Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH STUDI KASUS PRAKTEK FARMASI RUMAH SAKIT

“MONITORING EFEK SAMPING OBAT”

Dosen Pengampu: Dr. apt. Jason Merari P, S.Si., MM., M.Si

Kelas C4 - Kelompok 2

Disusun Oleh :

Violita Munawaroh (2120414680)


Viya Amalia (2120414681)

PROFESI APOTEKER ANGKATAN 41


UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) Republik Indonesia, sebagai
lembaga yang mengemban otoritas regulatori di bidang obat di Indonesia mempunyai
tanggung jawab kepada masyarakat untuk menjamin bahwa semua produk obat yang
beredar (pasca pemasaran) memenuhi persyaratan keamanan, khasiat dan mutu. Dalam
hal ini, Badan POM melakukan langkah pengawalan dan pemantauan baik dari aspek
keamanan, kemanfaatan dan mutu obat yang beredar, mulai dari evaluasi pra pemasaran
hingga pengawasan pasca pemasaran obat yang beredar di wilayah Republik Indonesia.
Kegiatan pengawasan pasca pemasaran utamanya pemantauan aspek keamanan
obat merupakan upaya Badan POM dalam rangka jaminan keamanan obat (ensuring drug
safety) pasca pemasaran. Pengawalan dan pemantauan aspek keamanan obat pasca
pemasaran dilakukan untuk mengetahui efektifitas (efectiveness) dan keamanan
penggunaan obat pada kondisi kehidupan nyata atau praktik klinik yang sebenarnya.
Banyak bukti menunjukkan bahwa sebenarnya efek samping obat (ESO) dapat dicegah,
dengan pengetahuan yang bertambah, yang diperoleh dari kegiatan pemantauan aspek
keamanan obat pasca pemasaran (atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah
Farmakovigilans. Sehingga, kegiatan ini menjadi salah satu komponen penting dalam
sistem regulasi obat, praktik klinik dan kesehatan masyarakat secara umum (BPOM,
2012).
Farmakovigilans adalah proses sistematis dan terstruktur untuk memantau dan
mendeteksi reaksi obat yang tidak diinginkan. World Health Organization (WHO)
mendefinisikan farmakovigilans sebagai kegiatan yang berkaitan dengan pendeteksian,
penilaian, pemahaman dan pencegahan efek samping atau masalah terkait obat lainnya.
ROTD adalah respon berbahaya yang dialami pasien disebabkan oleh obat dengan
pemberian pada dosis, frekuensi dan rute yang direkomendasikan. Reaksi ini termasuk
reaksi alergi, efek withdrawal, atau reaksi yang disebabkan oleh interaksi pengobatan
lainnya. NSAID (23,5%), antikoagulan oral (20,6%), aspirin dosis rendah (asam
asetilsalisilat) (13,7%) dan digoksin (12,7%) adalah obat yang paling sering terlibat
dalam ROTD (Franceschi et al., 2008).
Aspirin dalam dosis rendah dikenal sebagai antiplatelet yang dipakai secara luas
untuk tujuan prevensi primer maupun sekunder penyakit kardiovaskuler, stroke, penyakit
pembuluh darah perifer. Salah satu efek samping pada penggunaan aspirin dalam dosis
rendah dalam pengobatan adalah dapat memicu terjadinya anemia aplastik. Menurut
National Institutes of Health (2019), anemia aplastik terjadi karena kerusakan stem cells
di dalam sumsum tulang, yang merupakan jaringan seperti spons di dalam tulang. Banyak
penyakit dan kondisi yang dapat merusak stem cells tersebut, akibatnya sumsum tulang
memproduksi lebih sedikit sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Penyebab
paling umum dari kerusakan sumsum tulang adalah dari sistem kekebalan yang
menyerang dan menghancurkan stem cells di sumsum tulang, yang merupakan sejenis
gangguan autoimun. Gen yang diwarisi dari orang tua, beberapa obat, dan zat toksik
tertentu yang berada di lingkungan juga dapat menyebabkan anemia aplastik. Anemia
aplastik ditandai dengan gejala kelelahan, pendarahan karena trombositopenia dan
terjadinya infeksi berulang akibat neutropenia (Jalaeikhoo & Khajeh, 2015).
Berdasarkan hasil observasi eHealthMe study from FDA and social media reports
menyebutkan bahwa sejak 2004 hingga November 2013 sudah terdapat sebanyak 146.090
pasien yang melaporkan efek samping aspirin dan 105 (0,07%) mengalami anemia
aplastik. Hal menarik dari hasil observasi tersebut bahwa insiden anemia aplastik
tertinggi di alami pasien yang menggunakan aspirin setelah 1-2 tahun yakni sebesar
62,5%. Sedangkan pada pasien yang menggunakan aspirin lebih dari 2 tahun atau lebih
10 tahun tidak dijumpai adanya anemia aplastik. Sebagian besar (77%) pelapor adalah
pasien dengan usia lebih dari 60 tahun.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Anemia Aplastik


Anemia aplastik merupakan anemia yang disertai oleh pansitopenia pada darah
tepi yang disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia
atau hipoplasia tanpa adanya infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum tulang (Bakta,
2003). Pada anemia aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang
sehingga menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia, monositopenia
dan trombositopenia (Young, 1997).
B. Etiologi Anemia Aplastik
Penyebab penyakit anemia aplastik sebagian besar adalah idiopatik (50- 70%).
Beberapa penyebab lain yang sering dikaitkan dengan anemia aplastik 6 adalah
toksisitas langsung dan penyebab yang diperantarai oleh imunitas seluler. Beberapa
etiologi tersebut tercantum pada tabel berikut (Bakta, 2003):
1. Primer
a. Kelainan Kongenital
1) Fanconi
2) Nonfanconi
3) Dyskeratosis kongenital
b. Idiopatik
2. Sekunder
a. Akibat radiasi, bahan kimia atau obat
b. Akibat obat – obat idiosinkratik, misalnya kloramfenikol, aspirin. Obat-obatan
lain yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas,
dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mieleran atau nitrosourea.
c. Karena penyebab lain :
1) Infeksivirus : hepatitis virus /virus lain
2) Akibat kehamilan

C. Klasifikasi Anemia Aplastik


Berdasarkan etiologinya, anemia aplastik dapat dibedakan menjadi:
1. Anemia Aplastik Didapat
Anemia aplastik didapat disebabkan oleh bahan-bahan kimia seperti senyawa
benzena, ataupun hipersensitivitas terhadap obat atau dosis obat yang berlebihan
seperti kloramfenikol, fenilbutazon, sulfue, mileran, atau nitroseurea. Selain itu,
anemia aplastik didapat juga disebabkan oleh infeksi seperti Epstein-Bar, influenza
A, dengue, tuberkulosis, Hepatitis, HIV, infeksi mikobakterial, kehamilan ataupun
sklerosis tiroid (anemia aplastik/hipoplastik).
2. Anemia Aplastik Familial
Meskipun anemia aplastik paling banyak bersifat idiopatik, namun faktor
herediter juga diketahui dapat menyebabkan terjadinya anemia aplastik yang
diturunkan. Beberapa etiologi anemia aplastik yang diturunkan antara lain
pansitopenia konstitusional Fanconi, difisiensi pankreas pada anak, serta gangguan
herediter pemasukan asam folat ke dalam sel.
D. Manifestasi Klinis
Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang
timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan
menimbulkan anemia dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe
d’effort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis
menyebabkan granulositopenia yang akan menyebabkan penderita menjadi peka
terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal
maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan pendarahan di
kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-organ.
Manifestasi klinis pada pasien dengan anemia aplastik dapat berupa (Bakta,
2003) :
1. Sindrom anemia :
a. Sistem kardiovaskuler : rasa lesu, cepat lelah, palpitasi, sesak napas intoleransi
terhadap aktivitas fisik, angina pectoris hingga gejala payah jantung.
b. Susunan saraf : sakit kepala, pusing, telingga mendenging, mata berkunang –
kunang terutama pada waktu perubahan posisi dari posisi jongkok ke posisi
berdiri, iritabel, lesu dan perasaan dingin pada ekstremitas.
c. Sistem pencernaan : anoreksia, mual dan muntah, flaturensi, perut kembung,
enek di hulu hati, diare atau obstipasi.
d. Sistem urogeniatal : gangguan haid dan libido menurun.
e. Epitel dan kulit: kelihatan pucat, kulit tidak elastis atau kurang cerah, rambut
tipis dan kekuning kuningan.
2. Gejala perdarahan : ptekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan subkonjungtiva,
perdarahan gusi, hematemesis/melenaatau menorhagia pada wanita. Perdarahan
organ dalam lebih jarang dijumpai, namun jika terjadi perdarahan otak sering
bersifat fatal.
3. Tanda-tanda infeksi: ulserasi mulut atau tenggorokan, selulitis leher, febris, sepsis
atau syok septik.
E. Diagnosis
Kriteria diagnosis anemia aplastik berdasarkan International
Agranulocytosisand Aplastic Anemia Study Group (IAASG) (Bakta, 2003) adalah:
1. Satu dari tiga sebagai berikut :
 Hb < 30%
 Trombosit < 50x109 /L
 Leukosit < 3,5x109 /L
2. Retikulosit <30 x 109/L
3. Gambaran sumsum tulang :
Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel
hematopoeitik atau selularitas normal oleh hiperplasiaeritroid fokal dengan deplesi
seri granulosit dan megakariosit.
 Tidak adanya fobrosis yang bermaknaatau infiltrasi neoplastik
4. Pansitopenia karena obat sitostakita atau radiasi terapeutik harus dieksklusi
F. Penatalaksanaan
Secara garis besar terapi untuk anemia aplastik terdiri atas (Bakta, 2003) :
1. Terapi kausal
Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab. Tetapi sering
kali hal ini sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya
yang tidak dapat dikoreksi.
2. Terapi suportif
Terapi ini adalah untuk mengatasi akibat pansitopenia.
a. Untuk mengatasi infeksi antara lain :
 Higiene mulut
 Identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat.
Sebelum ada hasil tes sensitivitas, antibiotik yang biasa diberikan adalah
ampisilin, gentamisin, atau sefalosporin generasi ketiga.
 Tranfusi granulosit konsentrat diberikan pada sepsis berat kuman gram
negatif, dengan neutropenia berat yang tidak memberikan respon pada
antibiotika adekuat.
b. Untuk mengatasi anemia
Tranfusi PRC (packet red cell) jika Hb < 7 g/dl atau ada tanda payah jantung
atau anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai Hb 9-10 g/dl, tidak perlu
sampai Hb normal, karena akan menekan eritropoiesis internal.
c. Untuk mengatasi perdarahan
Tranfusi konsentrat trombosit jika terdapat perdarahan mayor atau trombosit <
20.000/mm3 . Pemberian trombosit berulang dapat menurunkan efektivitas
trombosit karena timbulnya antibodi antitrombosit. Kortikosteroid dapat
mengurangi perdarahan kulit.
3. Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang
Beberapa tindakan di bawah ini diharapkan dapat merangsang pertumbuhan
sumsum tulang :
a. Anabolik Steroid: oksimetolon atau atanozol. Efek terapi diharapkan muncul
dalam 6-12 minggu.
b. Kortikosteroid dosis rendah sampai menengah : prednison 40- 100 mg/hr, jika
dalam 4 minggu tidak ada perbaikan maka pemakaiannya harus dihentikan
karena efek sampingnya cukup serius.
c. GM-CSF atau G-CSF dapat diberikan untuk meningkatkan jumlah netrofil.
4. Terapi definitif
Terapi definitif adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan jangka panjang.
Terapi tersebut terdiri atas dua macam pilihan :
a. Terapi Imunosupresif
 Pemberian anti lymphocyte globuline : anti lymphocyte globulin (ALG) atau
anti thymocyte globuline (ATG). Pemberian ALG merupakan pilihan utama
untuk pasien yang berusia di atas 40 tahun.
 Pemberian methylprednisolon dosis tinggi
b. Transplantasi sumsum tulang. Transplantasi sumsum tulang merupakan terapi
definitif yang memberikan harapan kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal,
memerlukan peralatan yang canggih, serta adanya kesulitan tersendiri dalam
mencari donor yang kompatibel. Transplantasi sumsum tulang yaitu :
 Merupakan pilihan untuk pasien usia < 40 tahun.
 Diberikan siklosporin A untuk mengatasi GvHD (graft versus hostdisease).
 Memberikan kesembuhan jangka panjang pada 60-70% kasus.
BAB III
PEMBAHASAN

Kasus 2

Tn JK berusia 75 tahun, BB 70 kg dan TB 165 cm, MRS dengan keluhan sesak nafas,
pusing yang tidak hilang dengan parasetamol. Pasien juga mengaku mengukur tekanan darah
sendiri dan tidak ada peningkatan berarti, tetapi pusing tidak hilang. Pasien mengaku memiliki
riwayat PJK dan rajin kontrol (dibuktikan dengan catatan kontrol setiap bulan di Rekam
Medik). Obat PJK yang diminum sejak Januari 2015 adalah Lisinopril 1x10 mg, Bisoprolol 1x
5 mg, Aspilet 1x1 tab, ISDN 3x5 mg.
Hasil pemeriksaan lab adalah sbb: Hb 6,0; Leukosit 3300/mm3; Thrombosit
54.000/mm3; Cr 1,05 mg/dL; BUN 12,8 mg/dL; Albumin 3,8 mg/dL. Pasien segera mendapat
terapi berupa transfusi PRC 1 bag, Ceftriaxon 2x1g iv. Hasil pemeriksaan lab keesokan
harinya adalah sbb: Hb 9,0; Leuko 4600/mm3; Thrombosit 104.000/mm3.
Karena adanya peningkatan Hb cukup tinggi dengan 1 bag PRC, dokter meragukan
apakah ada kesalahan hasil lab, sehingga meminta pemeriksaan Hapusan Darah Tepi (HDT).
Hasilnya menunjukkan normokromik, normositer sehingga dokter menduga pasien mengalami
anemia aplastik yang dipicu oleh penyakit kronik.

Apoteker melakukan assessment untuk mengetahui penyebab pasien mengalami


anemia aplastik. Dari penelusuran pustaka apoteker mengetahui bahwa penyakit kronik yang
berpotensi memicu anemia adalah penyakit ginjal kronik (PGK), cirrhosis hepatis, infeksi
kronik, aktivasi imun kronik atau keganasan. Sedangkan pasien tersebut tidak memiliki semua
penyakit tersebut, sehingga menggugah apoteker untuk menelaah lebih jauh apakah penyebab
bersumber dari obat.

Selanjutnya apoteker melakukan tahapan sbb:


o Pencatatan data secara time series tentang detail reaksi, riwayat obat sejak pertama
didiagnosis penyakit kronik (dalam hal ini PJK). Data yang diperoleh adalah sbb:
Waktu Terapi PJK
15 Jan 2015 s.d. 10 Okt 2016 Lisinopril, Bisoprolol, Aspilet
31 Okt 2016 s.d. 12 Jul 2017 Amlodipin, Lisinopril, Clopidogrel
18 Jan 2018 s.d. 18 Agus 2018 Valsartan, Bisoprolol, Aspilet

o Hasil interview riwayat pengobatan, pasien mengaku tidak pernah minum jamu,
minuman berenergi, analgesik secara bebas. Pasien juga mengaku bahwa sebelumnya
rajin donor darah, namun sejak pertengahan 2015 dia ditolak oleh PMI karena
hemoglobin di bawah persyaratan. Semenjak itu beberapa kali dia mencoba donor
darah, namun selalu ditolak PMI.

Tugas:
1. Lakukanlah studi literatur untuk mengetahui apakah kejadian serupa pernah
dilaporkan.
2. Lakukan analisis kasualitas menggunakan algoritma Naranjo.
3. Berikan rekomendasi kepada klinisi untuk mengatasi ADR pada pasien.
4. Buatlah laporan ESO menggunakan Form Kuning.

Penyelesaian:

1. Lakukanlah studi literatur untuk mengetahui apakah kejadian serupa pernah


dilaporkan.
Hasil studi literatur menyebutkan bahwa aspirin memiliki kecenderungan
insiden memicu anemia aplastik (AA) paling besar di antara obat lain yang pernah
diminum.

2. Lakukan analisis kasualitas menggunakan algoritma Naranjo.


Hasil perhitungan Skala Naranjo diperoleh total skor 11 yang berarti memiliki
tingkat kepastian yang tinggi, bahwa aspirin yang diduga sebagai pemicu anemia
aplastik (AA).
Scale
No Pertanyaan/Questions Tidak Diketahui/
Ya/Yes Tidak/No Unknown Score
1. Apakah ada laporan efek samping obat yang serupa? 1 0 0 1
(Are there previous conclusive reports on this reaction?)
2. Apakah efek samping obat terjadi setelah pemberian obat yang dicurigai?
2 -1 0 2
(Did the ADR appear after the suspected drug was administered?)
3. Apakah efek samping obat membaik setelah obat dihentikan atau obat antagonis khusus
diberikan? 1 0 0 1
(Did the ADR improve when the drug was discontinued or a specific antagonist was
administered?)
4. Apakah Efek Samping Obat terjadi berulang setelah obat diberikan kembali?
2 -1 0 2
(Did the ADR recure when the drug was readministered?)
5. Apakah ada alternative penyebab yang dapat menjelaskan kemungkinan terjadinya efek
samping obat? -1 2 0 2
(Are there alternative causes that could on their own have caused the reaction?)
6. Apakah efek samping obat muncul kembali ketika plasebo diberikan?
-1 1 0 1
(Did the ADR reappear when a placebo was given?)
7. Apakah obat yang dicurigai terdeteksi di dalam darah atau cairan tubuh lainnya dengan
konsentrasi yang toksik? 1 0 0 0

(Was the drug detected in the blood (or other fluids) in concentrations known to be
toxic?)
8. Apakah efek samping obat bertambah parah ketika dosis obat ditingkatkan atau bertambah
ringan ketika obat diturunkan dosisnya? 1 0 0 0
(Was the ADR more severe when the dose was increased or less severe when the dose was
decreased?)
9. Apakah pasien pernah mengalami efek samping obat yang sama atau dengan obat yang
1 0 0 1
mirip sebelumnya?
(Did the patient have a similar ADR to the same or similar drugs in any previous
exposure?)
10. Apakah efek samping obat dapat dikonfirmasi dengan bukti yang obyektif?
1 0 0 1
(Was the ADR confirmed by objective evidence?)
Total Score 11
Skala Probabilitas Naranjo
Skor Kategori

Skor Total > 9 Sangat mungkin (Highly probable)

Skor Total 5 - 8 Mungkin (Probable)

Skor Total 1 - 4 Cukup mungkin (Possible)

Skor Total < 0 Ragu-ragu (Doubtful)

3. Rekomendasi kepada klinisi untuk mengatasi ADR pada pasien.


1. Penggunaan aspirin dihentikan
Berdasarkan kasus tersebut, obat yang diduga menyebabkan anemia aplastik
adalah aspirin yang berkhasiat sebagai antiplatelet sekaligus antiinflamasi. Hasil
observasi eHealthMe study from FDA and social media reports menyebutkan bahwa
sejak 2004 hingga Nopember 2013 sudah 146.090 pasien yang melaporkan efek
samping aspirin dan 105 (0,07%) mengalami anemia aplastik.
Ditinjau dari mekanisme kerjanya, aspirin bekerja pada keping darah yang
secara langsung menghambat sisntesis COX-1 pada keeping darah sehingga
thromboxane-A2 tidak terbentuk. Meskipun target aspirin pada keping darah, namun
ternyata mempengaruhi sel darah merah. Pada hewan coba dijumpai bahwa aspirin
merusak beberapa target pada produksi dan proses maturasi eritrosit (Merchant et all,
2004). Studi lain oleh Karolczak et all (2013) menemukan bahwa aspirin dosis rendah
dapat mensupresi eritrosit yang berasosiasi dengan respon antiplatelet pada pasien
penyakit jantung koroner.
2. Mengganti aspirin dengan clopidogrel
Clopidogrel merupakan agen trombolitik pada pada kasus PJK yang mempunyai
mekansime kerja berbeda dengan aspirin, yaitu memblok ikatan Adenosine Di-Phosphate
(ADP) pada reseptor ADP di platelet, dengan demikian menghambat aktivasi kompleks
glikoprotein GPIIb/IIIa yang dimediasi ADP, yang menimbulkan penghambatan terhadap
agregasi platelet (Dipiro edisi 9, 2015).
3. Pemantauan parameter hematologi setiap tiga bulan.
4. Rekomendasi selain dikomunikasikan kepada dokter penanggung jawab, juga ditulis
dalam Rekam Medik
4. Laporan ESO Menggunakan Form Kuning
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2012. Pedoman Monitoring Efek Samping Obat
(MESO) Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: BPOM RI.
Bakta, IM. 2003. Hematologi Klinik ringkas. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta: EGC. P:
98-109.
Dipiro, J.T, et al. 2015. Pharmacotherapy handbook, Ninth Edit. Inggris: McGraw-Hill
Education Companies.
Franceschi et al. 2008. Prevalence, clinical features and avoidability of adverse drug
reactions as cause of admission to a Geriatric Unit. Drug safety 31:545-556.
Jalaeikhoo H, Khajeh-mehrizi A. 2015. Immunosuppressive Therapy in Patients with
Aplastic Anemia : A Single-Center Retrospective Study. PLoS One 1–10.
National Institutes of Health. 2019. U.S. National Library of Medicine MedlinePlus.
Aplastic Anemia.
WHO policy perspectives on medicines. Pharmacovigilance: ensuring the safe use of
medicines. Geneva: world health organization; 2004. [Diakses tgl 5 Maret 2021]
http://www.who.int/medicines/.
Widyati. 2014, Laporan kasus tentang aspirin dosis rendah memicu anemia aplastik. JFI
7:91-96.
Young NS, Maciejewski J. 1997. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. In:
Eipsten FH, editor. New English Medical Journal, vol 336. Massachusetts Medical
Society.

Anda mungkin juga menyukai