Anda di halaman 1dari 46

BAGIAN ANESTESIOLOGI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2018


UNIVERSITAS HALU OLEO

GENERAL ANESTESI DENGAN TINDAKAN TONSILEKTOMI


PADA PASIEN ABSES PERITONSILER + TONSILITIS AKUT

OLEH :
SRI RAMADANI
K1A1 10 039

PEMBIMBING :
dr. Hj. ANDI HASNAH S, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI & TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
2018

1
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. H
Umur : 38 th
Jenis kelamin : Perempuan
Berat Badan : 60 kg
Alamat : Kel. Tuoy
Agama : Islam
Diagnosis pre operasi : Abses Peritonsiler + tonsillitis akut
Jenis pembedahan : Tonsilektomi
Jenis anestesi : General Anestesi
Tanggal Operasi : 18 juli 2018
No.Rekam Medis : 53 43 xx

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis (18 Juli 2018) :
a. Keluhan utama : Nyeri Tenggorokan
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengeluh nyeri tenggorokan sejak 2 minggu lalu. Nyeri
dirasakan terus-menerus terutama dirasakan saat makan, minum ataupun
menelan ludah. Pasien juga merasakan rasa mengganjal pada leher dan
kadangkala mulut berbau. Tidak ada sesak, tidak ada suara parau dan
ngorok ketika tidur. Tidak ada nyeri kepala, mual, muntah. Penurunan
berat badan kurang lebih 1 kilogram dalam 2 bulan terakhir.
c. Penyakit dahulu :
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat alergi makanan dan obat disangkal

2
d. Riwayatan pengobatan sebelumnya :
- Telah dilakukan irigasi abses tonsil pada tanggal 12 Juli 2018 di RS
Bahteramas.
e. Riwayat penyakit keluarga : Riwayat asma, Diabetes Melitus, Hipertensi,
alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien disangkal.
f. Riwayat Kebiasaan : Pasien sering mengkonsumsi minuman dingin, Jajan
sembarangan dan mengkonsumsi makanan yang berminyak. Merokok
disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Status generalis
Keadaan Umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Berat Badan : 60 kg
Tanda – tanda vital :
1. Tek. Darah : 120/90 mmHg
2. Nadi : 66 x/menit
3. Respirasi : 20 x/menit
4. Suhu : 36.8 oC
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, kedua pupil isokor,
refleks cahaya langsung (+/+).
Mulut : Tonsil T1-T1, Mallampati II
Leher : Leher pendek (-), TMJ > 6 cm, tidak teraba pembesaran KGB,
trakea ditengah.
Thorax :
Paru
 Inspeksi : Bentuk simetris, gerak pernafasan (+/+)
 Palpasi : Nyeri tekan (-/-) Fremitus vocal (+/+)
 Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru

3
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler, tidak terdapat ronkhi -/-,
wheezing -/-
Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
 Perkusi :
- Batas jantung kiri sela iga V linea midklavikula sinistra,
- Batas jantung kanan sela iga IV linea parasternal dextra,
 Auskultasi : Bunyi jantung I – II reguler

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Pemeriksaan 16 / 07/ 2018 Nilai normal
Hemoglobin 12,2 12,0-16 g/dL
Leukosit 14,57 4000-10000/L

Hematokrit 36,8 37-48%


Eritrosit 4,28 4,0-6,0x106/

Trombosit 332 150000-450000/L


APTT 22,6 30-40 sec
PT 11,5 10-14 sec
SGOT 10 P=<45 W=<31
SGPT 12 P=<41 W=<31
Ureum 30 P=19-44 W=15-40
Creatinin 0,5 P=0,7-1,2 W=0,5-1,0
Seroimmunologi
HbsAg Negatif Negatif

4
V. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, maka:
Diagnosis pre operatif : Abses peritonsiler + tonsillitis akut
Status operatif : ASA II, Mallampati II
Jenis operasi : Tonsilektomi
Jenis anestesi : General Anestesi
Prognosis : Dubia ad Bonam

5
BAB II
LAPORAN ANESTESI

I. Pre Operatif
 Informed Consent (+)
 Puasa (+) selama 8 jam
 Tidak ada gigi goyang atau pemakaian gigi palsu
 IV line terpasang dengan infus RL 500 cc
 Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
 Kesadaran : Compos Mentis
 Tanda vital
Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 66 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,8 0C
II. Premedikasi anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi, pasien diberikan Ondansetron 4 mg
IV, Ranitidin 50 mg i.v, Dexamethasone 10 mg IV, Midazolam 3 mg i.v,
fentanyl 100 µg i.v.
III. Pemantauan Selama Anestesi
Melakukan monitoring terus menerus tentang keadaan pasien yaitu reaksi
pasien terhadap pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi
pernapasan dan jantung.
Kardiovaskular : Nadi setiap 5 menit
Tekanan darah setiap 5 menit
Respirasi : Inspeksi pernapasan spontan pada pasien
Saturasi oksigen
Cairan : Monitoring input cairan

6
IV. Monitoring Tindakan Operasi :
Jam Tindakan Tekanan Nadi SPO2
Darah (x/menit) (%)
(mmHg)
10.30  Pasien masuk ke kamar operasi, dan 122/91 67 100
dipindahkan ke meja operasi
 Pemasangan monitoring tekanan
darah, nadi, saturasi O2
 Infus RL terpasang pada tangan kanan.
 Premedikasi :
Ondansetron 4mg iv
Dexamethason 10 mg/iv
Ranitidin 50 mg i.v
10.40  Monitoring A,B,C 146/82 54 100
10.45  Inj. Midazolam 2 mg iv 139/78 65 100
 Fentanyl 100 µg
10.50  Preoksigenasi face mask O2 8 lpm 132/71 50 100
 Persiapan induksi
10.55  Obat induksi dimasukkan secara iv: 118/82 92 100
o Atrakurium Besilate 30 mg
o Propofol 100 mg
o Tramus 10 mg
 cek refleks bulu mata dan pergerakan
dinding dada
 Ventilasi bantu Positif -- O2 8
lL/Menit
 Pasang gudel-- Ventilasi adekuat
 Atrakurium Besilate 30 mg
 Persiapan Intubasi :
 Laringoscopi
 Selic manuver
 Insersi ETT 7,0
 Mengembangkan cuff ETT
menggunakan spoit 10 cc.
 Menyambungkan dengan sirkuit
mesin anestesi, mengecek
pengembangan dinding dada,
mendengarkan bunyi pernapasan

7
dengan stetoskop.
 Fiksasi ETT sebelah kiri

11.00  Kedua mata pasien ditutup dengan 128/84 88 100


kassa.
 Maintenance dengan :
O2 : 4 L
Isoflurane : 2 vol%
11.10  Operasi dimulai 126/82 94 100
11.15  Hemodinamik stabil 108/72 92 100
 Ventilasi Kontrol
11.30  Hemodinamik stabil 98/70 91 99
 Ventilasi Kontrol
 Maintenance dengan :
O2 : 4 L
Isoflurane : 1,5 vol%
11.45  Hemodinamik stabil 112/76 92 99
 Ventilasi Kontrol
 Tonsil dextra berhasil dievakuasi dan
dirigasi
 Fiksasi ETT sebelah kanan
 Tramus 10 mg
11.50  Hemodinamik stabil 121/78 98 99
 Ventilasi Kontrol
12.00  Hemodinamik stabil 121/82 90 99
 Tonsil sinistra berhasil dievakuasi dan
dirigasi dan kontrol perdarahan
12.05  Hemodinamik stabil 128/83 98 100
 Ventilasi bantu (+) asis
 Tramadol diberikan 100 mg secara iv
drip dalam 500 ml Ringer Laktat
12.10  Operasi selesai 128/90 92 100
 Hemodinamik stabil
 Ventilasi spontan adekuat

8
12.20  Matikan Gas 137/101 100 100
 O2 8 L/menit
 Pasang gudel/ suction
 Melakukan ekstubasi
 (Oksigenisasi) dengan menggunakan
face mask.
 Pelepasan alat monitoring (saturasi
dan tensimeter).
 Pasien dipindahkan ke ruang recovery
room. Selanjutnya dilakukan
pemasangan alat monitoring di
recovery room.

V. INTRAOPERATIF (18 JULI 2018)


Tindakan Operasi : Tonsilektomi
Tindakan Anestesi : General anestesi
Lama Operasi : 1 jam 10 menit (11.10-12.10)
Lama Anestesi : 1 jam 30 menit (10.50 – 12.20)
Jenis Anestesi : General anestesi dengan ETT No.7,0 cuff (+)
menggunakan O2 4L, dan Isoflurane 2 Vol %
Posisi : Supine
Pernafasan : Spontan
Infus : Ringer Laktat pada tangan kanan 500cc
Premedikasi : Ondansetron 4 mg i.v,
Dexamethason 10 mg i.v
Ranitidin 5 mg i.v
Ceftriaxon 2 g drips
Midazolam 3 mg i.v
Fentanyl 100 µg,
Induksi : Propofol 100 mg i.v,
Atrakurium Besilate 25 mg
Rumatan : O2 4 L
Isoflurane 2 Vol % - 1,5%
Medikasi : Tramadol 100 mg drip dalam RL 500cc,
Intubasi : Laringoskop blade no 3
Endotracheal Tube No. 7,0 cuff (+)

9
Cairan : Cairan Masuk: RL 1100 cc, cairan keluar tidak
dapat dimonitoring karena tidak dilakukan
pemasangan kateter.
VI. POST OPERATIF
- Pasien masuk ruang pemulihan dan setelah itu dibawa ke ruang perawatan
Raha Mongkilo.
- Observasi tanda- tanda vital dalam batas normal
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 128/69 mmHg
Nadi : 72x/min
Saturasi : 99%
- Penilaian pemulihan kesadaran, penilaian score Aldrete. Pada pasien ini
didapatkan nilai aldrete skor 9, pasien dipindahkan ke ruang perawatan
bangsal untuk dilakukan observasi lebih lanjut.
Skor
Variabel Tem Skor
Pasien
Gerak ke-4 anggota gerak atas perintah 2
Aktivitas Gerak ke-2 anggota gerak atas perintah 1 2
Tidak respon 0
Dapat bernapas dalam dan batuk 2
Respirasi Dispnea, hipoventilasi 1 2
Apnea 0
Perubahan < 20 % TD sistol preoperasi 2
Sirkulasi Perubahan 20-50 % TD sistol preoperasi 1 2
Perubahan .> 50 % TD sistol preoperasi 0
Sadar penuh 2
Kesadaran Dapat dibangunkan 1 1
Tidak respon 0
Merah 2
Warna kulit 2
Pucat 1

10
Sianotik 0
Skor Total 9
≥ 9 : Pindah dari unit perawatan pasca anestesi
5- 8 : Dipindahkan ke ruang perawatan bangsal
≤ 5 : dipindahkan ke ruang perawatan intensif (ICU)

VIII. Ruang Perawatan


Kamis, 19 Juli 2018 (Raha Mongkilo)
S O A P
- Kesadaran A : Airway Bebas Post Op. Na.diclofenac 3x1
composmentis B : RR 18x/m Tonsilektomi Paien
- Keluhan : nyeri post C : TD 120/70, N 84x/m diperbolehkan
op Nyeri : 2-3 pulang oleh DPJP.

11
BAB III
ANALISA KASUS

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang pasien didiagnosis tonsillitis kronik dengan ASA II, yakni pasien sakit
fisik karena terdapatnya nyeri tenggorokan dan nyeri menelan. Pasien dianjurkan
untuk melakukan operasi tonsilektomi. Menjelang operasi pasien tampak sakit
sedang, tenang, kesadaran kompos mentis. Pasien sudah dipuasakan selama 8
jam. Jenis anestesi yang dilakukan yaitu anestesi general dengan pipa
endotrakheal No.7,0 cuff (+).
Pada pasien diberikan premedikasi yaitu ondansetron 4 mg. Ondansetron
merupakan antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang dapat menekan mual
dan muntah. Mekanisme kerja obat ini diduga dengan mengantagonisasi reseptor
5-HT yang terdapat pada chemoreceptor trigger zone di area postrema otak yang
merupakan pusat muntah dan pada aferen vagal saluran cerna. Ondansetron
diberikan pada pasien untuk mencegah mual muntah yang bisa menyebabkan
aspirasi dan rasa tidak nyaman pasca pembedahan. Pada pasien ini diberikan juga
Ranitidin 50 mg i.v dan dexamethason 10 mg i.v mencegah terjadinya reaksi
alergik dan bronkospasme. Pada pasien diberikan antibiotik untuk pencegahan
infeksi yaitu ceftriaxone 2 gr. Ceftriaxone merupakan antibiotik spektrum luas
yang dapat digunakan terhadap berbagai kuman gram-positif maupun negatif.
Obat ini merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga.
Gold standar pada manajemen jalan napas selama operasi tonsilektomi
adalah ETT. Selang ETT yang digunakan menghadap ke mulut, tetapi kita harus
menyesuaikan dengan poisis gag boyle yang digunakan dokter bedah THT
supaya tidak mengganggu lapangan kerja operasi. Penempatan selang harus
dikonfirmasi dengan auskultasi bilateral setelah pasien diletakkan pada posisi dan
penempatan gag mulut Boyle-Davis. Saat ini, terdapat peningkatan jumlah operasi
yang dilakukan dengan menggunakan LMA. Penggunaan LMA membutuhkan
pelatihan dan pengalaman yang memadai untuk melakukan anestesi. Ahli anestesi
harus menyadari kemungkinan adanta obstruksi jalan nafas yang mungkin terjadi

12
dengan penggunaan sumbat mulut Boyle – Davis; tekanan saluran napas harus
diperiksa. Pada pasien ini dilakukan general ansetesi dan pemasanagan ETT untuk
management airway inta operatif Setelah operasi, pasien harus diekstubasi dalam
posisi lateral dan kepala rendah (posisi pasca tonsilektomi) yang harus
dipertahankan dalam periode pasca-operasi. Pencapaian hemostasis dan
tenggorokan bebas dari sekresi atau kasa apapun harus dikonfirmasi sebelum
dilakukan ekstubasi. Pasien harus dipindahkan ke ruang pemulihan dalam posisi
lateral dan harus dimonitor untuk perdarahan serta penurunan kesadaran.

Pasien ini juga diberikan midazolam 3 mg sebagai premedikasi. Memiliki


sifat sedatif, amnesik, antikonvulsan dan relaksan otot skelet. Digunakaan saat
premedikasi, sedasi sadar, dan obat induksi suplementasi anestesia. Dosis IV 50-
350 µg/kg. Dosis premedikasi 0,5 mg – 5 mg IV. Selain itu, pada pasien juga
diberikan fentanyl 100 µg (dosis 1-2µg/kgbb). Fentanyl merupakan zat narkotik
sintetik dan memiliki potensi 1000x lebih kuat dibandingkan petidin dan 50-100x
lebih kuat dari morfin. Mulai kerjanya cepat dan masa kerjanya pendek. Obat ini
dimetabolisme dalam hati menjadi norfentanil dan hidroksipropionil fentanyl dan
hidroksipropionil norfentanil, yang selanjutnya dibuang melalui empedu dan urin.
Efek depresi napasnya lebih lama dibanding dengan efek analgesiknya. Efek
analgesik kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya digunakan untuk
anestesi pembedahan tidak untuk pasca bedah.
Pada pasien ini, dilakukan induksi dengan menggunakan propofol 100 mg
(dosis induksi 2-2,5mg/kgBB). Propofol merupakan derivat fenol dengan nama
kimia di-iso profil fenol yang bersifat hipnotik murni dan tidak memiliki efek
analgetik. Obat ini digunakan sebagai induksi anestesi. Obat ini mempunyai onset
40 - 60 detik dan mempunyai efek menurunkan tekanan darah kira-kira 30% yang
disebabkan oleh vasodilatasi perifer pembuluh darah. Efek propofol pada sistem
pernapasan yakni mengakibatkan depresi pernapasan sampai apneu selama 30
detik. Lalu diberikan Atrakurium Besilate 30 mg (dosis 0,3-0,5 mg/kg). Tramus
(Atrakurium Besilate) merupakan obat golongan pelemas otot non depolarisasi .

13
Golongan non depolarisasi merupakan inhibitor kompetitif dari asetilkolin.,
memiliki onset < 3 menit dengan durasi kerja 20-35 menit.
Untuk maintenance selama operasi berlangsung diberikan juga beberapa
gas inhalasi berupa O2 4L, dan isoflurane 2 vol% melalui mesin anestesi. Isofluran
merupakan isomer dari enfluran. Induksi dan masa pulih anestesia dengan
isoflurane cepat. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal
sehingga banyak digemari untuk anestesi teknik hipotensi. Selama operasi
berlangsung dilakukan pemantauan tanda vital berupa tekanan darah, nadi , dan
saturasi oksigen setiap 5 menit secara efisien dan terus menerus, dan pemberian
cairan intravena berupa RL. Cairan yang diberikan adalah RL (Ringer Laktat)
karena merupakan kristaloid dengan komposisinya yang lengkap (Na+, K+, Cl-,
Ca++, dan laktat) yang mengandung elektrolit untuk menggantikan kehilangan
cairan selama operasi, juga untuk mencegah efek hipotensi akibat pemberian obat-
obatan intravena dan gas inhalasi yang mempunyai efek vasodilatasi.
Terapi cairan intra-operatif dijabarkan sebagai berikut :
 Kebutuhan Cairan Basal (M) :
o Kebutuhan cairan basal (rutin, rumatan) ialah :
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB
/ jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah
10-15 %. Pada pasien ini diperoleh kebutuhan cairan basalnya
adalah sebagai berikut :
2 cc x 60 = 120 cc
 Kebutuhan cairan operasi (SO) :
o Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang
peritoneum, ruang ketiga, atau ke luar tubuh. Untuk menggantinya
tergantung pada besar kecilnya pembedahan, 6-8 ml/kg untuk
operasi besar, 4-6 ml/kg untuk operasi sedang, dan 2-4 ml/kg untuk
operasi kecil.
o Pada pasien ini diperoleh kebutuhan cairan operasinya adalah
sebagai berikut :
Operasi ringan x Berat badan : 4 x 60 kg = 240 cc

14
 Kebutuhan cairan pengganti puasa (P) ;
Lama jam puasa x kebutuhan cairan basal
8 x 120 = 960 cc
 Pemberian cairan jam pertama :
M + SO + 50% PP
= 120 cc + 240 cc + 480 cc = 840 cc
 Pemberian cairan jam II dan III
(1/4 PP) + M + SO
= (1/4 960 ) + 120 + 240
= 240 + 120 + 240
= 600 cc

Tramadol 100 mg diberikan pada sebagai analgetik kuat dan bekerja


secara sentral, pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga memblok sensasi nyeri
dan respon terhadap nyeri. Tramadol adalah analog kodein sintetik yang
merupakan reseptor yang lemah. Tramadol diberikan secara iv drip pada pasien.
Tramadol mengalami metabolisme di hati dan di ekskresi oleh ginjal. Lama
anaslgesi dari obat ini adalah sekitar 6 jam dengan dosis harian maksimal yang
dianjurkan adalah 400 mg per hari. Selama operasi keadaan pasien stabil. Setelah
operasis selesai, observasi dilanjutkan pada pasien di recovery room, dimana
dilakukan pemantauan tanda vital meliputi tekanan darah, nadi, respirasi dan
saturasi oksigen dan menghitung aldrete score 9.
Pada pasien ini dilakukan observasi di ruang perawatan, untuk menilai skala
nyeri setelah operasi. Di dapatkan dengan menggunakan VAS skala nyeri pasien
ini Ringan 2-3, Diberikan terapi analgetik oleh DPJP THT Natrium diclofenac
3x1 untuk mengurangi keluhan yang di rasa. Pasien diperbolehkan pulang oleh
DPJP THT dilanjutkan pengobatan dengan kontrol di poli.

15
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

I. TONSILEKTOMI
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil
palatina. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan
jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil
faringeal. Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman,
namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena
tetap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam
pelaksanaannya. Di AS karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi
digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan
pada operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak sulit.1

Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat
ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan
berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas
dan hipertrofi tonsil.9 Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi
saluran napas, indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi
absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency
dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah
kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya
dilakukan tonsilektomi.1
a. Indikasi Absolut 1
 Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,
disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner.
 Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis
dan drainase
 Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam

16
 Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi
b. Indikasi Relatif 1
 Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat
 Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
 Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten.
Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar (Quinsy),
tonsilektomi dapat dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.1,2

II. ANESTESI UMUM


2.1 Definisi
Anestesi sangat memperhatikan dengan takaran jumlah yang tepat.
Terlalu sedikit anestesi yang digunakan akan menyebabkan
ketidaknyamanan pasien dan bias saja membuat pasien tetap sadar
selama operasi berlangsung dan begitu juga sebaliknya apabila anestesi
yang digunakan terlalu banyak akan menyebabkan kematian. 3
2.2 Stadium Anestesi
Arthur Ernest Guedel (1937) membagi kedalaman anestesi dengan
dalam 4 stadium yaitu: 3
a. Stadium I
Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik
sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat
mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).
Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi
kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini
b. Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya
kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.

17
c. Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan
sampai pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4
plana yaitu:
 Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang,
terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil
midriasis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks
faring dan muntah tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot
lurik yang sempurna. (tonus otot mulai menurun).
 Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak,
terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai
menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang
sehingga dikerjakan intubasi.
 Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal
mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral,
refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik
hampir sempuma (tonus otot semakin menurun).
 Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot
interkostal paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya
hilang, refleks sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak ada,
relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot sangat menurun).
d. Stadium IV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan
melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. pada
stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut jantung berhenti,
dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada
stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.

18
2.3 Keuntungan anestesi umum :
 Mengurangi kesadaran pasien intraoperative
 Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang
lama.
 Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi.
 Dapat digunakan dalam kasus sensitivitas terhadap agen anestesi
lokal.
 Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur durasi tak terduga .
 Dapat diberikan dengan cepat.
 Dapat diberikan pada pasien dalam posisi terlentang.3
2.4 Kekurangan anestesi umum :
 Memerlukan beberapa derajat persiapan pra operasi pasien.
 Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau
muntah, sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan memerlukan
masa untuk fungsi mental yang normal.
 Terkait dengan hipertermia di mana paparan beberapa (tetapi tidak
semua) agen anestesi umum menyebabkan kenaikan suhu akut dan
berpotensi mematikan, hiperkarbia, asidosis metabolik, dan
hiperkalemia.3
2.5 Indikasi anestesi umum :
 Infant dan anak usia muda.
 Dewasa yang memilih anestesi umum.
 Pembedahan luas.
 Penderita sakit mental.
 Pembedahan lama.
 Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak
memuaskan.
 Riwayat penderita toksik/alergi obat anestesi lokal.
 Penderita dengan pengobatan antikoagulan

19
2.7 Komplikasi Anestesi Umum
a. Komplikasi Kardiovaskular
 Hipotensi : tekanan sistol kurang dari 70 mmHg atau turun 25%
dari sebelumnya.
 Hipertensi : umumnya tekanan darah dapat meningkat pada periode
induksi dan pemulihan anestesia. Komplikasi ini dapat
membahayakan khususnya pada penyakit jantung, karena jantung
akan bekerja keras dengan kebutuhan O2 miokard yang meningkat,
bila tak tercukupi dapat timbul iskemia atau infark miokard.
Namun bila hipertensi karena tidak adekuat dapat dihilangkan
dengan menambah dosis anestetika.
 Aritmia Jantung : anestesi ringan yang disertai maniplasi operasi
dapat merangsang saraf simpatiks, dapat menyebabkan aritmia.
Bradikardia yang terjadi dapat diobati dengan atropin.
 Gagal Jantung : mungkin terjadi bila pasien mendapat cairan IV
berlebihan.
b. Komplikasi Respirasi
 Obstruksi jalan nafas
 Batuk
 Cekukan (hiccup)
 Intubasi endobronkial
 Apnoe
 Atelektasis
 Pneumotoraks
 Muntah dan regurgitas
c. Komplikasi Mata : Laserasi kornea, menekan bola mata terlalu kuat.
d. Komplikasi Neurologi : Konvulsi, terlambat sadar, cedera saraf tepi
(perifer).
e. Perubahan Cairan Tubuh : Hipovolemia, Hipervolemia

20
f. Komplikasi Lain-Lain : Menggigil, gelisah setelah anestesi, mimpi
buruk, sadar selama operasi, kenaikan suhu tubuh.3

III. PROSEDUR ANESTESI UMUM


3.1 Persiapan pra anestesi umum
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif
maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan
anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi.
Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari
sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih
singkat. Tujuan kunjungan pra anestesi:
 Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan
pemeriksaan lain.
 Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
keadaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi
yang mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin.
 Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik,
dalam hal ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of
Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien secara umum.4

3.2 Persiapan pasien


a. Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis).
Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis serta
berkenalan dengan pasien. Yang harus diperhatikan pada anamnesis:
 Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
 Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin
dapat menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi,
diabetes mellitus, penyakit paru-paru kronik (asma bronchial,
pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark

21
miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan
penyakit ginjal.
 Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya
kortikosteroid, obat antihipertensi, obat-obat antidiabetik,
antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti
digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino
oxidase inhibitor, bronkodilator.
 Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang
lalu, berapa kali, dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami
komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif
pasca bedah.
 Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi
jalannya anestesi seperti: merokok dan alkohol.4
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-
geligi, tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk
diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi.
Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu
tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
semua sistem organ tubuh pasien.5,6
c. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai
dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas
kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun
pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah
kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan
urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan
EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang

22
mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji
semacam ini.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat
dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes
mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat
menimbulkan hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin
operasi lebih baik dilakukan dengan teknik analgesia regional
daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru
pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan
terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat
dihindari. 4,5,6
d. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia.
Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas
merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani
anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu
sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8
jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak
diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia. Minuman bening, air
putih, the manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air
putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.5,6
e. Klasifikasi status fisik
 Skor ASA
ASA (American Society of Anaesthesiologist) adalah klasifikasi
yang lazim digunakan untuk menilai status fisik pasien pra-anestesi.
Klasifikasi ini berasal dari The American Society of Anesthesiologist
yang terdiri dari:

23
Kelas Status fisik Contoh
I Pasien normal yang sehat Pasien bugar dengan
hernia inguinal
II Pasien dengan penyakit sistemik Hipertensi esensial,
ringan diabetes ringan
III Pasien dengan penyakit sistemik Angina, insufisiensi
berat yang tidak melemahkan pulmoner sedang
(incapacitating) sampai berat
IV Pasien dengan penyakit sistemik Penyakit paru
yang melemahkan dan merupakan stadium lanjut, gagal
ancaman konstan terhadap jantung
kehidupan
V Pasien sekarat yang diperkirakan Ruptur aneurisma
tidak bertahan selama 24 jam aorta, emboli paru
dengan atau tanpa operasi massif
E Kasus-ksus emergensi diberi
tambahan hurup “E” ke angka.
Tabel 1. Klasifikasi ASA dari status fisik

 Skor Mallampati
Skor Mallampati adalah suatu perkiraan kasar dari ukuran relatif
lidah terhadap rongga mulut yang digunakan untuk memperkirakan
tingkat kesulitan intubasi. Skor Mallampati ditentukan dengan melihat
anatomi dari rongga mulut, khususnya berdasarkan visibilitas dari
dasar uvula, arkus tonsilaris anterior dan posterior, dan palatum mole.
Semakin tinggi skor mallampati, semakin tinggi pula tingkat kesulitan
untuk dilakukan intubasi.7,3

24
Kelas 1 tonsil, palatum mole, dan uvula terlihat jelas seluruhnya

Kelas 2 palatum durum dan palatum mole masih terlihat, sedangkan


tonsil dan uvula hanya terlihat bagian atas

Kelas 3 Hanya palatum mole dan palatum durum yang terlihat,


sedangkan dinding posterior faring dan uvula tertutup
seluruhnya oleh lidah
Kelas 4 Hanya palatum durum yang terlihat, sedangkan dinding
posterior faring, uvula, dan palatum mole tertutup
seluruhnya oleh lidah
Tabel 2. Klasifikasi skor mallampati

Gambar 1. Penilaian Skor Mallampati


f. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan
bangun dari anesthesia diantaranya : 3,4,8
 Meredakan kecemasan dan ketakutan
 Memperlancar induksi anesthesia
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
 Meminimalkan jumlah obat anestetik

25
 Mengurangi mual muntah pasca bedah
 Menciptakan amnesia
 Mengurangi isi cairan lambung
 Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan
pada situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien
dapat membangun kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat
pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg
beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena
penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg
intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan
pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat
diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin 600
mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal
operasi.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering
ditambahkan premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa
droperidol 2,5-5 mg atau ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).

3.3 Persiapan peralatan anestesi


1. Endotracheal tube (ETT)
ETT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara
langsung ke trakea dan memberikan ventilasi dan oksigenasi
terkontrol. Bentuk dan kekerasan ETT dapat diubah dengan stilet.
Resistensi terhadap aliran udara tergantung pada diameter tabung,
tetapi juga dipengaruhi oleh panjang tabung dan kurvatura.3,9
Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa diameter
internal 7-7.5 mm dengan panjang 24 cm. pada pria dewasa diameter
internal 7.5-9 mm dengan panjang 24cm. 3

26
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah
untuk membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan
nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah
pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada
dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal :3,9
- Mempermudah pemberian anestesia.
- Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta
mempertahankan kelancaran pernafasan.
- Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada
keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
- Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
- Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
- Mengatasi obstruksi laring akut.
Indikasi dan Kontraindikasi.
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal antara lain :8
a. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
- oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan
pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
- Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya
tekanan karbondioksida di arteri.
- Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret
pulmonal atau sebagai bronchial toilet.
- Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan
yang gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang
terjadi.
b. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan
tenggorokan, karena pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar
untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli
bedah.

27
c. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang
tenang dan tidak ada ketegangan.
d. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction
dilakukan dengan mudah, memudahkan respiration control dan
mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal.
e. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi
intestinal.
f. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.
g. Tracheostomi.
h. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
Selain intubasi endotrakheal diindikasikan pada kasus-kasus di
ruang bedah, ada beberapa indikasi intubasi endotrakheal pada
beberapa kasus nonsurgical, antara lain:
- Asfiksia neonatorum yang berat.
- Untuk melakukn resusitasi pada pasien yang tersumbat
pernafasannya, depresi atau abcent dan sering menimbulkan
aspirasi.
- Obstruksi laryngeal berat karena eksudat inflamatoir.
- Pasien dengan atelektasis dan tanda eksudasi dalam paru-paru.
- Pada pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar untuk waktu yang
lebih lama dari 24 jam seharusnya diintubasi.
- Pada post operative respiratory insufficiency.

3.4 Induksi anestesi


Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesi langsung
dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan pembedahan
selesai. Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya disiapkan
peralatan dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi

28
keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk
persiapan induksi anestesi, sebaiknya diingat kata STATICS:7,8,9

S : Scope  Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop


pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.
T : Tubes  Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed)
dan usia > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway  Pipa mulut-faring (Guedel,orotracheal airway) dan pipa hidung-
faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar
untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape  Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I : Introducer  Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea mudah
dimasukkan
C : Connector  Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
S : Suction  Penyedot lender, ludah, dan lain-lainnya
Tabel 3. Persiapan induksi anestesi

 Tindakan Intubasi.
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti
beberapa prosedur yang telah ditetapkan antara lain7,8,9 :
 Persiapan.
Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput
diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan
bantal yang cukup keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala
dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada
dalam satu garis lurus.
 Oksigenasi.
Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan
oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan

29
selama 2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan
balon dengan tangan kanan.
 Laringoskop.
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop
dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari
sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop
didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan
kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala
dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga
tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk
huruf V.
 Pemasangan pipa endotrakheal.
Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut
sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum
memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke
posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila
mengganggu, stilet dapat dicabut.Ventilasi atau oksigenasi
diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri
memfiksasi.Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop
dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
 Mengontrol letak pipa.
Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu
ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan
suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada
aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi
endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan
berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara
wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih
berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit
sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi
ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan

30
mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),
kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien
akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut
dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang
cukup.
 Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan
pasien bersangkutan.7,8,9

3.5 Obat Anestesi umum


Umumnya obat anestesi umum diberikan secara inhalasi atau
suntikan intravena. 5,8,10
1. Anestetik inhalasi
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif,
tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak,
dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2).
Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui
stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah.
Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada
operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi
otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas
terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida
mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi
dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa
menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai
perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam
anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai
berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.9,10

31
2. Anestetik intravena
Beberapa obat anestetik diberikan secara intravena baik
tersendiri maupun dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya
untuk mempercepat tercapainya stadium anestesi atau pun sebagai
obat penenang pada penderita gawat darurat yang mendapat
pernafasan untuk waktu yang lama, Yang termasuk :
 Barbiturat (tiopental, metoheksital)
 Benzodiazepine (midazolam, diazepam)
 Opioid analgesik dan neuroleptik
 Obat-obat lain (profopol, etomidat)
 Ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif
anestetik.

3.6 Induksi Anestesi


a. Induksi intravena
Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati,
perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus
disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi
anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi
dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien
yang kooperatif.5,8,10
 Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat
dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2%
phosphatide telur dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2-
2,5mg/kgBB untuk.9,10
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan
barbiturat intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan
pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain
itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi
karena propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi.

32
Propofol digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan
anestesi dan merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien
rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi
berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis)
dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat
infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi
secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan,
tetapi jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat
dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan
dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.8,10
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang
cukup berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi
arteri perifer dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri
sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena
vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan
sistemik kembali normal dengan intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya
kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali
lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan
ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan
kurang dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh
total anestesinya lebih besar daripada aliran darah hepatik,
sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme ekstrahepatik selain
metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat bermanfaat
bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme
obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak
fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan
tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena

33
bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang
minimal. Tidak di anjurkan pada pasien yang hipotensi (tensi
rendah) karena dapat menyebabkan hipotensi berat 5,8,10
 Tiopental (tiopenton, pentotal)
Diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan dosis
antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak
dan manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis
tinggi.
 Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca
anestesi dengan ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu
sebelumnya dianjurkan menggunakan sedativa seperti midasolam
(dormikum). Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan
darah tinggi (tekanan darah > 160 mmHg). Ketamin menyebabkan
pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.5,8
 Midazolam merupakan golongan benzodiazepin aksi-pendek.
Memiliki sifat sedatif, amnesik, antikonvulsan dan relaksan otot
skelet. Digunakaan saat premedikasi, sedasi sadar, dan obat induksi
suplementasi anestesia. Dosis IV 50-350 µg/kg. Dosis premedikasi
o,5 mg – 5 mg IV. Midazolam menyebabkan depresi ringan
vaskuler sistemik dan curah jantung. Laju jantung biasanya tidak
berubah. Perubahan hemodinamik yang berat dapat terjadi jika
pemberian dilakukan secara cepat dalam dosis besar atau bersama-
sama dengan narkotik. Pemberian midazolam juga menyebabkan
depresi ringan pada volume tidal, laju napas, dan sensitivitas
terhadap CO2. Hal ini makin nyata bila digunakan bersama dengan
opioid dan pada pasien dengan penyakit jalan obstruktif jalan nafas.
Pada pasien yang sehat, midazolam tidak menyebabkan
bronkhokonstriksi. Midazolam tidak memiliki efek iritasi setelah
penyuntikan intravena. Hal ini terlihat dari tidak adanya nyeri saat
penyuntikan dan tidak ada gejala-gejala sisa pada vena.8,11

34
b. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat
diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan
setelah 3-5 menit pasien tidur. 5,8
c. Induksi inhalasi
Obat yang digunakan adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat :
 tidak berbau menyengat / merangsang
 baunya enak
 cepat membuat pasien tertidur.
Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran.
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau
sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang
belum terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut disuntik.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau
campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4
liter/menit atau campuran N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai
dengan halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau
pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau
sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien
jarang batuk, walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi
tinggi sampai 8 vol%. seperti dengan halotan konsentrasi
dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau
desfluran jarang dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu
induksi menjadi lama.5,8,11
d. Induksi per rektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental
atau midazolam. Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya
refleks bulu mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada
kelopak mata.

35
e. Obat Pelumpuh Otot
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme
kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat
penghambat secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin,
dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal
kurarin.
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi
cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi
relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi
kendali. Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini
adalah :
Atracurium besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif
baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari
tanaman Leontice leontopetaltum. Indikasi, sebagai adjuvant
terhadap anestesi umum agar intubasi trakea dapat dilakukan dan
untuk relaksasi otot rangka selama proses pembedahan atau
ventilasi terkendali. Dosis yang dianjurkan : 0,3-0,6 mg/kg
(tergantung durasi blokade penuh yang dibutuhkan) dan akan
memberikan relaksasi yang memadai selama 15-35 menit. Intubasi
endotrakea biasanya sudah dapat dilakukan dalam 90 detik setelah
injeksi intravena 0,5-0,6 mg/kg. Efek samping :
 Skin flushing, hioptensi atau bronkospasme ringan dan
sementara, yang berhubungan dengan pelepasan histamine.
 Sangat jarang terjadi : reaksi anafilaktik berat dilaporkan terjadi
pada pasien yang mendapatkan atracurium bersamaan dengan
beberapa obat lain. Pasien ini biasanya memiliki satu atau lebih
kondisi medis yang memudahkan terjadinya kejang (contohnya
trauma cranial, edema serebri, uremia). 5,11
KI : Pasien yg hipersensitif trhadap obat ini.

36
Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat
terdahulu antara lain adalah :
 Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui
suatu reaksi kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman.
Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal.
 Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
 Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang
bermakna.
Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi
adalah 2-3 menit, sedang lama kerja atracurium dengan dosis
relaksasi 15-35 menit3.
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan
(sesudah lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian
antikolinesterase. Nampaknya atracurium dapat menjadi obat
terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung
dan ginjal yang berat. 4,5
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung
50 mg atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada
penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap
penyinaran.9,10 Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv

3.7 Rumatan Anestesia ( Manitenance )


Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena
(anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran
intravena inhalasi. Rumatan anestesi biasanya mengacu pada trias
anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia
cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri
dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis
tinggi, fentanil 10-50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien
tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi

37
pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis
biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena menggunakan
opioid, pelumpuh otot, dan ventilator. Untuk mengembangkan paru
digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2
3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran
2-4 vol%, atau sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas
spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan (controlled). 4
 Isoflurane
- Bau tidak enak
- Termasuk anestesi inhalasi kuat dengan sifat analgetis dan relaksasi
otot baik
- Efek samping: hipotensi, aritmi, menggigil, konstriksi bronkhi,
meningkatnya jumlah leukosit. Pasca bedah dapat timbul mual,
muntah, dan keadaan tegang
- Sediaan : isofluran 3-3,5% dlm O2; + NO2-O2 = induksi;
maintenance : 0,5%-3%
 Sevoflurane
Sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin. Peningkatan kadar
alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat untuk
induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun
dewasa. Induksi inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi
N2O dan oksigen dapat dicapai dalam 1-3 menit.
Efek terhadap Sistem Organ
Sevofluran dapat menurunkan kontraktilitas miokard, namun
bersifat ringan. Resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah
arterial secara ringan juga mengalami penurunan, namun lebih
sedikit dibandingkan isofluran atau desfluran. Belum ada laporan
mengenai coronary steal oleh karena sevofluran. Agen inhalasi ini
dapat mengakibatkan depresi napas, serta bersifat bronkodilator.

38
Efek terhadap SSP adalah peningkatan TIK, meski beberapa riset
menunjukkan adanya penurunan aliran darah serebral. Kebutuhan
otak akan oksigen juga mengalami penurunan. Efeknya terhadap
neuromuskular adalah relaksasi otot yang adekuat sehingga
membantu dilakukannya intubasi pada anak setelah induksi
inhalasi. Terhadap ginjal, sevofluran menurunkan aliran darah
renal dalam jumlah sedikit, sedangkan terhadap hati, sevofluran
menurunkan aliran vena porta tapi meningkatkan aliran arteri
hepatik, sehingga menjaga aliran darah dan oksigen untuk hati.
Sevofluran dikontraindikasikan pada hipovolemik berat,
hipertermia maligna, dan hipertensi intrakranial. Sevofluran juga
sama seperti agen anestetik inhalasi lainnya, dapat meningkatkan
kerja pelumpuh otot.

3.8 Teknik anestesi


1. Teknik anestesi nafas spontan dengan sungkup muka 5,7,9
Indikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa
membuka rongga perut, keadaan umum pasien cukup baik, lambung
harus kosong.
Selesai dilakukan induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu
mata hilang, sungkup muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu
ditahan atau sedikit ditarik kebelakang (posisi kepala ekstensi) agar
jalan napas bebas dan pernafasan lancer.
N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk
memperdalam anestesi, bersamaan dengan ini halotan dibuka sampai
1% dan sedikit demi sedikit dinaikkan dengan 1% sampai 3 atau 4 %
tergantung reaksi dan besar tubuh penderita.
Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata
menetap), nadi tidak cepat, dan terhadap rangsang operasi tidak
banyak berubah. Kalau stadium anesthesia sudah cukup dalam, rahang
sudah lemas, masukan pipa orofaring (guedel). Halotan kemudian

39
dikurangi menjadi 1-1,5% tergantung respon terhadap rangsang
operasi. Halotan dikurangi dan dihentikan beberapa menit sebelum
operasi selesai. Selesai operasi, N2O dihentikan dan penderita diberi
O2 100% beberapa menit untuk mencegah hipoksi difusi.
2. Teknik anestesi nafas spontan dengan pipa endotrakea
Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas
bebas pada anestesi dengan sungkup muka. Setelah induksi, dapat
dilakukan intubasi. Balon pipa endotrakea dikembangkan sampai tidak
ada kebocoran pada waktu melakukan nafas buatan dengan balon
nafas. Harus yakin bahwa pipa endotrakea ada di dalam trakea dan
tidak masuk terlalu dalam yaitu di salah satu bronkus atau di
eosofagus. Pipa endotrakea di fiksasi, lalu pasang guedel di mulut
supaya pipa endotrakea tidak tergigit. Lalu mata ditutup dengan
plester supaya tidak terbuka dan kornea tidak menjadi kering. Lalu
pipa endotrakea dihubungkan dengan konektor pada sirkuit nafas alat
anestesi. 5,7,9
3. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali
Teknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas. Nafas
dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila menggunakan
respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan + 10 ml/kgBB
dengan frekuensi 10/14 per menit. Apabila nafas dikendalikan secara
manual, harus diperhatikan pergerakan dada kanan dan kiri yang
simetris. Menjelang akhir operasi setelah menjahit lapisan otot selesai
diusahakan nafas spontan dengan membantu usaha “nafas sendiri”
secara manual. Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit
terjahit. N2O dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit.
Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali
dengan volume tidal 300 ml. O2 diberi terus 5-6 L selama 2-3 menit
untuk mencegah hipoksia difusi. 5,7,9

40
4. Ekstubasi
Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan
tidak disertai batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan
gangguan nafas, hipoksia sianosis.7,9

3.9 Terapi Cairan


Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus
mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang.Terapi cairan
perioperatif bertujuan untuk. 3
- Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang
selama operasi.
- Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga
seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain.
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB /
jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-
15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
 Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
 Sedang = 6 ml/kgBB/jam
 Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan
kurang dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan
kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.

41
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

3.10 Pasca bedah


Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan
nadi) sesudah operasi dan anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah
dan kamar pulih. Bila pasien gelisah, harus diteliti apakah karena
kesakitan atau karena hipoksia (tekanan darah menurun, nadi cepat)
misalnya karena hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau
kekurangan cairan). 12
1. Skor Aldrete
Skor aldrete adalah suatu kriteria untuk menilai keadaan pasien
selama observasi di ruang pemulihan (recovery room) yang digunakan
untuk menentukan boleh tidaknya pasien dikeluarkan dari ruang
pemulihan. Kriteria yang digunakan dan umumnya yang dinilai pada
saat observasi di ruang pulih adalah warna kulit atau saturasi O2,
kesadaran, sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik. Idealnya,
pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor total adalah 10 (skor
maksimal). Namun, bila skor total telah di atas 8 , pasien boleh keluar
dari ruang pemulihan. 12

42
Kriteria Skor

Kesadaran
Sadar penuh 2
Terangsang oleh stimulus verbal 1
Tidak terangsang oleh stimulus verbal 0
Respirasi
Dapat bernapas dalam dan batuk 2
Dispnea atau hanya dapat bernapas dangkal 1
Tidak dapat bernapas tanpa bantuan (apnea) 0
Tekanan Darah
Berbeda 20% dari tekanan darah sebelum operasi 2
Berbeda 20 – 50% dari tekanan darah sebelum operasi 1
Berbeda > 50% dari tekanan darah sebelum operasi 0
Oksigenasi
SpO2 > 92% pada udara ruangan 2
Memerlukan O2 tambahan untuk mencapai SpO2 > 90% 1
SpO2 < 90% meskipun telah mendapat O2 tambahan 0
Tabel 4. Aldrete’s Score

2. Penilaian Skala Nyeri


Ada empat skala yang digunakan untuk menentukan derajat
intesitas nyeri.13
a. Eskpresi wajah. Skala ini digunakan untuk pasien yang mengalami
komunikasi. Misalnya anak-anak, orang tua, pasien jiwa, pasien
ganguan mental atau pasien yeng tidak dapat berbicara dengan
bahasa setempat.
b. Verbal Rating Scale (VRS). Dimana pasien ditanya tentang derajat
nyeri. Yaitu nyeri ringan, sedang, hebat dan sangat hebat

43
c. Numerical Rating Scale (NRS) terdiri daripada angka 0-5 atau 0-10
dimana pasien ditanya tentang intensitas nyerinya dalam bentuk
angka.
d. Visual Analog Scale (VAS). Terdiri dari pada garis lurus sepanjang
100 ml meter dimana pasien membuat tanda silang pada garis yang
mengambarkan itensitas nyerinya.13

Gambar. 3 Penilaian Skala Nyeri

44
BAB V
KESIMPULAN

Pada kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi tonsilektomi


pada penderita laki-laki, usia 29 tahun, status fisik ASA II, mallampati II, dengan
diagnosis abses peritonsiler dan tonsilitis akut yang dilakukan teknik general
anestesi dengan intubasi karena diindikasikan pada operasi-operasi di daerah
kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan.
Pada teknik anestesi menggunakan intubasi penting untuk menilai Skor
Mallampati ditentukan dengan melihat anatomi dari rongga mulut, berdasarkan
visibilitas dari dasar uvula, arkus tonsilaris anterior dan posterior, dan palatum
mole. Semakin tinggi skor mallampati, semakin tinggi pula tingkat kesulitan
untuk dilakukan intubasi.
Trias anestesia yang biasa digunakan untuk menghasilkan anestesi umum
yang sempurna, adalah sebagai, hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Bisa
digunkan satu macam obat ataupun kombinasi intravena ataupun inhalasi.
Sedangakan Gold standar pada manajemen jalan napas selama operasi
tonsilektomi adalah ETT.
Pemantauan ketat setiap 5 menit selama intraoperatif sangat penting untuk
memantau hemodinamik pasien dan efek samping dari obat induksi bisa ditangani
segera.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Drake A. Tonsillectomy. http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm/emed-


tonsilektomi.
2. Burton MJ, Towler B, Glasziou P. Tonsillectomy versus non-surgical
treatment for chronic/recurrent acute tonsillitis (Cochrane Review). In: The
Cochrane Library, Issue 3, 2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.
3. George WL, Erin SW, 2016. Basic anesthesiology examination review.
Oxford
4. Pasternak LR, Arens JF, Caplan RA, Connis RT, Fleisher LA, Flowerdew R,
et al. Practice advisory for preanesthetic evaluation. A report by the American
Society of Anesthesiologists Task Force on Preanesthesia Evaluation 2003.
5. Richard AJ, Clifford AS, Brenda G. Anesthesioligy’s manual of surgical
procedurs. Fifth edition. 2014.
6. Graham D, Fiona N, Colin R. Macleod’s clinical examination. 12th edition.
2009.
7. Monty M, Edward B, Robert C, David M. Anesthesiology. Churcill’s
Livingstone Elsevier. 2010.
8. Keith J, Stainley H. Anesthesiology emergencies. Oxford. 2015.
9. Ian C, Adrian P. Airway Management. Second edition. 2011. Cambridge.
10. Mattew C, Emma C. Physics , Pharmacology dan physiology for Anaesthetic.
Second edition. 2014. Cambridge.
11. Nafrialdi: Setiawan, A., 2007. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Departemen
Farmakologi dan terapeutik Fakultas Kedokteran UI. Airlangga.
12. Dowling,L.P.2015. Aldrete Discharge Scoring Appropriate for Post
Anesthesia Phase 1 Discharge. University of New Hampshire.
13. Andres, Jose, Fischer, J, Ivani, Girgio, et.all. Postoperative Pain Management
Good Clinical Pratice. Of European Society of Regional Anasthesia.2005.

46

Anda mungkin juga menyukai