Anda di halaman 1dari 13

PERCOBAAN VII OBAT ANTIDIABETIK PADA MENCIT

A. Tujuan 1. Mengamati pengaruh obat antidiabetik terhadap kadar glukosa darah mencit 2. Membandingkan kadar glukosa darah antara pengaruh obat antidiabetik dan kontrol 3. Menjelaskan mekanisme kerja obat-obat antidiabetik 4. Mengetahui berbagai metode pengukuran kadar glukosa darah.

B. Dasar Teori Diabetes merupakan penyakit tunggal. Diabetes merupakan suatu grup sindrom heterogen yang semua gejalanya ditandai dengan peningkatan gula darah yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut. Pelepasan insulin yang tidak adekuat diperberat oleh glukagon yang berlebihan. Diabetes dapat dibagi menjadi dua grup atas dasar kebutuhan akan insulin: diabetes melitus tergantung insulin (IDDM atau Tipe I) dan diabetes melitus tidak tergantung insulin (NIDDM atau tipe II). Kira-kira satu sampai dua juta pasien menderita IDDM, sisanya 80 sampai 90% penderita NIDDM (Mycek, 2001). Prevalensi penyakit diabetes mellitus di negara berkembang termasuk Indonesia diramalkan akan terus meningkat. Pada tahun 2003 didapatkan jumlah penderita diabetes mellitus di Indonesia mencapai 13,7 juta jiwa. Berdasarkan pola pertambahan penduduk seperti saat ini, diperkirakan pada tahun 2030 akan terdapat 194 juta penduduk Indonesia berusia diatas 20 tahun dengan 20,1 juta orang diantaranya menderita diabetes mellitus (Noffritasari, 2006). DM tipe I (IDDM) terjadi pada 10% dari semua kasus diabetes. Secara umum, DM tipe ini berkembang pada anak-anak atau pada awal masa dewasa yang disebabkan oleh kerusakan sel pankreas akibat autoimun, sehingga

terjadi defisiensi insulin absolut. Reaksi autoimun umumnya terjadi setelah waktu yang panjang (9-13 tahun) yang ditandai oleh adanya parameterparameter sistem imun ketika terjadi kerusakan sel . Hiperglikemia terjadi bila 80%-90% dari sel rusak. Penyakit DM dapat menjadi penyakit menahun dengan resiko komplikasi dan kematian (Sukandar, 2008). DM tipe 2 (NIDDM) terjadi pada 90% dari semua kasus diabetes dan biasanya ditandai dengan resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif. Resistensi insulin ditandai dengan peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik, dan penurunan pengambilan glukosa pada otot skelet. Disfungsi sel mengakibatkan gangguan pada pengontrolan glukosa darah. DM tipe 2 lebih disebabkan karena gaya hidup dibanding pengaruh genetik. Diabetes yang disebabkan oleh faktor lain termasuk gangguan endokrin, diabetes melitus gestasional, karena obat, dan penyakit pankreas eksokrin (Sukandar,2008). Pankreas adalah suatu organ lonjong kira-kira 15 cm, yang terletak di belakang lambung dan sebagian di belakang hati. Organ ini terdiri dari 98 % sel-sel dengan ekskresi ekstern yang memproduksi enzim-enzim cerna yang disalurka ke duodenum. Sisanya terdiri dari kelompok sel (pulau langerhearns) dengan sekresi intern, yakni hormon-hormon yang langsung disalurkan ke aliran darah. Sel pada pankreas memproduksi hormon glukagon. Sel pada pankreas menskresikan insulin yang nantinya akan diangkut ke hati dan sisanya dirombak di ginjal (Tjay, 2007). Resistensi insulin adalah salah satu penyebab penyakit Diabetes Mellitus, resistensi insulin adalah peristiwa dimana sel-sel menjadi kurang peka bagi insulin dengan efek berkurangnya penyerapan glukosa dari darah. Lagi pula sel di pankreas distimulir agar produksinya ditingkatkan, akhirnya sel tidak mampu mempertahankan peningkatan insulin ini dan terlalu sedikit glukosa memasuki sel. Akibatnya kadar glukosa darah naik dan lambat laun terjadilah diabtes tipe II. Penyebab lainnya yaitu berkurangnya jumlah reseptor yang harus mengikat insulin atau tidak bekerjanya sebagaimana mestinya (Tjay, 2007).

Pengobatan bagi DM tipe I harus tergantung pada insulin eksogen (suntikan) untuk mengontrol hiperglikemia, memelihara kadar hemoglobin glikosilat yang dapat diterima dan mencegah ketoasidosis. Sedangkan untuk diabetes tipe II, tujuan pengobatannya adalah memelihara konsentrasi glukosa dalam batas normal dan untuk mencegah perkembangan komplikasi penyakit jangka lama. Penguranan berat badan, latihan, dan modifikasi diet menurunkan resistensi insulin dan memperbaiki hiperglikemia diabetes tipe II pada berbagai penderita. Walaupun demikian, kebanyakan tergantung pada campur tangan faarmakologik dengan obat-obat antidiabetik oral (Mycek, 2001). Insulin eksogen masih merupakan obat utama untuk DM tipe 1 dan beberapa jenis DM tipe 2, terapi insulin diberikan melalui suntikan. Suntikan insulin dapat diberikan dalam berbagai cara, antara lain intravena, intramuskular, dan umumnya pada penggunaan jangka panjang lebih disukai pemberian dengan cara subkutan (Gunawan, 2009). Insulin dibagi dalam beberapa golongan, golongan pertama disebut sebagai insulin reguler, yaitu larutan insulin seng kristalin kerja singkat, biasanya diberikan secara subkutan (atau dalam keadaan darurat secara intravena) dan menurunkan gula darah dalam beberapa menit. Golongan kedua yaitu insulin kerja sedang mula kerja dari golongan ini cepat, begitu juga dengan efek puncaknya, tetapi agak lebih lambat dibanding insulin reguler. Golongan ketiga yaitu insulin ultralente yaitu merupakan suspensi kristal insulin seng (babi atau manusia) dalam buffer asetat dengan komposisi partikel besar yang lambat dipisahkan, menghasilkan awitan kerja lambat dan efek hipoglikemik lama. Pengobatan standar pasien dengan diabetes melitus mempergunakan suntikan insulin dua kali perhari. Sebaliknya pengobatan intensif mencoba menormalkan gula darah dengan suntikan insulin yang lebih sering, yaitu tiga atau empat kali perhari dalam respons untuk memonitor kadar gula darah (Mycek,2001). Ada lima golongan obat antidiabetim oral yang dapat digunakan untuk DM dan telah dipasarkan di Indonesia yakni golongan: sulfonilurea, meglitinid, biguanid, penghambat -glikoksidase, dan tiazolidinedion. Kelima

golongan ini dapat diberikan pada DM tipe II yang tidak dapat dikontrol hanya dengan diet dan latihan fisik saja (Gunawan, 2009). 1. Golongan Sulfonilurea Dikenal 2 generasi sulfonilurea, generasi 1 terdiri dari tolbutamid, tolazamid, asetoheksimid dan klorpropamid. Generasi II yang potensi hipoglikemik lebih besar antara lain glibenklamid, glipizid, gliklazid, dan glimepirid. Mekanisme kerja golongan obat ini merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel Langerhearns pankreas. Rangsangannya melalui interaksinya dengan ATP-sensitive K channel pada membran sel-sel yang menimbulkan depolarisai membran dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. Dengan terbukanya kanal Ca maka ion kalsium akan masuk ke sel , merangsang granula yang berisi insulin dan akan terjadi sekresi insulin dengan jumlah yang ekuivalen dengan peptida-C. 2. Golongan Meglitinid Repaglinid dan nateglinid merupakan golongan meglitinid, mekanisme kerjanya sama dengan sulfonilurea tapi struktur kimianya sangat berbeda. Golongan ADO ini merangsang insulin dengan menutup kanal K yang ATP-independent di sel pankreas. 3. Golongan Biguanid Sebenarnya dikenal 3 jenis ADO dari golongan biguanid: fenformin, buformin, dan metformin, tetapi yang pertama telah banyak ditarik dari peredaran karena menyebabkan asidosis laktat. Sekarang yang banyak digunakan adalah metformin. Mekanisme kerja biguanid adalah sebenarnya bukan merupakan obat hipoglikemik tetapi suatu antihiperglikemik, tidak menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan umumnya tidak menyebabkan hipoglikemia. Metformin menurunkan produksi glukosa di hepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin. Efek ini terjadi karena adanya aktivasi kinase di sel.

4. Golongan Tiazolidinedion Tiazolidinedion merupakan agonist potent dan selektif PPAR, yairu suatu senyawa yang mengaktivasi insulin-responsive genes, gen yang berperan pada metabolisme karbohidrat dan lemak. Obai ini mengaktifkan PPAR, membentuk kompleks dan terbentuklah GLUT baru. Di jaringan adip[osa mengurangi keluarnya asam lemak menuju otot, dan karenanya dapat mengurangi resistensi insulin. Senyawa ini juga dapat meningkatkan sensitivitas insulin melalui peningkatan AMP kinase yang merangsang transport glukosa ke sel dan meningkatkan oksidasi asam lemak. 5. Penghambat enzim -glikosidase Obat golongan ini dapat memperlambat absorpsi polisakarida, dekstrin, dan disakarida. Dengan menghambat kerja enzim glikosidase, dapat mencegah peningkatan glukosa plasma pada orang normal dan pasien DM. Karena kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin, maka tidak akan menyebabkan efek samping hipoglikemia. Akarbose dapat digunakan sebagai monoterapi pada DM usia lanjut. (Gunawan, 2009) Tanaman obat sebagai salah satu kekayaan alam yang dapat

dimanfaatkan dalam dunia kesehatan khususnya sebagai antidiabetik, sebenarnya telah lama dipergunakan dalam masyarakat kita, salah satu diantaranya adalah tanaman kacapiring. Tanaman kacapiring (Gardenia augusta, Merr.) yang selama ini dikenal oleh masyarakat berkhasiat untuk mengobati hepatitis, sariawan, dan menurunkan demam, ternyata juga dipercaya mempunyai efek hipoglikemik yang mungkin dapat dimanfaatkan dalam pengobatan diabetes mellitus khususnya diabetes mellitus tipe 2. Kandungan kimia daun kacapiring antara lain adalah senyawa flavonoida, saponin, iridoid glikosida, dan minyak atsiri (Noffritasari, 2006). Masing-masing senyawa flavonoida, saponin, dan iridioid glikosida ini ternyata terbukti dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan mekanisme kerja yang berbeda-beda. Kandungan kimia daun kacapiring yang berpotensi

untuk menurunkan kadar glukosa darah antara lain adalah flavonoida, saponin, dan iridoid glikosaida. Flavonoida yang terkandung dalam daun kacapiring adalah flavon, flavonon, flavonol, dan isoflavon. Penelitian yang dilakukan terhadap senyawa flavonoida menunjukkan bahwa senyawa ini mampu menurunkan kadar glukosa darah pada tikus diabetik dengan cara menghambat kerja dari GLUT2 (Glucose Transporter Isoform 2), suatu

protein transporter glukosa yang terdapat pada membran usus. Senyawa saponin yang terkandung dalam daun kacapiring adalah golongan steroid. Mekanisme kerja saponin dalam menurunkan kadar glukosa darah adalah dengan merubah struktur membran usus menjadi lebih permeabel terhadap makromolekul sehingga absorbsi terhadap mikromolekul seperti glukosa menjadi terhambat. Penelitian tarhadap senyawa iridoid glikosida yang terkandung dalam daun kacapiring (Gardenia augusta, Merr.) menunjukkan bahwa senyawa deacetylasperulosidic acid methyl ester terbukti mampu menurunkan kadar glukosa darah pada mencit normal (Noffritasari, 2006).

C. Alat dan Bahan 1. Alat a. Glukosa meter Accutrend GCT b. Jarum oral c. Spoit 5 ml d. labu takar 10 ml 2. Bahan a. Larutan CMC Na 1% b. Larutan glukosa 50% c. Suspensi glibenklamid d. Suspensi metformin 3. Hewan coba a. Tikus

D. Prosedur kerja Sebelum diberi perlakuan, semua hewan di puasakan 6-8 jam untuk mengosongkan lambungnya. Setelah itu : 1. Diambil mencit I, diberi larutan CMC Na 1% per oral. 2. Disuntikkan 1 g glukosa/kgBB dalam 50% larutan secara per oral pada 5 menit kemudian. 3. Diukur kadar glukosa darah pada 30 dan 60 menit setelah pemberian bahan uji. 4. Diambil mencit II, diberi larutan glukosa 50%. 5. Disuntikkan 1 g glukosa/kgBB dalam 50% larutan secara per oral pada 5 menit kemudian. 6. Diukur kadar glukosa darah pada 30 dan 60 menit setelah pemberian bahan uji. 7. Dibandingkan kadar gula darah antara kelompok kontrol dan uji.

E. Hasil pengamatan 1. Tabel antidiabetik Kelompok Obat GD awal GD setelah diberi glukosa 234 mg/dl 130 mg/dl 164 mg/dl Waktu 30 136 mg/dl 125 mg/dl 63 mg/dl 60 136 mg/dl 115 mg/dl 152 mg/dl

I II III

Na CMC 1% Metformin Glibenklamid

186 mg/dl 120 mg/dl 150 mg/dl

2. Perhitungan dosis a. Metformin 1). 500 mg 0,018 2). = 9 mg = 3,6 mg/ml

3).

= 1,75 ml Jadi, volume metformin yang diberikan kepada tikus adalah 1,75 ml yang mengandung 3,6 mg/ml bahan obat.

b. Glibenklamid 1). 5 mg 0,018 2). = 0,09 mg = 0,036 mg/ml

3).

= 1,625 ml Jadi, volume glibenklamid yang diberikan kepada tikus adalah 1,625 ml yang mengandung 0,036 mg/ml bahan obat .

F. Pembahasan Percobaan ini mengenai obat antidiabetik. Obat antidiabetik atau antidiabetik oral adalah obat makan yang diberikan untuk pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 yang disesuaikan dengan cara kerja obatnya. Tjay dalam buku Obat-Obat penting menuliskan bahwa, diabetes mellitus (Penyakit gula atau Kencing Manis) adalah suatu gangguan kronis yang bercirikan hiperglikemia (glukosa darah terlampau meningkat) dan khususnya menyangkut metabolisme hidratarang (glukosa) di dalam tubuh. Penyebanya adalah kekurangan hormone insulin yang berfungsi memungkinkan glukosa masuk ke dalam sel untuk dimetabolisir (dibakar) dan demikian dimanfaatkan sebagai sumber energi. Saat ini diabetes mellitus dibagi dalam 3 tipe, yakni tipe 1, tipe 2 dan tipe hamil. Pada diabetes mellitus tipe 1 terdapat destruksi dari sel beta pancreas, sehingga tidak memproduksi insulin lagi dengan akibat sel-sel tidak bisa menyerap glukosa dari darah. Sedangkan Brooker dalam buku ensiklopedia keperawatan menuliskan bahwa diabetes mellitus tipe 2 terjadi akibat berbagai derajat resistensi insulin dan jika tidak dikendalikan akan menyebabkan hiperglikemi nonketosis hiperosmolar. Dan diabetes kehamilan terjadi pada wanita hamil dengan penyakit gula regulasi glukosa yang ketat. Wilmana dalam buku Farmakologi dan Terapi edisi 4 menuliskan bahwa, antidiabetik oral dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu derivate sulfonylurea dan derivate biguanid. Cara kerja kedua golongan obat ini sangat berbeda. Derivate sulfonylurea bekerja dengan merangsang sekresi insulin di pancreas sedangkan kerja derivate biguanid tidak bergantung pada fungsi pancreas. Hewan uji yang digunakan pada percobaan ini adalah tikus putih. Alasan penggunaan tikus putih karena darah yang diambil untuk diukur kadar glukosa dalam tubuhnya lebih mudah. Karena pembuluh darah urea yang terdapat di ekor tikus lebih mudah terlihat daripada pembuluh darah vena pada mencit. Tikus yang digunakan sebanyak 3 ekor yakni tikus sebagai control, tikus yang disuntikkan metformin dan tikus yang disuntikkan glibenklamid. Kondisi awal dari setiap hewan coba adalah sehat dan tidak mengalami gangguan fisik dan aktif. Tikus kontrol digunakan agar dapat membandingkan efek yang

dihasilkan oleh tikus yang disuntikkan larutan obat. Obat yang digunakan adalah metformin dan glibenklamid. Kedua obat ini berasal dari golongan yang berbeda. Metformin merupakan derivate biguanid sedangkan glibenklamid merupakan obat derivate sulfonylurea. Tahap awal adalah mengukur kadar glukosa darah pada masing-masing tikus agar perubahan pada saat tikus diberi penambahan glukosa dan pada saat tikus telah diberi larutan obat dapat terlihat. Alat yang digunakan berupa glukosa meter. Glukosa meter adalah alat yang digunakan untuk mengukur kadar gula darah dengan cara memasukkan sedikit tetesan darah ke dalam strip dalam 1 kali proses memasukkan darah, dan darah pada strip harus terisi penuh agar dapat terbaca. Didalam glukosameter terdapat enzim glukooksigenase yang mana jika sampel darah mengenai strips maka langsung terbaca oleh glukometer. Kerja glukometer dipengaruhi oleh jumlah darah yang terdapat di strips, karena jika jumlah darahnya sedikit dan tidak menutupi semua strip, maka dianggap bahwa glukosa hanya terukur sesuai darah 1 strips, dimana 1 strips mewakili jumlah darah dalam tubuh per dL. Tikus diberi perlakuan dengan menyuntikkan glukosa secara oral pada tikus agar glukosa yang diberikan dapat menyebar diseluruh tubuh tikus dan kadar glukosa darah terus meningkat. Masing-masing tikus diukur kadar glukosa darahnya setelah diberi glukosa dan hasil yang didapatkan yakni peningkatan glukosa darah pada ketiga hewan uji. Kemudian pada tikus control hanya disuntikkan larutan NaCMC, tikus kedua disuntikkan larutan obat glibenklamid. Hasil yang diperoleh pada tikus control pada menit ke 30 dan 60 tetap penurunannya yakni 136 mg/dl yang semula 234 mg/dl setelah dilakukan penambahan kadar glukosa darah. Hal ini wajar terjadi karena tikus control tidak diberi obat yang dapat menurunkan kadar glukosa pada tikus. Pada tikus kedua diperoleh hasil berupa penurunan kadar glukosa darah yang satbil pada menit ke 30 dan 60 yaitu 125 mg/dl dan 115 mg/dl yang semula 130 mg/dl setelah dilakukan penambahan kadar glukosa darah. Sedangkan pada tikus ketiga diperoleh hasil berupa penurunan kadar glukosa darah pada menit ke 30 dan 60 yakni 63 mg/dl dan 152 mg/dl yang semula 164 mg/dl setelah dilakukan penambahan kadar

glukosa pada tubuh tikus. Hasil pengamatan yang diperoleh pada tikus ketiga tidak stabil dan tidak wajar. Ketidakstabilan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah dosis obat yang digunakan tidak maksimal sehingga efek dari obat tidak terlihat jelas atau penggunaan glukosa meter yang kurang tepat. Dari data-data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa obat glibenklamid lebih cepat dan lebih efektif untuk menurunkan kadar glukosa darah daripada obat metformin. Hal ini dipengaruhi oleh t masingmasing obat. Ernest dalam buku Dinamika Obat menuliskan bahwa waktu paruh (t ) plasma metformin adalah 3-6 jam sedangkan t dari glibenklamid adalah 2,4 jam. Pernyataan ini memperkuat bukti bahwa obat glibenklamid lebih cepat berefek daripada obat metformin.

G. Kesimpulan Berdasarkan percobaan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa : 1. Obat Glibenklamid lebih cepat berefek terhadap penurunan kadar glukosa darah pada dibandingkan dengan obat Metformin. 2. Hewan uji coba setelah diberi penyuntikkan glukosa terjadi peningkatan kadar glukosa darah hewan uji. 3. Kadar glukosa darah pada hewan control lebih tinggi dibandingkan hewan yang diberikan obat antidiabetik.

Daftar Pustaka

Gunawan, Sulistia Gan. 2009. Farmakologi dan Terapi. Universitas Indonesia: Jakarta. Mycek, Mary J. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika: Jakarta Noffritasari, Benita. 2006. Pengaruh Pemberian Infusa Daun Kacapiring (Gardenia augusta, Merr.) terhadap kadar glukosa darah tikus wistar yang diberi beban glukosa. Universitas Diponegoro: Semarang Sukandar, Elin Yulinah. 2008. ISO Farmakoterapi. ISFI: Jakarta Tjay, Tan Hoan. 2007. Obat-obat Penting. Gramedia: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai