Anda di halaman 1dari 47

TUGAS FARMASI RUMAH SAKIT

MEMBUAT FORMULARIUM-ISO FARMAKOTERAPI


OBAT DIABETES MELITUS TIPE 2

Dosen :
apt. Drs. Agus Purwanggana, M.Si

Disusun Oleh:
DESPRIYANTI RUSDANIA WAHYU
2020001196
Kelas A

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2021
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Diabetes Melitus


DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. (1)

B. Etiologi dan Patofisiologi DM tipe 2

Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak
penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-
95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45
tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak
populasinya meningkat.(2)

Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya


terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam
menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah
serat, serta kurang gerak badan.

Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama.


Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara gen-
gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan
faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2.

Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang


berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di
dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis
DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel
sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini
lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi di
negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas,
gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.Disamping resistensi insulin, pada
penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi
glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel
β Langerhans secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan
demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif,
tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan
terapi pemberian insulin.

Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase.

Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan
glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi
fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2,
sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi
insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik,
pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami
kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan
mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin
eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2
umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi
insulin.

Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi


menjadi 4 kelompok:

- Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal


- Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes
Kimia (Chemical Diabetes)
- Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa
plasma puasa < 140 mg/dl)
- Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma
puasa > 140 mg/dl).

Secara ringkas, perbedaan DM Tipe1 dengan DM Tipe 2 disajikan dalam tabel 2


Tabel 1. Perbandingan Perbedaan DM tipe 1 dan 2

DM Tipe 1 DM Tipe 2
Mula muncul Umumnya masa kanak- Pada usia tua, umumnya
kanak dan remaja,
> 40 tahun
walaupun ada juga pada
masa dewasa < 40 tahun
Keadaan klinis saat Berat Ringan

Diagnosis
Kadar insulin darah Rendah, tak ada Cukup tinggi,
normal
Berat badan Biasanya kurus Gemuk atau normal
Pengelolaan yang Terapi insulin, diet, Diet, olahraga,

Disarankan Olahraga hipoglikemik oral

C. Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal
sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui bahwa kegagalan
sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot,
liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi
glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan toleransi
glukosa ini (ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep
tentang:

1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan hanya untuk
menurunkan HbA1c saja.

2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada gangguan
multipel dari patofisiologi DM tipe 2.

3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat progresivitas
kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada penyandang gangguan toleransi glukosa
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel beta
pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ
lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet (gambar-1)

Gambar 1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 2 (Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the Ominous Octet:
A New Paradigm for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009; 58: 773-795)

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet) berikut :

1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah
sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,
meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.(1)

2. Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic
glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang
menekan proses gluconeogenesis.

3. Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport glukosa
dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja
di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.

4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma.
Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di
liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA
ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.

5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau diberikan
secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1
(glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau
disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi
GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja
menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang
memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat
meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim
alfa-glukosidase adalah akarbosa.

6. Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia
dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan
puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam
keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang
menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis,
DPP4 inhibitor dan amylin.

7. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2.
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa
terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose coTransporter) pada
bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran
SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine.
Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja
SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa
akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor.
Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.

8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik yang
DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi
dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya
resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis,
amylin dan bromokriptin.
D. Faktor Resiko

Setiap orang yang memiliki satu atau lebih faktor risiko diabetes selayaknya waspada akan
kemungkinan dirinya mengidap diabetes. Para petugas kesehatan, dokter, apoteker dan petugas
kesehatan lainnya pun sepatutnya memberi perhatian kepada orang-orang seperti ini, dan
menyarankan untuk melakukan beberapa pemeriksaan untuk mengetahui kadar glukosa darahnya
agar tidak terlambat memberikan bantuan penanganan. Karena makin cepat kondisi diabetes
melitus diketahui dan ditangani, makin mudah untuk mengendalikan kadar glukosa darah dan
mencegah komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi. Beberapa faktor risiko untuk diabetes
melitus, terutama untuk DM Tipe 2, dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.(1)

Tabel 2. Faktor Resiko Untuk Diabetes Tipe 2

Riwayat Diabetes dalam keluarga


Diabetes Gestasional
Melahirkan bayi dengan berat badan >4
kg Kista ovarium (Polycystic ovary
syndrome)
IFG (Impaired fasting Glucose) atau IGT
(Impaired glucose tolerance)
Obesitas >120% berat badan ideal
Umur 20-59 tahun : 8,7%

> 65 tahun : 18%


Etnik/Ras
Hipertensi >140/90mmHg
Hiperlipidemia Kadar HDL rendah <35mg/dl
Kadar lipid darah tinggi
>250mg/dl
Faktor-faktor Lain Kurang olah raga
Pola makan rendah serat
E. Gejala Klinik

Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa gejala yang harus
diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala tipikal yang sering dirasakan penderita
diabetes antara lain poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia
(banyak makan/mudah lapar). Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan kabur,
koordinasi gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal
yang seringkali sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas.
ƒ Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria, polidipsia, polifagia,
penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada
kulit). ƒ Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe 2
seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian
ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya
lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk, dan
umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh
darah dan syaraf.

F. Diagnosis Diabetes Tipe 2


- Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa darah secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Penggunaan darah vena ataupun kapiler
tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik
yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler.
- Kecurigaan adanya DMT2 perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik berupa;
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita
- Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui pemeriksaan darah vena dengan sistem
enzimatik dengan hasil :

1. Gejala klasik + GDP ≥ 126 mg/dl

2. Gejala klasik + GDS ≥ 200 mg/dl

3. Gejala klasik + GD 2 jam setelah TTGO ≥ 200 mg/dl

4. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDP ≥ 126 mg/dl

5. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDS ≥ 200 mg/dl


6. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GD 2 jam setelah TTGO ≥ 200 mg/dl 7. HbA1c
≥ 6.5%

Meskipun TTGO dengan beban glukosa 75 g lebih sensitif dan spesifik dibandingkan
pemeriksaan glukosa darah puasa, TTGO memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit
dilakukan berulang-ulang. Apabila hasil pemeriksaan TTGO tidak memenuhi kriteria DMT2,
dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT (toleransi glukosa terganggu/ impaired glucose
tolerance) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu/ impaired fasting glucose). Diagnosis
TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa darah 2 jam setelah TTGO
antara 140-199 mg/dL. Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa darah
puasa didapatkan antara 100-125 mg/dL.

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):

Dalam tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari
dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa. Pasien diharuskan berpuasa paling sedikit 8
jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan. Minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
Setelah diperiksa kadar glukosa darah puasa, penderita diberikan glukosa 75 gram yang
dilarutkan dalam air 250 mL, kemudian penderita berpuasa kembali sampai pengambilan sampel
darah 2 jam setelah minum larutan glukosa.

Pemeriksaan penyaring

Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko DM namun tidak
menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien
dengan DM, TGT maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini. Pasien dengan TGT dan
GDPT juga disebut sebagai pasien prediabetes. Prediabetes ini merupakan tahapan sementara
menuju DM. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Apabila pada pemeriksaan penyaring didapatkan hasil
peningkatan kadar glukosa darah sesuai dengan kriteria diagnosis diabetes, maka perlu dilakukan
pemeriksaan lanjutan untuk mengkonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa ulang
atau dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO). Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan
masal (mass screening) tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal. Pemeriksaan penyaring
dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain (misalnya pada pasien dengan
sindrom metabolik) atau general check-up..
Tabel 3 . Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa pada DM dan non-Diabetes

G. Komplikasi

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi akut dan kronis.
Berikut ini akan diuraikan beberapa komplikasi yang sering terjadi dan harus diwaspadai.

1. Hipoglikemia
Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50 mg/dl,
walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan gejala hipoglikemia pada
kadar glukosa plasma di atas 50 mg/dl. Kadar glukosa darah yang terlalu rendah
menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak dapat berfungsi
bahkan dapat rusak.
2. Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak secara tiba-tiba.
Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh stress, infeksi, dan konsumsi obat-
obatan tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia, polifagia,
kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur. Apabila diketahui dengan
cepat, hiperglikemia dapat dicegah tidak menjadi parah. Hipergikemia dapat
memperburuk gangguan-gangguan kesehatan seperti gastroparesis, disfungsi ereksi,
dan infeksi jamur pada vagina. Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat
berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis
diabetik (Diabetic Ketoacidosis = DKA) dan (HHS), yang keduanya dapat berakibat
fatal dan membawa kematian. Hiperglikemia dapat dicegah dengan kontrol kadar
gula darah yang ketat.

3. Komplikasi Makrovaskular

Jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita diabetes


adalah penyakit jantung koroner (coronary heart disease = CAD), penyakit pembuluh
darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer (peripheral vascular disease = PVD).
Walaupun komplikasi makrovaskular dapat juga terjadi pada DM tipe 1, namun yang
lebih sering merasakan komplikasi makrovaskular ini adalah penderita DM tipe 2 yang
umumnya menderita hipertensi, dislipidemia dan atau kegemukan. Kombinasi dari
penyakit-penyakit komplikasi makrovaskular dikenal dengan berbagai nama, antara lain
Syndrome X, Cardiac Dysmetabolic Syndrome, Hyperinsulinemic Syndrome, atau
Insulin Resistance Syndrome.

4. Komplikasi mikrovaskular

Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes tipe 1.


Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk
HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh dan
terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang mendorong
timbulnya komplikasi-komplikasi mikrovaskuler, antara lain retinopati, nefropati, dan
neuropati. Disamping karena kondisi hiperglikemia, ketiga komplikasi ini juga
dipengaruhi oleh faktor genetik. Oleh sebab itu dapat terjadi dua orang yang memiliki
kondisi hiperglikemia yang sama, berbeda risiko komplikasi mikrovaskularnya. Namun
demikian prediktor terkuat untuk perkembangan komplikasi mikrovaskular tetap lama
(durasi) dan tingkat keparahan diabetes. Satu-satunya cara yang signifikan untuk
mencegah atau memperlambat jalan perkembangan komplikasi mikrovaskular adalah
dengan pengendalian kadar gula darah yang ketat. Pengendalian intensif dengan
menggunakan suntikan insulin multi-dosis atau dengan pompa insulin yang disertai
dengan monitoring kadar gula darah mandiri dapat menurunkan risiko timbulnya
komplikasi mikrovaskular sampai 60%

H. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan morbiditas dan


mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu:
1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal
2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.
The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa parameter yang
dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan diabetes (Tabel 3 ).
Tabel 4. Target Penatalaksanaan Diabetes

Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang pertama
pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat. Dalam
penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa
obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dengan langkah pertama ini tujuan
penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa
terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya.
Bersamaan dengan itu, apa pun langkah penatalaksanaan yang diambil, satu faktor yang
tak boleh ditinggalkan adalah penyuluhan atau konseling pada penderita diabetes oleh para
praktisi kesehatan, baik dokter, apoteker, ahli gizi maupun tenaga medis lainnya. Mengenai
hal ini, terutama menyangkut pelayanan kefarmasian dan peran apoteker dalam
penatalaksanaan DM.(1)

1. Terapi Tanpa Obat


A. Pengaturan Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein
dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
• Karbohidrat : 60-70%
• Protein : 10-15%
• Lemak : 20-25%

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan
fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal.
Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki
respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa
penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah
salah satu parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan
dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup.
Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya diperhatikan. Masukan
kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg per hari. Sumber lemak
diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang mengandung lebih banyak asam lemak tak
jenuh dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari
ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung lemak.
Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per
hari. Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak, makanan berserat yang
tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap
dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu makanan
sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan mineral.

B. Olah Raga

Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap
normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk mengatur jenis
dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga
berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi
kesehatan.

Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical,


Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85%
denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita.
Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda,
berenang, dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40
menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10
menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin
dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa.

2 TERAPI OBAT

Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olah raga) belum berhasil
mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan langkah berikutnya
berupa penatalaksanaan terapi obat, baik dalam bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi
insulin, atau kombinasi keduanya. Uraian mengenai hal ini akan disampaikan secara tersendiri
dalam Bab 4 (Farmakoterapi)

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

1. Obat Antihiperglikemia Oral


Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
- Sulfonilurea
- Glinid
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
- Biguanide
- Tiazolidindion (TZD)
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl PeptidaseIV)
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)

Tabel 5 . Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia


Tabel 6. Obat Antihiperglikemia Oral
2. Obat Antihiperglikemia Suntik
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi
insulin dan agonis GLP-1
a. Insulin Insulin diperlukan pada keadaan :
- HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Krisis Hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke
- Kehamilan dengan DM gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
- Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Jenis dan Lama Kerja Insulin

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :

1. Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)


2. Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
3. Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin)
4. Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
5. Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
6. Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat
dengan menengah (Premixed insulin)
Jenis dan lama kerja masing-masing insulin dapat dilihat pada tabel 6 .
Efek samping terapi insulin
- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia
- Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian komplikasi akut DM
- Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin
b. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel-beta sehingga terjadi
peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan berat badan,
menghambat pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan. Efek penurunan
berat badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi menurunkan berat badan
pada pasien DM dengan obesitas. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk
golongan ini adalah: Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan Lixisenatide.
Salah satu obat golongan agonis GLP-1 (Liraglutide) telah beredar di Indonesia
sejak April 2015, tiap pen berisi 18 mg dalam 3 ml. Dosis awal 0.6 mg perhari
yang dapat dinaikkan ke 1.2 mg setelah satu minggu untuk mendapatkan efek
glikemik yang diharapkan. Dosis bisa dinaikkan sampai dengan 1.8 mg. Dosis
harian lebih dari 1.8 mg tidak direkomendasikan. Masa kerja Liraglutide selama
24 jam dan diberikan sekali sehari secara subkutan.

3. Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam
penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak dini.
Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai dengan
dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons
kadar glukosa darah. Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara
terpisah ataupun fixed dose combination, harus menggunakan dua macam obat
dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat
diberikan kombinasi dua obat antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang
disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai,
terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral. (lihat bagan 2
tentang algoritma pengelolaan DMT2).
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan
pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang).
Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur,
sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur.
Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah
yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk
kombinasi adalah 6-10 unit. kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar
glukosa darah puasa keesokan harinya. Dosis insulin dinaikkan secara perlahan
(pada umumnya 2 unit) apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai target.
Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali
meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi
insulin basal dan prandial, sedangkan pemberian obat antihiperglikemia oral
dihentikan dengan hati-hati.

Tabel 7. Keuntungan, kerugian dan biaya obat anti hiperglikemik


(sumber: standard of medical care in diabetes- ADA 2015)
*saat ini obat belum tersedia di Indonesia
2.8.3 Algoritma pengobatan DMT2 tanpa dekompensasi metabolik dapat dilihat pada
bagan

Penjelasan untuk algoritme Pengelolaan DM Tipe-2 1.


1. Daftar obat dalam algoritme bukan menunjukkan urutan pilihan. Pilihan obat tetap
harus mempertimbangkan tentang keamanan, efektifitas, penerimaan pasien,
ketersediaan dan harga (tabel-11). Dengan demikian pemilihan harus didasarkan pada
kebutuhan/kepentingan penyandang DM secara perseorangan (individualisasi).
2. Untuk penderita DM Tipe -2 dengan HbA1C < 7% maka dilanjutkan dengan
monoterapi oral
3. Untuk penderita DM Tipe-2 dengan HbA1C 7.5%- <9% diberikan modifikasi gaya
hidup sehat ditambah monoterapi oral. Dalam memilih obat perlu dipertimbangkan
keamanan (hipoglikemi, pengaruh terhadap jantung), efektivitas, , ketersediaan,
toleransi pasien dan harga. Dalam algoritme disebutkan obat monoterapi
dikelompokkan menjadi
a. Obat dengan efek samping minimal atau keuntungan lebih banyak:
- Metformin
- Alfa glukosidase inhibitor
- Dipeptidil Peptidase 4- inhibitor
- Agonis Glucagon Like Peptide-1
b. Obat yang harus digunakan dengan hati-hati §
- Sulfonilurea
- Glinid
- Tiazolidinedione
- Sodium Glucose coTransporter 2 inhibitors (SGLT-2 i)
4. Bila obat monoterapi tidak bisa mencapai target HbA1C <7% dalam waktu 3 bulan
maka terapi ditingkatkan menjadi kombinasi 2 macam obat, yang terdiri dari obat yang
diberikan pada lini pertama ditambah dengan obat lain yang mempunyai mekanisme
kerja yang berbeda.
5. Bila HbA1C sejak awal ≥ 9% maka bisa langsung diberikan kombinasi 2 macam obat
seperti tersebut diatas.
6. Bila dengan kombinasi 2 macam obat tidak mencapai target kendali, maka diberikan
kombinasi 3 macam obat dengan pilihan sebagai berikut :
a. Metformin + SU + TZD atau
+ DPP-4 i atau
+ SGLT-2 i atau
+ GLP-1 RA atau
+ Insulin basal
b. Metformin + TZD + SU atau
+ DPP-4 i atau
+ SGLT-2 i atau
+ GLP-1 RA atau
+ Insulin basal
c. Metformin + DPP-4 i + SU atau
+ TZD atau
+ SGLT-2 i atau
+ Insulin basal
d. Metformin + SGLT-2 i + SU atau
+ TZD atau
+ DPP-4 i atau
+ Insulin basal
e. Metformin + GLP-1 RA + SU atau
+ TZD atau
+ Insulin basal
f. Metformin + Insulin basal + TZD atau
+ DPP-4 i atau
+ SGLT-2 i atau
+ GLP-1 RA

7. Bila dengan kombinasi 3 macam obat masih belum mencapai target maka langkah
berikutnya adalah pengobatan Insulin basal plus/bolus atau premix

8. Bila penderita datang dalam keadaan awal HbA1C ≥10.0% atau Glukosa darah
sewaktu 30mg/dl dengan gejala metabolik, maka pengobatan langsung dengan :

a. metformin + insulin basal ± insulin prandial atau

b. metformin + insulin basal + GLP-1 RA

Keterangan mengenai obat :

1. SGLT-2 dan Kolesevalam belum tersedia di Indonesia.

2. Bromokriptin QR umumnya digunakan pada terapi tumor hipofisis. Data di


Indonesia masih sangat terbatas terkait penggunaan bromokriptin sebagai anti
diabetes

3. Pilihan obat tetap harus memperhatikan individualisasi serta efektivitas obat, risiko
hipoglikemia, efek peningkatan berat badan, efek samping obat, harga dan
ketersediaan obat sesuai dengan kebijakan dan kearifan local.
BAB II

Formularium Obat Diabetes Melitus Tipe 2

Pemilihan obat obat ini dipilih obat Generic didasarkan oleh pertimbangan :
1. memiliki khasiat dan keamanan yang baik berdasarkan bukti ilmiah terkini dan sahih
2. memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan pasien
3. memiliki izin edar dan indikasi yang disetujui oleh BPOM
4. obat yang sangat dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan masyarakat tetapi belum
memiliki izin edar, termasuk obat piatu (orphan drug) serta yang tidak mempunyai
nilai komersial
5. memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tinggi;
6. bukan obat tradisional dan suplemen makanan.
7. apabila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa, pilihan
dijatuhkan pada obat yang memiliki kriteria berikut:
- Obat Generik adalah Obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan bukti
ilmiah
- Sifat farmakokinetik dan farmakodinamik yang diketahui paling menguntungkan;
- Stabilitasnya lebih baik
- Mudah diperoleh
- Harga terjangkau

A. Obat Antihiperglikemia Oral


Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:
1. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
A. Sulfonilurea
- Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan.
Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia
(orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).
Sulfonilurea digunakan untuk pasien yang tidak kelebihan berat badan, atau yang
tidak dapat menggunakan metformin. Pemilihan sulfonilurea diantara obat yang ada
ditentukan berdasarkan efek samping dan lama kerja, usia pasien serta fungsi ginjal.
Sulfonilurea kerja lama klorpropamid dan glibenklamid lebih sering menimbulkan
hipoglikemia; oleh karena itu untuk pasien lansia obat tersebut sebaiknya dihindari
dan sebagai alternatif digunakan sulfonilurea kerja singkat, seperti gliklazid atau
tolbutamid. 
- Peringatan: Sulfonilurea dapat meningkatan berat badan dan diresepkan hanya jika
kontrol buruk dan gejala tidak hilang walaupun sudah melakukan upaya diet yang
memadai. 
- Kontraindikasi: Sulfonilurea sedapat mungkin dihindari pada gangguan fungsi hati
gagal ginjal dan pada porfiria. Sulfonilurea sebainya tidak digunakan pada ibu
menyusui dan selama kehamilan sebaiknya diganti dengan terapi insulin
,Sulfonilurea dikontraindikasikan jika terjadi ketoasidosis.
- Efek samping: umumnya ringan dan jarang, diantaranya gangguan gastrointestinal
seperti mual, muntah, diare dan konstipasi. Klorpropamid memiliki efek samping
lebih banyak karena durasi kerjanya yang lama dan risiko hipoglikemia sehingga
tidak lagi digunakan. Juga dapat menyebabkan muka kemerahan setelah minum
alkohol; efek ini tidak terjadi pada sulfonilurea lain. Klorpropamid juga dapat
meningkatkan sekresi hormon antidiuretik dan sangat jarang menyebabkan
hiponatremia (hiponatremia juga dilaporkan pada glimepirid dan glipizid).

Monografi
1. Glibenklamid

1-[[p-[2-(5-Kloro-o-anisamido)etil]fenil]sulfonil]-3- sikloheksilurea [10238-21-8]


C23H28ClN3O5S BM 494
- Kelarutan Agak sukar larut dalam metilen klorida; sukar larut dalam etanol dan
dalam metanol; praktis tidak larut dalam air.
- Obat di pasaran : Glibenklamid Tablet 5 mg (Daonil, latibet, glidanil)
- Obat yang dipilih : Glibenklamid Tablet 5 mg
- Indikasi dan Dosis
Diabetes melitus tipe 2
Dewasa: Sebagai tab konvensional: Awalnya, 2,5-5 mg setiap hari, disesuaikan
dengan peningkatan 2,5 mg pada interval mingguan, berdasarkan respons pasien.
Maks: 20 mg setiap hari. Dosis >10 mg dapat diberikan dalam 2 dosis terbagi.
Sebagai tab pelepasan yang dimodifikasi: Awalnya, 1,5-3 mg setiap hari, dapat
ditingkatkan dengan peningkatan 1,5 mg pada interval mingguan sesuai dengan
respons pasien. Maks: 12 mg setiap hari. Dosis >6 mg sehari dapat diberikan
dalam 2 dosis terbagi. Semua dosis harus diberikan dengan atau segera setelah
sarapan atau dengan makanan utama pertama.
- Kontraindikasi
Lansia: >70 tahun, Riwayat reaksi alergi terhadap sulfonilurea atau sulfonamid.
Diabetes mellitus tipe 1, ketoasidosis diabetik dengan atau tanpa koma, koma
diabetik dan pra-koma, porfiria akut; infeksi berat, keadaan yang berhubungan
dengan stres (misalnya trauma, prosedur bedah). Gangguan ginjal dan hati yang
parah. Lansia (>70 tahun). Kehamilan. Penggunaan bersamaan dengan bosentan.
- Cara Pemakaian
Harus diminum dengan makanan. Makanlah dengan sarapan atau makanan utama
pertama hari itu.
- Kelompok Pasien Khusus
Pasien lemah dan malnutrisi: Sebagai tab konvensional: Awalnya, 2,5 mg setiap
hari. Sebagai tab pelepasan modifikasi: Awalnya, 0,75 mg setiap hari.
- Kewaspadaan Khusus
Pasien yang telah menjalani bypass lambung, gastrektomi lengan. Gangguan
ginjal dan hati ringan sampai sedang. Pasien yang lemah dan kurang gizi. Laktasi.
- Efek Samping
Signifikan: Hipoglikemia, anemia hemolitik (pada pasien dengan defisiensi
G6PD), penambahan berat badan.
- Kategori Kehamilan : C
- Parameter Pemantauan
Pantau tes glukosa urin, glukosa darah puasa, HbA1c (setidaknya dua kali setahun
pada pasien dengan kontrol glikemik stabil, dan setiap tiga bulan pada pasien yang
tidak memenuhi tujuan pengobatan atau dengan perubahan pengobatan); tanda dan
gejala hipoglikemia selama pengobatan
- Interaksi obat
Peningkatan efek hipoglikemik dengan azapropazon, fenilbutazon, kloramfenikol,
siprofloksasin, kotrimoksazol, sulfonamid, tetrasiklin, antikoagulan, disopiramid,
TCA, MAOIs, allopurinol, sulphinpyrazone, probenesid, ACE inhibitor, steroid.
Meningkatkan efek hipoglikemik dan menutupi gejala hipoglikemia dengan -blocker.
Mengurangi efek hipoglikemik dengan rifampisin, barbiturat, diazoksida,
klorpromazin, diuretik loop dan tiazid, estrogen, progesteron, kontrasepsi oral,
kortikosteroid, hormon tiroid. Peningkatan konsentrasi plasma dengan miconazole,
fluconazole. Efek aditif dengan clofibrate. Dapat meningkatkan kadar plasma
siklosporin. Dapat mengubah efek antikoagulan warfarin. Mengurangi konsentrasi
plasma dan paparan dengan colesevelam.
Berpotensi Fatal: Peningkatan risiko hepatotoksisitas dengan bosentan.
- Interaksi Makanan
Alkohol dapat meningkatkan efek hipoglikemik atau menyebabkan reaksi seperti
disulfiram yang jarang terjadi.
- Mekanisme Kerja : Glibenclamide menurunkan konsentrasi glukosa darah dengan
merangsang sekresi insulin dari sel pankreas. Hal ini juga mengurangi keluaran
glukosa dari dan hati dan meningkatkan sensitivitas insulin di situs target perifer.
- Onset: Peningkatan kadar insulin serum: 15-60 menit. Durasi: 24 jam.
- Farmakokinetik:
 Penyerapan: Mudah diserap dari saluran pencernaan. Waktu untuk mencapai
konsentrasi plasma puncak: 2-4 jam.
 Distribusi: Melintasi plasenta. Ikatan protein plasma: 99% (luas), terutama
pada albumin.
 Metabolisme: Hampir sepenuhnya dimetabolisme di hati menjadi metabolit
aktif yang lemah.
 Ekskresi: Melalui urin (50%) dan feses (50%), sebagai metabolit. Waktu
paruh eliminasi: 10 jam (tab konvensional); kira-kira 4 jam (tab rilis yang
dimodifikasi).

2. Glimepirid

1-[[p-[2-(3-Etil-4-metil-2-okso-3-pirolin-1-karboksamido)etil]fenil]sulfonil]-3-
(trans-4- metilsikloheksil)urea [93479-97-1] C24H34N4O5S BM 490,62
Glimepirida mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 102,0%
C24H34N4O5S, dihitung terhadap zat anhidrat.
- Obat di pasaran : Glimepirid 2 mg tablet (amadiab, gluvas)
- Obat yang dipilih : Glimepirid 2 mg tablet
- Kelarutan : Larut dalam dimetilformamida; sukar larut dalam metanol; agak sukar
larut dalam metilen klorida; praktis tidak larut dalam air.
- Mekanisme Kerja : Glimepiride, suatu sulfonilurea antidiabetes, mengurangi
glukosa darah dengan merangsang pelepasan insulin dari sel pankreas dan
menurunkan keluaran glukosa dari hati. Ini juga meningkatkan sensitivitas insulin di
situs target perifer.
- Indikasi dan Dosis :
Diabetes melitus tipe 2 Dewasa: Dosis bersifat individual berdasarkan kadar glukosa
darah pasien. Awalnya, 1 mg setiap hari, dapat meningkat dengan peningkatan 1 mg
dengan interval 1-2 minggu sesuai dengan respons. Pemeliharaan: 4 mg setiap hari.
Maks: 6 mg setiap hari.
Lansia: Awalnya, 1 mg sekali sehari.
- Cara Pemakaian : Harus diminum dengan makanan. Minum segera sebelum atau
selama sarapan, atau makanan utama pertama hari itu. Jangan melewatkan waktu
makan.
- Mekanisme Kerja : Glimepiride, sulfonilurea antidiabetes, mengurangi glukosa
darah dengan merangsang pelepasan insulin dari sel pankreas dan menurunkan output
glukosa dari hati. Ini juga meningkatkan sensitivitas insulin di situs target perifer.
- Onset: Penurunan glukosa darah: 2-3 jam. Dan Durasi: 24 jam.
- Farmakokinetik:
 Penyerapan: Sepenuhnya diserap dari saluran pencernaan. Waktu untuk
mencapai konsentrasi plasma puncak: 2-3 jam.
 Distribusi: Volume distribusi: 8,8 L. Ikatan protein plasma: >99,5%
 Metabolisme: Dimetabolisme secara ekstensif di hati melalui
biotransformasi oksidatif oleh CYP2C9 menjadi turunan sikloheksil
hidroksi metil (M1) dan selanjutnya dimetabolisme menjadi turunan
karboksil tidak aktif (M2).
 Ekskresi: Terutama melalui urin (sekitar 60%, 80-90% sebagai metabolit
M1 dan M2), sebagai feses (sekitar 40%, 70% sebagai metabolit M1 dan
M2). Waktu paruh eliminasi: Kira-kira 9 jam.

Note : Efek samping , Interaksi Obat , Perhatian khusus dan Kontra Indikasi dan
parameter pemantauan obat sama dengan Glibenklamid

3. Glipizid
1-Sikloheksil-3-[[p-[2-(5-metilpirazinkarboksamido)etil]fenil]sulfonil]urea
[29094-61-9] C21H27N5O4S BM 445,54
- Glipizida mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 102,0%
C21H27N5O4S, dihitung terhadap zat kering.
- Obat di pasaran : Glipizid 5 mg Tablet ( Glucotrol)
- Obat yang dipilih : Glipizid 5 mg Tablet
- Kelarutan Praktis tidak larut dalam air, sangat sukar larut dalam metilen klorida dan
aseton, praktis tidak larut dalam etanol 96%. Larut dalam larutan alkali hidroksida
encer.
- Indikasi dan Dosis
1. Dewasa: Sebagai pelepasan segera: Awalnya, 2,5-5 mg setiap hari sebagai dosis
tunggal. Sesuaikan dosis dengan interval beberapa hari dengan peningkatan 2,5-5
mg setiap hari sesuai respons. Dosis >15 mg dapat diberikan dalam 2 dosis
terbagi. Maks: 20 mg setiap hari. Sebagai pelepasan yang diperpanjang: Awalnya,
2,5-5 mg sekali sehari, sesuaikan dosis sesuai respons dengan peningkatan 5-10
mg sekali seminggu. Maks: 20 mg
2. Lansia: Awalnya, 2,5 mg sekali sehari, dosis titrasi 2,5-5 mg setiap hari dengan
interval 1-2 minggu. Dosis pemeliharaan harus konservatif.
- Mekanisme Kerja : sulfoniurea (mekanisme kerja sama)
- Durasi: 12-24 jam.
- Cara Pemakaian :
Immediate-Release : Harus diambil pada waktu perut kosong. Ambil 30 menit
sebelum makan.
Extended-Release: Harus diminum bersama makanan. Telan utuh, jangan
dikunyah/dihancurkan/dibagi.
- Farmakokinetik:
 Penyerapan: Cepat dan sepenuhnya diserap dari saluran pencernaan (lepas
segera). Makanan menunda penyerapan. Ketersediaan hayati: 90-100%.
Waktu untuk mencapai konsentrasi plasma puncak: 1-3 jam; 6-12 jam
(rilis diperpanjang).
 Distribusi: Ikatan protein plasma: 98-99%, terutama ke albumin. Volume
distribusi: 10-11 L.
 Metabolisme: Dimetabolisme di hati oleh CYP2C19 menjadi metabolit
tidak aktif.
 Ekskresi: Melalui urin (<10% sebagai obat yang tidak berubah; 80%
sebagai metabolit); kotoran (10%). Waktu paruh eliminasi: 2-5 jam.

Note : Efek samping , Interaksi Obat , Perhatian khusus dan Kontra Indikasi dan
parameter pemantauan obat sama dengan Glibenklamid
B. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia

Monografi
1. Repaglinide

(+)-2-Etoksi-α-[[(S)-α-isobutil-o-piperidinobenzil] karbamoil]-p-asam toluat


[135062-02-1]. C27H36N2O4 BM 452,59
- Repaglinida mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 102,0%
C27H36N2O4, dihitung terhadap zat kering.
- Obat di pasaran : Repaglinide Tablet 1 mg (Dexanorm,gluconorm)
- Obat yang dipilih : Repaglinide Tablet 1 mg
- Mekanisme Kerja
- Repaglinide adalah analog meglitinide kerja pendek yang menurunkan glukosa darah
dengan memblokir saluran K yang bergantung pada ATP di membran sel yang
mengakibatkan depolarisasi. Hal ini menyebabkan pembukaan saluran Ca. Influks Ca
yang dihasilkan merangsang pelepasan insulin dari sel pankreas.
- Indikasi dan Dosis
Diabetes melitus tipe 2
Dewasa: Sebagai monoterapi atau dalam kombinasi dengan metformin: Awalnya, 0,5
mg. Transfer pasien dari agen hipoglikemik lain: Awalnya, 1mg. Semua dosis
diminum 30 menit sebelum makan utama. Dapat menyesuaikan dosis dengan interval
1-2 minggu, hingga maksimal 4 mg per dosis. Maks: 16 mg setiap hari.Gangguan
ginjal CrCl berat 20-40 mL/mnt: Awalnya, 0,5 mg sebelum makan, sesuaikan dengan
kebutuhan pasien.
- Cara Pemakaian : Harus diminum dengan makanan. Biasanya diminum dalam
waktu 15 menit setelah makan tetapi waktu dapat bervariasi dari segera sebelum
hingga 30 menit sebelum makan.
- Kontraindikasi : Ketoasidosis diabetik dengan atau tanpa koma, diabetes mellitus
tipe 1. Penggunaan bersamaan dengan gemfibrozil.
- Farmakokinetik:
 Penyerapan: Cepat dan sepenuhnya diserap dari saluran pencernaan.
Ketersediaan hayati: Sekitar 56%. Waktu konsentrasi puncak plasma:
Dalam 1 jam.
 Distribusi: Volume distribusi: 31 L. Ikatan protein plasma: >98% ke
albumin.
 Metabolisme: Dimetabolisme secara ekstensif di hati oleh CYP3A4 dan
CYP2C8 melalui oksidasi; selanjutnya dimetabolisme oleh enzim uridine
diphosphate glucuronosyltransferase 1A1 (UGT1AI) melalui
glukuronidasi.
 Ekskresi: Melalui feses (sekitar 90%, <2% sebagai obat yang tidak
berubah); urin (sekitar 8%, 0,1% sebagai obat yang tidak berubah). Waktu
paruh eliminasi: Kira-kira 1 jam.
- Kewaspadaan Khusus : Gangguan hati dan ginjal berat. Kehamilan dan menyusui.
- Efek Samping
Signifikan: Hipoglikemia berat, sindrom koroner akut (mis. MI).
- Kategori Kehamilan (FDA AS) : C
- Informasi Konseling Pasien
Obat ini dapat menyebabkan pusing karena hipoglikemia, jika terpengaruh, jangan
mengemudi atau mengoperasikan mesin.
- Parameter Pemantauan
Pantau FBS secara berkala dan selama penyesuaian dosis; HbA1C setidaknya dua
kali setahun.
- Interaksi obat
Peningkatan metabolisme dengan penginduksi CYP3A4 (misalnya rifampisin,
barbiturat, karbamazepin). Peningkatan efek dengan NSAID dan obat terikat protein
tinggi lainnya (misalnya salisilat, sulfonamid, fenilbutazon, antikoagulan oral dan
hidantoin). Peningkatan konsentrasi plasma dengan ketoconazole, fluconazole,
itraconazole dan eritromisin.
Berpotensi Fatal: Efek yang ditingkatkan dan berkepanjangan dengan gemfibrozil.

2. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin


A. Biguanide
Obat hipoglikemik oral golongan biguanida bekerja langsung pada hati (hepar),
menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa-senyawa golongan biguanida tidak
merangsang sekresi insulin, dan hampir tidak pernah menyebabkan
hipoglikemia.
Satu-satunya senyawa biguanida yang masih dipakai sebagai obat hipoglikemik
oral saat ini adalah metformin. Metformin masih banyak dipakai di beberapa
negara termasuk Indonesia, karena frekuensi terjadinya asidosis laktat cukup
sedikit asal dosis tidak melebihi 1700 mg/hari dan tidak ada gangguan fungsi
ginjal dan hati.
(1)
Metformin

N,N-dimetilimidodikarbonimidik diamida [1115-70-4] C4H11N5.HCl BM 165,6


- Metformin Hidroklorida mengandung tidak kurang dari 98,5% dan tidak lebih dari
101,0% C4H11N5.HCl, dihitung terhadap zat yang dikeringkan
- Obat di pasaran : Metformin tablet 500 mg (Glucophage 500 mg , diabit tablet)
- Obat yang dipilih : Metformin tablet 500 mg
- Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin
diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30- 60 ml/menit/1,73
m2 ). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti: GFR < 30
mL/menit/1,73 m, adanya gangguan hati berat, serta pasien- pasien dengan
kecendrungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis , renjatan,
PPOK , gagl jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa
gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dyspepsia.
- Indikasi dan Dosis
Diabetes melitus tipe 2
a. Dewasa: Pengobatan: Sebagai tab/larutan konvensional: Awalnya, 500 atau 850
mg bid atau tid, secara bertahap ditingkatkan dengan interval minimal 1 minggu
sesuai respons. Maks: 3.000 mg setiap hari dalam 3 dosis terbagi. Sebagai tab
pelepasan diperpanjang: Awalnya, 500 mg setiap hari dengan makan malam,
tingkatkan dosis dengan peningkatan 500 mg hingga Maks 2.000 mg setiap hari
sesuai respons. Profilaksis: Sebagai tab pelepasan diperpanjang: Awalnya, 500
mg setiap hari dengan makan malam, secara bertahap tingkatkan dosis dengan
interval 10-15 hari, sesuai respons. Maks: 2.000 mg setiap hari dengan makan
malam.
b. Anak: 10 tahun Sebagai tab/larutan konvensional: Awalnya, 500 atau 850 mg
sekali sehari, tingkatkan dosis secara bertahap dengan interval minimal 1 minggu
sesuai respons. Maks: 2.000 mg setiap hari dalam 2 atau 3 dosis terbagi.
c. Lansia: Sesuaikan dosis berdasarkan fungsi ginjal.
- Gangguan ginjal
eGFR <30 mL/menit: Kontraindikasi. eGFR 30-44 mL/mnt: Total Dosis harian maks:
1.000 mg. eGFR 45-59 mL/menit: Total Dosis harian maks: 2.000 mg setiap hari.
eGFR 60-89 mL/mnt: Total Dosis harian maks: 3.000 mg. Semua dosis harus diambil
dalam 2-3 dosis terbagi.
- Cara Pemakaian : Harus diminum dengan makanan.
- Kontraindikasi
Asidosis metabolik akut atau kronis dengan atau tanpa koma, kondisi akut yang dapat
mengubah fungsi ginjal (misalnya dehidrasi, infeksi berat, syok), hipoksia penyebab
penyakit akut atau kronis (misalnya gagal jantung atau pernapasan tidak stabil, MI
baru-baru ini, syok), alkohol akut keracunan atau alkoholisme. Gangguan ginjal berat
(eGFR<30 mL/menit). Pemberian agen kontras iodinasi intravascular.
- Kewaspadaan Khusus
Pasien dengan faktor risiko asidosis laktat, gagal jantung stabil, dehidrasi, azotemia
prerenal. Gangguan ginjal ringan sampai sedang. Gangguan hati. Anak-anak dan
orang tua. Kehamilan dan menyusui. Tidak diindikasikan untuk digunakan pada
pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 atau dengan ketoasidosis diabetikum.
- Efek Samping
Signifikan: Kekurangan vitamin B12.
Gangguan jantung: Ketidaknyamanan dada, palpitasi, dyspnoea.
Gangguan gastrointestinal: Mual, muntah, diare, sakit perut, perut kembung,
mulas/dispepsia, distensi abdomen, feses abnormal, konstipasi.
- Kategori Kehamilan (FDA AS) : B
- Parameter Pemantauan
Pantau glukosa dan keton (urin dan darah), gula darah puasa, hemoglobin A1c
setidaknya dua kali setahun dalam kontrol glikemik yang stabil; triwulanan jika tidak
memenuhi tujuan terapi. Pantau fungsi ginjal sebelum memulai terapi dan setiap
tahun sesudahnya; parameter hematologi pada awal dan setiap tahun sesudahnya;
konsentrasi serum vitamin B12 setiap 2-3 tahun (penggunaan jangka panjang). Pantau
tanda dan gejala asidosis laktat.
- Interaksi obat
Peningkatan risiko hipoglikemia dengan insulin dan insulin secretagogues (misalnya
sulfonilurea). Peningkatan risiko asidosis laktat dengan inhibitor karbonat anhidrase
(misalnya acetazolamide, dichlorphenamide), NSAID, dan agen antihipertensi
(misalnya ACE inhibitor). Peningkatan konsentrasi plasma dan pengurangan
pembersihan dengan inhibitor OCT2 (misalnya cimetidine, dolutegravir, ranolazine,
trimethoprim, vandetanib, isavuconazole).
Berpotensi Fatal: Nefropati yang diinduksi kontras dan peningkatan risiko asidosis
laktat dengan agen kontras beryodium.
- Interaksi Makanan
Makanan mengurangi luasnya dan sedikit menunda penyerapan. Peningkatan risiko
asidosis laktat dengan alkohol.
- Mekanisme Kerja : Metformin adalah agen antihiperglikemik biguanide yang
meningkatkan toleransi glukosa dengan menurunkan glukosa plasma basal dan
postprandial. Ini menurunkan produksi glukosa hati dengan menghambat
glukoneogenesis dan glikogenolisis, menunda penyerapan glukosa usus, dan
meningkatkan sensitivitas insulin dengan meningkatkan penyerapan dan pemanfaatan
glukosa perifer.
- Onset: Dalam beberapa hari.
- Farmakokinetik:
 Penyerapan: Perlahan dan tidak lengkap diserap dari saluran pencernaan.
Makanan mengurangi luasnya dan sedikit menunda penyerapan. Bioavailabilitas
absolut: 50-60% (puasa); berkurang jika dikonsumsi bersama makanan. Waktu
untuk mencapai konsentrasi plasma puncak: 2-3 jam (pelepasan segera); 7 jam,
rentang: 4-8 jam (rilis diperpanjang).
 Distribusi: Didistribusikan dan terkonsentrasi di hati, ginjal dan saluran
pencernaan; berpartisi menjadi eritrosit. Melewati plasenta dan memasuki ASI.
Volume distribusi: 654 ± 358 L. Ikatan protein plasma: Diabaikan.
 Metabolisme: Tidak dimetabolisme.
 Ekskresi: Melalui urin (kira-kira 90% sebagai obat yang tidak berubah). Waktu
paruh eliminasi: 6,2 jam (plasma); sekitar 17,6 jam (darah).

B. Tiazolidindion (TZD)
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di
sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan
retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-
hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara
berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.

Pioglitazone

Pioglitazon Hidroklorida mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih
dari 102,0%, C19H20N2O3S.HCl, dihitung terhadap zat anhidrat.
- Obat di pasaran : Pioglitazone 30 mg tablet , Pioglitazone 15 mg tablet ( actos 15
mg ,pionix 30 mg )
- Obat yang dipilih : Pioglitazone 30 mg tablet , Pioglitazone 15 mg tablet
- Kelarutan Praktis tidak larut dalam air; larut dalam dimetilformamida; sukar larut
dalam etanol mutlak; sangat sukar larut dalam aseton dan asetonitril; tidak larut dalam
eter.
- Indikasi dan Dosis
Diabetes melitus tipe 2 ,Dewasa: 15 atau 30 mg sekali sehari, ditingkatkan secara
bertahap jika perlu. Maks: 45 mg/hari. Lansia: Tidak diperlukan penyesuaian dosis.
Gangguan ginjal Tidak diperlukan penyesuaian dosis. Kerusakan hati Sedang hingga
parah: Hindari.
- Cara Pemakaian : Dapat diberikan dengan atau tanpa makanan.
- Kontraindikasi : DM tipe 1 atau ketoasidosis diabetikum. Gagal jantung berat
(NYHA kelas III atau IV). Aktif atau riwayat kanker kandung kemih. Gangguan hati
sedang sampai berat. Pasien dengan hematuria makroskopik yang belum diselidiki.
- Kewaspadaan Khusus Gagal jantung simtomatik dan kongestif (NYHA kelas I atau
II). Gangguan hati ringan. Kehamilan dan menyusui.
- Efek Samping :
Edema, pertambahan berat badan, sinusitis, infeksi saluran pernapasan atas,
disfungsi hati (misalnya muntah, mual yang tidak dapat dijelaskan, anoreksia, urin
berwarna gelap, nyeri perut, kelelahan), keropos dan patah tulang, mialgia,
gangguan penglihatan; penurunan jumlah hemoglobin dan hematokrit (berkaitan
dengan dosis); penurunan trigliserida serum, peningkatan kolesterol HDL; LFT
yang tidak normal.
- Kategori Kehamilan (FDA AS) : C
- Informasi Konseling Pasien :
Kontrasepsi yang memadai direkomendasikan pada wanita anovulasi pramenopause
karena pioglitazone dapat menyebabkan dimulainya kembali ovulasi.
- Parameter Pemantauan :
Pantau tanda dan gejala gagal jantung (misalnya sesak napas, kenaikan berat badan
yang cepat, kelelahan atau batuk yang tidak dapat dijelaskan), kanker kandung kemih
(misalnya darah dalam urin, urgensi kemih, nyeri saat buang air kecil, atau nyeri
punggung atau perut), dan retensi cairan. Pantau kadar glukosa plasma puasa secara
berkala. LFT harus dilakukan sebelum pengobatan dan memantau secara berkala.
- Interaksi obat :
Peningkatan risiko edema dengan insulin, metformin, dan sulfonilurea. Peningkatan
kadar plasma dengan gemfibrozil dan ketoconazole. Penurunan kadar plasma dengan
rifampisin.
- Mekanisme Kerja : Pioglitazone adalah sebagai agonis kuat dan sangat selektif
untuk reseptor- activated (PPAR-γ) yang diaktifkan proliferator peroksisom. Aktivasi
reseptor ini mendorong produksi produk gen yang terlibat dalam metabolisme lipid
dan glukosa. Ini juga meningkatkan respons insulin ke sel target tanpa meningkatkan
sekresi insulin pankreas.
- Onset: Tertunda.
- Farmakokinetik:
 Penyerapan: Cepat diserap. Ketersediaan hayati: >80%. Waktu untuk
mencapai konsentrasi plasma puncak: Kira-kira 2 jam.
 Distribusi: Volume distribusi: 0,63 L/kg. Ikatan protein plasma: >99%
(terutama dengan albumin).
 Metabolisme: Metabolisme hati yang luas melalui isoenzim CYP2C8 dan
CYP3A4 menjadi metabolit aktif dan tidak aktifnya.
 Ekskresi: Melalui urin (15-30%); kotoran (sebagai metabolit). Waktu paruh
eliminasi: 3-7 jam (obat induk).
- Penyimpanan : Simpan pada suhu 25 ° C.

C. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:


Penghambat Alfa Glukosidase.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Penghambat
glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan: GFR≤30ml/min/1,73 m2 , gangguan
faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi
berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus.
Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh
obat golongan ini adalah Acarbose.

Acarbose
O-4,6-Dideoksi-4-{[(1S,4R,5S,6S)-4,5,6-trihidroksi3-(hidroksimetil)-2-sikloheksan-
1-il]amino}-α-Dglukopiranosil-(1→4)-O-α-D-glukopiranosil-(1→4)- D-glukosa
[56180-94-0] C25H43NO18 BM 645,60
- Akarbosa dihasilkan dari galur Actinoplanes utahensis tertentu, mengandung tidak
kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 102,0%, C25H43NO18, dihitung terhadap zat
anhidrat. Tablet Akarbosa mengandung akarbosa, C25H43NO18, tidak kurang dari
90,0 % dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket.
- Obat di pasaran : acarbose 50 mg tablet, acarbose 100 mg tablet ( Eclid 50 mg,
glucobay 50 mg)
- Obat yang dipilih : acarbose 50 mg tablet, acarbose 100 mg tablet
- Indikasi dan Dosis
Diabetes melitus tipe 2
Dewasa: Pada pasien yang tidak terkontrol dengan baik pada diet saja, atau pada diet
dan agen hipoglikemik oral: Sebagai tambahan untuk diet dan olahraga untuk
meningkatkan kontrol glikemik: Dosis biasa: Awalnya, 25 mg atau 50 mg tiga kali
sehari. Dapat juga dimulai dengan 25 mg atau 50 mg setiap hari untuk meminimalkan
efek gastrointestinal, kemudian secara bertahap meningkat menjadi 25 mg atau 50 mg
tiga kali sehari. Setelah 4-8 minggu, dosis dapat ditingkatkan lebih lanjut jika perlu,
hingga 100-200 mg tiga kali sehari. Dosis harus disesuaikan dengan respon dan
toleransi pasien. Rekomendasi rejimen dosis dapat bervariasi di antara masing-masing
produk atau antar negara (lihat pedoman produk tertentu).
- Cara Pemakaiaan : Harus diminum dengan makanan. Minum pada gigitan pertama
setiap makanan utama.
- Kontraindikasi :
Penyakit radang usus, ulserasi kolon, obstruksi usus parsial atau predisposisi
obstruksi usus; penyakit usus kronis yang berhubungan dengan gangguan pencernaan
atau penyerapan yang nyata; kondisi yang dapat memburuk karena pembentukan gas
yang meningkat di usus (misalnya hernia), ketoasidosis diabetikum, sirosis.
Gangguan hati.
- Kewaspadaan Khusus
Pasien terpajan pada keadaan yang berhubungan dengan stres (misalnya trauma,
demam, pembedahan, infeksi); dapat mempertimbangkan pemberian insulin
sementara dan penghentian pengobatan pada pasien ini jika perlu. Tidak dianjurkan
pada pasien dengan gangguan ginjal berat (CrCl <25 mL/menit). Kehamilan dan
menyusui. Penggunaan bersamaan dengan adsorben usus (misalnya arang) dan
preparat enzim pencernaan yang mengandung enzim pemecah karbohidrat (misalnya
pankreatin, amilase).
- Efek Samping
Signifikan: Peningkatan kadar transaminase serum. Jarang, hiperbilirubinemia.
- Parameter Pemantauan
Pantau kadar transaminase serum setiap 3 bulan selama tahun pertama dan secara
berkala sesudahnya; glukosa postprandial, HbA1c (setidaknya dua kali setahun pada
pasien dengan kontrol glikemik stabil atau mereka yang memenuhi tujuan
pengobatan; triwulanan pada pasien dengan perubahan terapi atau mereka yang tidak
memenuhi tujuan pengobatan); kreatinin serum.
- Interaksi obat
Dapat mengurangi efeknya bila digunakan dengan adsorben usus (misalnya arang)
dan preparat enzim pencernaan yang mengandung enzim pemecah karbohidrat
(misalnya pankreatin, amilase). Dapat mempotensiasi efek hipoglikemik insulin dan
sulfonilurea. Dapat menyebabkan peningkatan pengurangan glukosa darah
postprandial dan peningkatan frekuensi dan keparahan efek samping gastrointestinal
dengan neomisin oral. Colestyramine dapat meningkatkan efek acarbose. Dapat
mempengaruhi bioavailabilitas digoxin. Dapat mengakibatkan hilangnya kontrol
glukosa darah bila digunakan dengan agen tertentu yang menghasilkan hiperglikemia
(misalnya tiazid dan diuretik lainnya, fenotiazin, kortikosteroid, produk tiroid,
estrogen, kontrasepsi oral, fenitoin, asam nikotinat, simpatomimetik, penghambat
saluran Ca, isoniazid).
- Interaksi Makanan
Peningkatan asupan makanan yang mengandung sukrosa (gula tebu) selama terapi
dapat menyebabkan gejala gastrointestinal (misalnya perut kembung, kembung, diare
sesekali, mencret).
- Mekanisme Kerja
Acarbose secara kompetitif dan reversibel menghambat -glukosidase usus yang
terikat membran dan -amilase pankreas yang mengakibatkan keterlambatan
penyerapan glukosa dan degradasi karbohidrat kompleks dan disakarida yang dicerna
di usus kecil. Tindakan ini menyebabkan penurunan kenaikan glukosa darah post-
prandial, sehingga menurunkan fluktuasi glukosa darah.
- Farmakokinetik:
 Penyerapan: <2% (sebagai obat aktif) dan sekitar 35% (sebagai metabolit)
diserap dari saluran pencernaan. Waktu untuk konsentrasi plasma puncak:
Kira-kira 1 jam (obat aktif).
 Metabolisme: Dimetabolisme secara eksklusif di saluran pencernaan terutama
oleh bakteri usus dan enzim pencernaan menjadi setidaknya 13 metabolit,
termasuk konjugat sulfat, metil, dan glukuronida sebagai metabolit utama.
 Ekskresi: Melalui urin (sekitar 34% sebagai metabolit tidak aktif; <2%
sebagai obat yang tidak berubah dan metabolit aktif); feses (sekitar 51%
sebagai obat yang tidak diserap). Waktu paruh eliminasi: Kira-kira 2 jam.

D. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl PeptidaseIV)


Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga
GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam
bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan
sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh
obat golongan ini adalah Sitagliptin

Sitagliptin

- Obat di pasaran : sitagliptin 50 mg (Januvia 50 mg tablet , glusit 50 mg tablet)


- Obat yang dipilih : Sitagliptin 50 mg
- Indikasi dan Dosis
Diabetes melitus tipe 2 Dewasa: 100 mg sekali sehari.
- Cara Pemakaian : Dapat diberikan dengan atau tanpa makanan.
- Kewaspadaan Khusus
Pasien dg diabetes tipe 1, riwayat angioedema. Tidak dimaksudkan untuk pengobatan
ketoasidosis diabetikum. Gangguan ginjal sedang dan berat. Kehamilan dan
menyusui.
- Efek Samping
Sakit kepala, pusing, gangguan GI (misalnya sembelit, muntah), edema perifer,
infeksi saluran pernapasan atas, nasofaringitis, peningkatan nilai enzim hati, gagal
ginjal akut, hipoglikemia, artralgia, mialgia, nyeri pada ekstremitas, nyeri punggung.
Berpotensi Fatal: Pankreatitis akut (misalnya pankreatitis hemoragik atau nekrosis);
reaksi hipersensitivitas yang serius (misalnya anafilaksis, angioedema, dan kondisi
kulit eksfoliatif termasuk sindrom Stevens-Johnson).
- Keamanan Kehamilan : B
- Parameter Pemantauan :
Pantau Hb glikosilasi (HbA1c), glukosa serum. Kaji fungsi ginjal sebelum memulai
terapi dan secara berkala setelahnya.
- Interaksi obat
Peningkatan risiko hipoglikemia bila digunakan dalam kombinasi dengan sulfonilurea
atau insulin.
- Mekanisme Kerja
Sitagliptin menghambat enzim dipeptidyl peptidase IV (DPP-IV) yang
mengakibatkan kadar incretin aktif berkepanjangan. Hormon inkretin, termasuk
glukagon-like peptide 1 (GLP-1) dan glukosa-dependent insulinotropic polypeptide
(GIP), mengatur homeostasis glukosa dengan meningkatkan sintesis dan pelepasan
insulin dari sel pankreas dan menurunkan sekresi glukagon dari sel pankreas.
Penurunan sekresi glukagon menyebabkan penurunan produksi glukosa hepatik.
Dalam keadaan fisiologis normal, hormon incretin dilepaskan oleh usus sepanjang
hari dan kadarnya meningkat sebagai respons terhadap makanan; hormon incretin
dengan cepat diinaktivasi oleh enzim DPP-IV.
- Onset: Pengurangan ekskursi glukosa plasma postprandial: Kira-kira 60 menit.
- Farmakokinetik:
 Penyerapan: Cepat diserap dari saluran GI. Ketersediaan hayati: Sekitar 87%.
Waktu untuk mencapai konsentrasi plasma puncak: Kira-kira 1-4 jam.
 Distribusi: Volume distribusi: Kira-kira 198 L. Ikatan protein plasma: 38%.
 Metabolisme: Mengalami metabolisme minimal, terutama oleh isoenzim
CYP3A4 dan pada tingkat lebih rendah oleh isoenzim CYP2C8 menjadi
metabolit tidak aktif.
 Ekskresi: Melalui urin (sekitar 79% sebagai obat yang tidak berubah; 16%
sebagai metabolit) dan feses (13%). Waktu paruh terminal: Kira-kira 12 jam.
E. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru
yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini
antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin
baru saja mendapat approvable letter dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015.

Forxiga (Dapaglifozin)

- Obat di pasaran Indonesia : Forxiga 50 mg


- Obat yang dipilih : Forxiga 50 mg
- Indikasi/Penggunaan
Pasien dengan DM tipe 2 untuk meningkatkan kontrol glikemik dalam kombinasi
dengan metformin, pioglitazone, sitagliptin (dengan atau tanpa metformin),
gliclazide, glimepiride atau glyburide (dengan atau tanpa metformin) atau insulin
(sendiri atau tanpa metformin) hingga 2 obat antidiabetes) bila terapi yang ada,
bersama dengan diet & olahraga tidak memberikan kontrol glikemik yang memadai.
- Dosis/Arah Penggunaan
10 mg sekali sehari untuk terapi kombinasi tambahan dg metformin, pioglitazone,
sitagliptin, gliclazide, glimepiride atau glyburide atau insulin. Gangguan hati berat
Awal 5 mg, dapat ditingkatkan menjadi 10 mg jika ditoleransi dengan baik..
- Cara Pemakaian : Dapat diberikan dengan atau tanpa makanan: Telan utuh.
- Kontraindikasi : Hipersensitivitas.
- Kewaspadaan Khusus
Tidak untuk digunakan pada DM tipe 1 atau pengobatan ketoasidosis diabetikum.
Pantau fungsi ginjal sebelum memulai terapi & setidaknya setiap tahun sesudahnya;
sebelum memulai produk obat bersamaan yang dapat menurunkan fungsi ginjal &
setelahnya secara berkala. Hentikan pengobatan jika fungsi ginjal turun di bawah
CrCl <60 mL/min/1,73 m2; jika dicurigai ketoasidosis. Kaji pasien dengan tanda &
gejala yang konsisten dengan ketoasidosis misalnya mual, muntah, nyeri perut,
malaise & sesak napas. Pasien dengan faktor predisposisi ketoasidosis; penyakit KV
yang diketahui, pada terapi antihipertensi dengan riwayat hipotensi; dengan
hematokrit yang sudah meningkat; gagal jantung. Evaluasi pasien untuk tanda &
gejala ISK & obati segera jika ada indikasi. Tidak direkomendasikan untuk digunakan
pada pasien yang menerima diuretik loop atau yang mengalami penurunan volume.
Pantau status vol & elektrolit. Menghentikan pengobatan sementara saat mengobati
pielonefritis atau urosepsis. Hasil tes positif untuk glukosa dalam urin. Masalah
herediter yang jarang dari intoleransi galaktosa, defisiensi Lapp laktase atau
malabsorpsi glukosa-galaktosa. Gangguan ginjal hati & sedang sampai berat. Tidak
dianjurkan selama trimester 2 & 3 kehamilan. Tidak boleh digunakan saat menyusui.
Anak <18 thn. Tua.
- Gunakan Dalam Kehamilan & Menyusui
 Kehamilan: Tidak ada data dari penggunaan dapagliflozin pada wanita hamil.
Studi pada tikus telah menunjukkan toksisitas pada ginjal yang sedang
berkembang dalam periode waktu yang sesuai dengan trimester kedua dan
ketiga kehamilan manusia (lihat Farmakologi: Toksikologi: Data keamanan
praklinis di bawah Tindakan). Oleh karena itu, penggunaan dapagliflozin
tidak dianjurkan selama trimester kedua dan ketiga kehamilan.
 Ketika kehamilan terdeteksi, pengobatan dengan dapagliflozin harus
dihentikan.
 Menyusui: Tidak diketahui apakah dapagliflozin dan/atau metabolitnya
diekskresikan dalam ASI. Data farmakodinamik/toksikologi yang tersedia
pada hewan telah menunjukkan ekskresi dapagliflozin/metabolit dalam susu,
serta efek yang dimediasi secara farmakologis pada anak yang menyusui (lihat
Farmakologi: Toksikologi: Data keamanan praklinis di bawah Tindakan).
Risiko pada bayi baru lahir/bayi tidak dapat dikecualikan. Dapagliflozin tidak
boleh digunakan saat menyusui.
 Kesuburan: Efek dapagliflozin pada kesuburan pada manusia belum diteliti.
Pada tikus jantan dan betina, dapagliflozin tidak menunjukkan efek pada
kesuburan pada setiap dosis yang diuji.
- Efek Samping
Hipoglikemia. Vulvovaginitis, balanitis & infeksi genital terkait, ISK; pusing; ruam;
sakit punggung; disuria, poliuria; peningkatan hematokrit, penurunan CrCl ginjal,
dislipidemia.
- Interaksi obat
 Interaksi farmakodinamik: Diuretik: Dapagliflozin dapat menambah efek
diuretik thiazide dan loop diuretik dan dapat meningkatkan risiko dehidrasi
dan hipotensi (lihat Tindakan Pencegahan).
Sekretagog insulin: Sekretagog insulin, seperti sulfonilurea, menyebabkan
hipoglikemia. Oleh karena itu, dosis yang lebih rendah dari sekretagog insulin
mungkin diperlukan untuk mengurangi risiko hipoglikemia bila digunakan
dalam kombinasi dengan dapagliflozin (lihat Dosis & Administrasi dan Efek
Samping).
 Interaksi farmakokinetik: Metabolisme dapagliflozin terutama melalui
konjugasi glukuronida yang dimediasi oleh UDP glucuronosyltransferase 1A9
(UGT1A9).
Dalam studi in vitro, dapagliflozin tidak menghambat sitokrom P450 (CYP)
1A2, CYP2A6, CYP2B6, CYP2C8, CYP2C9, CYP2C19, CYP2D6, CYP3A4,
atau menginduksi CYP1A2, CYP2B6 atau CYP3A4. Oleh karena itu,
dapagliflozin diharapkan tidak mengubah pembersihan metabolik dari produk
obat yang diberikan bersamaan yang dimetabolisme oleh enzim ini.
 Interaksi lain: Efek merokok, diet, produk herbal dan penggunaan alkohol
pada farmakokinetik dapagliflozin belum dipelajari.
Gangguan dengan 1,5-anhydroglucitol (1,5.AG) Assay: Pemantauan kontrol
glikemik dengan uji 1,5-AG tidak dianjurkan karena pengukuran 1,5-AG tidak
dapat diandalkan dalam menilai kontrol glikemik pada pasien yang memakai
inhibitor SGLT2. Gunakan metode alternatif untuk memantau kontrol
glikemik.
Populasi anak: Studi interaksi hanya dilakukan pada orang dewasa.

B. Obat Antihiperglikemia Suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi
insulin dan agonis GLP-1
INSULIN
- Insulin dipilih berdasarkan ketersediaannya di pasaran Indonesia
- Mekanisme Kerja
Insulin menurunkan kadar glukosa darah. Ini mengatur metabolisme karbohidrat,
protein dan lemak dengan menghambat produksi glukosa hati dan lipolisis, dan
meningkatkan pembuangan glukosa perifer. Berbagai formulasi insulin
diklasifikasikan menurut durasi kerjanya setelah SC Inj. Mereka dibagi menjadi
insulin kerja pendek, menengah, atau panjang. Insulin larut (juga dikenal sebagai
'insulin netral' atau 'insulin biasa') adalah sediaan kerja pendek. Untuk
memperpanjang durasi kerja insulin, sediaan diformulasikan sebagai suspensi dalam 2
metode. Metode pertama melibatkan pengompleksan insulin dengan protein sehingga
dilepaskan secara perlahan, mis. protamine zinc insulin (mengandung kelebihan
protamine) dan insulin isophane (atau insulin NPH yang mengandung jumlah
protamine dan insulin yang sama). Metode alternatif adalah modifikasi ukuran
partikel mis. suspensi seng insulin. Sementara semua formulasi dapat diberikan
melalui injeksi SC, sebagian besar melalui injeksi IM, hanya insulin terlarut yang
dapat diberikan melalui IV. Dibandingkan dengan SC inj, admin IM biasanya
memiliki onset aksi yang lebih cepat, dengan durasi aksi yang lebih singkat.
- Onset
0,5-1 jam (kerja singkat misalnya insulin larut); 2 jam (kerja menengah misalnya
insulin bifasik, insulin isofan, suspensi seng insulin amorf); 2-3 jam (suspensi Zn
insulin campuran); 4 jam (kerja lama misalnya suspensi seng insulin, insulin seng
protamin).
- Durasi
6-8 jam (kerja singkat misalnya insulin larut); 24 jam (kerja menengah misalnya
insulin bifasik, insulin isofan, suspensi seng insulin amorf); 30 jam (suspensi Zn
insulin campuran); 36 jam (kerja lama misalnya suspensi seng insulin, insulin seng
protamin).
- Farmakokinetik:
 Penyerapan: Tidak aktif (oral); cukup cepat (SC); cepat (IM); meningkat
dengan latihan.
 Metabolisme: Terutama di hati, juga di ginjal dan jaringan otot.
 Ekskresi: Sejumlah kecil diekskresikan sebagai obat yang tidak berubah
dalam urin.
- Indikasi dan Dosis
 Intramuskular
Ketoasidosis diabetik
Dewasa: Sebagai insulin larut, dosis awal 20 unit, diikuti 6 unit/jam sampai
glukosa darah turun menjadi 10 mmol/l, bila dosis diberikan setiap 2 jam.
 Intravena
Ketoasidosis diabetik
Dewasa: Sebagai insulin larut, diberikan dalam konsentrasi 1 unit/ml
menggunakan pompa infus: Awalnya infus dengan kecepatan 6 unit/jam, dua
kali atau empat kali lipat jika konsentrasi glukosa darah tidak turun sekitar 5
mmol/l/jam . Jika konsentrasi glukosa darah telah menurun hingga 10 mmol/l,
kurangi kecepatan infus menjadi 3 unit/jam dan lanjutkan dengan glukosa 5%
untuk mencegah hipoglikemia, sampai pasien dapat makan secara oral. Jangan
hentikan infus insulin sebelum insulin SC dimulai. Pastikan penggantian
cairan yang memadai dan sertakan kalium klorida dalam infus untuk
mencegah hipokalemia yang diinduksi insulin.
Anak: Sebagai insulin larut, diberikan dalam konsentrasi 1 unit/ml
menggunakan pompa infus: Awalnya infus dengan kecepatan 0,1 unit/kg/jam,
dua kali lipat atau empat kali lipat jika konsentrasi glukosa darah tidak turun
sekitar 5 mmol/l / jam. Jika konsentrasi glukosa darah telah menurun hingga
10 mmol/l, kurangi kecepatan infus menjadi 0,05 unit/kg/jam dan lanjutkan
dengan glukosa 5% untuk mencegah hipoglikemia, sampai pasien dapat
makan secara oral. Jangan hentikan infus insulin sebelum insulin SC dimulai.
Pastikan penggantian cairan yang memadai dan sertakan kalium klorida dalam
infus untuk mencegah hipokalemia yang diinduksi insulin.
 Subkutan

Dewasa: Admin sesuai kebutuhan; disuntikkan ke paha, lengan atas, bokong, atau
perut.

Cara penyuntikan insulin:

- Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan arah
alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit
- Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau drip
- Insulin campuran (mixed insulin) merupakan kombinasi antara insulin kerja pendek
dan insulin kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu, namun bila
tidak terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan dosis
yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut.
- Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan dengan
benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.
- Penyuntikan insulin dengan menggunakan semprit insulin dan jarumnya sebaiknya
hanya dipergunakan sekali, meskipun dapat dipakai 2-3 kali oleh penyandang
diabetes yang sama, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin. Penyuntikan insulin
dengan menggunakan pen, perlu penggantian jarum suntik setiap kali dipakai,
meskipun dapat dipakai 2-3 kali oleh penyandang diabetes yang sama asal sterilitas
dapat dijaga.
- Kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah unit/mL) dengan semprit
yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit) harus diperhatikan, dan dianjurkan
memakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100 (artinya 100
unit/ml).
- Penyuntikan dilakukan pada daerah: perut sekitar pusat sampai kesamping, kedua
lengan atas bagian luar (bukan daerah deltoid), kedua paha bagian luar

Tabel 8. Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja (Time Course


of Action)
NPH:neutral protamine Hagedorn; NPL:neutral protamine lispro. Nama obat disesuaikan
dengan yang tersedia di Indonesia. *Belum tersedia di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
1. Pencegahan PDAN, Indonesia DI. Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
indonesia 2015. 2015.
2. Bina D, Komunitas F, Klinik DAN, Jenderal D, Kefarmasian B, Alat DAN, et al.
Pharmaceutical care untuk penyakit diabetes mellitus. 2005;
3. Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Pharmaceutical care untuk penyakit diabetes
mellitus. Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2005. 1–89 p.

4. Aditama L. Karakteristik dan kebutuhan pasien diabetes mellitus tipe II di apotek ubaya terhadap
layanan residensial (home care) serta pengaruh layanan tersebut pada penatalaksanaan penyakit
diabetes mellitus. Pros Semin Nas “Home Care.” 2011

5. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) .(2015). Konsensus Pengelolaan dan


Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.

6. Decroli, Eva. Diabetes Melitus Tipe 2. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 2019.)

Anda mungkin juga menyukai