Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus

Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.1

Diabetes mellitus adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan kadar glukosa darah

yang tinggi yang dapat berupa penyakit yang diturunkan (genetik) ataupun penyakit yang

didapatkan karena beberapa faktor serta merupakan gangguan metabolisme yang paling umum.

Diabetes mellitus tipe 2 yang juga disebut sebagai noninsulin-dependent diabetes mellitus

(NIDDM) memiliki angka kejadian yang melonjak naik selama beberapa dekade terakhir.2

Diabetes mellitus tipe 2 yang sebelumnya disebut sebagai non insulin-dependent diabetes

atau diabetes tipe dewasa menyumbang 90-95% angka kejadian dari semua jenis diabetes.

Diabetes mellitus tipe 2 meliputi individu yang memiliki resistensi terhadap insulin dan biasanya

(bukan absolut) defisiensi insulin. Pada awalnya dan mungkin sepanjang hidup mereka, orang-

orang yang menderita diabetes mellitus tipe 2 ini mungkin tidak memerlukan pengobatan insulin

untuk bertahan hidup.5

2.2 Etiologi

Pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 memiliki pola familial yang kuat, dimana risiko

berkembangnya penyakit ini pada saudara kandung mendekati 40% dan pada anak cucunya

sekitar 33%. Contoh transmisi genetic yang kuat ialah pada diabetes awitan dewasa muda

(MODY), yaitu subtipe penyakit diabetes yang diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika

1
orang tua menderita diabetes mellitus tipe 2 maka kemungkinan anaknya menderita diabetes atau

nondiabetes adalah 1:1, dan sekitar 90% pasti pembawa sifat (carrier) diabetes mellitus tipe 2.

Diabetes mellitus tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin.2

2.3 Patofisiologi

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal

sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui bahwa kegagalan

sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot,

liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal

(defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi

glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya

gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2.10,11

Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting

dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep tentang :10,11

1) Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan hanya untuk

menurunkan HbA1c saja

2) Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada gangguan

multipel dari patofisiologi DM tipe 2.

3) Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat

progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada penyandang gangguan toleransi

glukosa.

2
De Fronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel beta

pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ

lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet.10,11

Gambar 7. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis hiperglikemia
pada DM tipe 2. 10,11

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet)

berikut :

1) Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta

sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah

sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor. 11

2) Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu

gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic

glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang

menekan proses gluconeogenesis. 11

3
3) Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di

intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport

glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat

yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.11

4) Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan

peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam

plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan

resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan

yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini

adalah tiazolidindion.11

5) Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau

diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2

hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic

polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2

didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin

segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa

menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.

Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja

ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian

diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah Konsensus Pengelolaan dan

Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 – 2015 | 9 setelah makan. Obat yang bekerja untuk

menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa. 11

4
6) Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam

hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang

dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini

menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu

yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon

meliputi GLP-1 agonis, DPP4 inhibitor dan amylin.11

7) Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2.

Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa

terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose coTransporter)

pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui

peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa

dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang

menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus

ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah

SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.11

8) Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik

yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme

kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat

akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini

adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.11

2.4 Faktor Resiko

Faktor risiko diabetes mellitus tipe 2 pada orang dewasa antara lain5

1) Indeks masa tubuh ≥ 25kg/m2 atau ≥ 23 kg/m2 pada ras Asia Amerika.

5
2) Kurangnya aktifitas fisik.

3) Risiko tinggi pada ras/etnik (Afrika Amerika, Latin, Natif Amerika, Asia Amerika,

Kepulauan Pasifik).

4) Perempuan yang melahirkan bayi dengan berat badan > 4 kg atau didiagnosis diabetes

gestasional.

5) Menderita hipertensi (≥ 140/40 mmHg atau sedang mendapat terapi hipertensi).

6) Kadar kolesterol HDL < 35 mg/dL (0,9 mmol/L) dan/atau kadar trigliserida > 250 mg/dL

(2,82 mmol/L).

7) Perempuan dengan sindroma polikistik ovarium.

8) Kadar A1c ≥ 5,7%, IGT atau IFG pada tes sebelumnya.

9) Kondisi klinis lainnya yang berhubungan dengan resistensi insulin (seperti, obesitas berat,

acantosis nigrikan).

10) Riwayat penyakit cardiovascular).

11) Riwayat keluarga dengan diabetes mellitus.

2.5 Gejala Klinis

Pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 bisa saja tidak menunjukkan gejala apapun dan

sehingga sehingga diagnosis hanya dapat dilakukan pada pemeriksaan darah di laboratorium dan

melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin

dapat mengalami polydipsia (sering merasa haus), polyuria (banyak kencing), polyfagia (sering

merasa lapar), berat badan menurun, pandangan menjadi kabur, lemah dan samnolen. Biasanya

mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien DM tipe 2 tidak kekurangan insulin secara

absolut melainkan hanya relatif kekurangan insulin sehingga masih mungkin untuk menyekresi

6
serta menghambat terjadinya ketoasidosis. Pasien dengan hiperglikemia berat biasanya

memperlihatkan kehilangan sensitifitas perifer terhadap insulin. 12

2.5 Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan

glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan

plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan

pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas

dasar adanya glukosuria. 1

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu

dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

1) Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak

dapat dijelaskan sebabnya.

2) Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria,

serta pruritus vulva pada wanita.1

Tabel 3. Kriteria Diagnosis DM.11

Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGSP, sehingga
harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi

7
tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisi
kondisi yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat
dipakai sebagai alat diagnosis maupun evaluasi

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan ke
dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa
darah puasa terganggu (GDPT). 11

1) Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara

100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl.11

2) Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah

TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl.11

3) Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT.11

4) Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan hBA1c yang

menunjukkan angka 5,7-6,4%.11

Table 4. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan prediabetes. 11

8
2.6 Penatalaksanaan

Melalui gaya hidup dan modifikasi diet, penelitian telah menunjukkan bahwa ada

penurunan yang signifikan dalam kejadian DM tipe 2 dengan kombinasi pemeliharaan indeks

massa tubuh 25 kg/m2, untuk manajemen dari penyakit diabetes mellitus tipe 2 ialah:11

1) Biguanides.

Metformin adalah golongan biguanides yang paling umum digunakan pada pasien yang

kelebihan berat badan dan obesitas, metformin dapat menekan produksi glukosa hepatik,

meningkatkan sensitivitas insulin, meningkatkan penyerapan glukosa oleh fosforilasi GLUT

faktor, meningkatkan oksidasi asam lemak dan mengurangi penyerapan glukosa dari saluran

pencernaan. Metformin harus digunakan dengan hati-hati pada individu diabetes usia lanjut

dengan gangguan ginjal. Metformin memiliki insiden hipoglikemia rendah dibandingkan dengan

sulfonilurea.11

2) Sulfonylurea.

Pada umumnya sulfonylurea dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh untuk menurunkan

kadar glukosa darah, tetapi karena sulfonylurea merangsang sekresi insulin endogen, sehingga

membawa risiko pasien lansia menjadi hypoglycemia. Pasien DM yang dirawat dengan

sulfonilurea memiliki peningkatan risiko 36% hipoglikemia dibandingkan dengan patient yang

lebih muda. Beberapa faktor risiko hipoglikemia adalah usia yang terkait dengan gangguan

fungsi ginjal, Penggunaan sulfonylurea jangka panjang seperti glyburide harus dihindari pada

pasien usia lanjut dengan DM dan penggunaan glipizide jangka pendek lebih disarakan.11

3) Meglitinides.

Meglitinides (seperti repaglinide, nateglinide) merangsang pelepasan insulin dari sel beta,

mirip dengan sulfonilurea, meskipun situs pengikatan meglitinides berbeda dengan sulfonilurea.

9
Meglitinides memiliki onset yang cepat dan durasi pendek (4-6 jam) sehingga risiko

hipoglikemia lebih rendah. Meglitinides diberikan sebelum makan untuk kontrol glukosa darah

postprandial. 11

4) Thiazolidinediones.

Thiazolidinedione adalah sensitizer insulin, obat yang pertama untuk mengatasi masalah

dasar dari resistensi insulin pada pasien DMtipe 2. Pioglitazone (salah satu golongan

thiazolidinediones utama) tidak terkait dengan hipoglikemia dan dapat digunakan dalam kasus-

kasus gangguan ginjal dan dapat ditoleransi dengan baik pada orang dewasa yang lebih tua.

Namun, Pioglitazone harus dihindari pada pasien lanjut usia dengan gagal jantung kongestif dan

merupakan kontraindikasi pada pasien dengan gagal jantung kelas III-IV.11

5) Inhibitor Alpha-glukosidase.

Acarbose, Voglibose dan miglitol belum banyak digunakan untuk mengobati pasien DM

tipe 2 tetapi cenderung aman dan efektif. Agen ini yang paling efektif untuk hiperglikemia

postprandial dan harus dihindari pada pasien dengan gangguan ginjal yang signifikan.

Penggunaannya biasanya terbatas karena tingginya tingkat efek samping seperti diare.11

6) Dipeptidyl-peptidase IV Inhibitors.

Dipeptidyl-peptidase (DPP) IV dapat meningkatkan fungsi pulau langerhans dan kontrol

glikemik DMtipe 2.obat ini efektif sebagai monoterapi pada pasien yang tidak cukup terkontrol

dengan diet dan olahraga dan sebagai terapi tambahan dalam kombinasi dengan metformin,

thiazolidinediones, dan insulin. DPP-IV inhibitor dapat ditoleransi dengan baik serta risiko yang

rendah untuk memproduksi hipoglikemia.11

7) Insulin.

10
Insulin dapat digunakan secara sendiri atau dalam kombinasi dengan obat hipoglikemik

oral. Penggantian insulin basal diperlukan jika kelelahan sel beta terjadi. Terapi ini meniru

sekresi normal insulin oleh sel beta dari pankreas. Insulin diberikan dalam bentuk injeksi aksi

cepat, aksi singkat, aksi menengah dan aksi panjang. Bentuk reaksi panjang cenderung

menyebabkan hipoglikemia dibandingkan dengan bentuk-bentuk aksi singkat.11

8) Lainnya.

Sodium-glucose cotransporterInhibitor 2, yang meningkatkan eliminasi glukosa ginjal,

dan 11ß-hidroksi steroid dehidrogenase 1 inhibitor, yang mengurangi efek glukokortikoid dalam

hati dan lemak. 11

11

Anda mungkin juga menyukai