KASUS DIABETES
OLEH
KELOMPOK 5/A3A
DENPASAR
2021
PRAKTIKUM II
DIABETES MILITUS
I. TUJUAN PRAKTIKUM
Klasifikasi etiologis diabetes menurut American Diabetes Association 2018 dibagi dalam
4 jenis yaitu:
a. Diabetes Melitus Tipe 1
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab autoimun.
Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin dapat ditentukan
dengan level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali.
Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis. Faktor penyebab
terjadinya DM Tipe I adalah infeksi virus atau rusaknya sistem kekebalan tubuh yang
disebabkan karena reaksi autoimun yang merusak sel-sel penghasil insulin yaitu sel β
pada pankreas, secara menyeluruh. Oleh sebab itu, pada tipe I, pankreas tidak dapat
memproduksi insulin. Penderita DM untuk bertahan hidup harus diberikan insulin
dengan cara disuntikan pada area tubuh penderita. Apabila insulin tidak diberikan maka
penderita akan tidak sadarkan diri, disebut juga dengan koma ketoasidosis atau koma
diabetic.
b. Diabetes Melitus Tipe 2
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa
glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan
turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan
perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya
resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih
tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat
mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa bersama bahan sekresi
insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya
glukosa.
c. Diabetes Melitus Tipe Lain
DM tipe ini terjadi akibat penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan
kadar glukosa darah akibat faktor genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus,
penyakit autoimun dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan penyakit DM.17
Diabetes tipe ini dapat dipicu oleh obat atau bahan kimia (seperti dalam pengobatan
HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).
d. Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama
kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. DM gestasional
berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita DM gestasional
memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-10
tahun setelah melahirkan.
(American Diabetes Association (ADA), 2016)
2.3 Patofisiologi Diabetes Melitus
1. Diabetes Melitus Tipe 1
Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β
pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun. Ada beberapa tipe autoantibodi
yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic
Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid
decarboxylase). ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM
Tipe 1. Destruksi autoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung
mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan
gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Defisiensi insulin menyebabkan
meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak
terkendali di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan
metabolisme glukosa di jaringan- jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka,
dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh (Muchid, A., et al.
2005).
2. Diabetes type 2
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal
sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Kegagalan sel beta terjadi lebih dini
dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver, dan sel beta,
organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis, gastrointestinal defisiensi
incretin), sel alpha pancreas 14 (hiperglukagomia), ginjal (peningkatan absorbsi glukosa),
dan otak (resistensi insulin). Defronzo menyebut kedelapan organ yang berperan sentral
dalam patogenesis penderita DM tipe 2 sebagai the ominous octet (PERKENI, 2015).
Sumber : PERKENI, 2015
Keterangan:
1. Kegagalan sel beta pankreas
Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat
anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 dan
DPP-4 inhibitor.
2. Liver
Pada penderita DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP=
Hepatic Glucose Production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah
metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
3. Otot
Pada penderita DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioselular, akibat gangguan fosforilaso tirosin sehingga muncul ganggyan transport
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.
Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin dan tiazolidindon.
4. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antiliposis dari insulin, menyebabkan peningkatan
proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA= Free Fatty Acid). Dalam plasma
peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang
disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini
adalah tiazolidindon.
5. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibandingkan kalau
diberikan secara intravena efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2
hormon GLP-1 (Glucagonlike polypeptide-1) dan GIP (Glucose-dependent
Insulinotrophic polypeptide atau juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita
DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resistensi GIP. Incretin dipecah oleh
keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang
bekerja mengahambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran
pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim
alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian
diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang
bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah
diketahui sejak 1970. Sel alpha berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan
puasa kadarnya didalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP
dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat
yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-
1 agonis, DPP-4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM tipe – 2.
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilah puluh persen dari glukosa
terfiltrasi ini akan diserap kembali melaui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-
Transporter) pada bagian convuled tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan
diabsorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga
akhirnya tidak ada glukosa dalam urin. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekskresi
gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan
kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urin. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor seperti Dapaglifozin.
8. Otak Insulin
merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obesitas baik yang DM
maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi
dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat
adanya resisten insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin. Diabetes Melitus disebabkan oleh kekurangan
insulin namun tidak mutlak. Ini berarti bahwa tubuh tidak mampu memproduksi insulin
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan yang ditandai dengan kurangnya sel beta atau
defisiensi insulin, resistensi insulin perifer (ADA, 2014). Resistensi insulin perifer
berarti 18 terjadi kerusakan pada reseptor - reseptor insulin sehingga menyebabkan
insulin menjadi kurang efektif mengantar pesan-pesan biokimia menuju sel-sel (CDA,
2013). Dalam kebanyakan kasus diabetes melitus tipe 2 ini, ketika obat oral gagal untuk
merangsang pelepasan insulin yang memadai, maka pemberian obat melalui suntikan
dapat menjadi alternatif.
3. Gestasional Diabetes Melitus
Peran unit feto-placental dalam pengembangan GDM. Dalam abad terakhir
resistensi insulin dan penurunan sensitivitas insulin selama kehamilan terutama
dikaitkan dengan peningkatan kadar hormon yang berhubungan dengan kehamilan
sebagai estrogen, progesteron, kortisol, dan laktogen plasenta dalam sirkulasi ibu.
Biasanya resistensi insulin dari seluruh tubuh meningkat menjadi sekitar tiga kali
yang terlihat pada keadaan tidak hamil. Peningkatan resistensi disebabkan oleh
peristiwa reseptor pasca-insulin dan efek seluler dari peningkatan kadar satu atau
semua hormon di atas. Ketika kehamilan berlanjut dan plasenta tumbuh lebih besar,
produksi hormon juga meningkat dan demikian juga tingkat resistensi insulin.
Proses ini biasanya dimulai antara 20 dan 24 minggu kehamilan. Saat lahir, ketika
plasenta dilahirkan, produksi hormon berhenti dan begitu juga kondisi, sangat
menyarankan bahwa hormon-hormon ini menyebabkan GDM
2.4 Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan apabila ada keluhan khas DM
berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin disampaikan penderita antara lain
badan terasa lemah, sering kesemutan, gatal-gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada
pria, dan pruritus vulvae pada wanita.Apabila ada keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga dapat digunakan sebagai
patokan diagnosis DM. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Untuk kelompok tanpa keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah abnormal
tinggi (hiperglikemia) satu kali saja tidak cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.
Diperlukan konfirmasi atau pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan paling tidak
satu kali lagi kadar gula darah sewaktu yang abnormal tinggi (>200 mg/dL) pada hari
lain, kadar glukosa darah puasa yang abnormal tinggi (>126 mg/dL), atau dari hasil uji
toleransi glukosa oral didapatkan kadar glukosa darah paska pembebanan >200 mg/dL.
Diagnosa DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan
glukosa darah dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan glukometer.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat
ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila
terdapat keluhan seperti:
1. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
1. GDP ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L), puasa: tidak ada asupan kalori selama 8 jam
2. GD2PP ≥ 200 mg/dL (11,11 mmol/L), setelah TTGO 75 gram glukosa
3. HbA1c ≥6,5% (48 mmol/mol), dengan menggunakan metode yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP) 20
4. Pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hipoglikemik, GDS ≥200
mg/dL (11,1 mmol/L).
2.5 Faktor Resiko Diabetes Melitus
a. Riwayat keluarga
Dengan DM Seorang anak yang merupakan keturunan pertama dari orang tua
dengan DM (Ayah, ibu, laki-laki, saudara perempuan) beresiko menderita DM. Bila
salah satu dari kedua orang tuanya menderita DM maka risiko seorang anak
mendapat DM tipe 2 adalah 15% dan bila kedua orang tuanya menderita DM maka
kemungkinan anak terkena DM tipe 2 adalah 75%. Pada umunya apabila seseorang
menderita DM maka saudara kandungnya mempunyai resiko DM sebanyak 10%
(Kemenkes, 2008). Ibu yang terkena DM mempunyai resiko lebih besar 10-30%
dari pada ayah dengan DM. Hal ini dikarenakan penurunan gen sewaktu dalam
kandungan lebih besar dari seorang ibu (Trisnawati & Soedijono, 2013).
b. Gaya hidup
Gaya hidup merupakan perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam aktivitas sehari-hari.
Makanan cepat saji, olahraga tidak teratur dan minuman bersoda adalah salah satu gaya
hidup yang dapat memicu terjadinya DM tipe 2 (ADA, 2009).
c. Diet yang tidak sehat
Perilaku diet yang tidak sehat yaitu kurang olahraga, menekan nafsu makan, sering
mengkonsumsi makan siap saji (Abdurrahman, 2014).
d. Obesitas
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko utama untuk terjadinya penyakit penyakit
DM. Menurut Menurut Kariadi Kariadi (2009) dalam Fathmi (2012), (2012), obesitas
obesitas dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin (resisten insulin). Semakin
banyak jaringan lemak pada tubuh, maka tubuh semakin resisten terhadap kerja insulin,
terutama bila lemak tubuh terkumpul didaerah sentral atau perut (central obesity).
e. Tekanan darah tinggi Menurut Kurniawan dalam Jafar (2010) tekanan darah tinggi
merupakan peningkatan peningkatan kecepatan kecepatan denyut jantung, jantung,
peningkatan peningkatan resistensi resistensi (tahanan) (tahanan) dari pembuluh darah
dari tepi dan peningkatan volume aliran darah.
2.6 Penatalaksanaan Diabetes Melitus
2.6.1 Terapi Farmakologi Terapi farmakologi Menurut American Diabetes Assosation
2017adalah sebagai berikut :
1. DM tipe 1
a. Insulin Kebanyakan orang dengan diabetes tipe 1 harus diobati dengan beberapa
suntikan harian insulin prandial dan insulin basal atau infus insulin subkutan terus
menerus. Insulin adalah terapi utama bagi individu dengan diabetes tipe 1. Umumnya,
dosis insulin awal didasarkan pada berat badan, dengan dosis mulai dari 0,4 hingga 1,0
unit / kg / hari dari total insulin dengan jumlah yang lebih tinggi yang diperlukan selama
masa pubertas. Insulin adalah hormon anabolik dan anticatabolic. Ia memainkan peran
utama dalam protein, karbohidrat, dan metabolisme lemak. insulin yang diproduksi
secara endogen dibelah dari peptida proinsulin yang lebih besar dalam sel β ke peptida
aktif dari insulin dan C-peptida, yang dapat digunakan sebagai penanda untuk produksi
insulin endogen. Semua sediaan insulin yang tersedia secara komersial hanya
mengandung peptida insulin aktif. Karakteristik yang biasanya digunakan untuk
mengkategorikaninsulin yaitu dilihat dari sumber daya, kekuatan, onset, dan durasi
reaksi. Berikut merupakan data insilusin yang tersedia menurut Dipiro:
3.2 Bahan
1. Text Book
2. Data nilai normal laboraturium
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis).
VI. KASUS
Pasien MRS dengan keluhan lemas dan nafas tersengal sengal,terkadang ada rasa
mual - mual tetapi tidak muntah. Pasien diketahui pernah minum jamu-jamuan saat tidak
fit. Pasien mengaku telah lama menderita penyakit DM, Pasien dirumah biasa
menggunakan insulin Novorapi 3x 24 IU, dan Lantus 20 IU. Amlodipin 10mg 1x sehari,
dan Atorvastatin 10 mg 1x sehari dan Metformin 3x500mg. Di Rumah Sakit pasien
mendapatkan terapi seperti yang ditampilkan pada Tabel dibawah ini
Sebagai seorang Pharmasist, analisa Kasus berikut :
FIR :
No Pertanyaan Alasan
1. Berapakah dosis Lasix inj yang 40 mg, Untuk mengoptimalkan
diberikan pasien? pemberian terapi yang tepat
2. Berapakah kadar HBA1C pada 8, Untuk mengoptimalkan
pasien? pemberian terapi yang tepat
3. Bagaimaa life style pasien? Untuk mengoptimalkan
pemberian terapi yang tepat
4. Apakah mual masih dialami Masih, Untuk mengoptimalkan
pasien? pemberian terapi yang tepat
5. Apakah ada hasil lab 3,3, Untuk mengoptimalkan
creatinine terbaru pasien? pemberian terapi yang tepat
V. LEMBAR SOAP
SUBJEKTIF
Pasien MRS dengan keluhan lemas dan nafas tersengal sengal,terkadang ada rasa mual - mual tetapi tidak muntah. Pasien
diketahui pernah minum jamu-jamuan saat tidak fit.
OBJEKTIF
Demam Paracetamol Tidak ada DRP Dosis paracetamol yang aman untuk Efektivitas :
penyandang diabetes melitus tipe-2 yaitu 3 x Di konsumsi setelah makan, jika
sehari 500mg setiap 8 jam, di konsumsi tidak timbul gejala maka
setelah makan, jika tidak timbul gejala maka penggunaan paracetamol dapat
penggunaan paracetamol dapat dihentikan dihentikan.
(Asyrorsh Sleh, 2018). Efek samping :
Sakit kepala, mual muntah, sulit
tidur, urin berwarna gelap.
Terapi Infus Ringer Tidak ada DRP Cairan Ringer laktat dapat diberikan secara Efektivitas :
Cairan Lactat hati hati. Keberhasilan pemberian cairan Kekurangan cairan pada 24 jam
adalah adanya perubahan hemodinamik ( pertama harus dievaluasi kembali,
tekanan darah ), mencatat input/ out put sebab tindakan pemberian cairan
cairan, dan perbaikan klinis (Hikmat ini tidak boleh merubah
Permana, 2009). osmolaitas darah meningkat
sebanyak > 3 mOsm/kgH2O/jam.
Efek samping :
Nyeri dada, batuk, bersin-bersin,
ruam, gatal-gatal.
VI. PEMBAHASAN
Pada kasus Ny.KR diberikan terapi untuk diabetes mellitus tipe 2 dengan Actrapid 16 iu
3x1, Lantus 12 iu 1x1 dan Empaglifozin 10mg x 1 hari. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney
diketahui bahwa efektivitas insulin pada kadar glukosa darah acak dengan insulin rapid acting
dan short acting secara subkutan tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Dari uji
MannWhitney dapat diketahui bahwa nilai mean untuk Actrapid lebih besar dibandingkan
Novorapid (8,20 > 5,75). Selain itu dari uji Mann-Whitney juga dapat dilihat pada output dimana
nilai statistik uji Z yang kecil yaitu -0,990 dan nilai sig.2-tailed adalah 0,3220 > 0,05 . Hasil uji
tidak signifikan secara statistik dan terjadi Hipotesis Null dimana tidak ada perbedaan antara
Actrapid dan Novorapid. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara efektivitas insulin
rapid acting dan short acting (Riza Rastri Wihardiyanti. 2015). insulin yang paling banyak
digunakan adalah insulin reguler (actrapid) yang memiliki onset 0,5 hingga 1 jam dan dapat
bekerja selama 5-7 jam dengan puncak padajam ke 2-4 setelah pemberian. actrapid IU diberikan
dengan dosis 3 x 1 (Nazilah, et al, 2017). Dari jurnal diatas dapat ditetapkan terapi insulin yang
akan direkomendasikan pada pasien adalah Terapi Actrapid 16 iu 3x1 dalam kombinasi dengan
Lantus tetap 12 iu 1x1.
Terapi Metformin 500 mg 3x1 diganti dengan Empagliflozin dengan dosis 10 mg x1
karena berdasarkan jurnal Ralph A. dkk, 2017 yang menganalisis efek HbA1c awal pada
kemiringan pengurangan HbA1c dengan empagliflozin dibandingkan dengan dua agen
antidiabetes lain yang umum digunakan (sitagliptin dan glimepiride) menggunakan data pasien
individu dari dua uji coba terkontrol secara acak. HbA1c dengan HbA1c awal, sebagaimana
tercermin dari kemiringan penurunan HbA1c, lebih besar dengan empagliflozin dibandingkan
dengan sitagliptin dan glimepiride pada pasien dengan diabetes tipe 2. Kemiringan regresi yang
serupa pada HbA1c dengan empagliflozin 25 mg dalam Studi 1 dan 2 menekankan
reproduktifitas hasil empagliflozin. Berdasarkan hasil Studi 1, dapat diprediksi bahwa untuk
HbA1c awal 10,0%, 9,0% dan 8,0%. Karena pasien juga mengalami PGK maka sebaiknya
pasien mengkonsumsi empaglifozin berdasar pada penelitian yang dilakukan oleh Zinman, dkk.,
Verma, dkk, dan Neal, dkk. dengan golongan penghambat SGLT-2, didapatkan adanya
penurunan progresi PGK dengan parameter albuminuria dan angka perburukan nefropati. Namun
terdapat perbedaan mengenai risiko hipoglikemia. Pada empagliflozin risikonya lebih rendah
dibanding plasebo namun pada canagliflozin lebih tinggi dibanding plasebo. Dengan demikian,
setiap agen antidiabetik memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam
penggunaannya pada pasien PGK. Akan tetapi berdasarkan efek pada ginjal dan risiko
hipoglikemia, empagliflozin menunjukkan potensi paling besar untuk digunakan pada pasien
DMT2 dengan PGK. Pengurangan HbA1c dengan peningkatan HbA1c awal lebih besar dengan
empagliflozin dibandingkan dengan sitagliptin atau glimepiride pada pasien dengan diabetes tipe
2 (Zinman B, Verma, dan Neal, et al. 2017). Dosis awal JARDIANCE yang direkomendasikan
adalah 10 mg sekali sehari. Pada pasien dengan toleransi empagliflozin 10 mg sekali sehari yang
memiliki eGFR 60 ml/min/1,73m2 dan memerlukan kontrol glikemik tambahan, dosis dapat
ditingkatkan menjadi 25 mg sekali sehari. JARDIANCE bisa diminum dengan atau tanpa
makanan. Dosis harian maksimum adalah 25 mg (PIONAS, 2020)
Atorvastatin pada pasien diabetes tipe 2 yang seringkali mengalami abnormalitas pada
kadar lipid yang merupakan faktor risiko utama untuk penyakit kardiovaskular. Agen penurun
lipid , terutama statin , direkomendasikan untuk digunakan pada pasien - pasien ini. Golongan
yang banyak dipakai dalam terapi diabetes dengan penyakit penyerta adalah golongan statin
yaitu atorvastatin sebanyak 77.60%, diberikan Atorvastatin dengan dosis 1x10 mg (Refdanita,
2017).
Asam folat tetap dilanjutkan dengan dosis 0,25-1 mg per hari. Diketahui bahwa CKD
pada pasien yaitu stadium 4, dimana pada rentan normal GFR yaitu pada stadium 4 adalah GFR
berat 15 – 29 ml/menit/1,73 m2 .
Perhitungan GFR:
Cockroftt-Gault Formula GFR :
( ) ( )
=
( ) ( )
=
= 22,7 mL/menit/1.73m2
Selain itu berdasarkan studi longitudinal (Boston Longitudinal Study of Ageing) menunjukkan
bahwa penurunan yang terjadi terhadap nilai GFR tersebut sebagian besar disebabkan oleh
hipertensi (David, J. 2012). Asam folat memiliki peranan asam dalam proses sintesis nukleo
protein dimana hal ini merupakan kunci pembentukan dan produksi butir-butir darah merah
normal dalam susunan tulang. Kerja asam folat biasanya banyak berhubungan dengan kerja dari
vitamin B12. Folat diperlukan dalam berbagai reaksi biokimia dalam tubuh yang melibatkan
pemindahan satu unit karbon dalam interkonversi asam amino misalnya konversi homosistein
menjadi metionin dan serin menjadi glisin atau pada sintesis prekusor DNA purin, sehingga
apabila kadar hemoglobin dibawah atau diatas rentang kadar normal pada perempuan kadar
normalnya adalah 13.8 g/dL dengan rentang normal 12.3-15.3 g/dL. Apabila kadar hemoglobin
di bawah atau di atas rentang kadar normalnya maka dapat dikatakan hemoglobin mengalami
penurunan atau peningkatan kadar. Berdasarkan ketentuan nilai normal kadar hemoglobin
apabila dibandingkan dengan nilai rata-rata kadar hemoglobin yang didapatkan pada sebelum
dan sesudah terapi maka dapat dikatakan asam folat tidak menjadikan kadar hemoglobin pasien
menjadi normal. Hal ini dapat dilihat dari kadar rata-rata hemoglobin pasien setelah terapi yaitu
7.97 g/dL yang mana kadar ini masih di bawah batas kadar normal hemoglobin, walaupun terjadi
peningkatan kadar hemogobin apabila dibandingkan dengan rata-rata kadar sebelum terapi yaitu
7.28 g/dL. Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa asam folat yang digunakan untuk
pasien penyakit ginjal kronik hanya memberikan pengaruh yang kecil untuk dapat meningkatkan
kadar hemoglobin pada pasien penyakit ginjal kronik karena tidak dapat meningkatkan kadar
hemoglobin hingga mendekati kadar normalnya (Eriksen, B.O. 2006).
Pada pasien diabetes melitus dengan komplikasi hipertensi memerlukan analgesik untuk
mengetasi nyeri yang dialami. Penggunaan analgesik non-opioid ini adalah untuk menghilangkan
rasa nyeri tanpa mempengaruhi sistem saraf pusat. Obat ini bekerja dengan cara menghalangi
terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri di saraf perifer. Disamping itu juga, paracetamol
dapat digunakan untuk mengatasi demam pada pasien diabetes melitus tipe-2 komplikasi
hipertensi rawat inap di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Tahun 2016. Obat paracetamol
digunakan paling banyak dikarenakan paracetamol memiliki efek samping yang lebih rendah dan
lebih aman dibandingkan dengan analgetik dan antipiretik lainnya, dosis paracetamol yang aman
untuk penyandang diabetes melitus tipe-2 yaitu 3 x sehari 500mg setiap 8 jam, di konsumsi
setelah makan, jika tidak timbul gejala maka penggunaan paracetamol dapat dihentikan
(Asyrorsh Sleh, 2018).
Dapat diterapi dengan cara pemberian infus RL untuk mengembalikan kecukupan
cairan,sebagai asupan cairan pada pasien. RL juga dipilih karena bersifat isotonis sehingga
tidak memperberat kerja ginjal. Cairan Ringer laktat dapat diberikan secara hati hati.
Keberhasilan pemberian cairan adalah adanya perubahan hemodinamik ( tekanan darah ),
mencatat input/ out put cairan, dan perbaikan klinis. Kekurangan cairan pada 24 jam pertama
harus dievaluasi kembali, sebab tindakan pemberian cairan ini tidak boleh merubah osmolaitas
darah meningkat sebanyak > 3 mOsm/kgH2O/jam (Hikmat Permana, 2009).
Terapi Non Farmakologi yang dapat diberikan untuk pasien adalah dengan pemberian
konseling untuk mencegah terjadinya penyakit diabetes. Dapat dilakukan dengan melakukan
hidup sehat, mengurangi makan-makanan yang mengandung gula berlebih, istirahat yang cukup,
apabila sudah dalam gejala diabetes segera cek up ke dokter untuk ditindak lanjuti, kemudian
diberikan pengobatan insulin maupun oral yang aman untuk penderita diabetes mellitus.
VII. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut.
1. Diabetes mellitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan
metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik
pada mata, ginjal, dan pembuluh darah, disertai lesi pada membrane basalis dalam
pemeriksaan dengan mikroskop elektron.
2. Penyebab diabetes mellitus adalah rusaknya pancreas yang tidak bisa mengasilkan
insulin, dehidrasi dan ketoasidosis. Komplikasi jangka lama termasuk penyakit
kardiovaskular (risiko ganda), kegagalan kronis ginjal (penyebab utama dialysis),
kerusakan retina yang dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat
menyebabkan impotensi dan gangrene dengan risiko amputasi.
3. Plan terapi yang diberikan kepada Ny.KR usia 67 tahun yaitu dengan insulin actrapid
16 IU 3x1 dikombinasi dengan Insulin Lantus 12 IU 1x1, kemudian metformin distop
diganti menggunakan pengobatan Empagliflozin dengan dosis 10 mg x1. Pemberian
terapi hyperlipidemia untuk penderita diabetes yang dapat digunakan yaitu golongan
statin salah satunya atorvastatin 1x 10mg/hari. Pada kasus bahwa px mengalami CKD
adapun terapi rekomendasinya yaitu terapi asam folat tetap dilanjutkan dengan dosis
0,25-1 mg per hari. Diketahui bahwa CKD pada pasien yaitu stadium 4, dimana pada
rentan normal GFR yaitu pada stadium 4 adalah GFR berat 15 – 29 ml/menit/1,73 m2 .
Pasien juga mengeluhkan nyeri dan lemas terapi yang direkomendasikan oleh peneliti
yaitu terapi paracetamol dosis yang aman untuk penyandang diabetes melitus tipe-2
yaitu 3 x sehari 500mg setiap 8 jam, di konsumsi setelah makan, jika tidak timbul
gejala maka penggunaan paracetamol dapat dihentikan. Terapi cairannya diberikan
Ringer Lactat jika kekurangan cairan pada 24 jam pertama harus dievaluasi kembali,
sebab tindakan pemberian cairan ini tidak boleh merubah osmolaitas darah meningkat
sebanyak > 3 mOsm/kgH2O/jam.
4. Terapi non farmakologi yang dapat diberikan untuk pasien adalah dengan pemberian
konseling untuk mencegah terjadinya penyakit diabetes. Dapat dilakukan dengan
melakukan hidup sehat, mengurangi makan-makanan yang mengandung gula berlebih,
istirahat yang cukup, apabila sudah dalam gejala diabetes segera cek up ke dokter
untuk ditindak lanjuti, kemudian diberikan pengobatan insulin maupun oral yang aman
untuk penderita diabetes mellitus.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Fadlullah. 2014. Faktor Pendorong Perilaku Diet Tidak Sehat Pada Mahasiswi.
Diakses melalui http://www.portal.fisip- unmul.ac.id pada 12 Juli 2018.
American Diabetes Association, 2016. 7. Approaches to glycemic treatment. Diabetes care,
39(Supplement 1), pp.S52-S59.
American Diabetes Association. 2017. Microvascular Complications and Foot Care. Diabetes
Care 2017 Jan; 40(Supplement 1): S88-S98. Avaiable at :
http://care.diabetesjournals.org/content/40/Supplement_1/S88.full-text.pdf “diakses
25 Oktober 2020”
American Diabetes Association. 2018. The Journal of Clinical and Applied Research and
Education Diabetes Care: Standards of Medical Care In Diabetes-2018. (online),
[cited 26 October 2020]. Available from:
https://diabetesed.net/wpcontent/uploads/2017/12/2018-ADA-Standards-of-
Care.pdf
Asyrorsh Sleh. 2018. Evaluasi Interaksi Obat Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan
Komplikasi Hipertensi di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Tahun 2016. Skripsi.
Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
CDA(Canadian Diabetes Association). 2013. Type 2 diabetes-the basics Canadian Diabetes
Association Clinical Practice Guidelines. 2013. Diakses melalui
https://www.diabetes.ca/pada 12 Juli 2018.
Eriksen, B.O., dan Ingebretsen, O.C. 2006. The Progression of Chronic Kidney Disease: A 10-
year Population-based Study of the Effects of Gender and Age. J. Kidney
International 69, 375-382.
Goodpaster BH, Delany JP, Otto AD. et al. Effects of diet and physical activity interventions on
weight loss and cardiometabolic risk factors in severely obese adults: a randomized
trial. JAMA. 2010;304:1795–802.
Hikmat Permana. 2009. Terapi Cairan dan Nutrisi pada Kelainan Endokrinologi. Bandung:
Universitas Padjajaran
Johnson, David. 2012. Diagnosis, Classification and Staging of Chronic Kidney Disease. J.
Kidney Heart Australia (CARI Guidelines), 4-7.
Kementrian Kesehatan Indonesia. 2010. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009. Jakarta.
Kementrian Kesehatan RI.
Muchid, A., Umar,f.,GintingM.N.,basri,C.,Wahyuni,R,Helmi,R.and Istiqomah,S,N, 2005.,
Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Melitus. Jakarta: Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Nazilah, et al. 2017. Identifikasi Drug Related Problems pada Terapi Diabetes Melitus Tipe 2
di Instalasi Rawat Inap RSD dr. Soebandi Jember Periode Tahun 2015. Jember: e-
Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. 5 (3).
Neal B, Perkovic V, Mahaffey KW, Zeeuw D, Fulcher G, Erondu N. Canagliflozin and
cardiovascular and renal events in type 2 diabetes. N Engl J Med. 2017;1(1):1-13.
PERKENI. 2015. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
PERKENI; Jakarta.
Pusat Informasi Obat Nasional (Pionas), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
Republik Indonesia 2020. Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI). BPOM
RI.
Ralph A. DeFronzo, Ele Ferrannini, Guntram Schernthaner, Stefan Hant, Ulrich Elsasser,
Christopher Lee, Thomas Hach, and Søren S. Lund. 2017. Slope of change in
HbA1c from baseline with empagliflozin compared with sitagliptin or glimepiride
in patients with type 2 diabetes. USA : University of Texas Health Science Center.
Refdanita, R., Damayanthi, E., Dwiriani, C. M., Sumantri, C., & Effendi, A. T. 2017.
Hubungan Karakteristik pria Dewasa Dengan Biomarker Sindroma Metabolik .
Jurnal Gizi dan Pangan, 12(2), 79-84.
Riza Rastri Wihardiyanti. 2015. Efektivitas Penggunaan Insulin pada Penderita Diabetes
Melitus dengan Kehamilan di Rawat Inap RSD dr. Soebandi Jember Tahun 2012-
2013. Jember: e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. 3 (no. 3).
VermaS,MazerCD,Al-OmranM,FitchettD,HehnkeU,GorgeJT,et al. Cardiovascular outcomes
and safety of Empagliflozin in patients with type 2 diabetes mellitus and peripheral
artery disease: a subanalysis of EMPA-REG OUTCOME. Circulation.
2017;136(1):1-3.
World Health Organization 2016. Diabetes. Media Centre. Diunduh dari
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/. Diakses November 2018.
Zinman B, Wanner C, Lachin JM, Fitchett D, Bluhmki E, Hantel S. Empagliflozin,
cardiovascular outcomes, and mortality in type 2 diabetes. N Engl J Med. 2015;
373(22):2117-28
SOAP KELOMPOK
PRAKTIKUM FARTER IV
KASUS 2
Kelompok :5
Kelas : A3A
Anggota : Luh Nela Andriani 18021029
Ni Putu Indah Salistha 18021030
Nyoman Titin Brimantari 18021031
Ni Made Ayu Dwi Dharmayanti W. 18021032
Kadek Rosa Widia Arini 18021033
Ni Made Andrinia Ratih Sri I 18021034
I Komang Tri Cahaya Bintang 18021035
KASUS
Identitas Pasien
Pasien MRS dengan keluhan lemas dan nafas tersengal sengal,terkadang ada
rasa mual - mual tetapi tidak muntah. Pasien diketahui pernah minum jamu-jamuan
saat tidak fit. Pasien mengaku telah lama menderita penyakit DM, Pasien dirumah
biasa menggunakan insulin Novorapi 3x 24 IU, dan Lantus 20 IU. Amlodipin 10mg
1x sehari, dan Atorvastatin 10 mg 1x sehari dan Metformin 3x500mg.
• Subjective
Pasien MRS dengan keluhan lemas dan nafas tersengal
sengal,terkadang ada rasa mual - mual tetapi tidak muntah. Pasien diketahui
pernah minum jamu-jamuan saat tidak fit.
• Objective
1. Berat Badan/Tinggi Badan 87 kg/163 cm
2. Hasil Pemeriksaan Tanda-tanda Vital
• Assesment
Riwayat Pengobatan di Rumah Sakit
FIR
No Pertanyaan Alasan
Assesment
Terapi Infus Rl Terapi Dapat diterapi dengan cara pemberian infus RL untuk
Cairan Dilanjutkan mengembalikan kecukupan cairan,sebagai asupan cairan
pada pasien. RL juga dipilih karena bersifat isotonis
sehingga tidak
memperberat kerja ginjal.
5389
= 237,7
= 22,7 mL/menit/1.73m2
Termasuk stadium 4 pada CKD
EBM
Pada terapi asam folat tetap dilanjutkan dengan dosis
0,25-1 mg per hari. Sehingga apabila kadar
hemoglobin dibawah atau diatas rentang kadar
normal pada perempuan kadar normalnya adalah
13.8 g/dL dengan rentang normal 12.3-15.3 g/dL.10
Sehingga apabila kadar hemoglobin di bawah atau di
atas rentang kadar normalnya maka dapat dikatakan
hemoglobin mengalami penurunan atau peningkatan
kadar. Berdasarkan ketentuan nilai normal kadar
hemoglobin apabila dibandingkan dengan nilai rata-
rata kadar hemoglobin yang didapatkan pada
sebelum dan sesudah terapi maka dapat dikatakan
asam folat tidak menjadikan kadar hemoglobin
pasien menjadi normal. Hal ini dapat dilihat dari
kadar rata-rata hemoglobin pasien setelah terapi
yaitu 7.97 g/dL yang mana kadar ini masih di bawah
batas kadar normal hemoglobin, walaupun terjadi
peningkatan kadar hemogobin apabila dibandingkan
dengan rata-rata kadar sebelum terapi yaitu 7.28
g/dL. Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan
bahwa asam folat yang digunakan untuk pasien
penyakit ginjal kronik hanya memberikan pengaruh
yang kecil untuk dapat meningkatkan kadar
hemoglobin pada pasien penyakit ginjal kronik
karena tidak dapat meningkatkan kadar hemoglobin
hingga mendekati kadar normalnya.
Hiperlipide Atorvastatin P1.5 Ada Diberikan terapi golongan Statin yaitu Atorvastatin
mia 10 mg indikasi kepada pasien dengan dosis 10 mg.
tetapi obat EBM
tidak Golongan yang banyak dipakai dalam terapi
diresepkan diabetes dengan penyakit penyerta adalah golongan
P5.4 Obat statin yaitu atorvastatin sebanyak 77.60%
tidak (Refdanita, 2020).
diminum atau
tidak
diberikan
Mual Ondansentro Tidak ada Terapi ondansentron inj 2x1 tetap diberikan bila
n inj 2x1 DRP perlu.
EBM
Ondansentron merupakan suatu antagonis 5-HT3
yang sangat selektif dapat menekan mual dan
muntah. Sehingga efektif mengatasi mual pada
pasien (Fitrah, 2016).
• Plan
1. Diabetes Melitus tipe 2: Terapi Actrapid 16 iu 3x1 dalam kombinasi
dengan Lantus tetap 12 iu 1x1, Empagliflozin dengan dosis 10 mg x1
Monitoring:
a) Efektivitas: Pantau kadar HBSA1c da kadar gula darah pasien.
b) Efek Samping :Actracipid = reaksi alergi, Lantus =
hipoglikemia, ruam kulit, empagliflozin = rasa haus berlebih,
mulut kering serta meningkatkan frekuensi buang air kecil
2. Hipertensi dan edema: Terapi amlodipine dan Lasix inj dihentikan
penggunaannya dan digantikan dengan penggunaan lisinopril dengan
dosis 10mg 1x sehari
Monitoring:
a) Efektivitas: Pantau tanda vital tekanan darah pasien.
b) Efek Samping : pusing, sakit kepala, gatal-gatal.
3. CKD : diberikan asam folat dengan dosis 0,25 -1 mg per hari
a) Efektifitas : dengan tetap memantai kadar creatinine
b) Efek samping : mual, kembung, gangguan tidur
4. Hiperlipidemia: Diberikan Atorvastatin 10 mg
Monitoring:
a) Efektivitas: Pantau kadar LDL pasien.
b) Efek Samping : konstipasi
5. Mual: Ondansentron inj 2x1
Monitoring:
a) Efektivitas: Pantau keluhan mual pasien, apakah membaik
atau berlanjut.
b) Efek Samping : konstipasi, meriang
Terapi Non-Farmakologi
1. Pasien dengan hipertensi sebaiknya melakukan modifikasi gaya hidup
untuk mengurangi tekanan darah sistolik, dengan mengurangi berat
badan dengan menjaga berat badan normal (body mass index 18,5-24,9
kg/m2), mengkonsumsi makanan diet yang kaya akan buah, sayur, dan
produk berlemak rendah dengan mengurangi lemak jenuh dan total;
mengurangi pemasukan garam; aktivitas fisik aerobik regular.
2. Terapi nutrisi medis (diet) dibutuhkan untuk pasien DM, pasien DM tipe
2 sering membutuhkan pembatasan kalori untuk menurunkan berat
badan.
3. Latihan aerobik akan memperbaiki resistensi insulin, pengontrolan
glikemik, berperan dalam menjaga atau menurunkan berat badan
(Triplitt et al., 2008).
Pembatasan protein diet dapat menurunkan risiko berkembangnya
proteinuria dan gagal ginjal kronis pada pasien diabetes.
DAFTAR PUSTAKA
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C.V. 2015.
Pharmacotherapy HandbookNinth Edition. Inggris: McGraw-Hill
Education Companies.
Hansson, L et al. 1999. Effect of Angiotensin- converting-enzyme Inhibition
Compared with Conventional Therapy on Cardiovascular Morbidity and
Mortality in Hypertension: the Captopril Prevention Project (CAPPP)
randomized trial. The Lancet.353:611-616
Kartika IG, Lestari AA, Swastini DA. Perbandingan Profil Penggunaan Terapi
Kombinasi Insulin pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Unit Rawat Inap
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah. Jurnal Farmasi Udayana.
2013;2(2):62-69.
Refdanita, R., Damayanthi, E., Dwiriani, C. M., Sumantri, C., & Effendi, A. T.
2017. Hubungan Karakteristik pria Dewasa Dengan Biomarker Sindroma
Metabolik. Jurnal Gizi dan Pangan, 12(2), 79-84.
Soelistijo, S. A., Novida, H., Rudijanto, A., Soewondo, P., Suastika, K., Manaf,
A., & Zufry, H. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015. Jakarta: PB Perkeni, 1-93.
Sukandar., Elin Yulinah., Retnosari Andrajati et al., 2012. ISO Farmakoterapi.
Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.
Zinman B, Wanner C, Lachin JM, Fitchett D, Bluhmki E, Hantel S.
Empagliflozin, cardiovascular outcomes, and mortality in type 2 diabetes.
N Engl J Med. 2015; 373(22):2117-28.
VermaS,MazerCD,Al-OmranM,FitchettD,HehnkeU,GorgeJT,et al.
Cardiovascular outcomes and safety of Empagliflozin in patients with type
2 diabetes mellitus and peripheral artery disease: a subanalysis of EMPA-
REG OUTCOME. Circulation. 2017;136(1):1-3.
Neal B, Perkovic V, Mahaffey KW, Zeeuw D, Fulcher G, Erondu N.
Canagliflozin and cardiovascular and renal events in type 2 diabetes. N Engl
J Med. 2017;1(1):1-13.