Anda di halaman 1dari 34

1

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penuaan
2.1.1 Definisi Penuaan
Penuaan adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi
normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang
diderita. Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan
terhadap infeksi, dan semakin banyak distorsi metabolik dan struktural, yang
disebut sebagai penyakit degeneratif (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes
melitus, dan kanker) (Swatriani, 2012).
2.1.2 Penyebab Penuaan
Berbagai faktor penyebab penuaan dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ialah radikal bebas,
hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan
yang menurun, dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak
sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan
(Pangkahila, 2011).

2.2 Diabetes Melitus


Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
sensitivitas insulin, atau kedua-duanya (ADA, 2014).
American Diabetes Association melaporkan bahwa setiap 21 detik ada
satu orang yang terkena diabetes. Diperkirakan jumlah diabetes mencapai 350 juta
pada tahun 2025, lebih dari setengahnya berada di Asia, terutama di India, Cina,
Pakistan, dan Indonesia (Tandra, 2014).
WHO

memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes

yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan


jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes
Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang
DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun
terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan

adanya

peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030
(ADA, 2014).
2.2.1 Patofisiologi Diabetes Melitus
Gula dalam darah disebut sebagai glukosa, berasal dari dua sumber, yaitu
dari makanan dan hasil produksi di hati. Setiap kali kita makan, pankreas
memberikan respon dengan mengeluarkan insulin ke dalam darah. Insulin
berperan sebagai kunci yang membuka pintu sel agar glukosa bisa masuk, dengan
demikian kadar glukosa dalam darah menjadi turun. Hati merupakan tempat

penyimpanan sekaligus pusat pengolahan glukosa. Pada saat kadar insulin


meningkat seiring masuknya makanan ke tubuh, hati akan menimbun glukosa,
dan mengalirkan glukosa setiap saat dibutuhkan (Tandra, 2014).
Pada Diabetes ada gangguan keseimbangan antara transportasi gula ke
dalam sel, gula yang disimpan di hati, serta gula yang dikeluarkan dari hati.
Ketidakseimbangan ini membuat kadar gula darah meningkat.
Penyebab keaadaan tersebut ada dua. Pertama, pankreas tidak mampu lagi
membuat insulin. Yang kedua, sel tubuh tidak merespon kerja insulin sehingga
pintu sel tidak terbuka (Tandra, 2014).
2.2.2 Diagnosis Diabetes Melitus
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM sebagai berikut:
-

Keluhan Klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat


badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

Keluhan lain dapat berupa: lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (ADA, 2014).
Diagnosis Diabetes Melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara, seperti

dalam tabel berikut ini.

Tabel 2.1
Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus (ADA, 2014)
1. Gejala klasik DM+ glukosa plasma sewaktu 200 mg/ dL (11,1
mmol/L).
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
Atau
2. Gejala klasik DM+ kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7,0
mmol/L).
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
Atau
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L).
TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban
glukosa yang setara dengan 75 g glukosa yang dilarutkan ke dalam air.

2.2.3 Jenis Diabetes Melitus


a. Diabetes Tipe 1
Pada tipe ini, pankreas tidak/ kurang mampu membuat insulin, sehingga
tubuh tidak memiliki/ kekurangan insulin. Akibatnya gula menumpuk dalam
peredaran darah karena tidak dapat masuk ke dalam sel. Diabetes Tipe 1
memerlukan suntikan insulin secara teratur.
b. Diabetes Tipe 2
Pada manusia normal, insulin yang dihasilkan oleh sel beta pankreas
meregulasi transport glukosa darah untuk digunakan, dengan berikatan dengan

reseptor- reseptornya yang ada di jaringan perifer, sebagian jaringan lemak dan
jaringan otot. Pada penderita diabetes tipe 2, terjadi resistensi dari aktivitas
insulin, sehingga tidak dapat berikatan dengan reseptor- reseptornya di jaringan
perifer, lemak maupun pada jaringan otot, sehingga tidak dapat digunakan (Chew
dan Leslie, 2006). Tipe ini mencakup lebih dari 90 % dari semua populasi
diabetes.
Penyebab Diabetes Melitus tipe 2 bisa didominasi resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif, atau dominasi defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin (Perkeni, 2011).
Resistensi insulin adalah kondisi dimana sel- sel jaringan tubuh dan otototot pasien tidak peka atau sudah resisten terhadap insulin (resistensi insulin). Ini
terjadi pada pasien yang gemuk/ obesitas. Sedangkan pada penderita yang non
obesitas, kelainan primernya berupa kerusakan sel beta dan kelainan sekundernya
di jaringan perifer (Foster, 2000).
Etiologi dan progresivitas diabetes melitus tipe 2 disajikan dalam gambar
berikut ini.

Gambar 2.1 Etiologi dan Progresivitas DM Tipe 2 (Chang et al., 2013)


Faktor genetik dan lingkungan berperan penting dalam progresivitas resistensi
insulin dan kegagalan toleransi glukosa. Pada kondisi toleransi glukosa normal,
sel mensekresi insulin sebagai respon atas kenaikan glukosa setelah makan.
Pada awalnya, sel mampu mengkompensasi kebutuhan insulin. Fase
selanjutnya, sel bekerja berlebihan, dan tidak mampu lagi mensekresi insulin
yang cukup. Akibatnya terjadi kegagalan toleransi glukosa, dan penyakit
prediabetes berkembang menjadi diabetes. Diabetes memiliki karakteristik
hilangnya homeostasis glukosa, termasuk kondisi hiperglikemia. Glucotoxicity,
lipotoxicity, stress oksidatif, inflamasi, dan kelemahan Incretin adalah faktor
resiko disfungsi sel .
c. Diabetes Gestasional
Timbul pada wanita hamil, yang sebelumnya tidak pernah mengidap
Diabetes Melitus. Intoleransi glukosa pertama kali muncul pada saat kehamilan,
dan pada umumnya kembali normal setelah persalinan. Dapat berkembang
menjadi Diabetes Melitus tipe 2 (Kumar et al., 2012).

d. Diabetes tipe Spesifik yang lain


Tipe lain dari diabetes adalah congenital diabetes, cystic fibrosis-related
diabetes, steroid diabetes, chronic pancreatitis, dan lain- lain (Kumar et al., 2012)
2.2.4 Pilar Penatalaksanaan Diabetes Melitus
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga, dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai perubahan
perilaku, dibutuhkan edukasi yang komperehensif dan upaya peningkatan
motivasi (Perkeni, 2011).
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupaka bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta
pasien dan keluarganya).
Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Perlu diekankan pentingnya
keteraturan makan, dalam hal ini jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan,
terutama pada mereka uang menggunakan obat penurun glukosa darah atau
insulin (Perkeni, 2011).

3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2 (Perkeni, 2011).
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran jug dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani
yang bersifat aerobic, seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani
(Perkeni, 2011).
4. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersamaan dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan (Perkeni, 2011).
1) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
A. Pemicu sekresi insulin (Insulin secretagouge): Sulfonilurea dan Glinid
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: Metformin dan Tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis: Metformin
D. Penghambat absorbsi glukosa: Penghambat Glukosidase Apha
E. DPP-IV Inhibitor

2) Suntikan
A. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
a. Penurunan berat badan yang cepat
b. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
c. Ketoasidosis diabetic
d. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
e. Hiperglikemia dengan asidosis laktat
f. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
g. Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
h. Kehamilan dengan DM/ DM Gestasional yangtidak terkendali
dengan perencanaan makanan.
i. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
j. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Berdasarkan lama kerja insulin terbagi menjadi 4 jenis:
a. Insulin kerja cepat (Rapid acting insulin)
b. Insulin kerja pendek (Short acting insulin)
c. Insulin kerja menengah (Intermediate acting insulin)
d. Insulin kerja panjang (Long acting insulin)
B. Agonis GLP-1
Pengobatan

dengan

dasar

peningkatan

GLP-1

merupakan

pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja


sebagai perangsang pelepasan insulin yang tidak menimbulkan

10

hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi


pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonylurea (Blonde, 2009).
Agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat pelepasan glukagon yang
diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan
binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas.
Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain sebah
dan muntah (Perkeni, 2011).
3) Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis
rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon
kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila
diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO
sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixedcombination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat
dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran
glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO
dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada
pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat
menjadi pilihan (Perkeni, 2011).
Gambar berikut menyajikan rangkuman terapi farmakologis terbaru
diabetes melitus tipe 2.

11

Gambar 2.2 Terapi Terbaru DM Tipe 2 (Chang et al., 2013)


Terapi terbaru DM Type 2: 1) Insulin releaser (Sulfonilurea, contoh: glibenclamid
dan glimepirid) dapat menstimulasi sel pankreas untuk mensekresi insulin. 2)
Insulin sensitizer (TZD (rosiglitazone dan pioglitazone), dan Biguanid
(Metformin)) menurunkan resistensi insulin pada jaringan perifer. 3) GLP-1
memiliki aksi multiple pada pankreas, dan pengosongan lambung. Injeksi GLP-1
eksogen (contoh; exenatide dan liraglutide) atau inhibisi degradasi GLP-1
endogen oleh DPP-4 Inhibitors (contoh: sitagliptin, vidagliptin, saxagliptin, dan
linagliptin) dapat menjaga kadar GLP-1. 4) Inhibitor -glucosidase (acarbose) dan
Sglt 2 (contoh; dapaglifozin dan empaglifozin) menurunkan absorbsi glukosa di
usus, dan menurunkan reabsorbi glukosa di ginjal.
* Sglt 2 belum di setujui oleh FDA karena keamanannya.

2.3

Hormon Insulin

2.3.1

Pembentukan dan Sekresi Insulin


Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormone

insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase,

12

preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang


kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung dalam sel tersebut. Dengan
bantuan enzim peptidase, dalam sel tersebut proinsulin diurai menjadi insulin dan
peptide- C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara
bersamaan melalui membran sel (Manaf, 2006).
Ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya
rangsangan oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati
membran sel. Untuk dapat melewati membran sel dibutuhkan senyawa lain.
Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang terdapat di dalam
berbagai sel yang berperan

dalam

proses

metabolism glukosa. Fungsinya

sebagai kendaraan pengangkut glukosa masuk dari luar ke dalam sel jaringan
tubuh. Glucose transporter 2 (GLUT 2) terdapat dalam sel beta pankreas. Proses
pengangkutan ini penting untuk tahap selanjutnya. Tahap dua yakni molekul
glukosa akan mengalami proses glikolisis dan fosforilasi di dalam sel, kemudian
membebaskan molekul ATP.

Molekul ATP yang terbentuk dibutuhkan untk

tahap selanjutya. Tahap ke-tiga yaitu pengaktifan penutupan K channel pada


membran sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam
sel yang menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti
oleh tahap pembukaan Ca channel (tahap 4). Tahap ke- empat ini memungkinkan
masuknya ion Ca, sehingga menyebabkan peningkatan kadar Ca intrasel (Manaf,
2006).

13

Terjadinya penutupan K channel tidak hanya disebabkan oleh rangsangan


ATP hasil fosforilasi glukosa intrasel, tetapi juga dapat oleh pengaruh beberapa
faktor lain termasuk obat-obatan (Manaf, 2006).

Gambar 2.3 Skema Jalur Sinyal Insulin

2.3.2

Dinamika Sekresi Insulin


Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan

tubuh normal oleh sel beta pankreas, dalam 2 fase, sehingga sekresinya berbentuk
biphasic (Manaf, 2006).
1) Sekresi Fase 1 (Acute Insulin Secretion Response= AIR)
Adalah sekresi insulin yang terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap
sel beta, muncul cepat dan berakhir juga cepat. Sekresi fase 1 (AIR) biasanya
mempunyai pincak yang relatif tinggi, karena hal tersebut memang diperlukan

14

untuk mengantisipasi kadar gula darah yang biasanya meningkat tajam, segera
setelah makan. Kinerja AIR yang cepat dan adekuat ini sangat penting bagi
regulasi glukosa yang normal, karena berkontribusi besar dalam pengendalian
kadar glukosa darah postpandrial. Dengan demikian AIR yang normal
diperlukan untuk mempertahankan berlangsungnya proses metabolisme
glukosa secara fisiologis. AIR yang berlangsung normal, bermanfaat dalam
mencegah terjadinya hiperglikemia akut setelah makan, atau lonjakan glukosa
darah postpandrial (postpandrial spike) dengan segala akibat yang
ditimbulkannya termasuk hiperinsulinemia kompensatif (Manaf, 2006).
2) Sekresi Fase 2 (Sustained Phase/ Latent Phase)
Yaitu kondisi dimana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan dan
bertahan dalam waktu relatif lebih lama. Seberapa tinggi puncaknya (secara
kuantitatif) akan ditentukan oleh seberapa besar kadar glukosa darah dia akhir
fase 1, disamping faktor resistensi insulin. Jadi, terjadi semacam mekanisme
penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase 1 sebelumnya. Apabila
sekresi fase 1 tidak adekuat, terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk
peningkatan sekresi insulin pada fase 2.
Peningkatan produksi insulin tersebut, pada hakikatnya dimaksudkan
untuk memenuhi kebutuhan tubuh agar kadar glukosa darah tetap dalam batas
normal. Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti dengan peningkatan
kinerja fase 2 sekresi insulin, pada tahap awal belum akan menimbulkan
gangguan terhadap kadar glukosa darah. Secara klinis, barulah pada tahap
dekompensasi, dapat terdeteksi keadaan yang dinamakan Toleransi Glukosa

15

Terganggu (TGT) atau disebut juga prediabetic state. Pada tahap ini mekanisme
kompensasi sudah mulai tidak adekuat lagi, tubuh mengalami defisiensi yang
mungkin secara relatif, terjadi peningkatan kadar glukosa darah post prandial.
Pada TGT didapatkan kadar glukosa darah postprandial, atau setelah diberi beban
larutan glukosa 75 g, berkisar 140 200 mg/dl. Bila kadar glukosa darah puasa
antara 100 126 mg/dl, dinamakan Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT),
atau juga dapat disebut prediabetes (Manaf, 2006).
2.3.3

Aksi Insulin
Insulin memiliki peran penting pada berbagai metabolisme dalam tubuh,

terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini berfungsi dalam proses utilisasi


glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh, terutama otot, lemak, dan hepar.
Pada jaringan perifer, yaitu jaringan otot dan lemak, insulin berikatan
dengan sejenis reseptor (Insulin Receptor Substrate = IRS) yang terdapat pada
membran sel tersebut. Ikatan antara insulin dan reseptor akan menghasilkan
semacam sinyal yang berguna bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa di
dalam sel otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya belum
begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam meningkatkan
kuantitas

GLUT-4

(glucose

transporter-4)

dan

selanjutnya

mendorong

penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah
yang bekerja memasukkan glukosa dari ekstra sel ke intra sel. Untuk selanjutnya
mengalami metabolisme (Manaf, 2006).
Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa normal, selain
diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi

16

insulin yang berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi


jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu faktor etiologi terjadinya
diabetes, khususnya Diabetes tipe 2 (Manaf, 2006).
2.4 Tanaman Obat
2.4.1 Definisi Tanaman Obat
Tanaman obat adalah tanaman yang memiliki khasiat obat karena
mengandung zat aktif yang berfungsi mengobati penyakit tertentu atau jika tidak
mengandung zat aktif tertentu tapi mengandung efek resultan/ sinergis dari
berbagai zat yang berfungi mengobati, serta digunakan sebgai obat dalam
pencegahan penyakit (Esha Flora Plants and Tissue Culture, 2008).
2.4.2

Penggunaan Tanaman Obat


Simpilia merupakan bahan- bahan alam yang bisa digunakan sebagai obat-

obatan, namun proses pengolahannya masih sederhana. Simplisia yang berasal


dari tanaman atau eksudat tanaman disebut simplisia nabati.
Berikut jenis- jenis simplisia nabati:
a.

Herba
Herba merupakan seluruh bagian tanaman obat mulai dari akar, batang,
daun, bunga dan buah yang berasal dari tanaman yang bersifat herbaceus.
Contohnya pegagan.

b.

Daun (folium)
Daun adalah jenis simplisia yang paling sering digunakan dalam pembuatan
ramuan herbal. Bisa berupa daun segar, atau kering dan dapat berupa pucuk
aun seperti daun teh atau daun tua seperti daun salam.

17

c.

Bunga (flos)
Dapat berupa bunga tunggal atau majemuk.

d.

Buah (fructus)
Biasanya dikumpulkan setelah masak

e.

Kulit buah (pericarpium)


Kulit buah dikumpulkan dari buah masak seperti kulit buah jeruk.

f.

Biji (semen)
Biji dikumpulkan dari buah yang sudah masak.

g.

Kulit kayu (cortex)


Merupakan bagian terluar dari batang pada tanaman tingkat tinggi.

h.

Kayu (lignum)
Kayu yang biasa digunakan sebagai simplisia adalah kayu tanpa kulit.
Pemotongan kayu biasanya dilakukan miring sehingga permukaan menjadi
lebar. Kadangkala berupa serutan kayu.

i.

Akar (radix)
Akar untuk simplisia biasa dari tanaman rumput, perdu, atau tanaman
berkayu keras. Simplisia akar dikumpulkan ketika proses pertumbuhannya
terhenti.

j.

Umbi (tuber)
Dibedakan menjadi umbi batang dan umbi akar. Untuk menjadi simplisia,
umbi dipotong miring agar permukaan menjadi lebar. Bila umbi bersifat
toksik, sebelum digunakan, umbi perlu diproses terlebih dahulu dengan
cara perendaman atau pengukusan.

18

k.

Rimpang (rhizome)
Merupakan batang dan daun yang terdapat di dalam tanah, bercabangcabang dan tumbuh mendatar. Dari ujungnya dapat tumbuh tunas yang
muncul keatas tanah dan menjadi tumbuhan baru. Kunyit merupakan salah
satu contoh jenis rimpang yang biasa dijadikan simplisia.

l.

Umbi lapis (bulbus)


Merupakan perubahan bentuk dari batang beserta daunnya menjadi umbi
yang berlapis- lapis karena daunnya tebal, lunak, dan berdaging. Contohnya
adalah bawang merah dan bawang bombay.

2.5 Tanaman Obat untuk Diabetes Melitus


Ada sekitar lebih dari 1200 tanaman di dunia yang diklaim bermanfaat dalam
terapi diabetes melitus dan lebih dari 400 tanaman dan kandungannya telah
dievaluasi secara ilmiah baik secara in vivo maupun in vitro, terbukti memiliki
efek antidiabetik (Chang et al., 2013). Tanaman obat untuk diabetes melitus
mengandung komponen bioaktif yang beraneka ragam dengan aksi yang berbedabeda pula, yaitu pada proses sekresi insulin, sentivitas insulin, maupun keduanya
(Chang et al., 2013).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, tanaman obat untuk terapi diabetes
melitus dapat dikelompokkan sebagai berikut (Chang et al., 2013):
1) Herbal tipe 1
Yaitu tanaman yang mekanisme kerjanya memperbaiki resistensi insulin.
2) Herbal tipe 2

19

Kandungan tanaman ini meregenerasi dan memperbaiki fungsi sel beta


pankreas.
3) Herbal tipe 3
Kandungan biologis dan kimiawi tanaman ini mengatur homeostasis
GLP-1 dengan ataupun tanpa pengaturan aktivitas DPP-4.
4) Herbal tipe 4
Tanaman ini mengendalikan diabetes melitus melalui penghambatan
enzim alpha glucosidase, sehingga menurunkan absorbsi glukosa.
5) Herbal tipe 5
Tanaman dengan aksi antidiabetik yang lebih dari 1 macam.
Gambar-gambar berikut menyajikan mekanisme antidiabetik tanaman obat
berikut contoh-contohnya.

Gambar 2.4 Mekanisme yang Mendasari Terapi Hipoglikemik Tanaman


Herbal (Chang et al., 2013)
Berbagai jenis tanaman obat diklasifikasikan menurut target aksi mereka, seperti
resistensi insulin (Herbal Type 1), fungsi sel (Herbal Type 2), GLP-1 (Herbal
Type 3), dan reabsorbsi glukosa (Herbal Type 4).

20

Gambar 2.5 Beberapa Tanaman Herbal Hipoglikemik dan Kandungannya


(Chang et al., 2013)
Beberapa tanaman obat beserta kandungannya, memiliki efek antihiperglikemik,
melalui 1 target: resistensi insulin (Herbal Type 1), fungsi sel (Herbal Type 2),
GLP-1 (Herbal Type 3), dan reabsorbsi glukosa (Herbal Type 4), atau dapat
melalui beberapa target.

2.6 Lidah Buaya


Lidah buaya (Aloe vera Linn.) termasuk ke dalam family tumbuhan
Liliaceae. Daunnya terasa pahit dan bersifat dingin. Lidah buaya merupakan
tanaman herbal hipoglikemik tipe 5.

21

Daun lidah buaya mengandung polyphenol (Lopez et al., 2013).


Polyphenol seperti flavonoid, anthraquinones, lignin, dan asam aromatic yang
secara luas terdapat pada tumbuhan, sayuran dan buah- buahan; pada umumnya
ditemukan sebagai glikosida di alam (Chiang et al., 2012).
Senyawa polyphenol yang terkandung dalam lidah buaya adalah
anthraquinones dan derivatnya

(Lopez et

al., 2013). Sebagian besar

anthraquinones pada lidah buaya berupa:

aloin (10-glucopyranosil-1,8-

dihydroxy-3-9hydroxymethyl)-9(10H)-anthracene), aloe-emodin (8-C-glucosyl-7O-methyl-(S)-aloesol), aloesin (8-C-glucosyl-7-O-methyl-(S)-aloesol), barbaloin,


isobarbaloin, chrysophanol, Aloinoside A dan B, serta Aloresin A dan B (Lopez et
al., 2013; Chiang et al., 2012). Aloin ditemukan di alam sebagai campuran 2
diasteromer, yaitu Aloin A dan Aloin B; sebuah glikosida anthrone yang
terkandung dalam eksudat daging daun lidah buaya (Chiang et al., 2012). Aloeemodin adalah hasil oksidasi dari Aloin (Acurero, 2008).
Tanaman lidah buaya diberi nama Aloe vera Linn. Oleh Carl Von Linnme
pada tahun 1720. Beberapa jenis Aloe yang umum dibudidayakan diantaranya
Aloe perry, Aloe ferox, Aloe arborescens, Aloe barbadensis, dan Aloe chinensis,
dan yang popular adalah Aloe barbadensis, yang berasal dari Barbados, Amerika
Tengah. Jenis ini memiliki kandungan terbaik dan dimanfaatkan untuk
pengobatan (Wirya, 2012).
Tanaman yang sejak dahulu dikenal sebagai penyubur rambut ini,
berkhasiat menurunkan kadar glukosa darah penderita diabetes dengan cara
meningkatkan produksi insulin, namun tidak menyebabkan peningkatan berat

22

badan, dan memiliki sifat antiradang, serta melancarkan buang air besar (laksatif)
karena merelaksasi usus besar, serta bersifat paratiside (membunuh parasit)
(Wirya, 2012; Chang et al., 2013)
Kandungan lidah buaya bersifat laksatif dan purgative, yaitu merangsang
peristaltik colon (pencahar), sehingga bermanfaat untuk mengobati konstipasi
(Patel dan Patel, 2013). Komponen yang bersifat purgative adalah Aloin A dan
Aloin B (Patel dan Patel, 2013). Penelitian efek laksatif lidah buaya pada tikus
putih oleh Pudjiastuti (2010) menghasilkan bahwa, pada pemberian daging daun
lidah buaya dengan dosis 10 ml/ 200 g BB tikus, mampu meningkatkan transit
intestinal secara bermakna dibandingkan kelompok aquades (kadar lidah buaya
pada penelitian Pudjiastuti ini 0,5 g/ml atau 500 mg/ml).

Gambar 2.6 Tanaman Lidah Buaya

23

Gambar 2.7 Potongan Melintang Tanaman Lidah Buaya


2.6.1 Klasifikasi Ilmiah Tanaman Lidah Buaya
Kingdom

: plantae

Divisi

: spermatophytae

Subdivisi

: angiospermae

Kelas

: monocotyledoneae

Bangsa

: liliflorae

Suku

: liliaceae

Genus

: aloe

Spesies

: aloe vera

(Jatnika dan Saptoningsih, 2009)

2.6.2

Lidah Buaya dan Diabetes Melitus


Daun lidah buaya mengandung polyphenol, dalam bentuk glikosida

anthraquinone dan derivatnya (Lopez et al., 2013). Anthraquinone yang terdapat

24

dalam lidah buaya adalah: aloin, aloe-emodin, aloeresin A, aloeresin B, rhein,


aloinoside A, aloinoside B, barbaloin, isobarbaloin, homonataloin, aloesin,
homonataloin, dan aloctin A (Chang et al., 2013; Perez et al., 2007). Untuk
membedakan jenis dari polyphenol, dapat digunakan indetifikasi dengan teknik
High Performance Liguid Chromatography (HPLC). Anthraquinone dalam lidah
buaya telah diidentifikasi menggunakan HPLC pada panjang gelombang 356 nm
(Perez et al., 2007).
Kandungan polyphenol daun lidah buaya yang bersifat hipoglikemik
adalah Aloin, Aloe-emodin, dan Aloeresin A. Aloin dan Aloe-emodin adalah
komponen terkuat

dalam menurunkan absorbsi glukosa di usus halus, dan

menurunkan kadar glukosa darah (Perez et al., 2007). Aloeresin A menekan/


supresi aktivitas alpha glukosidase, sehingga menghambat absorbsi glukosa pada
usus (Chang et al., 2013).
Aloe vera juga meningkatkan kadar insulin plasma (Abhar dan Schaalan,
2014). Aloe-emodin yang bersifat insulin mimetic, mengaktivasi jenjang sinyal
insulin, seperti reseptor insulin (IR ), reseptor insulin substrate-1 (IRS 1),
fosfatidil inositol-3 kinase (PI3K), dan translokasi GLUT 4 (Koesnandar, 2010).
Aloe-emodin juga meningkatkan laju sintesis glikogen dengan menghambat
glikogen sintase kinase-3 beta (GSK3) (Koesnandar, 2010).
Penelitian in vitro mengenai aktivitas Aloe Emodin Glycosides (AEG) yang
dilakukan oleh Anand et al. (2010), dalam media sel L6 myotube (sel otot rangka),
menggunakan analisis Western blot, memberikan hasil sebagai berikut:

25

1. Analisis

dengan

Imunopresipitasi

dan

Immunoblot

menunjukkan

mekanisme AEG menyerupai aktivitas insulin dalam transport glukosa.


AEG mengaktivasi komponen- komponen utama yang berperan dalam
jalur cascade insulin signaling, seperti IR, IRS1,85PI3K, dan PKB.
2. Inkubasi sel L6 myotube dengan AEG selama 24 jam, menstimulasi
terjadinya uptake glukosa.
3. AEG menstimulasi uptake glukosa melaui jalur tyrosin kinase dependent
pathway. Hal ini dibuktikan dengan mereaksikan glukosa yang di uptake
dengan genistein (suatu tyrosin kinase inhibitor). Genistein menghambat
terjadinya uptake glukosa pada sel L6 myotube yang diinkubasi dengan
AEG, oleh sebab itu diperkirakan aksi AEG melalui jalur tyrosin kinase
dependent pathway, menyerupai insulin.
4. AEG menstimulasi uptake glukosa melalui aktivasi PI3K.
5. AEG mampu melakukan translokasi GLUT4 ke membran plasma.
6. Terjadi inhibisi secara signifikan dari GKS3, melalui mekanisme
fosforilasi dalam sel L6 myotube yang diinkubasi dengan AEG selama 24
jam.
7. AEG terbukti meningkatkan laju sintesis glikogen, baik dengan pemberian
insulin sebagai stimulus, maupun tanpa pemberian insulin.
Dalam penelitian Anand et al. (2010) diatas, dapat disimpulkan bahwa
AEG meningkatkan transportasi glukosa dengan cara meningkatkan aktivitas
komponen-komponen awal dan akhir yang terlibat dalam uptake glukosa hingga
transformasinya menjadi glikogen.

26

Polyphenol juga berperan sebagai antioksidan. Cara kerjanya dengan


melindungi sel pankreas dari efek toksik radikal bebas yang diproduksi di
bawah kondisi hiperglikemia kronis. Polyphenol mampu meningkatkan massa sel
pankreas dan menjaga kandungan insulin di dalamnya. Pada sel-sel yang
memiliki reseptor insulin (sel otot, sel adipose, dan sel hati), pengikatan radikal
bebas akan meningkatkan insulin signaling pada translokasi GLUT 4 intraseluler
ke membran sel sehingga mampu mengambil glukosa dari darah (Cartailler,
2004).
Beberapa kandungan dari Aloe vera kemungkinan memiliki aksi yang
sinergis, melalui mekanisme yang berbeda (Perez et al., 2007).
Berikut adalah gambar srtuktur kimia komponen- komponen aktif lidah
buaya.

Gambar 2.8 Struktur kimia (A) Aloin, (B) Aloe-emodin


(Chiang et al., 2012)

27

Gambar 2.9 Struktur kimia Aloeresin A (Chang et al., 2013)

Alpha glukosidase merupakan enzim yang berada di sepanjang dinding


usus halus. Enzim ini dapat memecah karbohidrat kompleks menjadi gula
sederhana. Enzim yang terpenting adalah maltase yang menghidrolisis maltose,
sukrase yang menghidrolisis sukrosa, dan isomaltase yang mengkatalisis
pemecahan maltotriosa (Andriani, 2011). Selain itu terdapat glukoamilase yang
dapat melepas satu residu gula dari ujung dekstrin yang tidak tereduksi (Andriani,
2011). Penghambatan pada enzim ini dapat menunda penyerapan karbohidrat pada
saluran pencernaan, sehingga dapat mencegah peningkatan konsentrasi glukosa
darah setelah makan (Andriani, 2011).
Analisis kandungan lidah buaya yang dilakukan di Laboratorium Fakultas
Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, Denpasar, Bali; menunjukkan bahwa
ekstrak lidah buaya yang telah difreeze dried mengandung: Polyphenol 37,056 %

28

GAE; Kapasitas Antioksidan 237,03 mg/L GAEAC; IC 50 % 20,08 mg/mL dan


Vitamin C 149,79 mg/100 g (Lampiran 4).
Penelitian mengenai efek lidah buaya dalam pengobatan diabetes melitus
memberikan hasil yang bervariasi. Hasil penelitian Perez et al. (2007),
menunjukkan bahwa pemberian Polyphenol- rich Extract Aloe vera gel (PEAv)
menurunkan kadar glukosa darah puasa dan menurunkan resistensi insulin, tanpa
perubahan yang signifikan pada kadar insulin plasma.
Sedangkan hasil penelitian Kim et al. (2009), menunjukkan

bahwa

pemberian Processed Aloe vera Gel (PAG) menurunkan kadar glukosa darah
puasa dan secara signifikan menurunkan kadar insulin plasma. PAG
meningkatkan sensitivitas insulin melalui penurunan kadar glukosa darah dan
penurunan kadar insulin plasma.
Selanjutnya pada tahun 2013, Youssef et al., melakukan penelitian in vivo
dan in vitro mengenai efek ekstrak Aloe vera pada terapi diabetes. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa Aloe vera secara signifikan menurunkan kadar
glukosa darah puasa, dan secara signifikan pula menaikkan kadar insulin plasma,
jika dibandingkan kelompok kontrol.

29

2.7 Mekanisme Streptozotocin Menginduksi Diabetes Melitus

Gambar 2.10 Struktur kimia Streptozotocin dan Nicotinamide (Szkudelski,


2012)

Streptozotocin

(2-deoxy-2[3-methyl-3-nitrosureido]-D-glucopyranose)

adalah suatu analog nitosurea yang sering digunakan untuk menginduksi diabetes
pada hewan percobaan (Szkudelski, 2012).
Induksi percobaan diabetes menggunakan streptozotocin sangat mudah
untuk dilakukan. Penyuntikan streptozotocin untuk menyebabkan degradasi dari
pulau Langerhans sel beta pankreas (Abeeleh et al., 2009). Transportasi
Streptozotocin ke dalam sel beta pankreas melalui glucose transporter GLUT 2,
dimana sebagian nitrosamide dari Streptozotocin (methylnitrosurea) berperan
toksik . Paparan Streptozotocin pada sel beta pankreas menyebabkan kerusakan
DNA.

Banyak

penelitian

in

vitro

membuktikan

bahwa

Streptozotocin

menyebabkan alkilasi DNA, sehingga terjadi fragmentasi DNA. Dampak dari

30

kerusakan DNA, diaktifkannya suatu mekanisme intrasel yang bertujuan untuk


memperbaiki DNA. Yaitu oleh enzim poly (ADP-ribose) polymerase-1 (PARP1). Enzim ini mengkatalisis sintesa poly (ADP-ribose) dari NAD+. Produksi
intraseluler poly (ADP-ribose) meningkat. Kerusakan DNA karena Streptozotocin
menginduksi overstimulasi PARP-1 pada sel beta pankreas. Pada kondisi
kerusakan DNA yang ringan, aktivasi PARP-1 menguntungkan. Tetapi, kerusakan
intensif DNA yang diinduksi Streptozotocin menyebabkan hiperaktivitas PARP-1
dan kerugian pada sel, karena terjadi penurunan NAD+. NAD+ adalah molekul
penting yang terkait dalam metabolisme energi pada tingkat sel. Penurunan
NAD+

yang berat menyebabkan penurunan ATP, karena biosintesa NAD+

tergantung ATP. Tetapi penurunan ATP ini tidak hanya ditimbulkan karena
menurunnya NAD+, melainkan karena adanya disfungsi mitokondria. Telah
diteliti bahwa paparan Streptozotocin dalam jangka pendek mengurangi aktivitas
aconitase mitokondria sel islet, menurunkan konsumsi oksigen mitokondria, dan
menurunkan ptensial membrane mitokondria (Szkudelski, 2012).
Beberapa data menyebutkan bahwa nitric oxide (NO) juga berperan
penting dalam aksi sitotoksik Streptozotocin pada sel beta pankreas. Disamping
itu

Streptozotocin

membangkitkan reactive oxygen species pada sel beta

pankreas (Szkudelski, 2012).


Enzim c-Jun N-terminal kinase (JNK) juga berperan dalam toksisitas
Streptozotocin. Penyebab meningkatnya aktivitas enzim JNK adalah menurunnya
inhibitor enzim ini karena efek toksik Streptozotocin. Aktivasi ini diduga
mendahului peningkatan aktivitas PARP-1 (Szkudelski, 2012).

31

Secara klinis, gejala dari diabetes pada tikus akan terlihat jelas dalam 2- 4
hari setelah penyuntikan intraperitoneal dengan dosis tunggal streptozotocin
(Abeleeh et al., 2009).
2.8 Mekanisme Nicotinamide Melindungi Sel Beta Pankreas
Nicotinamide (pyridine-3-carboxamide) adalah amida dari vitamin B3
(Niacin). Efek protektif Nicotinamide dalam melindungi sel beta pankreas, telah
dibuktikan. Banyak penelitian in vitro dan in vivo menyimpulkan bahwa
Nicotinamide dapat melindungi sel beta pankreas terhadap efek toksik
Streptozotocin (Szkudelski, 2012).
2.8.1

Efek in vitro Nicotinamide


Penelitian in vitro pada sel beta pankreas yang diisolasi, menemukan

bahwa Nicotinamide bekerja dengan cara (Szkudelski, 2012):


1) Menghambat aksi Streptozotocin dalam menurunkan biosintesa proinsulin.
2) Memperbaiki efek penghambatan sekresi insulin (setelah stimulasi glukosa)
oleh Streptozotocin
3) Menghambat kegagalan oksidasi glukosa dan menghambat penurunan
kemampuan hidup sel beta pankreas, yang dipicu oleh Streptozotocin.
4) Hal yang paling penting adalah efek protektif Nicotinamide pada sel islet
yaitu menurunkan kerusakan DNA akibat Streptozotocin.
2.8.2

Efek in vivo Nicotinamide


Pemberian Nicotinamide baik intraperitoneal, maupun intravena, memiliki

efek sebagi berikut (Szkudelski, 2012):


1) Meminimalkan penurunan berat badan yang ditimbulkan oleh Streptozotocin

32

2) Menghentikan aksi Streptozotocin dalam meningkatkan gula darah


3) Melindungi sel beta pankreas, sehingga terjadi peningkatan insulin darah
Pemberian sejumlah dosis Streptozotocin pada tikus menurunkan kadar
insulin yang dihasilkan pankreas, tetapi efek ini tergantung dosis Nicotinamide
yang diberikan sebelum Streptozotocin (Szkudelski, 2012).
Data

dari

literature

menyimpulkan

bahwa

mekanisme

proteksi

Nicotinamide terhadap kerusakan sel beta pankreas yang ditimbulkan oleh


Streptozotocin, melalui 2 mekanisme; yaitu inhibisi PARP-1, dan peningkatan
NAD+, dimana mekanisme lain kurang berperan (Szkudelski, 2012).

Gambar 2.11 Skema Aksi Sitotoksik Streptozotocin dan Aksi Proteksi


Nicotinamide (Szkudelski, 2012)
PARP-1= poly(adenosine triphosphate [ADP]-ribose) polymerase-1, PRPP= 5phosphoribosylpyrophosphate, NMN= nicotinamide mononucleotide, Nampt=
nicotinamide phosphoribosyltransferase, Nmnat= nicotinamide/ nicotinic acid
mononucleotide adenyltransferase,
=
meningkatkan/
aktivasi,
=
menurunkan/ inaktivasi.

33

2.9 Tikus Laboratorium


Di Indonesia, hewan percobaan ini sering dinamakan tikus besar. Tikus
liar, tikus Norwegia, dan tikus coklat adalah semarga dengan tikus laboratorium.
Akan tetapi nama ilmiah tikus liar lain yaitu tikus hitam (Rattus rattus). Tikus ini
mirip dengan tikus Norwegia dan sering terdapat di kota-kota seluruh dunia, tetapi
jarang dipakai sebagai hewan laboratorium.
Tikus laboratorium jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus dapat
tinggal sendirian dalam kandang, asal dapat melihat dan mendengar tikus lain.
Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani
di laboratorium. Karena hewan ini lebih besar dari mencit, maka untuk beberapa
macam percobaan, tikus lebih menguntungkan. Dibandingkan tikus liar, tikus
laboratorium lebih cepat menjadi dewasa dan umumnya lebih mudah berkembang
biak, tetapi jarang hidup lebih dari 3 tahun. Berat badannya lebih ringan dari tikus
liar, yaitu 35-40 gram untuk yang berumur 4 minggu, dan 200-250 g untuk tikus
dewasa. Tikus jantan tua dapat mencapai 500 g, tetapi tikus betina jarang
mencapai lebih dari 350 g. Dua sifat yang membedakan tikus dari hewan
percobaan lain, yaitu bahwa tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi
yang tidak lazim, yaitu di tempat esophagus bermuara ke lambung. Serta tidak
mempunyai empedu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Usia tikus 2,5 bulan memiliki persamaan dengan manusia usia dewasa
muda (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

34

2.9.1

Tikus Putih Galur Wistar


Untuk menghasilkan keturunan, tikus melakukan perkawinan sedarah.

Tikus galur Wistar adalah keturunan yang outbread dari tikus- tikus albino yang
termasuk dalam spesies Rattus novergicus. Galur ini dikembangkan di Wistar
Institute pada tahun 1906 untuk digunakan dalam penelitian biologi dan
kesehatan. Dan secara khusus dikembangkan untuk menjadi organisme model
disaat mereka masih menggunakan mencit (Mus musculus), atau tikus rumah
kebanyakan.
Tikus galur wistar adalah salah satu dari sekian banyak tikus yang paling
dikenal saat ini untuk digunakan sebagai penelitan di laboratorium. Tikus galur
ini memiliki karakter kepala yang lebar, telinga- telinga yang panjang, dan
memiliki panjang ekor yang panjangnya tidak melebihi dari panjang badannya
(Wirya, 2012).
2.9.2

Kriteria Tikus Diabetes


Kadar glukosa normal pada tikus yang sehat adalah antara 50 mg/dL

sampai 135 mg/dL (Carvalho et al., 2003) . Seperti mamalia lainnya, kadar
glukosa ini tergantung pada tipe makanan yang dikonsumsi dan waktu makan
terakhir (Swatriani, 2012). Kadar glukosa darah pada tikus dapat dikatakan
diabetes jika di atas 135 mg/dL (Carvalho et al., 2003; Swatriani, 2012). Tikus
dengan kadar gula darah

diabetes (Carvalho et al., 2003).

200 mg/dL disebut mengalami kondisi severe

Anda mungkin juga menyukai