Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2018


UNIVERSITAS HALUOLEO

KETOASIDOSIS DIABETIK

OLEH:

Muhammad Afdhal Ruslan

K1 A1 13 035

PEMBIMBING

dr. Andi Cahaya Tahir, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO
SULAWESI TENGGARA
KENDARI
2018
KETOASIDOSIS DIABETIK

Muhammad Afdhal Ruslan, Andi Cahaya Tahir

I. Pendahuluan

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah suatu kondisi gawat darurat yang

merupakan komplikasi dari Diabetes Melitus (DM) dengan tanda

hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi

insulin absolut atau relatif. KAD merupakan manifestasi awal dari diabetes

melitus tipe 1 atau akibat dari peningkatan kebutuhan insulin pada keadaan

infeksi, trauma, infark miokard, atau kelainan lainnya. Akibat diuresis

osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai

menyebabkan syok.1,2,3

II. Epidemiologi

Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 juta

orang di seluruh dunia menderita Diabetes Melitus, atau sekitar 2,8% dari

total populasi. Insidensnya terus meningkat dengan cepat, dan diperkirakan

pada tahun 2030, angka ini akan bertambah menjadi 366 juta atau sekitar

4,4% dari populasi dunia. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, dari 24417 responden berusia >15

tahun, 10,2% mengalami Toleransi Glukosa Terganggu (kadar glukosa 140-

200 mg/dl setelah puasa selama 14 jam dan diberi glukosa oral 75 gram).

Sebanyak 1,5% mengalami Diabetes Melitus yang terdiagnosis dan 4,2%

1
mengalami Diabetes Melitus yang tidak terdiagnosis. Baik DM maupun TGT

lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria, dan lebih sering pada

golongan dengan tingkat pendidikan dan status sosial rendah. Daerah dengan

angka penderita DM paling tinggi yaitu Kalimantan Barat dan Maluku Utara

yaitu 11,1 %, sedangkan kelompok usia penderita DM terbanyak adalah 55-64

tahun yaitu 13,5%. Beberapa hal yang dihubungkan dengan risiko terkena DM

adalah obesitas (sentral), hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan konsumsi

sayur-buah kurang dari 5 porsi perhari 1 .

Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester menunjukkan bahwa

insiden KAD sebesar 8 per 1000 pasien DM per tahun untuk semua kelompok

umur, sedangkan untuk kelompok usia di bawah 30 tahun sebesar 13,4 per

1000 pasien DM per tahun. Walaupun data komunitas di Indonesia belum ada,

di perkirakan insiden KAD di Indonesia tidak sebanyak di Negara barat,

mengingat prevalensi DM tipe 1 yang rendah. Laporan insiden KAD di

Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit dan terutama pada pasien

DM tipe 2.1,2

Angka kematian pasien dengan KAD di negara maju kurang dari 5%

pada banyak center, beberapa sumber lain menyebutkan 5 – 10%, 2 – 10%,

atau 9 – 10%. Sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia

lanjut angka kematian dapat mencapai 25 – 50%. Angka kematian menjadi

lebih tinggi pada beberapa keadaan yang menyertai KAD, seperti sepsis, syok

2
berat, infark miokard akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa darah

awal yang tinggi, uremia dan kadar keasaman darah yang rendah.

Kematian pada pasien KAD usia muda umumnya dapat dihindari dengan

diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan rasional sesuai dengan

patofisiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih

sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.1

III. Etiologi dan Patofisiologi

Patofisiologi DM

Diabetes melitus tipe 1

Pada DM tipe I (sebelumnya disebut diabetes juvenilis), terdapat

kekurangan insulin absolut sehingga pasien membutuhkan suplai insulin

dari luar. Keadaan ini disebabkan oleh lesi pada sel beta pankreas karena

mekanisme autoimun, yang pada keadaan tertentu dipicu oleh infeksi

virus. DM tipe I terjadi lebih sering pada pembawaantigen HLA tertentu

(HLA-DR3 dan HLA-DR4), hal ini terdapat disposisi genetik. Diabetes

melitus tipe 1, adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio

insulin dalam sirkulasi darah akibat defek sel beta penghasil insulin pada

pulau-pulau Langerhans pankreas.

3
Diabetes melitus tipe 2

Gambar 1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam

patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2.4

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal

(omnious octet) berikut :4

1. Kegagalan sel beta pancreas:

Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah

sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini

adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.

4
2. Liver:

Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan

memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan

basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat

yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses

gluconeogenesis.

3. Otot:

Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang

multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin

sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan

sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja

di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.

4. Sel lemak:

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,

menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam

lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA

akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi

insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin.

Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity.

Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.

5
5. Usus:

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar

dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai

efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like

polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic

polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada

penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten

terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh

keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa

menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah

kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran

dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase

yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian

diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah

makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-

glukosidase adalah akarbosa.

6. Sel Alpha Pancreas:

Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam

hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam

sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam

plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam

keadaan basal meningkat secara signifikan disbanding individu yang

6
normal. Obat yang menghambat sekresi glucagon atau menghambat

reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP- 4 inhibitor dan

amylin.

7. Ginjal:

Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis

DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari.

Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali

melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co- Transporter) pada bagian

convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi

melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga

akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi

peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja

SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus

ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang

bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah

salah satu contoh obatnya.

8. Otak:

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu

yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan

hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari

resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat

7
akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang

bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.

Patofisiologi Ketoasidosis Diabetik

Sebanyak 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita

DM untuk pertamakalinya. Pada pasien KAD yang sudah diketahui

DM sebelumnya, 80% dapat dikenali adanya faktor pencetus, sementara

20% lainnya tidak diketahui faktor pencetusnya. Pentingnya mengatasi

faktor pencetusnya dapat menginggat pengobatan dan pencegahan

ketoasidosis berulang. Faktor pencetus yang berperan dalam terjadinya

KAD antara lain infeksi, infark miokard akut, pankreatitis akut,

penggunaan obat golongan steroid, menghentikan dan mengurangi dosis

insulin.2,3,5

Infeksi yang paling sering diketemukan adalah pneumonia dan

infeksi saluran kemih yang mencakup antara 30% sampai 50% kasus.

Penyakit medis lainnya yang dapat mencetuskan KAD adalah

penyalahgunaan alkohol, trauma, emboli pulmonal dan infark miokard.

Beberapa obat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat juga dapat

menyebabkan KAD atau KHH, diantaranya adalah: kortikosteroid,

pentamidine, zat simpatomimetik, penyekat alpha dan beta serta

penggunaan diuretik berlebihan pada pasien lansia.

8
Tabel 1. Kondisi-kondisi pencetus KAD pada pasien diabetes mellitus3

Kondisi pencetus Kasus (%)

Infeksi 19-56

Penyakit kardiovaskular 3-6

Insulin inadekuat/stop 15-41

Diabetes awitan baru 10-22

Penyakit medis lainnya 10-12

Peningkatan penggunaan pompa insulin yang menggunakan injeksi

insulin kerja pendek dalam jumlah kecil dan sering telah dikaitkan dengan

peningkatan insidens KAD secara signifikan bila dibandingkan dengan

metode suntikan insulin konvensional. Studi Diabetes Control and

Complications Trial menunjukkan insidens KAD meningkat kurang

lebih dua kali lipat bila dibandingkan dengan kelompok injeksi

konvensional. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh penggunaan insulin kerja

pendek yang bila terganggu tidak meninggalkan cadangan untuk kontrol gula

darah.3

9
Ketoasidosis Diabetik (KAD) merupakan suatu keadaan dimana

terdapat defisiensi insulin absolut atau relative dan peningkatan hormone

kontra regulator (glucagon, katekolamin, kortisol dan hormone pertumbuhan),

keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan utilisasi

glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Pada

keadaan hiperglikemia sangat bervariasi dan tidak menentukan berat

ringannya KAD.2

Ketoasidosis Diabetik (KAD) ditandai dengan adanya hiperglikemia,

asidosis metabolik, dan peningkatan konsentrasi keton yang beredar dalam

sirkulasi. Ketoasidosis merupakan akibat dari kekurangan atau inefektifitas

insulin yang terjadi bersamaan dengan peningkatan hormon kontraregulator

(glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormon). Kedua hal tersebut

mengakibatkan perubahan produksi dan pengeluaran glukosa dan

meningkatkan lipolisis dan produksi benda keton. Hiperglikemia

terjadi akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal (glukoneogenesis

dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada jaringan perifer.

Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya kadar substrat

nonkarbohidrat (alanin, laktat, dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada

ginjal) dan dari peningkatan aktivitas enzim glukoneogenik (fosfoenol

piruvat karboksilase/ PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat karboksilase).

Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan patogenesis utama

10
yang bertanggung jawab terhadap keadaan hiperglikemia pada pasien dengan

KAD.1,2

Keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi menyebabkan

diuresis osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan penurunan

glomerular filtration rate. Keadaan yang terakhir akan memperburuk

hiperglikemia. Mekanisme yang mendasari peningkatan produksi benda keton

telah dipelajari selama ini. Kombinasi deÞsiensi insulin dan peningkatan

konsentrasi hormon kontraregulator menyebabkan aktivasi hormon lipase

yang sensitif pada jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini akan memecah

trigliserid menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free fatty acid/FFA).

Diketahui bahwa gliserol merupakan substrat penting untuk

glukoneogenesis pada hepar, sedangkan pengeluaran asam lemak bebas yang

berlebihan diasumsikan sebagai prekursor utama dari ketoasid.2

Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton

yang prosesnya distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi

glukagon menurunkan kadar malonyl coenzyme A (Co A) dengan cara

menghambat konversi piruvat menjadi acetyl Co A melalui inhibisi acetyl Co

A carboxylase, enzim pertama yang dihambat pada sintesis asam lemak bebas.

Malonyl Co A menghambat camitine palmitoyl- transferase I (CPT I),

enzim untuk transesterifikasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty acyl camitine,

yang mengakibatkan oksidasi asam lemak menjadi benda keton. CPT I

diperlukan untuk perpindahan asam lemak bebas ke mitokondria tempat

11
dimana asam lemak teroksidasi. Peningkatan aktivitas fatty acyl Co A dan

CPT I pada KAD mengakibatkan peningkatan ketongenesis.1, 2

Gambar 2. Patofisiologi Ketoasidosis Diabetik (KAD)

1. Peranan Insulin1,6,7

Defisiensi insulin absolut atau relatif terhadap hormone kontra

regulasi yang berlebihan (glucagon, epinefrin, kortisol, dan hormone

pertumbuhan). Defisiensi insulin dapat disebabkan oleh resistensi

insulin atau suplai insulin endogen atau eksogen yang berkurang.

Defisiensi aktivitas insulin tersebut, menyebabkan 3 proses

patofisiologi yang nyata pada 3 organ yaitu sel-sel lemak, hati dan

12
otot. Perubahan yang terjadi terutama melibatkan metabolisme lemak

dan karbohidrat.

Gambar 3. Patofisiologi KAD

2. Peranan Glukagon2,6,8

Hormon glucagon berperan dalam pathogenesis KAD.

Glucagon menghambat proses glikolisis dan menghambat

pembentukan malonyl CoA adalah suatu penghambat carnitine acyl

transferases (CPT 1 dan 2) yang bekerja pada transfer asam lemak

bebas ke dalam mitokondria. Dengan demikian peningkatan glucagon

akan merangsang oksidasi beta asam lemak dan ketogenesis.

Pada pasien DM tipe 1, konsentrasi glucagon darah tidak

teregulasi dengan baik. Bila konsentrasi insulin rendah maka

konsentrasi glucagon darah sangat meningkat serta mengakibatkan

reaksi kebalikan respons insulin pada sel-sel lemak dan hati.

13
3. Hormon Kontra Regulator Insulin Lain1,3,8,9

Konsentrasi epinefrin dan kortisol darah meningkat pada KAD.

Hormone pertumbuhan (GH) pada awal terapi KAD konsentrasinya

kadang-kadang meningkat dan lebih meningkat lagi dengan pemberian

insulin.

Keadaan stress sendiri meningkatkan hormone kontra regulasi

yang pada akhirnya akan menstimulasi pembentukan benda-benda

keton, gluconeogenesis serta potensial sebagai pencetus KAD. Sekali

proses KAD terjadi maka akan terjadi stress yang berkepanjangan.

IV. Manifestasi Klinis1, 2, 9

Sebagian besar pasien KAD merupakan pasien DM. Keadaan ini dapat

membantu mengenali KAD lebih cepat sebagai komplikasi akut DM dan

dapat segera diatasi.

Sesuai dengan patofisiologi KAD, maka manifestasi klinis yang di

dapatkan pada pasien KAD yaitu pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul),

berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering),

kadang-kadang disertai hypovolemia sampai syok. Terdapat bau aseton dari

napas yang tidak mudah untuk di cium.

Menurut Areataeus , gambaran klinis KAD dapat berupa keluhan

poliuri dan polidipsi sering kali mendahului KAD serta didapatkan riwayat

berhenti menyuntik insulin, demam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan

gejala yang sering dijumpai terutama pada KAD anak. Dapat pula dijumpai

14
nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan gastroparesis-

dilatasi lambung.

Pada pemeriksaan kesadaran, pada pasien KAD di dapatkan compos

mentis, delirium atau delirium sampai dengan koma. Bila dijumpai pasien

dalam keadaan koma perlu dipikirkan penyebab penurunan kesadaran lain

(misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alcohol).

Infeksi merupakan faktor pecetus yang paling sering, infeksi yang

paling sering ditemukan adalah infeksi saluran kemih dan pneumonia.

Walaupun faktor pencetusnya adalah infeksi, kebanyakan pasien tidak

mengalami demam. Bila dijumpai adanya nyeri abdomen, perlu dipikirkan

kemungkinan kolesistitis, iskemia usus, apendisitis, diventrikulitis, atau

perforasi usus. Bila ternyata pasien tidak menunjukan respon yang baik

terhadap pengobatan KAD, maka perlu dicari kemungkinan infeksi

tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses perirectal).

V. Diagnosis1, 3

Langkah pertama yang harus diambil pada pasien KAD terdiri dari

anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama

memperhatikan patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan

kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah –langkah ini harus dapat

menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan,

sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.

15
Setelah melakukan anamnesis, dapat dilakukan pemeriksaan

laboratorium dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu

pemeriksaan konsentrasi glukosa darah dengan glucose sticks dan

pemeriksaan urine dengan menggunakan urine strip untuk melihat secara

kualitatif jumlah glukosa, keton, nitrat, dan lekosit dalam urine. Pemeriksaan

laboratorium lengkap untuk dapat menilai karateristik dan tingkat keparahan

KAD meliputi konsentrasi HCO3 , anion gap dan pH darah.

Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam

beberapa hari, perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasanya

tampak berkembang lebih akut dan pasien dapat tampak menjadi

KAD tanpa gejala atau tanda KAD sebelumnya. Gambaran klinis

klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan polifagia, penurunan berat

badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of sensoria, dan

akhirnya koma. Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang menurun,

respirasi Kussmaul, takikardia, hipotensi, perubahan status mental, syok, dan

koma. Lebih dari 25% pasien KAD menjadi muntah-muntah yang tampak

seperti kopi. Perhatian lebih harus diberikan untuk pasien dengan

hipotermia karena menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Demikian pula

pasien dengan abdominal pain, karena gejala ini dapat merupakan akibat atau

sebuah indikasi dari pencetusnya, khususnya pada pasien muda. Evaluasi

lebih lanjut diperlukan jika gejala ini tidak membaik dengan koreksi dehidrasi

dan asidosis metabolik.

16
Tabel 2. Kriteria diagnostik KAD menurut American Diabetes Association

Ketoasidosis Diabetik (KAD)


Parameter
Ringan Sedang Berat

Gula darah (mg/dl) >250 >250 >250

pH arteri 7,25 – 7,30 7,00 – 7,24 <7,00

Serum bikarbonat/HCO3 15 – 18 10 – (<15) <10


(mEq/l)

Keton urine + +

Keton serum + +

Osmolalitas serum Variabel Variabel Variabel


efektif (mOsm/kg)

Anion gap >10 >12 >12

Perubahan sensorial atau Alert Alert / drowsy Stupor/ coma


mental obtundation

Catatan :

- Pengukuran keton serum dan urine memakai metode reaksi

nitroprusida

- Osmolaritas serum efektif (mOsm/kg) = 2X Na (mEq/l) + Glukosa

(mg/dl)/18

- Anion gap = Na+ - (Cl+HCO3-) (mEq/l)

17
VI. Penatalaksanaan3,5,7,9

Pengelolaan KAD harus berdasarkan dari patofisiologi dan

patogenesis penyakit. Prinsip pengobatan KAD yaitu:

a. Pergantiaan cairan dan garam yang hilang

b. Menekan lipolysis sel lemak dan menekan gluconeogenesis sel hati

dengan pemberian insulin

c. Mengatasi stress sebagai pencetus KAD

d. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya

pemantauan serta penyesuaian pengobatan

Keberhasilan penatalaksanaan KAD membutuhkan koreksi dehidrasi,

hiperglikemia, asidosis dan kelainan elektrolit, identifikasi faktor presipitasi

komorbid, dan pemantauan pasien terus menerus. Berikut ini beberapa hal

yang harus diperhatikan pada penatalaksanaan KAD.

1. Terapi cairan

Penatalaksanaan utama KAD adalah terapi cairan. Terapi

insulin hanya efektif jika cairan diberikan pada tahap awal terapi dan

hanya dengan terapi cairan saja akan membuat kadar gula darah

menjadi lebih rendah. Studi menunjukkan bahwa selama empat

jam pertama, lebih dari 80% penurunan kadar gula darah

disebabkan oleh rehidrasi. Ada dua keuntungan rehidrasi pada KAD

yaitu memperbaiki perfusi jaringan dan menurukan hormone

kontraregulator insulin. Hal penting pertama yang harus dipahami

18
adalah penentuan difisit cairan yang terjadi. Beratnya kekurangan

cairan yang terjadi dipengaruhi oleh durasi hiperglikemia yang

terjadi, fungsi ginjal, dan intake cairan penderita. Hal ini bisa

diperkirakan dengan pemeriksaan klinis atau dengan menggunakan

rumus sebagai berikut:

Fluid deficit = (0,6 X berat badan dalam kg) X (corrected Na/140)

Corrected Na = Na + (kadar gula darah-5)/3,5

Penentuan derajat dehidrasi dengan gejala klinis seringkali

sukar dikerjakan, namun demikian beberapa gejala klinis yang dapat

menolong untuk menentukan derajat dehidrasi adalah :

- 5% : penurunan turgor kulit, membran mukosa kering,

takikardia

- 10% : capillary refill time ≥ 3 detik, mata cowong

- > 10%: pulsus arteri perifer lemah, hipotensi, syok, oliguria

Resusitasi cairan hendaknya dilakukan secara agresif.

Targetnya adalah penggantian cairan sebesar 50% dari kekurangan

cairan dalam 8 – 12 jam pertama dan sisanya dalam 12 – 16 jam

berikutnya.

Cairan fisiologis (Nacl 0,9%) diberikan dengan kecepatan 15-

20 ml/kgBB/jam atau lebih selama jam pertama (± 1 – 1,5 liter).

Cariran diberikan pada jam pertama 1 liter, jam kedua berikutnya 1

19
liter, kemudian setiap 4 jam kemudian 1 liter sampai pasien

terehidrasi.

Cairan fisiologis Ringer Laktat (RL) berfungsi untuk

mengurangi kemungkinan terjadinya hiperkloremia yang umumnya

terjadi pada pemakaian normal saline.

Pemberian cairan harus dapat menggantikan perkiraan

kekurangan cairan dalam jangka waktu 24 jam pertama. Perubahan

osmolaritas serum tidak melebihi 3 mOsm/kgH2O/jam. Pada pasien

dengan kelainan ginjal, jantung atau hati terutama orang tua, harus

dilakukan pemantauan osmolaritas serum dan penilaian fungsi jantung,

ginjal dan status mental yang berkesinambungan selama resusitasi

cairan untuk menghindari overload cairan iatrogenic. Untuk itu

pemasangan Central Venous Pressure (CVP) monitor dapat sangat

menolong. Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, cairan diganti

atau ditambahkan dengan cairan yang mengandung dextrose seperti

(dextrose 5%, dextrose 5% pada Nacl 0,9% atau dextrose 5% pada

Nacl 0,45%) untuk menghindari hipoglikemia dan mengurangi

kemungkinan edema serebral akibat penurunan gula darah yang terlalu

cepat.

20
Gambar 4. Alur penatalaksanaan KAD sesuai dengan rekomendasi ADA

2004.

2. Terapi Insulin

Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis

KAD dan rehidrasi yang memadai. Pemberian insulin akan

menurunkan konsentrasi hormone glucagon, sehingga dapat menekan

produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari

jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan

meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan.

21
Efek kerja insulin terjadi dalam beberapa menit setelah insulin

berikatan dengan reseptor. Kemudian reseptor yang telah berikatan

akan mengalami interalisasi dan insulin akan mengalami destruksi.

Pemberian insulin ini bertujuan bukan hanya untuk mencapai

konsentrasi glukosa normal, tetapi untuk mengatasi keadaan

ketonemia.

Pasien dengan KAD ringan harus mendapatkan “priming

dose” insulin regular 0,4 – 0,6 u/kgBB, setengah dosis sebagai bolus

dan setengah dosis dengan subkutan atau injeksi intramuskular.

Selanjutnya diberikan insulin subkutan atau intramuskular 0,1

u/kgBB/jam.

Pada pasien dewasa dapat diberikan 5 IU insulin tambahan

setiap kenaikan gula darah 50 mg/dl pada gula darah di atas 150 mg/dl

dan dapat ditingkatkan 20 IU untuk gula darah ≥ 300 mg/dl. Ketika

pasien dapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan

memakai kombinasi dosis short atau rapid acting insulin dan

intermediate atau long acting insulin sesuai kebutuhan untuk

mengontrol glukosa darah.

22
3. Kalium

Ketoasidosis diabetik (KAD) biasanya kadar konsentrasi ion K

serum meningkat. Hyperkalemia yang fatal sangat jarang dan bila

terjadi harus segera diatasi dengan pemberian bikarbonat. Perlu

diperhatikan terjadinya hypokalemia yang fatal selama pengobatan

KAD. Ion kalium terutama terdapat intraseluler. Pada keadaan KAD,

ion K bergerak ke luar sel dan selanjutnya dikeluarkan melalui urin.

Total deficit K yang terjadi selama KAD diperkirakan mencapai 3-5

mEq/kgBB. Selama terapi KAD ion K kembali ke dalam sel. Untuk

mengantisipasi masuknya ion K ke dalam sel serta mempertahankan

konsentrasi K serum dalam batas normal, perlu pemberian kalium.

Untuk mencegah hipokalemia, penggantian kalium dimulai

apabila kadar kalium serum telah di bawah 5,5 mEq/L, dengan

mengasumsikan terdapat keluaran urin adekuat. Biasanya 20-30

mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) untuk setiap liter cairan infus

mencukupi untuk mempertahankan kadar kalium serum antara 4-5

mEq/L. Pada keadaan tertentu, pasien KAD dapat datang dengan

hipokalemia signifikan.7

4. Glukosa

Setelah rehidrasi awal 2 jam pertama, terkadang konsentrasi

glukosa darah akan menurun. Oleh karena itu, dengan pemberian

insulin diharapkan terjadi penurunan konsentrasi glukosa sekitar 60

23
mg%/jam. Bila konsentrasi glukosa mencapai <200 mg%? maka dapat

dimulai infus mengandung glukosa. Inti dari pengobatan KAD

bukanlah menormalkan kadar glukosa melainkan untuk menekan

ketogenesis.

5. Bikarbonat

Pemberian bikarbonat ditujukan untuk KAD ang berat. Terapi

bikarbonat ini masih diperdebatkan penggunaannya dikarenakan 1)

menurunkan pH intraseluler akibat difusi CO2 yang dilepas

bikarbonat; 2) efek negative pada dissosiasi oksigen di jaringan; 3)

hipertonis dan kelebihan natrium; 4) meningkatkan insiden

hypokalemia; 5) gangguan fungsi serebral, dan; 6) terjadi alkaliemia

bila bikarbonat terbentuk dari asam keton.

VII. Komplikasi1,3

Komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan KAD adalah

edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut dan komplikasi

iatrogenic. Komplikasi iatrogenic tersebut yaitu hipoglikemia, hypokalemia,

hiperkloremia, edema otak, dan hipokalsemia.

24
VIII. Pencegahan1,3

Faktor utama dari KAD ialah pemberian dosis insulin yang kurang

memadai dan kejadian infeksi. Upaya pencegahan dapat dimulai dari akses

pada sistem pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk edukasi DM) dan

komunikasi efektif terutama pada saat penyandang DM mengalami sakit akut

(misalnya batuk pilek, diare, demam, luka). Selain itu harus memperhatikan

penatalaksaan DM secara komprehensif.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Soewondo, Pradana .2009. Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid II Hal. 1906 -

1911. Jakarta

2. Gotera, Wira., Budiyasa, Dewa Gde Agung. 2010. Penatalaksanaan

Ketoasidosis Diabetik (KAD) Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD

Sanglah Denpasar

3. Sumantri MD, Stevent. 2009. Pendekatan Diagnostik dan Tatalaksana

Ketoasidosis Diabetikum: Patofisiologi, Manifestasi Klinis, Penatalaksanaan

dan Perkembangan Terbaru. Internal Medicine Department

4. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di

Indonesia. 2015

5. Dhatariya, Ketan K., Vellanki, Priyathama. 2017. Treatment Diabetik

Ketoacidosis (DKA)/Hyperflycemic Hyperosmolar State (HHS) Novel

Advence in the Management of Hyperglycemic Crises (UK versus USA).

Journal

6. Syahputra, MHD. 2003. Diabetic Ketoacidosis. Bagian Biokimia FK USU

7. Westerberg, Dyanne P. 2013. Diabetik Ketoacidosis Evaluation and

Treadment. Cooper Medical School of Rowan University, Camden, New

Jersey. Journal

8. Ilyas, Ermita. 2016. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Hal. 783 - 785. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC

26
9. British Society of Paediatric Endocrinologi and Diabetes (BSPED). 2010. The

Management of Diabetik Ketoacidosis in Adults

27

Anda mungkin juga menyukai