Kelas C4 - Kelompok 2
Disusun Oleh :
A. Latar Belakang
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) Republik Indonesia, sebagai
lembaga yang mengemban otoritas regulatori di bidang obat di Indonesia mempunyai
tanggung jawab kepada masyarakat untuk menjamin bahwa semua produk obat yang
beredar (pasca pemasaran) memenuhi persyaratan keamanan, khasiat dan mutu. Dalam
hal ini, Badan POM melakukan langkah pengawalan dan pemantauan baik dari aspek
keamanan, kemanfaatan dan mutu obat yang beredar, mulai dari evaluasi pra pemasaran
hingga pengawasan pasca pemasaran obat yang beredar di wilayah Republik Indonesia.
Kegiatan pengawasan pasca pemasaran utamanya pemantauan aspek keamanan
obat merupakan upaya Badan POM dalam rangka jaminan keamanan obat (ensuring drug
safety) pasca pemasaran. Pengawalan dan pemantauan aspek keamanan obat pasca
pemasaran dilakukan untuk mengetahui efektifitas (efectiveness) dan keamanan
penggunaan obat pada kondisi kehidupan nyata atau praktik klinik yang sebenarnya.
Banyak bukti menunjukkan bahwa sebenarnya efek samping obat (ESO) dapat dicegah,
dengan pengetahuan yang bertambah, yang diperoleh dari kegiatan pemantauan aspek
keamanan obat pasca pemasaran (atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah
Farmakovigilans. Sehingga, kegiatan ini menjadi salah satu komponen penting dalam
sistem regulasi obat, praktik klinik dan kesehatan masyarakat secara umum (BPOM,
2012).
Farmakovigilans adalah proses sistematis dan terstruktur untuk memantau dan
mendeteksi reaksi obat yang tidak diinginkan. World Health Organization (WHO)
mendefinisikan farmakovigilans sebagai kegiatan yang berkaitan dengan pendeteksian,
penilaian, pemahaman dan pencegahan efek samping atau masalah terkait obat lainnya.
ROTD adalah respon berbahaya yang dialami pasien disebabkan oleh obat dengan
pemberian pada dosis, frekuensi dan rute yang direkomendasikan. Reaksi ini termasuk
reaksi alergi, efek withdrawal, atau reaksi yang disebabkan oleh interaksi pengobatan
lainnya. NSAID (23,5%), antikoagulan oral (20,6%), aspirin dosis rendah (asam
asetilsalisilat) (13,7%) dan digoksin (12,7%) adalah obat yang paling sering terlibat
dalam ROTD (Franceschi et al., 2008).
Aspirin dalam dosis rendah dikenal sebagai antiplatelet yang dipakai secara luas
untuk tujuan prevensi primer maupun sekunder penyakit kardiovaskuler, stroke, penyakit
pembuluh darah perifer. Salah satu efek samping pada penggunaan aspirin dalam dosis
rendah dalam pengobatan adalah dapat memicu terjadinya anemia aplastik. Menurut
National Institutes of Health (2019), anemia aplastik terjadi karena kerusakan stem cells
di dalam sumsum tulang, yang merupakan jaringan seperti spons di dalam tulang. Banyak
penyakit dan kondisi yang dapat merusak stem cells tersebut, akibatnya sumsum tulang
memproduksi lebih sedikit sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Penyebab
paling umum dari kerusakan sumsum tulang adalah dari sistem kekebalan yang
menyerang dan menghancurkan stem cells di sumsum tulang, yang merupakan sejenis
gangguan autoimun. Gen yang diwarisi dari orang tua, beberapa obat, dan zat toksik
tertentu yang berada di lingkungan juga dapat menyebabkan anemia aplastik. Anemia
aplastik ditandai dengan gejala kelelahan, pendarahan karena trombositopenia dan
terjadinya infeksi berulang akibat neutropenia (Jalaeikhoo & Khajeh, 2015).
Berdasarkan hasil observasi eHealthMe study from FDA and social media reports
menyebutkan bahwa sejak 2004 hingga November 2013 sudah terdapat sebanyak 146.090
pasien yang melaporkan efek samping aspirin dan 105 (0,07%) mengalami anemia
aplastik. Hal menarik dari hasil observasi tersebut bahwa insiden anemia aplastik
tertinggi di alami pasien yang menggunakan aspirin setelah 1-2 tahun yakni sebesar
62,5%. Sedangkan pada pasien yang menggunakan aspirin lebih dari 2 tahun atau lebih
10 tahun tidak dijumpai adanya anemia aplastik. Sebagian besar (77%) pelapor adalah
pasien dengan usia lebih dari 60 tahun.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kasus 2
Tn JK berusia 75 tahun, BB 70 kg dan TB 165 cm, MRS dengan keluhan sesak nafas,
pusing yang tidak hilang dengan parasetamol. Pasien juga mengaku mengukur tekanan darah
sendiri dan tidak ada peningkatan berarti, tetapi pusing tidak hilang. Pasien mengaku memiliki
riwayat PJK dan rajin kontrol (dibuktikan dengan catatan kontrol setiap bulan di Rekam
Medik). Obat PJK yang diminum sejak Januari 2015 adalah Lisinopril 1x10 mg, Bisoprolol 1x
5 mg, Aspilet 1x1 tab, ISDN 3x5 mg.
Hasil pemeriksaan lab adalah sbb: Hb 6,0; Leukosit 3300/mm3; Thrombosit
54.000/mm3; Cr 1,05 mg/dL; BUN 12,8 mg/dL; Albumin 3,8 mg/dL. Pasien segera mendapat
terapi berupa transfusi PRC 1 bag, Ceftriaxon 2x1g iv. Hasil pemeriksaan lab keesokan
harinya adalah sbb: Hb 9,0; Leuko 4600/mm3; Thrombosit 104.000/mm3.
Karena adanya peningkatan Hb cukup tinggi dengan 1 bag PRC, dokter meragukan
apakah ada kesalahan hasil lab, sehingga meminta pemeriksaan Hapusan Darah Tepi (HDT).
Hasilnya menunjukkan normokromik, normositer sehingga dokter menduga pasien mengalami
anemia aplastik yang dipicu oleh penyakit kronik.
o Hasil interview riwayat pengobatan, pasien mengaku tidak pernah minum jamu,
minuman berenergi, analgesik secara bebas. Pasien juga mengaku bahwa sebelumnya
rajin donor darah, namun sejak pertengahan 2015 dia ditolak oleh PMI karena
hemoglobin di bawah persyaratan. Semenjak itu beberapa kali dia mencoba donor
darah, namun selalu ditolak PMI.
Tugas:
1. Lakukanlah studi literatur untuk mengetahui apakah kejadian serupa pernah
dilaporkan.
2. Lakukan analisis kasualitas menggunakan algoritma Naranjo.
3. Berikan rekomendasi kepada klinisi untuk mengatasi ADR pada pasien.
4. Buatlah laporan ESO menggunakan Form Kuning.
Penyelesaian:
(Was the drug detected in the blood (or other fluids) in concentrations known to be
toxic?)
8. Apakah efek samping obat bertambah parah ketika dosis obat ditingkatkan atau bertambah
ringan ketika obat diturunkan dosisnya? 1 0 0 0
(Was the ADR more severe when the dose was increased or less severe when the dose was
decreased?)
9. Apakah pasien pernah mengalami efek samping obat yang sama atau dengan obat yang
1 0 0 1
mirip sebelumnya?
(Did the patient have a similar ADR to the same or similar drugs in any previous
exposure?)
10. Apakah efek samping obat dapat dikonfirmasi dengan bukti yang obyektif?
1 0 0 1
(Was the ADR confirmed by objective evidence?)
Total Score 11
Skala Probabilitas Naranjo
Skor Kategori
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2012. Pedoman Monitoring Efek Samping Obat
(MESO) Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: BPOM RI.
Bakta, IM. 2003. Hematologi Klinik ringkas. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta: EGC. P:
98-109.
Dipiro, J.T, et al. 2015. Pharmacotherapy handbook, Ninth Edit. Inggris: McGraw-Hill
Education Companies.
Franceschi et al. 2008. Prevalence, clinical features and avoidability of adverse drug
reactions as cause of admission to a Geriatric Unit. Drug safety 31:545-556.
Jalaeikhoo H, Khajeh-mehrizi A. 2015. Immunosuppressive Therapy in Patients with
Aplastic Anemia : A Single-Center Retrospective Study. PLoS One 1–10.
National Institutes of Health. 2019. U.S. National Library of Medicine MedlinePlus.
Aplastic Anemia.
WHO policy perspectives on medicines. Pharmacovigilance: ensuring the safe use of
medicines. Geneva: world health organization; 2004. [Diakses tgl 5 Maret 2021]
http://www.who.int/medicines/.
Widyati. 2014, Laporan kasus tentang aspirin dosis rendah memicu anemia aplastik. JFI
7:91-96.
Young NS, Maciejewski J. 1997. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. In:
Eipsten FH, editor. New English Medical Journal, vol 336. Massachusetts Medical
Society.