
VP D = 0,176 / 2mg/mL x 30 mg = 2,64 mL

20
VP E = 0,171 / 2mg/mL x 30 mg = 2,56 mL
Keterangan : Tikus E mati karena adanya salah pemberian obat, dimungkinkan
karena obat masuk ke dalam paru-paru tikus sehingga tikus tidak dapat bernafas
2. Pemberian Oral 1 November 2019
Tikus Berat Badan (g) Volume Pemberian (mL)

A 144 2,19
B 133 1,99
C 168 2,52
D 178 2,67

Volume Pemberian = Berat Badan / Konsentrasi x Dosis


VP A = 0,144 / 2mg/mL x 30 mg = 2,19 mL
VP B = 0,133 / 2mg/mL x 30 mg = 1,99 mL
VP C = 0,168 / 2mg/mL x 30 mg = 2,52 mL
VP D = 0,178 / 2mg/mL x 30 mg = 2,67 mL
3. Pemberian Oral 4 November 2019
Tikus Berat Badan (g) Volume Pemberian (mL)

A 151 2,26
B 139 2,08
C 175 2,62
D 178 2,67

Volume Pemberian = Berat Badan / Konsentrasi x Dosis


VP A = 0,151 / 2mg/mL x 30 mg = 2,26 mL
VP B = 0,139 / 2mg/mL x 30 mg = 2,08 mL
VP C = 0,175 / 2mg/mL x 30 mg = 2,62 mL
VP D = 0,178 / 2mg/mL x 30 mg = 2,67 mL
4. Pemberian Oral 7 November 2019
Tikus Berat Badan (g) Volume Pemberian (mL)

21
A 160 2,4
B 149 2,23
C 180 2,7
D 185 2,77

Volume Pemberian = Berat Badan / Konsentrasi x Dosis


VP A = 0,160 / 2mg/mL x 30 mg = 2,4 mL
VP B = 0,149 / 2mg/mL x 30 mg = 2,23 mL
VP C = 0,180 / 2mg/mL x 30 mg = 2,7 mL
VP D = 0,185 / 2mg/mL x 30 mg = 2,77 mL
5. Pemberian Oral 10 November 2019
Tikus Berat Badan (g) Volume Pemberian (mL)

A 185 1,39
B 150 1,12
C 185 1,39
D 200 1,5

Volume Pemberian = Berat Badan / Konsentrasi x Dosis


VP A = 0,185 / 4mg/mL x 30 mg = 1,39 mL
VP B = 0,15 / 4mg/mL x 30 mg = 1,12 mL
VP C = 0,185 / 4mg/mL x 30 mg = 1,39 mL
VP D = 0,2 / 4mg/mL x 30 mg = 1,5 mL
6. Pemberian Oral 13 November 2019
Tikus Berat Badan (g) Volume Pemberian (mL)

A 187 1,4
B 150 1,12
C 187 1,4
D 182 1,36

22
Volume Pemberian = Berat Badan / Konsentrasi x Dosis
VP A = 0,187 / 4mg/mL x 30 mg = 1,4 mL
VP B = 0,15 / 4mg/mL x 30 mg = 1,12 mL
VP C = 0,187 / 4mg/mL x 30 mg = 1,4 mL
VP D = 0,182 / 4mg/mL x 30 mg = 1,36 mL

23
BAB IV

ANALISIS DATA

4.1 Data Penimbangan Berat Badan Awal (Pre) dan Akhir (Post)

Pengukuran berat badan dilakukan pada semua kelompok. Bobot badan semua

kelompok selama praktikum disajikan dalam tabel. Berikut hasil penimbangan

masing-masing kelompok. Disertai jumlah kematian masing-masing tikus selama

praktikum.

Penimbangan Berat Badan


Tikus Berat Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV

Badan (Kontrol Negatif) (Metformin) (Glimepiride) (Acarbose)


I Pre 0,130 0,166 0,165 0,146
Post 0,157 0,149 0,176 0,187
II Pre 0,107 0,154 0,155 0,171
Post 0,142 0,143 0,160 0,150
III Pre 0,109 0,131 0,136 0,162
Post 0,143 0,141 0,160 0,187
IV Pre 0,120 0,168 0,149 0,176
Post 0,124 0,166 Mati 0,182
V Pre 0,120 0,237 0,166 0,135
Post 0,140 0,206 0,151 Mati
Tabel 4.1. Berat Badan Tikus Kelompok E Sebelum Perlakuan (Pre) dan sesudah

Perlakuan (Post)

4.1.1 Analisis Berat Badan Sebelum P.O (Pre)

Pada data diatas selanjutnya kita analisis menggunakan RStudio. Data berat

badan tikus Pre diatas termasuk jenis data rasio dengan jumlah tikus masing-masing

kelompok mendapatkan 5 ekor tikus, sehingga diuji dengan menggunakan metode

parametrik dengan menggunakan analisis statistik annova yang mempunyai syarat

24
berdistribusi normal. Uji Normalitas (Shapiro-wilk normality test) dari data berat

badan tikus sebelum perlakuan (Pre), sebagai berikut:

Gambar 4.1. Hasil Analisis Berat Badan Sebelum P.O (Pre)

25
Pada analisis diatas dapat diketahui jika data berat badan pre terdistribusi

normal, karena p-value memenuhi syarat diatas 0,05. Sedangkan pada uji

homogenitas, data berat badan pre tidak terdistribusi homogen, karena p-value kurang

dari 0,05. Sehingga dilakukan uji annova Tukey HSD dan ada beda yang signifikan

pada data berat badan sebelum perlakuan, karena terdapat p-value dibawah 0,05.

4.1.2 Analisis Berat Badan Sesudah P.O (Post)

Selanjutnya adalah analis data berat badan setelah perlakuan peroral (post),

dengan data diatas termasuk jenis data rasio tapi karena ada beberapa tikus mati

dibeberapa kelompok uji, sehingga diuji dengan menggunakan metode non-

parametrik dengan menggunakan analisis statistik dunn.test yang mempunyai syarat

berdistribusi normal.

26
Gambar 4.2. Hasil Analisis Berat Badan Sesudah P.O (Post)

27
Berdasarkan hasil uji normalitas di atas, diperoleh hasil bahwa berat badan

tikus pada perlakuan kontrol, metformin dan glimepirid memenuhi syarat

berdistribusi normal karena p-value >0,05. Sedangkan berat badan tikus pada

perlakuan acarbose tidak memenuhi syarat berdistribusi normal karena p-value <0,05.

Pada metode analisis dunn.test berat badan tikus sesudah perlakuann didapatkan hasil

bahwa ada beda berat badan tikus. Karena nilai p-value < 0,05. Ditunjukan dengan

hasil analisis dunn.test pada gambar.

4.2 Data Kadar Gula Darah Sebelum dan Sesudah Perlakuan

Pengambilan cek gula darah dilakukan pada semua kelompok. Gula Darah

semua kelompok selama praktikum disajikan dalam tabel. Berikut hasil cek gula

darah masing-masing kelompok, sebelum dan sesudah praktikum.

Kadar Gula Darah (mg/dl)


Tikus Gula Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV

Darah (Kontrol Negatif) (Metformin) (Glimepiride) (Acarbose)


I Pre 103 115 114 102
Post 94 116 132 98
II Pre 122 100 103 149
Post 98 56 104 103
III Pre 116 83 152 85
Post 111 82 98 62
IV Pre 101 100 125 103
Post 100 108 Mati 38
V Pre 116 110 132 78
Post 116 59 80 Mati
Tabel 4.2. Kadar Gula Tikus Kelompok E Sebelum Perlakuan (Pre) dan sesudah

Perlakuan (Post)

28
4.2.1 Analisis Gula Darah Sebelum Per Oral (Pra)

Pada data diatas selanjutnya kita analisis menggunakan RStudio. Data gula

darah sebelum sebelum perlakuan (Pre) diatas termasuk jenis data rasio dengan

jumlah tikus masing-masing kelompok mendapatkan 5 ekor tikus, sehingga diuji

dengan menggunakan metode non parametrik dengan menggunakan analisis statistik

annova yang mempunyai syarat berdistribusi normal.

29
Gambar 4.3. Hasil Analisis Gula Darah Sebelum Per Oral (Pra)

Sehingga menunjukan bahwa data diatas terdistribusi normal. Selanjutnya adalah

analisis Homogenitas dengan menggunakan barllet test of homogeneity dengan hasil

p-value = 0.02809, sehingga data diatas terdistribusi normal tapi tidak homogen.

Setelah selesai uji normalitas dan uji homogenitas. Kita menentukan apakah ada beda

berarti diantara tikus masing-masing kelompok. Dengan menggunakan metode

Tukey HSD sebagai berikut. Jika nilai p-value >0,05 maka data tidak ada beda

berarti. Sedangkan nilai p-value <0,05 Maka data ada beda. (‘Ula, Zahrotul. 2015)

4.2.2 Analisis Data Gula Darah Sesudah Per Oral (Post)

Selanjutnya adalah analis data gula darah setelah perlakuan peroral (post),

dengan data diatas termasuk jenis data rasio tapi karena ada beberapa tikus mati

dibeberapa kelompok uji, sehingga diuji dengan menggunakan analisis statistik

dunn.test yang mempunyai syarat berdistribusi normal.

30
Gambar 4.4. Hasil Analisis Data Gulaa Darah Sesudah Per Oral (Post)

Berdasarkan hasil uji normalitas di atas, diperoleh hasil bahwa semua berat

badan tikus pada perlakuan kontrol, metformin, glimepirid dan acarbose memenuhi

syarat berdistribusi normal karena p-value >0,05.

31
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini, dilakukan praktikum uji pengaruh obat antidiabetes.

Dengan tujuan agar dapat mengetahui pengaruh senyawa oral antidiabetic drugs

(OADs). Pada tiap kelompok diberikan masing-masing 5 tikus uji. Dengan obat uji

yang berbeda yakni Kontrol (Tanpa Obat), Metformin, Glimepiride, dan Acarbose.

Sebelum perlakuan, terlebih dahulu tikus diberi pemberian STZ ( dalam buffer sitrat)

pada hari ke 0 dan 3 secara intravena, sebelumnya dipuasakan terlebih dahulu selama

12 jam.

Menurut teori, Induksi diabetes dengan STZ dosis 40 mg/kg berat badan

disertai pemberian sukrosa 30% mampu meningkatkan glukosa darah puasa dan berat

badan tikus secara signifikan. Penggunaa dosis 40 mg/kg berat badan tikus

didasarkan karena aplikasi dosis dibawah 40mg/kg berat badan pada tikus meski pada

awalnya terjadi hiperglikemi akan tetapi secara spontan akan terjadi mekanisme

perbaikan dalam waktu singkat dari kondisi diabetes dengan kondisi volume urin

normal dan sangat sedikitnya atau bahkan tidak terjadi glikosuria.

Reaksi STZ terhadap sel-β pankreas disertai dengan perubahan karakteristik

pada insulin darah dan konsentrasi glukosa yang meyebabkan hiperglikemia dan

menurunnya level insulin dalam darah. STZ mempengaruhi oksidasi glukosa dan

menurunkan biosintesis dan sekresi insulin. STZ masuk ke sel-β pankreas melalui

transporter glukosa GLUT2 menyebabkan menurunnya ekspresi dari GLUT2. Hal ini

32
mengakibatkan penurunnya sensitifitas reseptor insulin perifer sehingga berdampak

pada meningkatnya resistensi insulin dan meningkatkan kadar glukosa darah. STZ

mampu mempengaruhi glukosa darah melalui 3 mekanisme yakni antara lain :

1) Penumpulan atau hilangnya respon insulin tahap pertama, sehingga sekresi

insulin terlambat dan gagal mengembalikan lonjakan gula darah prandial dalam

waktu yang normal,

2) Penurunan sensitifitas insulin sebagai respon terhadap glukosa sedemikian

hingga menyebabkan hiperglikemia,

3) Gagal memberikan stimulasi terhadap respon insulin yang wajar. Pemberian

sukrosa memperbesar gejala diabetes yang dinduksi STZ dengan meningkatkan

glukosa darah dan deposit lemak dan juga berat badan pada tikus.

Pemberian larutan sukrosa dan lamanya durasi merujuk pada diet tinggi

sukrosa selama 3-5 minggu telah dapat meningkatkan level glukosa darah dan

hyperinsulinemia dan juga menurunkan sensitifitas insulin pada tikus dan pada

mencit. Diet tinggi sukrosa secara nyata merubah metabolisme glukosa yang

dimediasi insulin yang dapat menghasilkan resistensi isulin pada tikus. Peningkatan

berat badan pada kelompok diabetes dapat terjadi dikarenakan terdampaknya

regenerasi populasi sel-β dan terpengaruhnya reseptor insulin pada sel-β akibat STZ.

Mekanisme DMG mirip dengan DM Tipe-2 yang terjadi karena gangguan aksi dan

sekresi insulin pada reseptor insulin yang menyebabkan resistensi, bukan karena

rusaknya sel-β pankreas seperti pada DM Tipe1.

33
Sehingga tingginya asupan kalori pada kelompok tikus diabetes menyebabkan

peningkatan perlemakan subkutan. Karena inilah berat badan pada tikus mengalami

perubahan. Gejala – gejala penyakit diabetes melitus adalah Polyuria yaitu volume

urin yang banyak atau sering buang air kecil, Poltpipsia yaitu kurangnya cairan dalam

tubuh, Polyphagia yaitu banyaknya makan yang dapat menyebabkan meningkatnya

glukosa dalam darah. (Firdaus ,dkk, 2016)

5.1 Hasil dan Pembahasan

Dengan Kelompok kontrol (5 ekor) tanpa diberi obat. Pemberian pada sediaan

kontrol dan uji pada masing-masing kelompok diulangi setiap hari selama 2 minggu

pada waktu yang sama. Sebelum melaksanakan per-oral obat, terlebih dahulu

melakukan penimbangan berat badan untuk mengukur berapa volume pemberiaan

tiap kelompok obat. Berat badan pada percobaan kali ini ditunjukan dari hasil sebagai

berikut, dengan menggunakan analisis data rasio non-parametrik dunn.test

dikarenakan ada tikus yang mati selama percobaan:

34
Gambar 5.1 Hasil Analisis BB sesudah Perlakuan (post)

Berdasarkan hasil uji normalitas di atas, diperoleh hasil bahwa berat badan

tikus pada perlakuan kontrol, metformin dan glimepirid memenuhi syarat

berdistribusi normal karena p-value >0,05. Sedangkan berat badan tikus pada

perlakuan acarbose tidak memenuhi syarat berdistribusi normal karena p-value <0,05.

35
Pada metode analisis dunn.test berat badan tikus sesudah perlakuann didapatkan hasil

bahwa ada beda berat badan tikus. Karena nilai p-value < 0,05. Ditunjukan dengan

hasil analisis dunn.test pada gambar diatas.

Selanjutnya adalah analis data gula darah setelah perlakuan peroral (post),

dengan data diatas termasuk jenis data rasio tapi karena ada beberapa tikus mati

dibeberapa kelompok uji, sehingga diuji dengan menggunakan metode parametrik

dengan menggunakan analisis statistik dunn.test yang mempunyai syarat berdistribusi

normal:

36
Gambar 5.2 Hasil Kadar Gula Setelah Perlakuan (Post)
Berikut pembahasan mengenai kesesuaian teori dengan hasil pelaksanaan

praktikum yang dilakukan:

1. Menurut teori seharusnya, tikus kelompok kontrol negatif yang memiliki BB

yang paling tinggi, ini sesuai dengan hasil data berat badan akhir yang didapat

pada analisis data Karena pada kelompok kontrol negatif tidak diberikan

37
OADs, yang memiliki gejala DM salah satunya adalah peningkatan di berat

badan.

2. Untuk metformin menurut teori digunakan untuk pasien yang mengalami

kelebihan berat badan atau obesitas diabetes melitus tipe 2. Hal tersebut

dikarenakan metformin merupakan satu-satunya obat anti diabetes oral yang

telah terbukti dapat mengurangi resiko kematian total (DiPiro, 2015). Hal ini

sesuai dengan hasil data berat badan tikus sebelum perlakuan, ditunjukan

bahwa kelompok Metformin adalah yang memiliki BB tertinggi. Hal ini

ditunjukan pada hasil analisis data berat badan sebelum pemberian pada bab

sebelumnya. Sedangkan pada data hasil berat badan setelah perlakuan (post)

Tikus pada kelompok uji metformin tidak mengalami penurunan berat badan

yang signfikan. Pada hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

Kurangnya ketelitian praktikan dalam proses pengoralan sehingga

berkurangnya volume pemberian pada saat proses per-oral yang menyebabkan

berkurangnya dosis yang seharusnya didapatkan. Kemudian pada analisis gula

darah menurut teori, metformin merupakan first-line atau obat lini pertama

yang akan diberikan dokter kepada penderita diabetes mellitus tipe 2 karena

paling dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh. Hal ini menunjukan bahwa

data hasil percobaan kadar gula darah sesuai.

3. Lalu menurut teori, Glimepiride merupakan obat anti diabetes oral yang

termasuk dalam kelompok sulfonilurea generasi kedua. Sulfonilurea

merupakan obat anti diabetes oral yang pertama kali ditemukan dan telah

menjadi pilihan utama untuk penderita diabetes dewasa, baru, dengan berat

38
badan normal sebelumnya. Oleh karena glimepirid termasuk dalam kelompok

sulfonilurea, maka mekanisme kerjanya adalah dengan merangsang sekresi

insulin di kelenjar pankreas. Pada praktikum didapatkan juga hasil berat badan

setelah pemberian per-oral yang sesuai karena masih dalam perubahann berat

badan yang normal. Kemudian pada analisis data kadar gula darah menurut

teori, penggunaan sulfonilurea erat dengan efek samping

hipoglikemiaPenurunan kadar glukosa dalam darah oleh glimepirid dan obat

kelompok sulfonilurea lainnya disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin

pada kelenjar pankreas yang bersifat berbeda dengan perangsangan oleh

glukosa (Archer et al., 2013). Obat golongan ini umumnya adalah terapi lini

kedua dan pemberiannya dikombinasikan dengan metformin. Hal ini sesuai

dengan hasil data kadar darah setelah perlakuan oral (post) yang dapat

dilihat pada gambar 5.2 hasil kadar gula darah.

4. Selanjutnya untuk Acarbose menurut teori, Berbeda dengan obat anti

diabetes golongan penghambat glukosidase-α lainnya, acarbose menghambat

alpha amilase dan alpha-glukosidase lainnya, sehingga penyerapan pati dan

karbohidrat lain dari perbatasan intestine terhambat. Selain itu, acarbose juga

memiliki efek hemat insulin yang menyebabkan sekresi hormon incretin

dalam tubuh meningkat, menghambat pelepasan postprandial dari Gastric

Inhibitory Polypeptide (GIP), serta membantu mengurangi berat tubuh. Dari

hasil data berat badan setelah perlakuan per-oral didapatkan hasil yang sesuai

hanya pada tikus 2 yang memang sebelum perlakuan sudah sakit (kepala

miring). Sedangkan pada tikus 1, 3, dan 5 didapatkan tidak sesuai karena

39
mengalami kenaikan berat badan. Hal ini dapat terjadi dikarenakan beberapa

factor antara lain: Jenis pakan yang memang membuat para tikus memiliki

berat badan berlebih, dan efek dari acarbose yang memang secara teori

harusnya Obat golongan inhibitor glukosidase-α akan lebih efektif bila

tertelan pada awal makan, yaitu suapan pertama dari makanan. Oleh sebab itu,

cara penggunaan acarbose disarankan pada saat makan agar obat tersebut

dapat memberikan efek farmakologi yang semaksimal mungkin (Kalra, 2012).

Selanjutnya, pada analisis gula darah jika menurut teori, acarbose karena

fungsinya sebagai penurun kadar glukosa dalam darah, acarbose juga dapat

menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Jika terjadi kondisi hipoglikemia,

maka sebaiknya pemberian acarbose didampingi dengan agen hipoglikemi,

misalnya golongan sulfonilurea atau insulin, produk glukosa oral maupun

parenteral (dextrosa), serta glukagon (Priyanto, 2009). Sehingga pada analisis

data hasil kadar gula darah setelah pemberian (Gambar 5.2) selama praktikum

Acarbose telah sesuai dengan teori karena mengakibatkan tikus uji mengalami

penurunan kadar gula darah.

5.2 Keterbatasan Penelitian

Pada praktikum kali ini terjadi kematian tikus, 1 tikus pada kelompok

uji glimepiride dan 1 pada kelompok uji acarbose. Total kematian menjadi 2

tikus, kematian disebabkan karena keterbatasan praktikan antara lain:

1. Kurang hati-hati selama proses perlakuan per-oral.

2. Kurangnya ketelitian praktikan selama proses per-oral.

40
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Dari percobaan kali ini hasil yang didapatkan adalah tidak ada beda signifikan

pada kadar gula darah setelah pemberian per-Oral Antidiabetic Drugs (OAD) antara

kelompok uji Kontrol Negatif, Metfomin, Glimepiride, dan Acarbose.

6.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitan “mengetahui perbedaan Oral Antidiabetic Drugs

(OAD)” ini, diharapkan adanya penyempurnaan lagi dari segi proses praktikum

antara lain: Praktikan agar senantiasa memperhatikan bagaimana cara peroral yang

benar dan tepat volume pemberian. Dan diharapkan kedepan ada fasilitas kampus

khusus untuk pemeliharaan tikus, seperti ruangan khusus praktikum perlakuan tikus.

Dan diharapkan adanya kritik dan saran bagi penulisan laporan penelitan mengetahui

perbedaan Oral Antidiabetic Drugs (OAD) ini, dari segi penulisan yang jauh dari kata

sempurna.

41
DAFTAR RUJUKAN

American Diabetes Association. 2010. Diagnosis and Classification of Diabetes


Mellitus, Diabetes Care. Volume 35.
Archer M., Oderda G., Richards K., Turpin S. 2013. Sulfonilurea Agents and
Combination Products Drugs Class Review. Salt Lake City, Utah: University
of Utah College of Pharmacy p.3-18.
Arisman. 2011. Obesitas Diabetes Melitus dan Dislipidemia. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Aronson, J. K. (2016). Alpha-glucosidase inhibitors. In Meyler’s Side Effects of
Drugs (pp. 167–173). Philadelphia: Elsevie.

Chang, C.L.T., Y. Lin, A.P. Bartolome, Y.C. Chen, S.C. Chiu, & W.C. Yang. 2013.
Herbal Therapies for Type 2 Diabetes Mellitus: Chemistry, Biology, and
Potential Application of Selected Plants and Compounds. J Evid Based
Complementary Altern Med, 2013:1-33

Cheung B.M., Li C. 2012. Diabetes and Hypertension. Pokfulam, Hong Kong,

Springer, 14:160-166.
DiPiro. 2015. Pharmacotherapy Handbook 9th Ed. United States: McGraw-Hill
Education.
DiNicolantonio, J.J., Bhutani, J., O'Keefe. J.H. 2015. Acarbose: safe and effective for
lowering postprandial hyperglycaemia and improving cardiovascular
outcomesOpen Heart, 2(1):e000327.
Hall, J. E. (2016). Insulin, Glucagon, and Diabetes Mellitus. In Guyton and Hall
Textbookof Medical Physiology (13th ed., pp. 983–999). Philadelphia:
Elsevier.

Hilmi dkk., 2018. Tugas Praktikum Farmakologi dan Toksikologi. Malang: Machung

42
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Situasi dan Analisis Diabetes. Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesheatan RI. Jakarta.

Kalra S. 2012. Diabetes and Tuberculosis: A review od the role of optimal

glycemic control. Journal of Diabetes and Metabolic Disorders. Hal.11(28).


Katzung B.G., Masters S.B., Trevor A.J. 2017. Basic and Clinical Pharmacology.
Vol.2, Edisi.12. Editor Bahasa Indonesia Ricky Soeharsono et al., Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lanfranco, F., Ghigo, E., & Strasburger, C. J. (2016). Hormones and Athletic Perfo
Performance. In Williams Textbook of Endocrinology (13th ed., pp. 1219–
1233). Philadelphia: Elsevier Inc.

Nugroho, S. Pencegahan dan Pengendalian Diabetes Melitus Melalui Olahraga.


[artikel di internet]. 2012. (Diakses pada 30 November 2019). Diunduh dari
https://journal.uny.ac.id
Perkeni. 2011. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Punthakee, Z., Goldenberg, R., & Katz, P. (2018). Definition, Classification and
Diagnosis of Diabetes, Prediabetes and Metabolic Syndrome. Canadian
Journal of Diabetes, 42, 10–15. Rafie.

Wicak. 2009. Have Fun with Diabetes Melitus. Bandung: Trix Media.
Raveendran, A. V., & Zargar, A. H. (2017). Diabetes control during Ramadan fasting.
Cleveland Clinic Journal of Medicine, 84(5), 352–356.

Sales, P.M., Souza, P.M., Simeoni, L.A., Silveira, D. 2012. α-amylase inhibitors: a
review of raw material. Journal of Pharmacy & Pharmaceutical Sciences,
15(1):141-183

43
LAMPIRAN

44
Lampiran 2

45
Lampiran 3

46
Lampiran Berat Badan Pre

> kontrol_negatif=c(0.130,0.107,0.109,0.120,0.120)
> metformin=c(0.166,0.154,0.131,0.168,0.237)
> glimepirid=c(0.165,0.155,0.136,0.149,0.166)
> acarbose=c(0.146,0.171,0.162,0.176,0.135)
> shapiro.test(kontrol_negatif)

Shapiro-Wilk normality test

data: kontrol_negatif
W = 0.91763, p-value = 0.5147

> shapiro.test(metformin)

Shapiro-Wilk normality test

data: metformin
W = 0.86816, p-value = 0.259

> shapiro.test(glimepirid)

Shapiro-Wilk normality test

data: glimepirid
W = 0.92141, p-value = 0.5391

> shapiro.test(acarbose)

Shapiro-Wilk normality test

data: acarbose
W = 0.93726, p-value = 0.6466

> data_c=c(kontrol_negatif,metformin,glimepirid,acarbose)
> data_d=factor(rep(letters[1:4], each=5),labels=c("kontrol_negatif"
,"metformin","glimepirid","acarbose"))
> bartlett.test(data_c,data_d)

Bartlett test of homogeneity of variances

data: data_c and data_d


Bartlett's K-squared = 9.0925, df = 3, p-value = 0.02809

> dataT=aov(data_c~data_d)
> summary(dataT)
Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F)
data_d 3 0.008034 0.0026781 5.085 0.0116 *
Residuals 16 0.008426 0.0005266
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
> TukeyHSD(dataT)
Tukey multiple comparisons of means
95% family-wise confidence level

Fit: aov(formula = data_c ~ data_d)

$data_d
diff lwr upr p adj

47
metformin-kontrol_negatif 0.0540 0.0124747834 0.09552522 0.0090477
glimepirid-kontrol_negatif 0.0370 -0.0045252166 0.07852522 0.0896653
acarbose-kontrol_negatif 0.0408 -0.0007252166 0.08232522 0.0550091
glimepirid-metformin -0.0170 -0.0585252166 0.02452522 0.6526594
acarbose-metformin -0.0132 -0.0547252166 0.02832522 0.8001244
acarbose-glimepirid 0.0038 -0.0377252166 0.04532522 0.9934590

> plot(TukeyHSD(dataT))
> boxplot(data_c~data_d)
>

Lampiran Berat Badan Pre

48
Lampiran Berat Badan Post

> kontrol_negatif=c(0.157,0.142,0.143,0.124,0.140)
> metformin=c(0.149,0.143,0.141,0.166,0.206)
> glimepirid=c(0.176,0.160,0.160,0.151)
> acarbose=c(0.187,0.150,0.187,0.182)
> shapiro.test(kontrol_negatif)

Shapiro-Wilk normality test

data: kontrol_negatif
W = 0.932, p-value = 0.6101

> shapiro.test(metformin)

Shapiro-Wilk normality test

data: metformin
W = 0.81454, p-value = 0.1059

> shapiro.test(glimepirid)

Shapiro-Wilk normality test

data: glimepirid
W = 0.90903, p-value = 0.4773

> shapiro.test(acarbose)

Shapiro-Wilk normality test

data: acarbose
W = 0.72362, p-value = 0.02117

> data_m=c(kontrol_negatif,metformin,glimepirid,acarbose)
>
data_n=factor(rep(letters[1:4],c(5,5,4,4)),labels=c("kontrol_negatif
","metformin","glimepirid","acarbose"))
> install.packages("dunn.test")
Error in install.packages : Updating loaded packages
> library(dunn.test)
> dunn.test(data_m,data_n)
Kruskal-Wallis rank sum test

data: data_m and data_n


Kruskal-Wallis chi-squared = 7.8207, df = 3, p-value = 0.05

Comparison of data_m by data_n


(No adjustment)

49
Col Mean-|
Row Mean | acarbose glimepir kontrol_
---------+---------------------------------
glimepir | 0.663293
| 0.2536
|
kontrol_ | 2.656857 1.957684
| 0.0039* 0.0251
|
metformi | 1.314445 0.615272 -1.423843
| 0.0943 0.2692 0.0772

alpha = 0.05
Reject Ho if p <= alpha/2
> plot(data_m~data_n)
> boxplot(data_m~data_n)

Lampiran Berat Badan Post

50
Lampiran Lampiran Kadar Gula Darah Pre

> kontrol_negatif=c(103,122,116,101,116)
> metformin=c(115,100,83,100,109)
> glimepirid=c(114,103,152,125,132)
> acarbose=c(102,149,85,103,78)
> shapiro.test(kontrol_negatif)

Shapiro-Wilk normality test

data: kontrol_negatif
W = 0.87708, p-value = 0.2963

> shapiro.test(metformin)

Shapiro-Wilk normality test

data: metformin
W = 0.93894, p-value = 0.6584

> shapiro.test(glimepirid)

Shapiro-Wilk normality test

data: glimepirid
W = 0.98531, p-value = 0.9608

> shapiro.test(acarbose)

Shapiro-Wilk normality test

data: acarbose
W = 0.86642, p-value = 0.2522

> data_d=c(kontrol_negatif,metformin,glimepirid,acarbose)
>
data_e=factor(rep(letters[1:4],each=5),labels=c("kontrol_negatif","m
etformin","glimepirid","acarbose"))
> bartlett.test(data_d,data_e)

Bartlett test of homogeneity of variances

data: data_d and data_e


Bartlett's K-squared = 4.9487, df = 3, p-value = 0.1756

> data_Z=aov(data_d~data_e)
> summary(data_Z)
Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F)
data_e 3 1752 584.1 1.742 0.199
Residuals 16 5366 335.4
> TukeyHSD(data_Z)
Tukey multiple comparisons of means
95% family-wise confidence level

51
Fit: aov(formula = data_d ~ data_e)

$data_e
diff lwr upr p adj
metformin-kontrol_negatif -10.2 -43.338465 22.93847 0.8148007
glimepirid-kontrol_negatif 13.6 -19.538465 46.73847 0.6509461
acarbose-kontrol_negatif -8.2 -41.338465 24.93847 0.8924758
glimepirid-metformin 23.8 -9.338465 56.93847 0.2098472
acarbose-metformin 2.0 -31.138465 35.13847 0.9980912
acarbose-glimepirid -21.8 -54.938465 11.33847 0.2740851

> plot(TukeyHSD(data_Z))
> boxplot(data_d~data_e)

Lampiran Kadar Gula Darah Pre

52
Lampiran Kadar Gula Post
> kontrol_negatif=c(94,98,111,100,116)
> metformin=c(116,56,82,108,59)
> glimepirid=c(132,104,98,80)
> acarbose=c(98,103,62,38)
> shapiro.test(kontrol_negatif)

Shapiro-Wilk normality test

data: kontrol_negatif
W = 0.91476, p-value = 0.4967

> shapiro.test(metformin)

Shapiro-Wilk normality test

data: metformin
W = 0.88735, p-value = 0.344

> shapiro.test(glimepirid)

Shapiro-Wilk normality test

data: glimepirid
W = 0.9674, p-value = 0.8253

> shapiro.test(acarbose)

Shapiro-Wilk normality test

data: acarbose
W = 0.90028, p-value = 0.4324

Comparison of data_o by data_p


(No adjustment)
Col Mean-|
Row Mean | acarbose glimepir kontrol_
---------+---------------------------------
glimepir | -1.261564
| 0.1036
|
kontrol_ | -1.455787 -0.125981
| 0.0727 0.4499
|
metformi | -0.503926 0.825879 1.009601
| 0.3072 0.2044 0.1563

alpha = 0.05
Reject Ho if p <= alpha/2
> plot(data_o~data_p)
> boxplot(data_o~data_p)

53
Lampiran Kadar Gula Post
Perhitungan Dosis
1. Acarbose
1 tablet acarbose yang dibuat suspensi 50mL dengan 0,5 g CMC-Na.
C = 100 mg/50 mL
= 2 mg/mL
2. Glimepirid
2 tablet glimepirid dibuat suspensi 50 mL dengan 0,5 g CMC-Na.
C = 4 mg/50 mL
= 0,08 mg/mL
3. Metformin
2 tablet metformin dilarutkan dalam 25 mL aquadest.
C = 1000 mg/25 mL
= 40 mg/mL

Perhitungan Volume Pemberian Acarbose

54
1. Pemberian Oral 31 Oktober 2019

Tikus Berat Badan (g) Volume Pemberian (mL)

A 146 2,19
B 135 2,02
C 162 2,43
D 176 2,64
E 171 2,56

Volume Pemberian = Berat Badan / Konsentrasi x Dosis


VP A = 0,146 / 2mg/mL x 30 mg = 2,18 mL
VP B = 0,135 / 2mg/mL x 30 mg = 2,02 mL
VP C = 0,162 / 2mg/mL x 30 mg = 2,43 mL
VP D = 0,176 / 2mg/mL x 30 mg = 2,64 mL
VP E = 0,171 / 2mg/mL x 30 mg = 2,56 mL
Keterangan : Tikus E mati karena adanya salah pemberian obat, dimungkinkan
karena obat masuk ke dalam paru-paru tikus sehingga tikus tidak dapat bernafas
2. Pemberian Oral 1 November 2019
Tikus Berat Badan (g) Volume Pemberian (mL)

A 144 2,19
B 133 1,99
C 168 2,52
D 178 2,67

Volume Pemberian = Berat Badan / Konsentrasi x Dosis


VP A = 0,144 / 2mg/mL x 30 mg = 2,19 mL
VP B = 0,133 / 2mg/mL x 30 mg = 1,99 mL
VP C = 0,168 / 2mg/mL x 30 mg = 2,52 mL
VP D = 0,178 / 2mg/mL x 30 mg = 2,67 mL
3. Pemberian Oral 4 November 2019

55
Tikus Berat Badan (g) Volume Pemberian (mL)

A 151 2,26
B 139 2,08
C 175 2,62
D 178 2,67

Volume Pemberian = Berat Badan / Konsentrasi x Dosis


VP A = 0,151 / 2mg/mL x 30 mg = 2,26 mL
VP B = 0,139 / 2mg/mL x 30 mg = 2,08 mL
VP C = 0,175 / 2mg/mL x 30 mg = 2,62 mL
VP D = 0,178 / 2mg/mL x 30 mg = 2,67 mL
4. Pemberian Oral 7 November 2019
Tikus Berat Badan (g) Volume Pemberian (mL)

A 160 2,4
B 149 2,23
C 180 2,7
D 185 2,77

Volume Pemberian = Berat Badan / Konsentrasi x Dosis


VP A = 0,160 / 2mg/mL x 30 mg = 2,4 mL
VP B = 0,149 / 2mg/mL x 30 mg = 2,23 mL
VP C = 0,180 / 2mg/mL x 30 mg = 2,7 mL
VP D = 0,185 / 2mg/mL x 30 mg = 2,77 mL
5. Pemberian Oral 10 November 2019
Tikus Berat Badan (g) Volume Pemberian (mL)

A 185 1,39
B 150 1,12
C 185 1,39
D 200 1,5

56
Volume Pemberian = Berat Badan / Konsentrasi x Dosis
VP A = 0,185 / 4mg/mL x 30 mg = 1,39 mL
VP B = 0,15 / 4mg/mL x 30 mg = 1,12 mL
VP C = 0,185 / 4mg/mL x 30 mg = 1,39 mL
VP D = 0,2 / 4mg/mL x 30 mg = 1,5 mL
6. Pemberian Oral 13 November 2019
Tikus Berat Badan (g) Volume Pemberian (mL)

A 187 1,4
B 150 1,12
C 187 1,4
D 182 1,36

Volume Pemberian = Berat Badan / Konsentrasi x Dosis


VP A = 0,187 / 4mg/mL x 30 mg = 1,4 mL
VP B = 0,15 / 4mg/mL x 30 mg = 1,12 mL
VP C = 0,187 / 4mg/mL x 30 mg = 1,4 mL
VP D = 0,182 / 4mg/mL x 30 mg = 1,36 mL

57

Anda mungkin juga menyukai