Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes mellitus adalah penyakit metabolisme yang terdiri dari kumpulan


gejala-gejala yang timbul karena peningkatan kadar glukosa darah. Penyakit ini
disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara
absolute maupun relatif. Gejala diabetes dapat berupa rasa haus berlebihan
(polidipsi), sering berkemih (poliuri), sering merasa lapar (polifagi), keluhan
lemah, kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan kabur, impotensi,
luka sulit sembuh, keputihan, penyakit kulit akibat jamur, dan pada wanita dapat
melahirkan bayi dengan makrosomia.(1)
Prevalensi diabetes di Indonesia berdasarkan survei pada tahun 2013 adalah
sebesar 1,5% dari populasi. Dari angka tersebut, 2,6% merupakan penduduk DI
Yogyakarta, 2,5% DKI Jakarta, 2,4% Sulawesi Utara, dan 2,3% pada Kalimantan
Utara. Sedangkan di Provinsi Aceh diperkirakan sekitar 8,7% penderita DM dari
total penduduk Aceh. (1)
Kejadian diabetes mellitus meningkat sesuai dengan bertambahnya usia,
dan mulai menurun pada usia 65 tahun ke atas. Prevalensi DM juga cenderung lebih
tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi dan dengan kelas ekonomi
menengah ke atas. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh perbedaan gaya hidup dan
perbedaan pola makan.(1)
Ulkus diabetikum merupakan salah satu dari komplikasi kronik DM. Perlu
pengontrolan gula darah pada penderita DM juga berfungsi untuk mencegah
terjadinya ulkus diabetikum. Ulkus diabetikum perlu dicegah, hal ini karena pasien
DM dengan ulkus akan menyebabkan perburukan prognosis.(2)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus Tipe 2

2.1.1 Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus


merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan
sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi
secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan
kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi
insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.(2)

2.1.2 Patofisiologi

Diabetes melitus tipe 2 merupakan suatu kelainan yang heterogenik dengan


karakter utama hiperglikemik kronik. Meskipun patogenesisnya belum jelas, faktor
genetik dikatakan memiliki peranan yang penting dalam munculnya diabetes
melitus tipe 2 ini. Faktor genetik ini akan berinteraksi dengan faktor-faktor
lingkungan seperti gaya hidup, diet, rendahnya aktifitas fisik, obesitas, dan
tingginya kadar asam lemak bebas.(2)

Patofisiologi diabetes melitus tipe 2 terdiri atas tiga mekanisme, yaitu;


1. Resistensi terhadap insulin
Resistensi terhadap insulin terjadi disebabkan oleh penurunan kemampuan
hormon insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan-jaringan target perifer
(terutama pada otot dan hati), ini sangat menyolok pada diabetes melitus tipe 2.
Resistensi terhadap insulin ini merupakan hal yang relatif. Untuk mencapai kadar
glukosa darah yang normal dibutuhkan kadar insulin plasma yang lebih tinggi. Pada
orang dengan diabetes melitus tipe 2, terjadi penurunan pada penggunaan

2
maksimum insulin, yaitu lebih rendah 30 - 60 % daripada orang normal. Resistensi
terhadap kerja insulin menyebabkan terjadinya gangguan penggunaan insulin oleh
jaringan-jaringan yang sensitif dan meningkatkan pengeluaran glukosa hati. Kedua
efek ini memberikan kontribusi terjadinya hiperglikemi pada diabetes. Peningkatan
pengeluaran glukosa hati digambarkan dengan peningkatan FPG (Fasting Plasma
Glukose) atau kadar gula puasa (BSN). Pada otot terjadi gangguan pada
penggunaan glukosa secara non oksidatif (pembentukan glikogen) daripada
metabolisme glukosa secara oksidatif melalui glikolisis. Penggunaan glukosa pada
jaringan yang independen terhadap insulin tidak menurun pada diabetes melitus tipe
2.(3)

Mekanisme molekular terjadinya resistensi insulin telah diketahui. Level


kadar reseptor insulin dan aktifitas tirosin kinase pada jaringan otot menurun, hal
ini merupakan defek sekunder pada hiperinsulinemia bukan defek primer. Oleh
karena itu, defek pada post reseptor diduga mempunyai peranan yang dominan
terhadap terjadinya resistensi insulin. Polimorfik dari IRS-1 (Insulin Receptor
Substrat) mungkin berhubungan dengan intoleransi glukosa. Polimorfik dari
bermacam-macam molekul post reseptor diduga berkombinasi dalam menyebabkan
keadaan resistensi insulin.(3)

Saat ini, patogenesis terjadinya resistensi insulin terfokus pada defek PI-3
kinase (Phosphatidyl Inocytol) yang menyebabkan terjadinya reduktasi translokasi
dari GLUT-4 (Glukose Transporter) ke membran plasma untuk mengangkut
insulin. Hal ini menyebabkan insulin tidak dapat diangkut masuk ke dalam sel dan
tidak dapat digunakan untuk metabolisme sel, sehingga kadar insulin di dalam
darah terus meningkat dan akhirnya menyebabkan terjadinya hiperglikemi.(3)
Ada teori lain mengenai terjadinya resistesi insulin pada penderita diabetes
melitus tipe 2. Teori ini mengatakan bahwa obesitas dapat mengakibatkan
terjadinya resistensi insulin melalui beberapa cara, yaitu; peningkatan asam lemak
bebas yang mengganggu penggunaan glukosa pada jaringan otot, merangsang
produksi dan gangguan fungsi sel β pancreas.(3)

3
2. Defek sekresi insulin
Defek sekresi insulin berperan penting bagi munculnya diabetes melitus tipe
2. Pada hewan percobaan, jika sel-sel beta pankreas normal, resistensi insulin tidak
akan menimbulkan hiperglikemik karena sel ini mempunyai kemampuan
meningkatkan sekresi insulin sampai 10 kali lipat. Hiperglikemi akan terjadi sesuai
dengan derajat kerusakan sel beta yang menyebabkan turunnya sekresi insulin.
Pelepasan insulin dari sel beta pankreas sangat tergantung pada transpor glukosa
melewati membran sel dan interaksinya dengan sensor glukosa yang akan
menghambat peningkatan glukokinase. Induksi glukokinase akan menjadi langkah
pertama serangkaian proses metabolik untuk melepaskan granul-granul berisi
insulin. Kemampuan transpor glukosa pada diabetes melitus tipe 2 sangat menurun,
sehingga kontrol sekresi insulin bergeser dari glukokinase ke sistem transpor
glukosa. Defek ini dapat diperbaiki oleh sulfonilurea.(3)
Kelainan yang khas pada diabetes melitus tipe 2 adalah ketidakmampuan
sel beta meningkatkan sekresi insulin dalam waktu 10 menit setelah pemberian
glukosa oral dan lambatnya pelepasan insulin fase akut. Hal ini akan dikompensasi
pada fase lambat, dimana sekresi insulin pada diabetes melitus tipe 2 terlihat lebih
tinggi dibandingkan dengan orang normal. Meskipun telah terjadi kompensasi,
tetapi kadar insulin tetap tidak mampu mengatasi hiperglikemi yang ada atau terjadi
defisiensi relatif yang menyebabkan keadaan hiperglikemi sepanjang hari.
Hilangnya fase akut juga berimplikasi pada terganggunya supresi glukosa endogen
setelah makan dan meningkatnya glukoneogenesis melalui stimulasi glukagon.
Selain itu, defek yang juga terjadi pada diabetes melitus tipe 2 adalah gangguan
sekresi insulin basal. Normalnya sejumlah insulin basal disekresikan secara
kontinyu dengan kecepatan 0,5 U/jam, pola berdenyut dengan periodisitas 12-15
menit (pulsasi) dan 120 menit (osilasi). Insulin basal ini dibutuhkan untuk
meregulasi kadar glukosa darah puasa dan menekan produksi hati. Puncak-puncak
sekresi yang berpola ini tidak ditemukan pada penderita DM tipe 2 yang
menunjukan hilangnya sifat sekresi insulin yang berdenyut.(3)

4
3. Produksi glukosa hati
Hati merupakan salah satu jaringan yang sensitif terhadap insulin. Pada keadaan
normal, insulin dan gukosa akan menghambat pemecahan glikogen dan
menurunkan glukosa produk hati. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 terjadi
peningkatan glukosa produk hati yang tampak pada tingginya kadar glukosa darah
puasa (BSN). Mekanisme gangguan produksi glukosa hati belum
sepenuhnya jelas.(3)
Pada penelitian yang dilakukan pada orang sehat, terjadi peningkatan kadar
insulin portal sebesar 5 μU/ml di atas nilai dasar akan menyebabkan lebih dari 50%
penekanan produksi glukosa hati. Untuk mencapai hasil yang demikian, penderita
diabetes melitus tipe 2 ini membutuhkan kadar insulin portal yang lebih tinggi. Hal
tersebut menunjukkan terjadinya resistensi insulin pada hati. Peningkatan produksi
glukosa hati juga berkaitan dengan meningkatnya glukoneogenesis (lihat gambar)
akibat peningkatan asam lemak bebas dan hormon anti insulin seperti glukagon.(3)

Patogenesis DM:
Insulin, suatu peptida yang disekresi oleh sel beta pankreas dalam
menanggapi postprandial, kenaikan tingkat glukosa serum, berfungsi untuk
meningkatkan penyerapan glukosa oleh jaringan perifer dan glukoneogenesis
hati. Ada kenaikan dan penurunan di tingkat insulin dan glukagon yang terjadi
untuk mempertahankan homeostasis glukosa. Glukosa toleransi, kemampuan untuk
mempertahankan euglycemia, tergantung pada tiga hal yang terjadi secara yang
ketat terkoordinasi, yaitu:(3)
1. Stimulasi sekresi insulin
2. Pelepasan yang dimediasi insulin endogen (terutama hati) produksi glukosa,
3. Insulin-mediated stimulasi glukosa oleh jaringan perifer.
Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit yang disebabkan oleh resistensi
insulin dan defek sekresi insulin. Ada penurunan serapan postprandial glukosa oleh
otot dengan insulin endogen dikeluarkan. Pada pasien dengan hiperglikemia puasa,
tingkat insulin telah ditemukan dua kali lipat ke empat kali lipat lebih tinggi
daripada di nondiabetiks. Pada jaringan otot, adanya defek dalam fungsi reseptor,

5
jalur reseptor insulin-sinyal transduksi, transportasi dan fosforilasi glukosa, sintesis
glikogen, dan oksidasi glukosa yang berkontribusi pada resistensi insulin. Tingkat
basal dari glukoneogenesis hepatik juga berlebihan, meskipun kadar insulin tinggi.
Kedua defek berkontribusi untuk peningkatan berlebihan kadar glukosa
postprandial serum.(3)

2.1.3 Diagnosis DM tipe 2

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.


Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh
(whole blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan
oleh WHO. Sedangkan untuktujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan
dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler.(3)

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan


adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di
bawah ini.(3)

 Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan


berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

6
 Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan
klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh
pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis
DM. Ketiga dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa
lebih sensitif dan spesifi dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma
puasa, namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan
berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka
dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil yang
diperoleh.(3)

 TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan


glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7.8-11.0
mmol/L).
 GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5.6 – 6.9 mmol/L).

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):


7
1. 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari
(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani
seperti biasa
2. berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
3. diperiksa kadar glukosa darah puasa
4. diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-
anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit
5. berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2
jam setelah minum larutan glukosa selesai
6. diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
7. selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok

2.1.4 SKRINING
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko DM
namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan
untuk menemukan pasien dengan DM, TGT maupun GDPT, sehingga dapat
ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut
sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua
keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit
kardiovaskular di kemudian hari.(3)

8
Skrining dikerjakan pada kelompok yang memiliki salah satu faktor risiko
DM. Pemeriksaan skrining dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa
darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Apabila pada pemeriksaan skrining
ditemukan hasil positif, maka perlu dilakukan konfimasi dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa atau dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO)
standarPemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening)
tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal, serta pada umumnya tidak diikuti
dengan rencana tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan adanya kelainan.
Pemeriksaan penyaring juga dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk
penyakit lain atau general check-up.(3)

2.1.5 Penatalaksanaan DM

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani


selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang
menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara

9
mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa
darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.(3)

2.1.5.1 Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk. Pemberdayaan penderita diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat.Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku.Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.(3)

2.1.5.2 Terapi Gizi Medis


 Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain
dan pasien itu sendiri).
 Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
 Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
penderita diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.(3)

2.1.6 Kebutuhan kalori

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan


penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan
kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau dikurangi
bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan,
dll. Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifiasi
adalah:(3)

10
 Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
 Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus dimodifiasi menjadi :
o Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
o BB Normal : BB ideal ± 10 %
o Kurus : < BBI - 10 %
o Gemuk : > BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh:


Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/ TB(m2)

Klasifiasi IMT:
 BB Kurang <18,5
 BB Normal 18,5-22,9
 BB Lebih >23,0
 Dengan risiko 23,0-24,9
 Obes I 25,0-29,9
 Obes II >30

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :(3)

 Jenis Kelamin
 Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori
wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.
 Umur
 Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk
dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk usia 60 s/d 69 tahun
dan dikurangi 20%, di atas 70 tahun.
 Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
 kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik
 penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan
istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas
sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.

11
 Berat Badan
 Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% ber-gantung kepada tingkat
kegemukan
 Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan BB.
 Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling
sedikit 1000 - 1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200 - 1600 kkal
perhari untuk pria.

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi


dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-
3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan
pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk
penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan
disesuaikan dengan penyakit penyertanya.(2)

2.1.7 Kegiatan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu penatalaksanaan
DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan
tangga, berkebun harus tetap dilakukan Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas
insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat,
intensitas latihan jasmani bias ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat
komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak
atau bermalas-malasan.(4)

2.1.8 Farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum


tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.(4)
12
2.1.8.1 Obat hipoglikemik oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:


a. pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
b. penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
c. penghambat glukoneogenesis (metformin)
d. penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.

2.1.8.2 Pemicu Sekresi Insulin


1. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat
badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada
berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi
serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang.(3)

2. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati.(3)

2.1.8.3 Penambah sensitivitas terhadap insulin

13
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan padaPeroxisome
Proliferator Activated ReceptorGamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel otot dan
sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan
gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga
pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu
dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.(3)

2.1.8.4 Penghambat glukoneogenesis

Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati


(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >
1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saat atau sesudah makan.(3)

2.1.8.5 Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan fltulens. Mekanisme kerja OHO, efek samping
utama, serta pengaruh obat terhadap penurunan A1C dapat dilihat pada tabel.(3)

14
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:

1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal
a. Sulfonilurea generasi I & II : 15 –30 menit sebelum makan
b. Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan
c. Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan
d. Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
e. Penghambat glukosidase α (Acarbose) : bersama makan suapan pertama
f. Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.

2. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:(3)
a. Penurunan berat badan yang cepat
b. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
c. Ketoasidosis diabetik
d. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
e. Hiperglikemia dengan asidosis laktat

15
Efek samping terapi insulin(3)

1. Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.


2. Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap
insulin

Pencegahan diabetes melitus tipe 2:

A. Pencegahan primer(5)
Sasaran pencegahan primer :
Ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor risiko, yaitu belum terkena
namun berpotensi untuk mendapatkan DM dan kelompok intoleransi
glukosa
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :
 Ras dan rtnik
 Riwayat keluarga dengan diabetik
 Riwayat melahirkan bayi dengan bb >4000g
 Umur >45tahun
 Riwayat berat lahir kurang dari 2.5 kg

Faktor yang bisa dimodifikasi

 Berat badan lebih , IMT >23kg/m2

16
 Kurang aktivitas fisik
 Hipertensi >140/90 mmHg
 Dislipidemia HDL <35 mg/dl
 Diet tak sehat

Faktor lain terkait dengan risiko diabetes :

 Penderita policistic ovary syndrom (pcos)


 Penderita sindrom metabolik

Materi pencegahan primer :

 Program penurunan berat badan sebanyak 5-10% agar mencegah


atau memperlambat munculnya DM tipe 2
 Diet sehat :
 Dianjurkan pada setiap orang yang berisiko
 Atur jumlah asupan kalori
 Mengandung sedikit lemak jenuh dan tinggi serat telarut
 Latihan Jasmani
 Dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu dengan
latihan aerobic
 Berhenti merokok

b. pencegahan sekunder(5)

pencegahan sekunder merupakan upaya mencegah atau menghambat


timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM. upaya tersebut adalah
mengedukasikan pasien tentang DM, antara lain :

 Mengenal dan mencegah penyulit akut DM


 Pengenalan mengenai penyulit menahun DM
 Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain
 Rencanakan kegiatan khusus seperti olahraga teratur
 Pemeliharaan/perawatan kaki seperti :
o Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki
o Periksa alas kaki dari benda asing
o Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah dan
mengoleskan krim pelembab
o Keringkan sela sela kaki teratur
17
o Gunakan kaos kaki dari bahan katun
o Sepatu tidak boleh sempit

c. pencegahan tersier(5)

pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang


telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah kecacatan. Rehabilitasi dilakukan
sedini mungkin seperti pemberian aspirin dosis rendah (80-325 mg/hari) bagi
penyandang diabetes dengan penyulit mikroangiopati.

Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan pada pasien dan keluarga.
Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi untuk mencapai kualitas hidup yang
optimal.

2.1.9 Komplikasi
Komplikasi akut :(3)
 Ketoasidosis diabetik
Ditandai dengan peningkatan glukosa darah 300-600 mg/dl disertai dengan
tanda gejala asidosi dan plasma keton kuat.
 Hiperglikemi osmolar
Peningkatan gula darah 600-1200 mg/dl, tanpa tanda gejaa asidosis.
 Hipoglikemia
Kadar glukosa <60 mg/dl. Pengunaan insuun, paling sering pada
penggunaan sulfonylurea.

Komplikasi menahun:(3)

 Makroangiopaty
o Pembuluh darah jantung
o Pembuluh darah tepi : ulkus iskemik pedis
 Mikroangiopaty
o Retinopaty diabetik
o Nefropaty diabetik
o Neuropati

18
o Semua penyandang pasien yang harus diberikan edukasi perawatan
kaki untuk mengurangi risiko

2.1.10 Prognosis DM
Penyesuaian dari waktu ke waktu . Resistensi insulin meningkat dengan usia.
Prognosis pada orang dengan diabetes tipe 2 bervariasi . Hal ini tergantung pada
seberapa baik seseorang memodifikasi risiko nya komplikasi . Serangan jantung,
stroke dan penyakit ginjal dapat menyebabkan kematian dini . Cacat akibat
kebutaan , amputasi , penyakit jantung , stroke dan kerusakan saraf dapat terjadi .
Beberapa orang dengan diabetes tipe 2 menjadi tergantung pada perawatan karena
gagal ginjal penyesuaian dari waktu ke waktu . Resistensi insulin meningkat dengan
usia.(3)

2.2 Ulkus Diabetikum

2.2.1 Definisi

Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik diabetes melitus
berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian
jaringan setempat. Hiperglikemia pada diabetes melitus yang tidak dikelola dengan
baik akan menimbulkan berbagai komplikasi kronis yaitu neuropati perifer dan
angiopati. Dengan adanya angiopati perifer dan neuropati, trauma ringan dapat
menimbulkan ulkus pada penderita diabetes melitus yang lebih lanjut sering tidak
dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob
maupun anaerob.(4, 6)
Ulkus diabetes melitus mudah terinfeksi karena respons kekebalan tubuh
pada penderita diabetes melitus biasanya menurun. Ketidaktahuan pasien dan
keluarga membuat ulkus bertambah parah dan menjadi gangren yang terinfeksi.(4,
6)
2.2.2 Klasifikasi Ulkus Diabetik
Berdasarkan International Working Group on Diabetic Foot klasifikasi
ulkus diabetik di klasifikasikan menjadi klasifikasi PEDIS. Dimana dengan adanya
klasifikasi PEDIS akan dapat ditentukan kelainan apa yang lebih dominan,

19
vaskular, infeksi atau neuropatik, sehingga arah pengelolaan pun dapat tertuju lebih
baik.

2.2.2 Patofisiologi
Neuropati Perifer
Neuropati perifer pada diabetes adalah multifaktorial dan diperkirakan
merupakan akibat penyakit vaskuler yang menutupi vasa nervorum, disfungsi
endotel, defisiensi mioinositol-perubahan sintesis mielin dan menurunnya aktivitas
Na-K ATPase, hiperosmolaritas kronis, menyebabkan edema pada saraf tubuh serta
pengaruh peningkatan sorbitol dan fruktose.(7)
Neuropati disebabkan karena peningkatan gula darah yang lama sehingga
menyebabkan kelainan vaskuler dan metabolik. Peningkatan kadar sorbitol

20
intraseluler, menyebabkan saraf membengkak dan terganggu fungsinya. Penurunan
kadar insulin sejalan dengan perubahan kadar peptida neurotropik, perubahan
metabolisme lemak, stress oksidatif, perubahan kadar bahan vasoaktif seperti nitrit
oxide mempengaruhi fungsi dan perbaikan saraf. Kadar glukosa yang tidak
teregulasi meningkatkan kadar advanced glycosylated end product (AGE) yang
terlihat pada molekul kolagen yang mengeraskan ruangan-ruangan yang sempit
pada ekstremitas superior dan inferior (carpal, cubital, dan tarsal tunnel).
Kombinasi antara pembengkakan saraf yang disebabkan berbagai mekanisme dan
penyempitan kompartemen karena glikosilasi kolagen menyebabkan double crush
syndrome dimana dapat menimbulkan kelainan fungsi saraf motorik, sensorik dan
autonomik.(7)
Perubahan neuropati yang telah diamati pada kaki diabetik merupakan
akibat langsung dari kelainan pada sistem persarafan motorik, sensorik dan
autonomik. Hilangnya fungsi sudomotor pada neuropati otonomik menyebabkan
anhidrosis dan hiperkeratosis. Kulit yang terbuka akan mengakibatkan masuknya
bakteri dan menimbulkan infeksi. Berkurangnya sensibilitas kulit pada penonjolan
tulang dan sela-sela jari sering menghambat deteksi dari luka-luka kecil pada kaki.
Neuropati autonomik mengakibatkan 2 hal yaitu anhidrosis dan pembukaan
arteriovenous (AV) shunt. Neuropati motorik paling sering mempengaruhi otot
intrinsik kaki sebagai akibat dari tekanan saraf plantaris medialis dan lateralis pada
masing-masing lubangnya (tunnel).(7)

Penyakit Arterial
Penderita diabetes, seperti orang tanpa diabetes, kemungkinan akan
menderitapenyakit atherosklerosis pada arteri besar dan sedang, misalnya pada
aortailiaca, dan femoropoplitea. Alasan dugaan bentuk penyakit arteri ini pada
penderita diabetes adalah hasil beberapa macam kelainan metabolik, meliputi kadar
Low Density Lipoprotein (LDL), Very Low Density Lipoprotein (VLDL),
peningkatan kadar faktor von Willbrand plasma, inhibisi sintesis prostasiklin,
peningkatan kadar fibrinogen plasma, dan peningkatan adhesifitas platelet. Secara
keseluruhan, penderita diabetes mempunyai kemungkinan besar menderita

21
atherosklerosis, terjadi penebalan membran basalis kapiler, hialinosis arteriolar,
dan proliferasi endotel.(7)
Peningkatan viskositas darah yang terjadi pada pasien diabetes timbul
berawal pada kekakuan mernbran sel darah merah sejalan dengan peningkatan
aggregasi eritrosit, Karena sel darah merah bentuknya harus lentur ketika melewati
kapiler, kekakuan pada membran sel darah merah dapat menyebabkan hambatan
aliran dan kerusakan pada endotelial. Glikosilasi non enzimatik protein spectrin
membran sel darah merah bertanggungjawab pada kekakuan dan peningkatan
aggregasi yang telah terjadi. Akibat yang terjadi dari dua hal tersebut adalah
peningkatan viskositas darah. Mekanisme glikosilasi hampir sama seperti yang
terlihat dengan hemoglobin dan berbanding lurus dengan kadar glukosa darah.(7)
Penurunan aliran darah sebagai akibat perubahan viskositas memacu
meningkatkan kompensasinya dalam tekanan perfusi sehingga akan meningkatkan
transudasi melalui kapiler dan selanjutnya akan meningkatkan viskositas darah.
Iskemia perifer yang terjadi lebih lanjut disebabkan peningkatan afinitas
hemoglobin terglikolasi terhadap molekul oksigen. Efek merugikan oleh
hiperglikemia terhadap aliran darah dan perfusi jaringan sangatlah signifikan.(2)

22
Deformitas kaki
Perubahan destruktif yang terjadi pada kaki Charcot menyebabkan
kerusakan arkus longitudinal medius, dimana akan menimbulkan gait biomekanik.
Perubahan pada calcaneal pitch menyebabkan regangan ligamen pada metatarsal,
cuneiform, navicular dan tulang kecil lainnya dimana akan menambah panjang
lengkung pada kaki. Perubahan degenerate ini nantinya akan merubah cara berjalan
(gait), mengakibatkan kelainan tekanan tumpuan beban, dimana menyebabkan
kolaps pada kaki. Ulserasi, infeksi, gangren dan kehilangan tungkai merupakan
hasil yang sering didapatkan jika proses tersebut tidak dihentikan pada stadium
awal.(2)

Tekanan
Diabetes dapat memberikan dampak buruk pada beberapa sistem organ
termasuk sendi dan tendon. Hal biasanya tejadi pada tendon achiles dimana
advanced glycosylated end prodruct (AGEs) berhubungan dengan molekul kolagen
pada tendon sehingga menyebabkan hilangnya elastisitas dan bahkan pemendekan
tendon. Akibat ketidakmampuan gerakan dorsofleksi telapak kaki, dengan kata lain
arkus dan kaput metatarsal mendapatkan tekanan tinggi dan lama karena adanya
gangguan berjalan (gait). Hilangnya sensasi pada kaki akan menyebabkan tekanan
yang berulang, injuri dan fraktur, kelainan struktur kaki, misalnya hammertoes,
callus, kelainan metatarsal, atau kaki Charcot; tekanan yang terus menerus dan pada
akhirnya terjadi kerusakan jaringan lunak.(2)
Tidak terasanya panas dan dingin, tekanan sepatu yang salah, kerusakan
akibat benda tumpul atau tajam dapat menyebabkan pengelepuhan dan ulserasi.
Faktor ini ditambah aliran darah yang buruk meningkatkan resiko kehilangan
anggota gerak pada penderita diabetes.(2)

2.3 Pengelolaan Kaki Diabetes


Pengelolaan kaki diabetes dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu
pencegahan terjadinya kaki diabetes dan terjadinya ulkus (Pencegahan primer
sebelum terjadinya perlukaan pada kulit) perncegahan agar tidak terjadinya
kecacatan yang lebih parah (Pencegahan sekunder dan pengelolaan ulkus/gangren
diabetik yang sudah terjadi).(5)
23
2.3.1 Pencegahan Primer

Pencegahan terjadinya kaki diabetes

Penyuluhan menganai terjadinya kaki diabetes sangat penting untuk


pencegahan kaki diabetes. Penyuluhan harus dilakukan pada setiap penyandang
kesempatan pertemuan dengan penyandang DM. Anjuran berlaku untuk semua
pihak terkait pengelolaan DM baik para Ners, Ahli Gizi, Ahli perawatan kaki,
maupun dokter sebagai dirigen pengelolaan.(5)
Keadaan kaki penyandang diabetes digolongkan berdasarkan resiko
terjadinya dan resiko besarnya masalah yang mungkin timbul. Pengelolaan kaki
diabetes berdasarkan resiko terjadinya masalah:(5)
1. Sensasi normal tanpa deformitas
2. Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi
3. Insensitifitas tanpa deformitas
4. Iskemia tanpa deformitas
5. Kombinasi/complicated:
a. kombinasi insensivitas, iskemia dan/atau deformitas
b. riwayat adanya tukak, deformitas charcot
pengelolaan kaki diabetes ditujukan untuk pencegahan terjadinya
tukak/ulkus. Usaha untuk pencegahan terjadinya ulkus dapat dilakukan dengan
dengan pemberian alas kaki yang baik, berbagai hal terkait terjadinya ulkus karena
faktor mekanik akan dapat dicegah.(5)
Penyuluhan diperlukan untuk semua kategoriresiko tersebut: untuk kaki
yang kurang merasa/insensitif (kategori 3 dan 5), alas kaki perlu diperhatikan benar
untuk melindungi kaki yang sensitif tersebut. Kalau sudah ada deformitas (kategori
resiko 2 dan 5), perlu perhatian khusus mengenai sepatu /alas kaki yang dipakai,
untuk meratakan penyebaran tekanan pada kaki.(5)
Untuk kasus dengan kategori resiko 4 (permasalahan vaskular), latihan kaki
perlu diperhatikan dengan benar untuk memperbaiki vaskular kaki. Ulkus yang
complicated, tentu saja semua usaha dan dana seyogyanya perlu dikerahkan untuk
mencoba menyelamatkan kaki dan usaha ini masuk ke pencegahan sekunder.(5)

2.3.2 Pencegahan Sekunder

24
Pengelolaan holistik ulkus/gangren diabetik

Dalam pengelolaan kaki diabetes, kerjasama multi-disipliner sangat diperlukan.


Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar diperoleh hasil pengelolaan
yang maksima dapat digolongkan sebagai berikut :(7)
1. Mechanical control – pressure control
2. Wound control
3. Microbiological control – infection control
4. Vaskular control
5. Metabolik control
6. Educational control
Untuk pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang optimal, berbagai di bawah ini
merupakan penjabaran lebih rinci dari keenam aspek tersebut pada tingkat
pencegahan sekunder dan tersier, yaitu pngelolaan optimal ulkus/gangren
diabetic.(7)

Pressure control

Jika tetap dipakai untuk berjalan (berarti kaki dipakai untuk menahan berat
badan – weight bearing). Luka yang selalu mendapat tekanan tidak akan sempat
menyembuh, apalagi kalau luka tersebut terletak di bagian plantar seperti luka pada
kaki charcot. Peran jejaran rehabilirasi medis pada usaha pessure control ini sangat
mencolok.(7)
Berbagai cara untuk mencapai keadaan non weight bearing dapat dilakukan
antara lain dengan:(7)
1. Romovable cast walker
2. Total contact casting
3. Temporary shoes
4. Felt padding
5. Crutches
6. Wheelchair
7. Electric carts

25
8. Craddle insoles

Adapaun cara pembedahan juga dapai digunakan untuk mencegah terjadinya


tekanan pada luka yaitu:(7)
1. Dekompresi ulkus/abses dengan insisi abses
2. Prosedur koreksi bedah seperti operasi hammer toe, metatarsal head
resection, achilles tendon lengthening, partial calcanectomy.

Wound control

Saat ini terdapat banyak sekali macam dressing (pembalut) yang masing-
masing tentu dapaat dimanfaatkan sesuai dengan keadaan luka dan juga letak luka
tersebut. Dressing yang mengandung komponen zat penyerap seperti carbonate
dressing, alginate dressing akan bermamfaat pada keadaan luka yang masih
produktif. Demikian pula hydrophilic fiber dressing atau silver impregnate dressing
dan akan bermanfaat untuk luka yang produktif dan terinfeksi. Debridement yang
baik dan adekuat tentu akan sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik yang
harus dikeluarkan tubuh, dengan demikian tentu akan sangat mengurangi produksi
pus/cairan dri ulkus/gangren.(7)
Berbagai topikal dapat dimamfaatkan untuk mengurangi mikroba pada luka,
seperti cairan saline sebagai pembersih luka, atau yodine encer, senyawa silver

26
sebagai bagian dari dressing, dll. Jikalau luka sudah membaik dan tidak terinfeksi
lagi dressing seperti hidrocolloid dressing yang dapat dipertahankan beberapa hari
dapat digunakan. Selama proses inflamasi masih ada , proses penyembuhan luka
tidak akan beranjak pada proses selanjutnya yaitu proses granulasi dan kemudian
epitelisasi.(7)
Untuk menjaga suasana kondusif bagi kesmbuhan luka dapat pula dipakai
kasa yang dibasahi dengan Sali. Cara tersebut saat ini dipakai banyak sekali tempat
perawatan kaki diabetes.(7)

Microbiological control
Umumnya pada ulkus/gangren diabetik didapatkan infeksi bakteri yang
mulitiple, aerob dan anaerob. Umumnya didapatkan pola kuman yang
polimikrobial, campuran gram negatif dan gram positif serta kuman anaerob untuk
untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu untuk lini pertama pemberian anti
biotik harus diberikan antibiotik spektrum luas , mencakup kuman gram negatif dan
gram positif (seperti golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang
bermamfaat untuk kuman anaerob ( seperti metronidazol).(7)

Vascular Control

Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat kesembuhan luka.


Berbagai langkah diagnostik dan terapi dapat dilakukan sesuai keadaan pasien juga
sesuai kondisi pasien. Umumnya kelainan pembuluh darah perifer dapat dapat
dikenali melalui berbagai cara sederhana seperti: warna dan suhu kulit, perabaan
arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior serta ditambah pengukuran tekanan
darah. Disamping itu saat ini juga tersedia berbagai fasilitas mutakhir untuk
mengevaluasi keadaan pembuluh darah dengan cara invasif, non invasif dan semi
invasif, seperti pemeriksaan ankle brachial index, ankle pressure, tor pressure dan
pemeriksaan echodoppler dan kemudian pemeriksaan arteriografi. Setelah
dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya, dapat dilakukan pengelolaan untuk
kelainan pembuluh darah perifer dari sudut vakular, yaitu berupa:(7)
Modifikasi Faktor Risiko
• Stop merokok
27
• Memperbaiki berbagai faktor risiko terkait aterosklerosis
• Hiperglikemia
• Hipertensi
• Dislipidemia
 Walking Program - Latihan kaki merupakan domain usaha yang dapat diisi oleh
jajaran rehabilitasi medik.

Terapi Farmakologis

Kalau mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan pada


kelainan akibat aterosklerosis di tempat lain (jantung, otak), mungkin obat seperti
aspirin dan lain sebagainya yang jelas dikatakan bermanfaat, akan bermanfaat pula
untuk pembuluh darah kaki penyandang DM. Tetapi sampai saat ini belum ada
bukti yang cukup kuat untuk menganjurkan pemakaian obat secara rutin guna
memperbaiki patensi pada penyakit pembuluh darah kaki penyandang DM.(5)

Revaskularisasi

Jika kemungkinan kesembuhan Iuka rendah atau jikalau ada klaudikasio


intermiten yang hebat, tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan. Sebelum tindakan
revaskularisasi diperlukan pemeriksaan arteriografi untuk mendapatkan gambaran
pembuluh darah yang lebih jelas, sehingga dokter ahli bedah vaskular dapat lebih
mudah melakukan rencana tindakan dan mengerjakannya. Untuk oklusi yang
panjang dianjurkan operasi bedah pintas terbuka. Untuk oklusi yang pendek dapat
dipikirkan untuk prosedur endovascular-PTCA. Pada keadaan sumbatan akut dapat
pula dilakukan tromboarterektomi.(5)
Dengan berbagai teknik bedah tersebut, vaskularisasi daerah distal dapat
diperbaiki, sehingga hasil pengelolaan ulkus diharapkan lebih baik. Paling tidak
faktor vaskular sudah lebih memadai, sehingga kesembuhan Iuka tinggal
bergantung pada berbagai faktor lain yang juga masih ban yak jumlahnya. Terapi
hiperbarik dilaporkan juga bermanfaat untuk memperbaiki vaskularisasi dan
oksigenisasi jaringan Iuka pada kaki diabetes sebagai terapi ajuvan. Walaupun
demikian masih banyak kendala untuk menerapkan terapi hiperbarik secara rutin
pada pengelolaan umum kaki diabetes.(5)

28
Metabolic Control

Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki. Kadar glukosa


darah diusahakan agar selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai
faktor terkait hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan Iuka.
Umumnya diperlukan insulin untuk menormalisasi kadar glukosa darah. Status
nutrisi harus diperhatikan dan diperbaiki. Nutrisi yang baik jelas membantu
kesembuhan Iuka. Berbagai hal lain harus juga diperhatikan dan diperbaiki, seperti
kadar albumin serum, kadar Hb dan derajat oksigenisasi jaringan. Demikian juga
fungsi ginjalnya. Semua faktor tersebut tentu akan dapat menghambat kesembuhan
Iuka sekiranya tidak diperhatikan dan tidak diperbaiki.(5)

Education Control

Edukasi sangat penting untuk sernua tahap pengelolaan kaki diabetes.


Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangren diabetik
maupun keluarganya diharapkan akan dapat membantu dan mendukung berbagai
tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan Iuka yang optimal. Rehabilitasi
merupakan program yang sangat penting yang harus dilaksanakan untuk
pengelolaan kaki diabetes. Bahkan sejak pencegahan terjadinya ulkus diabetik dan
kemudian segera setelah perawatan, keterlibatan ahli rehabilitasi medis sangat
diperiukan untuk mengurangi kecacatan yang mungkin timbul pada pasien.
Keterlibatan ahli rehabilitasi medis berlanjut sampai jauh sesudah amputasi, untuk
memberikan bantuan bagi para amputasi menghindari terjadinya ulkus baru.
Pemakaian alas kaki/sepatu khusus untuk mengurangi tekanan plantar akan sangat
membantu mencegah terjadinya ulkus baru. Ulkus yang terjadi berikut memberikan
prognosis yang jauh lebih buruk daripada ulkus yang pertama.(5)

2.4 Prognosis

Pada penderita diabetes, 1 diantara 20 penderita akan menderita ulkus pada


kaki dan 1 diantara 100 penderita akan membutuhkan amputasi setiap tahun. Oleh
29
karena itu, diabetes merupakan faktor penyebab utama amputasi non trauma
ekstremitas bawah di Amerika Serikat. Amputasi kontralateral akan dilakukan
pada 50 % penderita ini selama rentang 5 tahun ke depan.(5)

Neuropati perifer yang terjadi pada 60% penderita diabetes merupakan


resiko terbesar terjadinya ulkus pada kaki, diikuti dengan penyakit mikrovaskuler
dan regulasi glukosa darah yang buruk. Pada penderita diabetes dengan neuropati,
meskipun hasil penyembuhan ulkus tersebut baik, angka kekambuhannya 66% dan
angka amputasi meningkat menjadi 12%.(5)

30
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Umur : 46 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Aceh Besar
No. CM : 1-07-57-16
Tanggal Masuk : 28 Desember 2015
Tanggal Periksa : 4 Januari 2016

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Luka pada kaki kiri.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan luka pada kaki kiri yang dirasakan sejak 1
bulan yang lalu. Pada awalnya, kaki terasa kebas pada ujung kaki, dan lama
kelamaan kebas menjalar hingga seluruh kaki kiri. Rasa kebas kadang-kadang
seperti terkena cabe, kemudian mulai muncul luka. Luka pada awalnya berupa
kembung dan kering selama seminggu, kemudian pecah dan berair. Pasien tidak
mengeluhkan adanya demam selama perjalanan luka tersebut. Berdasarkan
pengakuan pasien luka tersebut baru kali ini timbul. Sebelumnya pasien sudah
pernah dilkukan perawatan luka di puskesma terdekat rumah pasien. Pasien juga
mengeluh penurunan nafsu makan yang dirasakan sebelum luka timbul. Keluhan
tersebut diikuti dengan penurunan berat badan perlahan. Pasien juga mengaku
menderita DM sejak 10 tahun yang lalu. Pasien sudah mendapat obat untuk DM,

31
tetapi tidak patuh menggunakannya secara teratur. Pasien memiliki riwayat gula
darah sewaktu mencapai 500 g/dl.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat DM dengan pengobatan Novorapid dan Levemir.

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan yang sama pada keluarga tidak ada. Riwayat DM pada
keluarga tidak ada.
Riwayat Pengobatan
Pasien sudah pernah dirawat di Rumah Sakit dengan keluhan luka pada kaki
kiri.

Riwayat Pekerjaan Sosial


Pasien bekerja sehari-hari sebagai buruh. Riwayat merokok ada. Riwayat
konsumsi minuman beralkohol tidak ada.

III. TANDA VITAL


Kesadaran : GCS = E4M6V5 = 15, Compos Mentis
TD : 130/80 mmHg
HR : 96 kali/menit
RR: : 24 kali/menit
T : 36,8 0C

IV. PEMERIKSAAN FISIK


Kulit : Berwarna sawo matang
Kepala : Normochepali, rambut hitam, tidak mudah dicabut.
Wajah : Simetris, parase nervus VII (-)
Mata : Konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Telinga dalam batas normal.
Hidung : Hidung dalam batas normal
Mulut : Mulut dalam batas normal.

32
Leher : Pembesaran KGB tidak ada. TVJ R+2cmH2O

Paru Anterior :
Inspeksi :
- Gerakan dada kiri dan kanan simetris statis dan dinamis.
- Retraksi supraclavikula dan intercostal (-)
- Spider Nevi (-)

Palpasi :
- Simetris, Stem Fremitus kanan sama dengan Stem Fremitus kiri.
- Nyeri tekan (-)
- Krepitasi (-)

Palpasi :
Sonor seluruh lapangan paru.

Auskultasi :
Vesikular (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Paru Posterior :
Inspeksi :
- Gerakan dada kiri dan kanan simetris, statis dan dinamis.
- Retraksi supraclavikula dan intercostal (-)
- Spider Nevi (-)

Palpasi :
- Simetris, Stem Fremitus kanan sama dengan Stem Fremitus kiri.
- Nyeri tekan (-)
- Krepitasi (-)

Palpasi :

33
Sonor seluruh lapangan paru.

Auskultasi :
Vesikular (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Cor :
Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V Linea Midclavicula
Sinistra
Perkusi : Batas atas jantung ICS III Linea Midclavicula Sinistra
Batas kiri Jantung ICS V Linea Midclavicula Sinistra
Batas kanan jantung ICS V Linea Parasternal Dextra
Auskultasi : BJ I > BJ II, reguler, gallop (-), bising sistolik (-)

Abdomen :
Inspeksi :
Asites, Asimetris, distensi (-), kaput medusa (-), sikatrik (-), ikterik (-)

Palpasi :
Hepar/Lien/Renal tidak teraba, ballotemen (-), Nyeri tekan (-), Undulasi (-)

Perkusi :
Timpani (+), shifting dullnes (-), nyeri ketok costo vertebre (-)

Auskultasi :
Bising usus (+) 3-4 kali kesan normal, bising pembuluh darah (-)

Extremitas :
Edema - - Pucat - - Ikterik - -
- - - - - -
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Rutin Lab RSUDZA 19 September 2015

34
Hb : 8,0 g/dl
Leukosit : 7,5 103/mm3
Ht : 24 %
Trombosit : 541 103/mm3
Eritrosit : 2,9 106/mm3
Diftell :3/1/0/66/17/13
Ureum : 14 mg/dl
Creatinin : 0,67 mg/dl
Natrium : 130 mmol/L
Kalium : 3,8 mmol/L
Chloride : 101 mmol/L
Albumin : 2,16 g/dl

VI. PERMASALAHAN
1. Ulkus diabetikum a/r pedis et cruris sinistra
2. DM Tipe 2
3. Hipoalbuminemia
4. Trombosis Reaktif

35
VII. PENGKAJIAN MASALAH
No Masalah Pengkajian Planning
1 Ulkus diabetikum Anamnesis: Diagnostik
a/r pedis et cruris Pasien datang dengan keluhan luka - Kultur pus
sinistra. pada kaki kiri yang dirasakan sejak 1
bulan yang lalu. Pada awalnya, kaki Terapi
terasa kebas, kemudian mulai muncul - Rawat luka
luka. Luka pada awalnya berupa -Cefuroxime 750 mg/ 8 jam
kembung dan kering, kemudian pecah -Rujuk untuk tindakan
dan berair. debridement.

Pemeriksaan Fisik: Edukasi


a/r pedis et cruris terlihat luka - Kontrol DM.
menggaung dengan dasar dan tepi - Higiene diri
berupa jaringan nekrotik berwarna
kuning. Nyeri pada palpasi (-)

Dipikirkan suatu ulkus diabetikum


karena DM tipe 2 yang diderita
pasien.

36
2 DM Tipe 2 Anamnesis Diagnostic
Pasien juga mengaku menderita DM - Tes TTGO
sejak 10 tahun yang lalu. Pasien - KGD pagi untuk
sudah mendapat obat untuk DM. monitoring

Pemeriksaan Penunjang Terapi


KGD pagi: 130 g/dl (pasien sudah -Diet DM 1700 kkal
diberikan terapi Novorapid dan -SC. Levemir 0-0-0-6
Levemir) -SC. Novorapid 6-6-6

Dipikirkan kemungkinan komplikasi Edukasi


jangka pendek dan jangka panjang -Mengatur pola makan
dari DM tipe 2. -Memperbaiki pola hidup
-Teratur pengobatan DM

3 Hipoalbuminemia Anamnesis: Diagnostik:


Pasien dengan penurunan nafsu - Pemeriksaan albumin darah.
makan.
Terapi:
Pemeriksaan Penunjang: -Drip Plasbumin 20%
Albumin : 2,16 g/dl 100cc/hari

Dipikirkan kemungkinan
hipoalbuminemia karena gangguan
asupan nutrisi.

4 Trombosis Anamnesis: Diagnostik:


Reaktif Pasien merasa kaki kebas dan baal. - Angiografi

37
Terapi:
Pemeriksaan Fisik: - Penggunaan alas kaki
Sensoris ekstremitas bawah menurun.
Edukasi:
Dipikirkan kemungkinan suatu - Perawatan kaki.
angiopati perifer yang menyebabkan
thrombosis.

38
BAB IV
KESIMPULAN

Diabetes mellitus adalah penyakit metabolisme yang terdiri dari kumpulan


gejala-gejala yang timbul karena peningkatan kadar glukosa darah. Kejadian
diabetes mellitus meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, dan mulai menurun
pada usia 65 tahun ke atas. Prevalensi DM juga cenderung lebih tinggi pada
masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi dan dengan kelas ekonomi menengah
ke atas.
Ulkus diabetikum merupakan salah satu dari komplikasi kronik DM.
Hiperglikemia pada diabetes melitus yang tidak dikelola dengan baik akan
menimbulkan berbagai komplikasi kronis yaitu neuropati perifer dan angiopati
sehingga pada akhirnya akan bermanifestasi sebagai suatu luka terbuka pada
tungkai bawah. Oleh karena itu, sangat penting untuk pemantauan DM dan
pengobatan DM. Pemantauan glukosa darah dan keberhasilan kontrol juga darah
juga sangat penting.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Riset Kesehatan Dasar Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan; 2013. Available from:
http://labmandat.litbang.depkes.go.id/images/download/laporan/RKD/2013/
Laporan_riskesdas_2013_110314.pdf.
2. Waspaji S. Kaki Diabetes. In: A S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid III edisi IV. Jakarta: FKUI press; 2007. p. 1911.
3. Type 2 diabetes mellitus. Harvard Health Publication. 2013.
4. Hastuti RT. Faktor- faktor Risiko Ulkus Diabetika pada Penderita Diabetes
Mellitus. 2008.
5. Seuwondo P. Pengelolaan dan pencegahan diabetes meiltitus pelayanan jaga
DM tipe 2 di Indonesia. Perkeni. 2011.
6. Decroli E, Karimi J, Manaf A, Syahbuddin S. Profil Ulkus Diabetik pada
Penderita Rawat Inap di Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr M. Djamil Padang.
Artikel Penelitian Majalah Kedokteran Indonesia. 2008.
7. RG F. Diabetic Foot Ulcer : Pathogenesis and Management. Am Fam
Physician. 2002; 66:1655-62.

40

Anda mungkin juga menyukai