PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
2.1.2 Patofisiologi
2
maksimum insulin, yaitu lebih rendah 30 - 60 % daripada orang normal. Resistensi
terhadap kerja insulin menyebabkan terjadinya gangguan penggunaan insulin oleh
jaringan-jaringan yang sensitif dan meningkatkan pengeluaran glukosa hati. Kedua
efek ini memberikan kontribusi terjadinya hiperglikemi pada diabetes. Peningkatan
pengeluaran glukosa hati digambarkan dengan peningkatan FPG (Fasting Plasma
Glukose) atau kadar gula puasa (BSN). Pada otot terjadi gangguan pada
penggunaan glukosa secara non oksidatif (pembentukan glikogen) daripada
metabolisme glukosa secara oksidatif melalui glikolisis. Penggunaan glukosa pada
jaringan yang independen terhadap insulin tidak menurun pada diabetes melitus tipe
2.(3)
Saat ini, patogenesis terjadinya resistensi insulin terfokus pada defek PI-3
kinase (Phosphatidyl Inocytol) yang menyebabkan terjadinya reduktasi translokasi
dari GLUT-4 (Glukose Transporter) ke membran plasma untuk mengangkut
insulin. Hal ini menyebabkan insulin tidak dapat diangkut masuk ke dalam sel dan
tidak dapat digunakan untuk metabolisme sel, sehingga kadar insulin di dalam
darah terus meningkat dan akhirnya menyebabkan terjadinya hiperglikemi.(3)
Ada teori lain mengenai terjadinya resistesi insulin pada penderita diabetes
melitus tipe 2. Teori ini mengatakan bahwa obesitas dapat mengakibatkan
terjadinya resistensi insulin melalui beberapa cara, yaitu; peningkatan asam lemak
bebas yang mengganggu penggunaan glukosa pada jaringan otot, merangsang
produksi dan gangguan fungsi sel β pancreas.(3)
3
2. Defek sekresi insulin
Defek sekresi insulin berperan penting bagi munculnya diabetes melitus tipe
2. Pada hewan percobaan, jika sel-sel beta pankreas normal, resistensi insulin tidak
akan menimbulkan hiperglikemik karena sel ini mempunyai kemampuan
meningkatkan sekresi insulin sampai 10 kali lipat. Hiperglikemi akan terjadi sesuai
dengan derajat kerusakan sel beta yang menyebabkan turunnya sekresi insulin.
Pelepasan insulin dari sel beta pankreas sangat tergantung pada transpor glukosa
melewati membran sel dan interaksinya dengan sensor glukosa yang akan
menghambat peningkatan glukokinase. Induksi glukokinase akan menjadi langkah
pertama serangkaian proses metabolik untuk melepaskan granul-granul berisi
insulin. Kemampuan transpor glukosa pada diabetes melitus tipe 2 sangat menurun,
sehingga kontrol sekresi insulin bergeser dari glukokinase ke sistem transpor
glukosa. Defek ini dapat diperbaiki oleh sulfonilurea.(3)
Kelainan yang khas pada diabetes melitus tipe 2 adalah ketidakmampuan
sel beta meningkatkan sekresi insulin dalam waktu 10 menit setelah pemberian
glukosa oral dan lambatnya pelepasan insulin fase akut. Hal ini akan dikompensasi
pada fase lambat, dimana sekresi insulin pada diabetes melitus tipe 2 terlihat lebih
tinggi dibandingkan dengan orang normal. Meskipun telah terjadi kompensasi,
tetapi kadar insulin tetap tidak mampu mengatasi hiperglikemi yang ada atau terjadi
defisiensi relatif yang menyebabkan keadaan hiperglikemi sepanjang hari.
Hilangnya fase akut juga berimplikasi pada terganggunya supresi glukosa endogen
setelah makan dan meningkatnya glukoneogenesis melalui stimulasi glukagon.
Selain itu, defek yang juga terjadi pada diabetes melitus tipe 2 adalah gangguan
sekresi insulin basal. Normalnya sejumlah insulin basal disekresikan secara
kontinyu dengan kecepatan 0,5 U/jam, pola berdenyut dengan periodisitas 12-15
menit (pulsasi) dan 120 menit (osilasi). Insulin basal ini dibutuhkan untuk
meregulasi kadar glukosa darah puasa dan menekan produksi hati. Puncak-puncak
sekresi yang berpola ini tidak ditemukan pada penderita DM tipe 2 yang
menunjukan hilangnya sifat sekresi insulin yang berdenyut.(3)
4
3. Produksi glukosa hati
Hati merupakan salah satu jaringan yang sensitif terhadap insulin. Pada keadaan
normal, insulin dan gukosa akan menghambat pemecahan glikogen dan
menurunkan glukosa produk hati. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 terjadi
peningkatan glukosa produk hati yang tampak pada tingginya kadar glukosa darah
puasa (BSN). Mekanisme gangguan produksi glukosa hati belum
sepenuhnya jelas.(3)
Pada penelitian yang dilakukan pada orang sehat, terjadi peningkatan kadar
insulin portal sebesar 5 μU/ml di atas nilai dasar akan menyebabkan lebih dari 50%
penekanan produksi glukosa hati. Untuk mencapai hasil yang demikian, penderita
diabetes melitus tipe 2 ini membutuhkan kadar insulin portal yang lebih tinggi. Hal
tersebut menunjukkan terjadinya resistensi insulin pada hati. Peningkatan produksi
glukosa hati juga berkaitan dengan meningkatnya glukoneogenesis (lihat gambar)
akibat peningkatan asam lemak bebas dan hormon anti insulin seperti glukagon.(3)
Patogenesis DM:
Insulin, suatu peptida yang disekresi oleh sel beta pankreas dalam
menanggapi postprandial, kenaikan tingkat glukosa serum, berfungsi untuk
meningkatkan penyerapan glukosa oleh jaringan perifer dan glukoneogenesis
hati. Ada kenaikan dan penurunan di tingkat insulin dan glukagon yang terjadi
untuk mempertahankan homeostasis glukosa. Glukosa toleransi, kemampuan untuk
mempertahankan euglycemia, tergantung pada tiga hal yang terjadi secara yang
ketat terkoordinasi, yaitu:(3)
1. Stimulasi sekresi insulin
2. Pelepasan yang dimediasi insulin endogen (terutama hati) produksi glukosa,
3. Insulin-mediated stimulasi glukosa oleh jaringan perifer.
Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit yang disebabkan oleh resistensi
insulin dan defek sekresi insulin. Ada penurunan serapan postprandial glukosa oleh
otot dengan insulin endogen dikeluarkan. Pada pasien dengan hiperglikemia puasa,
tingkat insulin telah ditemukan dua kali lipat ke empat kali lipat lebih tinggi
daripada di nondiabetiks. Pada jaringan otot, adanya defek dalam fungsi reseptor,
5
jalur reseptor insulin-sinyal transduksi, transportasi dan fosforilasi glukosa, sintesis
glikogen, dan oksidasi glukosa yang berkontribusi pada resistensi insulin. Tingkat
basal dari glukoneogenesis hepatik juga berlebihan, meskipun kadar insulin tinggi.
Kedua defek berkontribusi untuk peningkatan berlebihan kadar glukosa
postprandial serum.(3)
6
Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan
klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh
pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis
DM. Ketiga dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa
lebih sensitif dan spesifi dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma
puasa, namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan
berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka
dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil yang
diperoleh.(3)
2.1.4 SKRINING
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko DM
namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan
untuk menemukan pasien dengan DM, TGT maupun GDPT, sehingga dapat
ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut
sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua
keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit
kardiovaskular di kemudian hari.(3)
8
Skrining dikerjakan pada kelompok yang memiliki salah satu faktor risiko
DM. Pemeriksaan skrining dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa
darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Apabila pada pemeriksaan skrining
ditemukan hasil positif, maka perlu dilakukan konfimasi dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa atau dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO)
standarPemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening)
tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal, serta pada umumnya tidak diikuti
dengan rencana tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan adanya kelainan.
Pemeriksaan penyaring juga dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk
penyakit lain atau general check-up.(3)
2.1.5 Penatalaksanaan DM
9
mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa
darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.(3)
2.1.5.1 Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk. Pemberdayaan penderita diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat.Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku.Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.(3)
10
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus dimodifiasi menjadi :
o Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
o BB Normal : BB ideal ± 10 %
o Kurus : < BBI - 10 %
o Gemuk : > BBI + 10 %
Klasifiasi IMT:
BB Kurang <18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih >23,0
Dengan risiko 23,0-24,9
Obes I 25,0-29,9
Obes II >30
Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori
wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.
Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk
dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk usia 60 s/d 69 tahun
dan dikurangi 20%, di atas 70 tahun.
Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik
penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan
istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas
sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.
11
Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% ber-gantung kepada tingkat
kegemukan
Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan BB.
Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling
sedikit 1000 - 1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200 - 1600 kkal
perhari untuk pria.
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu penatalaksanaan
DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan
tangga, berkebun harus tetap dilakukan Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas
insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat,
intensitas latihan jasmani bias ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat
komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak
atau bermalas-malasan.(4)
2.1.8 Farmakologis
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat
badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada
berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi
serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang.(3)
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati.(3)
13
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan padaPeroxisome
Proliferator Activated ReceptorGamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel otot dan
sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan
gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga
pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu
dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.(3)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan fltulens. Mekanisme kerja OHO, efek samping
utama, serta pengaruh obat terhadap penurunan A1C dapat dilihat pada tabel.(3)
14
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal
a. Sulfonilurea generasi I & II : 15 –30 menit sebelum makan
b. Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan
c. Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan
d. Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
e. Penghambat glukosidase α (Acarbose) : bersama makan suapan pertama
f. Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.
2. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:(3)
a. Penurunan berat badan yang cepat
b. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
c. Ketoasidosis diabetik
d. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
e. Hiperglikemia dengan asidosis laktat
15
Efek samping terapi insulin(3)
A. Pencegahan primer(5)
Sasaran pencegahan primer :
Ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor risiko, yaitu belum terkena
namun berpotensi untuk mendapatkan DM dan kelompok intoleransi
glukosa
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :
Ras dan rtnik
Riwayat keluarga dengan diabetik
Riwayat melahirkan bayi dengan bb >4000g
Umur >45tahun
Riwayat berat lahir kurang dari 2.5 kg
16
Kurang aktivitas fisik
Hipertensi >140/90 mmHg
Dislipidemia HDL <35 mg/dl
Diet tak sehat
b. pencegahan sekunder(5)
c. pencegahan tersier(5)
Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan pada pasien dan keluarga.
Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi untuk mencapai kualitas hidup yang
optimal.
2.1.9 Komplikasi
Komplikasi akut :(3)
Ketoasidosis diabetik
Ditandai dengan peningkatan glukosa darah 300-600 mg/dl disertai dengan
tanda gejala asidosi dan plasma keton kuat.
Hiperglikemi osmolar
Peningkatan gula darah 600-1200 mg/dl, tanpa tanda gejaa asidosis.
Hipoglikemia
Kadar glukosa <60 mg/dl. Pengunaan insuun, paling sering pada
penggunaan sulfonylurea.
Komplikasi menahun:(3)
Makroangiopaty
o Pembuluh darah jantung
o Pembuluh darah tepi : ulkus iskemik pedis
Mikroangiopaty
o Retinopaty diabetik
o Nefropaty diabetik
o Neuropati
18
o Semua penyandang pasien yang harus diberikan edukasi perawatan
kaki untuk mengurangi risiko
2.1.10 Prognosis DM
Penyesuaian dari waktu ke waktu . Resistensi insulin meningkat dengan usia.
Prognosis pada orang dengan diabetes tipe 2 bervariasi . Hal ini tergantung pada
seberapa baik seseorang memodifikasi risiko nya komplikasi . Serangan jantung,
stroke dan penyakit ginjal dapat menyebabkan kematian dini . Cacat akibat
kebutaan , amputasi , penyakit jantung , stroke dan kerusakan saraf dapat terjadi .
Beberapa orang dengan diabetes tipe 2 menjadi tergantung pada perawatan karena
gagal ginjal penyesuaian dari waktu ke waktu . Resistensi insulin meningkat dengan
usia.(3)
2.2.1 Definisi
Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik diabetes melitus
berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian
jaringan setempat. Hiperglikemia pada diabetes melitus yang tidak dikelola dengan
baik akan menimbulkan berbagai komplikasi kronis yaitu neuropati perifer dan
angiopati. Dengan adanya angiopati perifer dan neuropati, trauma ringan dapat
menimbulkan ulkus pada penderita diabetes melitus yang lebih lanjut sering tidak
dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob
maupun anaerob.(4, 6)
Ulkus diabetes melitus mudah terinfeksi karena respons kekebalan tubuh
pada penderita diabetes melitus biasanya menurun. Ketidaktahuan pasien dan
keluarga membuat ulkus bertambah parah dan menjadi gangren yang terinfeksi.(4,
6)
2.2.2 Klasifikasi Ulkus Diabetik
Berdasarkan International Working Group on Diabetic Foot klasifikasi
ulkus diabetik di klasifikasikan menjadi klasifikasi PEDIS. Dimana dengan adanya
klasifikasi PEDIS akan dapat ditentukan kelainan apa yang lebih dominan,
19
vaskular, infeksi atau neuropatik, sehingga arah pengelolaan pun dapat tertuju lebih
baik.
2.2.2 Patofisiologi
Neuropati Perifer
Neuropati perifer pada diabetes adalah multifaktorial dan diperkirakan
merupakan akibat penyakit vaskuler yang menutupi vasa nervorum, disfungsi
endotel, defisiensi mioinositol-perubahan sintesis mielin dan menurunnya aktivitas
Na-K ATPase, hiperosmolaritas kronis, menyebabkan edema pada saraf tubuh serta
pengaruh peningkatan sorbitol dan fruktose.(7)
Neuropati disebabkan karena peningkatan gula darah yang lama sehingga
menyebabkan kelainan vaskuler dan metabolik. Peningkatan kadar sorbitol
20
intraseluler, menyebabkan saraf membengkak dan terganggu fungsinya. Penurunan
kadar insulin sejalan dengan perubahan kadar peptida neurotropik, perubahan
metabolisme lemak, stress oksidatif, perubahan kadar bahan vasoaktif seperti nitrit
oxide mempengaruhi fungsi dan perbaikan saraf. Kadar glukosa yang tidak
teregulasi meningkatkan kadar advanced glycosylated end product (AGE) yang
terlihat pada molekul kolagen yang mengeraskan ruangan-ruangan yang sempit
pada ekstremitas superior dan inferior (carpal, cubital, dan tarsal tunnel).
Kombinasi antara pembengkakan saraf yang disebabkan berbagai mekanisme dan
penyempitan kompartemen karena glikosilasi kolagen menyebabkan double crush
syndrome dimana dapat menimbulkan kelainan fungsi saraf motorik, sensorik dan
autonomik.(7)
Perubahan neuropati yang telah diamati pada kaki diabetik merupakan
akibat langsung dari kelainan pada sistem persarafan motorik, sensorik dan
autonomik. Hilangnya fungsi sudomotor pada neuropati otonomik menyebabkan
anhidrosis dan hiperkeratosis. Kulit yang terbuka akan mengakibatkan masuknya
bakteri dan menimbulkan infeksi. Berkurangnya sensibilitas kulit pada penonjolan
tulang dan sela-sela jari sering menghambat deteksi dari luka-luka kecil pada kaki.
Neuropati autonomik mengakibatkan 2 hal yaitu anhidrosis dan pembukaan
arteriovenous (AV) shunt. Neuropati motorik paling sering mempengaruhi otot
intrinsik kaki sebagai akibat dari tekanan saraf plantaris medialis dan lateralis pada
masing-masing lubangnya (tunnel).(7)
Penyakit Arterial
Penderita diabetes, seperti orang tanpa diabetes, kemungkinan akan
menderitapenyakit atherosklerosis pada arteri besar dan sedang, misalnya pada
aortailiaca, dan femoropoplitea. Alasan dugaan bentuk penyakit arteri ini pada
penderita diabetes adalah hasil beberapa macam kelainan metabolik, meliputi kadar
Low Density Lipoprotein (LDL), Very Low Density Lipoprotein (VLDL),
peningkatan kadar faktor von Willbrand plasma, inhibisi sintesis prostasiklin,
peningkatan kadar fibrinogen plasma, dan peningkatan adhesifitas platelet. Secara
keseluruhan, penderita diabetes mempunyai kemungkinan besar menderita
21
atherosklerosis, terjadi penebalan membran basalis kapiler, hialinosis arteriolar,
dan proliferasi endotel.(7)
Peningkatan viskositas darah yang terjadi pada pasien diabetes timbul
berawal pada kekakuan mernbran sel darah merah sejalan dengan peningkatan
aggregasi eritrosit, Karena sel darah merah bentuknya harus lentur ketika melewati
kapiler, kekakuan pada membran sel darah merah dapat menyebabkan hambatan
aliran dan kerusakan pada endotelial. Glikosilasi non enzimatik protein spectrin
membran sel darah merah bertanggungjawab pada kekakuan dan peningkatan
aggregasi yang telah terjadi. Akibat yang terjadi dari dua hal tersebut adalah
peningkatan viskositas darah. Mekanisme glikosilasi hampir sama seperti yang
terlihat dengan hemoglobin dan berbanding lurus dengan kadar glukosa darah.(7)
Penurunan aliran darah sebagai akibat perubahan viskositas memacu
meningkatkan kompensasinya dalam tekanan perfusi sehingga akan meningkatkan
transudasi melalui kapiler dan selanjutnya akan meningkatkan viskositas darah.
Iskemia perifer yang terjadi lebih lanjut disebabkan peningkatan afinitas
hemoglobin terglikolasi terhadap molekul oksigen. Efek merugikan oleh
hiperglikemia terhadap aliran darah dan perfusi jaringan sangatlah signifikan.(2)
22
Deformitas kaki
Perubahan destruktif yang terjadi pada kaki Charcot menyebabkan
kerusakan arkus longitudinal medius, dimana akan menimbulkan gait biomekanik.
Perubahan pada calcaneal pitch menyebabkan regangan ligamen pada metatarsal,
cuneiform, navicular dan tulang kecil lainnya dimana akan menambah panjang
lengkung pada kaki. Perubahan degenerate ini nantinya akan merubah cara berjalan
(gait), mengakibatkan kelainan tekanan tumpuan beban, dimana menyebabkan
kolaps pada kaki. Ulserasi, infeksi, gangren dan kehilangan tungkai merupakan
hasil yang sering didapatkan jika proses tersebut tidak dihentikan pada stadium
awal.(2)
Tekanan
Diabetes dapat memberikan dampak buruk pada beberapa sistem organ
termasuk sendi dan tendon. Hal biasanya tejadi pada tendon achiles dimana
advanced glycosylated end prodruct (AGEs) berhubungan dengan molekul kolagen
pada tendon sehingga menyebabkan hilangnya elastisitas dan bahkan pemendekan
tendon. Akibat ketidakmampuan gerakan dorsofleksi telapak kaki, dengan kata lain
arkus dan kaput metatarsal mendapatkan tekanan tinggi dan lama karena adanya
gangguan berjalan (gait). Hilangnya sensasi pada kaki akan menyebabkan tekanan
yang berulang, injuri dan fraktur, kelainan struktur kaki, misalnya hammertoes,
callus, kelainan metatarsal, atau kaki Charcot; tekanan yang terus menerus dan pada
akhirnya terjadi kerusakan jaringan lunak.(2)
Tidak terasanya panas dan dingin, tekanan sepatu yang salah, kerusakan
akibat benda tumpul atau tajam dapat menyebabkan pengelepuhan dan ulserasi.
Faktor ini ditambah aliran darah yang buruk meningkatkan resiko kehilangan
anggota gerak pada penderita diabetes.(2)
24
Pengelolaan holistik ulkus/gangren diabetik
Pressure control
Jika tetap dipakai untuk berjalan (berarti kaki dipakai untuk menahan berat
badan – weight bearing). Luka yang selalu mendapat tekanan tidak akan sempat
menyembuh, apalagi kalau luka tersebut terletak di bagian plantar seperti luka pada
kaki charcot. Peran jejaran rehabilirasi medis pada usaha pessure control ini sangat
mencolok.(7)
Berbagai cara untuk mencapai keadaan non weight bearing dapat dilakukan
antara lain dengan:(7)
1. Romovable cast walker
2. Total contact casting
3. Temporary shoes
4. Felt padding
5. Crutches
6. Wheelchair
7. Electric carts
25
8. Craddle insoles
Wound control
Saat ini terdapat banyak sekali macam dressing (pembalut) yang masing-
masing tentu dapaat dimanfaatkan sesuai dengan keadaan luka dan juga letak luka
tersebut. Dressing yang mengandung komponen zat penyerap seperti carbonate
dressing, alginate dressing akan bermamfaat pada keadaan luka yang masih
produktif. Demikian pula hydrophilic fiber dressing atau silver impregnate dressing
dan akan bermanfaat untuk luka yang produktif dan terinfeksi. Debridement yang
baik dan adekuat tentu akan sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik yang
harus dikeluarkan tubuh, dengan demikian tentu akan sangat mengurangi produksi
pus/cairan dri ulkus/gangren.(7)
Berbagai topikal dapat dimamfaatkan untuk mengurangi mikroba pada luka,
seperti cairan saline sebagai pembersih luka, atau yodine encer, senyawa silver
26
sebagai bagian dari dressing, dll. Jikalau luka sudah membaik dan tidak terinfeksi
lagi dressing seperti hidrocolloid dressing yang dapat dipertahankan beberapa hari
dapat digunakan. Selama proses inflamasi masih ada , proses penyembuhan luka
tidak akan beranjak pada proses selanjutnya yaitu proses granulasi dan kemudian
epitelisasi.(7)
Untuk menjaga suasana kondusif bagi kesmbuhan luka dapat pula dipakai
kasa yang dibasahi dengan Sali. Cara tersebut saat ini dipakai banyak sekali tempat
perawatan kaki diabetes.(7)
Microbiological control
Umumnya pada ulkus/gangren diabetik didapatkan infeksi bakteri yang
mulitiple, aerob dan anaerob. Umumnya didapatkan pola kuman yang
polimikrobial, campuran gram negatif dan gram positif serta kuman anaerob untuk
untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu untuk lini pertama pemberian anti
biotik harus diberikan antibiotik spektrum luas , mencakup kuman gram negatif dan
gram positif (seperti golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang
bermamfaat untuk kuman anaerob ( seperti metronidazol).(7)
Vascular Control
Terapi Farmakologis
Revaskularisasi
28
Metabolic Control
Education Control
2.4 Prognosis
30
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Umur : 46 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Aceh Besar
No. CM : 1-07-57-16
Tanggal Masuk : 28 Desember 2015
Tanggal Periksa : 4 Januari 2016
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Luka pada kaki kiri.
31
tetapi tidak patuh menggunakannya secara teratur. Pasien memiliki riwayat gula
darah sewaktu mencapai 500 g/dl.
32
Leher : Pembesaran KGB tidak ada. TVJ R+2cmH2O
Paru Anterior :
Inspeksi :
- Gerakan dada kiri dan kanan simetris statis dan dinamis.
- Retraksi supraclavikula dan intercostal (-)
- Spider Nevi (-)
Palpasi :
- Simetris, Stem Fremitus kanan sama dengan Stem Fremitus kiri.
- Nyeri tekan (-)
- Krepitasi (-)
Palpasi :
Sonor seluruh lapangan paru.
Auskultasi :
Vesikular (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Paru Posterior :
Inspeksi :
- Gerakan dada kiri dan kanan simetris, statis dan dinamis.
- Retraksi supraclavikula dan intercostal (-)
- Spider Nevi (-)
Palpasi :
- Simetris, Stem Fremitus kanan sama dengan Stem Fremitus kiri.
- Nyeri tekan (-)
- Krepitasi (-)
Palpasi :
33
Sonor seluruh lapangan paru.
Auskultasi :
Vesikular (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor :
Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V Linea Midclavicula
Sinistra
Perkusi : Batas atas jantung ICS III Linea Midclavicula Sinistra
Batas kiri Jantung ICS V Linea Midclavicula Sinistra
Batas kanan jantung ICS V Linea Parasternal Dextra
Auskultasi : BJ I > BJ II, reguler, gallop (-), bising sistolik (-)
Abdomen :
Inspeksi :
Asites, Asimetris, distensi (-), kaput medusa (-), sikatrik (-), ikterik (-)
Palpasi :
Hepar/Lien/Renal tidak teraba, ballotemen (-), Nyeri tekan (-), Undulasi (-)
Perkusi :
Timpani (+), shifting dullnes (-), nyeri ketok costo vertebre (-)
Auskultasi :
Bising usus (+) 3-4 kali kesan normal, bising pembuluh darah (-)
Extremitas :
Edema - - Pucat - - Ikterik - -
- - - - - -
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Rutin Lab RSUDZA 19 September 2015
34
Hb : 8,0 g/dl
Leukosit : 7,5 103/mm3
Ht : 24 %
Trombosit : 541 103/mm3
Eritrosit : 2,9 106/mm3
Diftell :3/1/0/66/17/13
Ureum : 14 mg/dl
Creatinin : 0,67 mg/dl
Natrium : 130 mmol/L
Kalium : 3,8 mmol/L
Chloride : 101 mmol/L
Albumin : 2,16 g/dl
VI. PERMASALAHAN
1. Ulkus diabetikum a/r pedis et cruris sinistra
2. DM Tipe 2
3. Hipoalbuminemia
4. Trombosis Reaktif
35
VII. PENGKAJIAN MASALAH
No Masalah Pengkajian Planning
1 Ulkus diabetikum Anamnesis: Diagnostik
a/r pedis et cruris Pasien datang dengan keluhan luka - Kultur pus
sinistra. pada kaki kiri yang dirasakan sejak 1
bulan yang lalu. Pada awalnya, kaki Terapi
terasa kebas, kemudian mulai muncul - Rawat luka
luka. Luka pada awalnya berupa -Cefuroxime 750 mg/ 8 jam
kembung dan kering, kemudian pecah -Rujuk untuk tindakan
dan berair. debridement.
36
2 DM Tipe 2 Anamnesis Diagnostic
Pasien juga mengaku menderita DM - Tes TTGO
sejak 10 tahun yang lalu. Pasien - KGD pagi untuk
sudah mendapat obat untuk DM. monitoring
Dipikirkan kemungkinan
hipoalbuminemia karena gangguan
asupan nutrisi.
37
Terapi:
Pemeriksaan Fisik: - Penggunaan alas kaki
Sensoris ekstremitas bawah menurun.
Edukasi:
Dipikirkan kemungkinan suatu - Perawatan kaki.
angiopati perifer yang menyebabkan
thrombosis.
38
BAB IV
KESIMPULAN
39
DAFTAR PUSTAKA
40