OLEH :
SRI RAMADANI
K1A1 10 039
PEMBIMBING :
dr. Hj. ANDI HASNAH S, Sp.An
1
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. H
Umur : 38 th
Jenis kelamin : Perempuan
Berat Badan : 60 kg
Alamat : Kel. Tuoy
Agama : Islam
Diagnosis pre operasi : Abses Peritonsiler + tonsillitis akut
Jenis pembedahan : Tonsilektomi
Jenis anestesi : General Anestesi
Tanggal Operasi : 18 juli 2018
No.Rekam Medis : 53 43 xx
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis (18 Juli 2018) :
a. Keluhan utama : Nyeri Tenggorokan
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengeluh nyeri tenggorokan sejak 2 minggu lalu. Nyeri
dirasakan terus-menerus terutama dirasakan saat makan, minum ataupun
menelan ludah. Pasien juga merasakan rasa mengganjal pada leher dan
kadangkala mulut berbau. Tidak ada sesak, tidak ada suara parau dan
ngorok ketika tidur. Tidak ada nyeri kepala, mual, muntah. Penurunan
berat badan kurang lebih 1 kilogram dalam 2 bulan terakhir.
c. Penyakit dahulu :
Riwayat asma disangkal
Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
2
d. Riwayatan pengobatan sebelumnya :
- Telah dilakukan irigasi abses tonsil pada tanggal 12 Juli 2018 di RS
Bahteramas.
e. Riwayat penyakit keluarga : Riwayat asma, Diabetes Melitus, Hipertensi,
alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien disangkal.
f. Riwayat Kebiasaan : Pasien sering mengkonsumsi minuman dingin, Jajan
sembarangan dan mengkonsumsi makanan yang berminyak. Merokok
disangkal.
3
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, tidak terdapat ronkhi -/-,
wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi :
- Batas jantung kiri sela iga V linea midklavikula sinistra,
- Batas jantung kanan sela iga IV linea parasternal dextra,
Auskultasi : Bunyi jantung I – II reguler
4
V. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, maka:
Diagnosis pre operatif : Abses peritonsiler + tonsillitis akut
Status operatif : ASA II, Mallampati II
Jenis operasi : Tonsilektomi
Jenis anestesi : General Anestesi
Prognosis : Dubia ad Bonam
5
BAB II
LAPORAN ANESTESI
I. Pre Operatif
Informed Consent (+)
Puasa (+) selama 8 jam
Tidak ada gigi goyang atau pemakaian gigi palsu
IV line terpasang dengan infus RL 500 cc
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 66 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,8 0C
II. Premedikasi anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi, pasien diberikan Ondansetron 4 mg
IV, Ranitidin 50 mg i.v, Dexamethasone 10 mg IV, Midazolam 3 mg i.v,
fentanyl 100 µg i.v.
III. Pemantauan Selama Anestesi
Melakukan monitoring terus menerus tentang keadaan pasien yaitu reaksi
pasien terhadap pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi
pernapasan dan jantung.
Kardiovaskular : Nadi setiap 5 menit
Tekanan darah setiap 5 menit
Respirasi : Inspeksi pernapasan spontan pada pasien
Saturasi oksigen
Cairan : Monitoring input cairan
6
IV. Monitoring Tindakan Operasi :
Jam Tindakan Tekanan Nadi SPO2
Darah (x/menit) (%)
(mmHg)
10.30 Pasien masuk ke kamar operasi, dan 122/91 67 100
dipindahkan ke meja operasi
Pemasangan monitoring tekanan
darah, nadi, saturasi O2
Infus RL terpasang pada tangan kanan.
Premedikasi :
Ondansetron 4mg iv
Dexamethason 10 mg/iv
Ranitidin 50 mg i.v
10.40 Monitoring A,B,C 146/82 54 100
10.45 Inj. Midazolam 2 mg iv 139/78 65 100
Fentanyl 100 µg
10.50 Preoksigenasi face mask O2 8 lpm 132/71 50 100
Persiapan induksi
10.55 Obat induksi dimasukkan secara iv: 118/82 92 100
o Atrakurium Besilate 30 mg
o Propofol 100 mg
o Tramus 10 mg
cek refleks bulu mata dan pergerakan
dinding dada
Ventilasi bantu Positif -- O2 8
lL/Menit
Pasang gudel-- Ventilasi adekuat
Atrakurium Besilate 30 mg
Persiapan Intubasi :
Laringoscopi
Selic manuver
Insersi ETT 7,0
Mengembangkan cuff ETT
menggunakan spoit 10 cc.
Menyambungkan dengan sirkuit
mesin anestesi, mengecek
pengembangan dinding dada,
mendengarkan bunyi pernapasan
7
dengan stetoskop.
Fiksasi ETT sebelah kiri
8
12.20 Matikan Gas 137/101 100 100
O2 8 L/menit
Pasang gudel/ suction
Melakukan ekstubasi
(Oksigenisasi) dengan menggunakan
face mask.
Pelepasan alat monitoring (saturasi
dan tensimeter).
Pasien dipindahkan ke ruang recovery
room. Selanjutnya dilakukan
pemasangan alat monitoring di
recovery room.
9
Cairan : Cairan Masuk: RL 1100 cc, cairan keluar tidak
dapat dimonitoring karena tidak dilakukan
pemasangan kateter.
VI. POST OPERATIF
- Pasien masuk ruang pemulihan dan setelah itu dibawa ke ruang perawatan
Raha Mongkilo.
- Observasi tanda- tanda vital dalam batas normal
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 128/69 mmHg
Nadi : 72x/min
Saturasi : 99%
- Penilaian pemulihan kesadaran, penilaian score Aldrete. Pada pasien ini
didapatkan nilai aldrete skor 9, pasien dipindahkan ke ruang perawatan
bangsal untuk dilakukan observasi lebih lanjut.
Skor
Variabel Tem Skor
Pasien
Gerak ke-4 anggota gerak atas perintah 2
Aktivitas Gerak ke-2 anggota gerak atas perintah 1 2
Tidak respon 0
Dapat bernapas dalam dan batuk 2
Respirasi Dispnea, hipoventilasi 1 2
Apnea 0
Perubahan < 20 % TD sistol preoperasi 2
Sirkulasi Perubahan 20-50 % TD sistol preoperasi 1 2
Perubahan .> 50 % TD sistol preoperasi 0
Sadar penuh 2
Kesadaran Dapat dibangunkan 1 1
Tidak respon 0
Merah 2
Warna kulit 2
Pucat 1
10
Sianotik 0
Skor Total 9
≥ 9 : Pindah dari unit perawatan pasca anestesi
5- 8 : Dipindahkan ke ruang perawatan bangsal
≤ 5 : dipindahkan ke ruang perawatan intensif (ICU)
11
BAB III
ANALISA KASUS
12
dengan penggunaan sumbat mulut Boyle – Davis; tekanan saluran napas harus
diperiksa. Pada pasien ini dilakukan general ansetesi dan pemasanagan ETT untuk
management airway inta operatif Setelah operasi, pasien harus diekstubasi dalam
posisi lateral dan kepala rendah (posisi pasca tonsilektomi) yang harus
dipertahankan dalam periode pasca-operasi. Pencapaian hemostasis dan
tenggorokan bebas dari sekresi atau kasa apapun harus dikonfirmasi sebelum
dilakukan ekstubasi. Pasien harus dipindahkan ke ruang pemulihan dalam posisi
lateral dan harus dimonitor untuk perdarahan serta penurunan kesadaran.
13
Golongan non depolarisasi merupakan inhibitor kompetitif dari asetilkolin.,
memiliki onset < 3 menit dengan durasi kerja 20-35 menit.
Untuk maintenance selama operasi berlangsung diberikan juga beberapa
gas inhalasi berupa O2 4L, dan isoflurane 2 vol% melalui mesin anestesi. Isofluran
merupakan isomer dari enfluran. Induksi dan masa pulih anestesia dengan
isoflurane cepat. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal
sehingga banyak digemari untuk anestesi teknik hipotensi. Selama operasi
berlangsung dilakukan pemantauan tanda vital berupa tekanan darah, nadi , dan
saturasi oksigen setiap 5 menit secara efisien dan terus menerus, dan pemberian
cairan intravena berupa RL. Cairan yang diberikan adalah RL (Ringer Laktat)
karena merupakan kristaloid dengan komposisinya yang lengkap (Na+, K+, Cl-,
Ca++, dan laktat) yang mengandung elektrolit untuk menggantikan kehilangan
cairan selama operasi, juga untuk mencegah efek hipotensi akibat pemberian obat-
obatan intravena dan gas inhalasi yang mempunyai efek vasodilatasi.
Terapi cairan intra-operatif dijabarkan sebagai berikut :
Kebutuhan Cairan Basal (M) :
o Kebutuhan cairan basal (rutin, rumatan) ialah :
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB
/ jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah
10-15 %. Pada pasien ini diperoleh kebutuhan cairan basalnya
adalah sebagai berikut :
2 cc x 60 = 120 cc
Kebutuhan cairan operasi (SO) :
o Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang
peritoneum, ruang ketiga, atau ke luar tubuh. Untuk menggantinya
tergantung pada besar kecilnya pembedahan, 6-8 ml/kg untuk
operasi besar, 4-6 ml/kg untuk operasi sedang, dan 2-4 ml/kg untuk
operasi kecil.
o Pada pasien ini diperoleh kebutuhan cairan operasinya adalah
sebagai berikut :
Operasi ringan x Berat badan : 4 x 60 kg = 240 cc
14
Kebutuhan cairan pengganti puasa (P) ;
Lama jam puasa x kebutuhan cairan basal
8 x 120 = 960 cc
Pemberian cairan jam pertama :
M + SO + 50% PP
= 120 cc + 240 cc + 480 cc = 840 cc
Pemberian cairan jam II dan III
(1/4 PP) + M + SO
= (1/4 960 ) + 120 + 240
= 240 + 120 + 240
= 600 cc
15
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
I. TONSILEKTOMI
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil
palatina. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan
jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil
faringeal. Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman,
namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena
tetap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam
pelaksanaannya. Di AS karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi
digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan
pada operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak sulit.1
Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat
ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan
berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas
dan hipertrofi tonsil.9 Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi
saluran napas, indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi
absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency
dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah
kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya
dilakukan tonsilektomi.1
a. Indikasi Absolut 1
Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,
disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner.
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis
dan drainase
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
16
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi
b. Indikasi Relatif 1
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten.
Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar (Quinsy),
tonsilektomi dapat dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.1,2
17
c. Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan
sampai pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4
plana yaitu:
Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang,
terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil
midriasis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks
faring dan muntah tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot
lurik yang sempurna. (tonus otot mulai menurun).
Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak,
terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai
menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang
sehingga dikerjakan intubasi.
Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal
mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral,
refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik
hampir sempuma (tonus otot semakin menurun).
Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot
interkostal paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya
hilang, refleks sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak ada,
relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot sangat menurun).
d. Stadium IV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan
melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. pada
stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut jantung berhenti,
dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada
stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
18
2.3 Keuntungan anestesi umum :
Mengurangi kesadaran pasien intraoperative
Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang
lama.
Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi.
Dapat digunakan dalam kasus sensitivitas terhadap agen anestesi
lokal.
Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur durasi tak terduga .
Dapat diberikan dengan cepat.
Dapat diberikan pada pasien dalam posisi terlentang.3
2.4 Kekurangan anestesi umum :
Memerlukan beberapa derajat persiapan pra operasi pasien.
Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau
muntah, sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan memerlukan
masa untuk fungsi mental yang normal.
Terkait dengan hipertermia di mana paparan beberapa (tetapi tidak
semua) agen anestesi umum menyebabkan kenaikan suhu akut dan
berpotensi mematikan, hiperkarbia, asidosis metabolik, dan
hiperkalemia.3
2.5 Indikasi anestesi umum :
Infant dan anak usia muda.
Dewasa yang memilih anestesi umum.
Pembedahan luas.
Penderita sakit mental.
Pembedahan lama.
Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak
memuaskan.
Riwayat penderita toksik/alergi obat anestesi lokal.
Penderita dengan pengobatan antikoagulan
19
2.7 Komplikasi Anestesi Umum
a. Komplikasi Kardiovaskular
Hipotensi : tekanan sistol kurang dari 70 mmHg atau turun 25%
dari sebelumnya.
Hipertensi : umumnya tekanan darah dapat meningkat pada periode
induksi dan pemulihan anestesia. Komplikasi ini dapat
membahayakan khususnya pada penyakit jantung, karena jantung
akan bekerja keras dengan kebutuhan O2 miokard yang meningkat,
bila tak tercukupi dapat timbul iskemia atau infark miokard.
Namun bila hipertensi karena tidak adekuat dapat dihilangkan
dengan menambah dosis anestetika.
Aritmia Jantung : anestesi ringan yang disertai maniplasi operasi
dapat merangsang saraf simpatiks, dapat menyebabkan aritmia.
Bradikardia yang terjadi dapat diobati dengan atropin.
Gagal Jantung : mungkin terjadi bila pasien mendapat cairan IV
berlebihan.
b. Komplikasi Respirasi
Obstruksi jalan nafas
Batuk
Cekukan (hiccup)
Intubasi endobronkial
Apnoe
Atelektasis
Pneumotoraks
Muntah dan regurgitas
c. Komplikasi Mata : Laserasi kornea, menekan bola mata terlalu kuat.
d. Komplikasi Neurologi : Konvulsi, terlambat sadar, cedera saraf tepi
(perifer).
e. Perubahan Cairan Tubuh : Hipovolemia, Hipervolemia
20
f. Komplikasi Lain-Lain : Menggigil, gelisah setelah anestesi, mimpi
buruk, sadar selama operasi, kenaikan suhu tubuh.3
21
miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan
penyakit ginjal.
Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya
kortikosteroid, obat antihipertensi, obat-obat antidiabetik,
antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti
digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino
oxidase inhibitor, bronkodilator.
Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang
lalu, berapa kali, dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami
komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif
pasca bedah.
Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi
jalannya anestesi seperti: merokok dan alkohol.4
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-
geligi, tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk
diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi.
Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu
tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
semua sistem organ tubuh pasien.5,6
c. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai
dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas
kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun
pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah
kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan
urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan
EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang
22
mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji
semacam ini.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat
dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes
mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat
menimbulkan hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin
operasi lebih baik dilakukan dengan teknik analgesia regional
daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru
pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan
terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat
dihindari. 4,5,6
d. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia.
Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas
merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani
anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu
sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8
jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak
diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia. Minuman bening, air
putih, the manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air
putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.5,6
e. Klasifikasi status fisik
Skor ASA
ASA (American Society of Anaesthesiologist) adalah klasifikasi
yang lazim digunakan untuk menilai status fisik pasien pra-anestesi.
Klasifikasi ini berasal dari The American Society of Anesthesiologist
yang terdiri dari:
23
Kelas Status fisik Contoh
I Pasien normal yang sehat Pasien bugar dengan
hernia inguinal
II Pasien dengan penyakit sistemik Hipertensi esensial,
ringan diabetes ringan
III Pasien dengan penyakit sistemik Angina, insufisiensi
berat yang tidak melemahkan pulmoner sedang
(incapacitating) sampai berat
IV Pasien dengan penyakit sistemik Penyakit paru
yang melemahkan dan merupakan stadium lanjut, gagal
ancaman konstan terhadap jantung
kehidupan
V Pasien sekarat yang diperkirakan Ruptur aneurisma
tidak bertahan selama 24 jam aorta, emboli paru
dengan atau tanpa operasi massif
E Kasus-ksus emergensi diberi
tambahan hurup “E” ke angka.
Tabel 1. Klasifikasi ASA dari status fisik
Skor Mallampati
Skor Mallampati adalah suatu perkiraan kasar dari ukuran relatif
lidah terhadap rongga mulut yang digunakan untuk memperkirakan
tingkat kesulitan intubasi. Skor Mallampati ditentukan dengan melihat
anatomi dari rongga mulut, khususnya berdasarkan visibilitas dari
dasar uvula, arkus tonsilaris anterior dan posterior, dan palatum mole.
Semakin tinggi skor mallampati, semakin tinggi pula tingkat kesulitan
untuk dilakukan intubasi.7,3
24
Kelas 1 tonsil, palatum mole, dan uvula terlihat jelas seluruhnya
25
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan
pada situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien
dapat membangun kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat
pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg
beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena
penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg
intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan
pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat
diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin 600
mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal
operasi.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering
ditambahkan premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa
droperidol 2,5-5 mg atau ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).
26
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah
untuk membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan
nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah
pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada
dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal :3,9
- Mempermudah pemberian anestesia.
- Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta
mempertahankan kelancaran pernafasan.
- Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada
keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
- Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
- Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
- Mengatasi obstruksi laring akut.
Indikasi dan Kontraindikasi.
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal antara lain :8
a. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
- oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan
pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
- Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya
tekanan karbondioksida di arteri.
- Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret
pulmonal atau sebagai bronchial toilet.
- Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan
yang gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang
terjadi.
b. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan
tenggorokan, karena pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar
untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli
bedah.
27
c. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang
tenang dan tidak ada ketegangan.
d. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction
dilakukan dengan mudah, memudahkan respiration control dan
mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal.
e. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi
intestinal.
f. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.
g. Tracheostomi.
h. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
Selain intubasi endotrakheal diindikasikan pada kasus-kasus di
ruang bedah, ada beberapa indikasi intubasi endotrakheal pada
beberapa kasus nonsurgical, antara lain:
- Asfiksia neonatorum yang berat.
- Untuk melakukn resusitasi pada pasien yang tersumbat
pernafasannya, depresi atau abcent dan sering menimbulkan
aspirasi.
- Obstruksi laryngeal berat karena eksudat inflamatoir.
- Pasien dengan atelektasis dan tanda eksudasi dalam paru-paru.
- Pada pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar untuk waktu yang
lebih lama dari 24 jam seharusnya diintubasi.
- Pada post operative respiratory insufficiency.
28
keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk
persiapan induksi anestesi, sebaiknya diingat kata STATICS:7,8,9
Tindakan Intubasi.
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti
beberapa prosedur yang telah ditetapkan antara lain7,8,9 :
Persiapan.
Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput
diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan
bantal yang cukup keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala
dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada
dalam satu garis lurus.
Oksigenasi.
Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan
oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan
29
selama 2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan
balon dengan tangan kanan.
Laringoskop.
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop
dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari
sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop
didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan
kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala
dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga
tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk
huruf V.
Pemasangan pipa endotrakheal.
Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut
sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum
memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke
posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila
mengganggu, stilet dapat dicabut.Ventilasi atau oksigenasi
diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri
memfiksasi.Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop
dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
Mengontrol letak pipa.
Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu
ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan
suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada
aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi
endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan
berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara
wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih
berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit
sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi
ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan
30
mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),
kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien
akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut
dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang
cukup.
Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan
pasien bersangkutan.7,8,9
31
2. Anestetik intravena
Beberapa obat anestetik diberikan secara intravena baik
tersendiri maupun dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya
untuk mempercepat tercapainya stadium anestesi atau pun sebagai
obat penenang pada penderita gawat darurat yang mendapat
pernafasan untuk waktu yang lama, Yang termasuk :
Barbiturat (tiopental, metoheksital)
Benzodiazepine (midazolam, diazepam)
Opioid analgesik dan neuroleptik
Obat-obat lain (profopol, etomidat)
Ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif
anestetik.
32
Propofol digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan
anestesi dan merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien
rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi
berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis)
dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat
infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi
secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan,
tetapi jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat
dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan
dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.8,10
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang
cukup berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi
arteri perifer dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri
sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena
vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan
sistemik kembali normal dengan intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya
kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali
lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan
ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan
kurang dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh
total anestesinya lebih besar daripada aliran darah hepatik,
sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme ekstrahepatik selain
metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat bermanfaat
bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme
obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak
fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan
tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena
33
bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang
minimal. Tidak di anjurkan pada pasien yang hipotensi (tensi
rendah) karena dapat menyebabkan hipotensi berat 5,8,10
Tiopental (tiopenton, pentotal)
Diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan dosis
antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak
dan manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis
tinggi.
Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca
anestesi dengan ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu
sebelumnya dianjurkan menggunakan sedativa seperti midasolam
(dormikum). Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan
darah tinggi (tekanan darah > 160 mmHg). Ketamin menyebabkan
pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.5,8
Midazolam merupakan golongan benzodiazepin aksi-pendek.
Memiliki sifat sedatif, amnesik, antikonvulsan dan relaksan otot
skelet. Digunakaan saat premedikasi, sedasi sadar, dan obat induksi
suplementasi anestesia. Dosis IV 50-350 µg/kg. Dosis premedikasi
o,5 mg – 5 mg IV. Midazolam menyebabkan depresi ringan
vaskuler sistemik dan curah jantung. Laju jantung biasanya tidak
berubah. Perubahan hemodinamik yang berat dapat terjadi jika
pemberian dilakukan secara cepat dalam dosis besar atau bersama-
sama dengan narkotik. Pemberian midazolam juga menyebabkan
depresi ringan pada volume tidal, laju napas, dan sensitivitas
terhadap CO2. Hal ini makin nyata bila digunakan bersama dengan
opioid dan pada pasien dengan penyakit jalan obstruktif jalan nafas.
Pada pasien yang sehat, midazolam tidak menyebabkan
bronkhokonstriksi. Midazolam tidak memiliki efek iritasi setelah
penyuntikan intravena. Hal ini terlihat dari tidak adanya nyeri saat
penyuntikan dan tidak ada gejala-gejala sisa pada vena.8,11
34
b. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat
diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan
setelah 3-5 menit pasien tidur. 5,8
c. Induksi inhalasi
Obat yang digunakan adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat :
tidak berbau menyengat / merangsang
baunya enak
cepat membuat pasien tertidur.
Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran.
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau
sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang
belum terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut disuntik.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau
campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4
liter/menit atau campuran N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai
dengan halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau
pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau
sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien
jarang batuk, walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi
tinggi sampai 8 vol%. seperti dengan halotan konsentrasi
dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau
desfluran jarang dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu
induksi menjadi lama.5,8,11
d. Induksi per rektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental
atau midazolam. Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya
refleks bulu mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada
kelopak mata.
35
e. Obat Pelumpuh Otot
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme
kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat
penghambat secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin,
dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal
kurarin.
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi
cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi
relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi
kendali. Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini
adalah :
Atracurium besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif
baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari
tanaman Leontice leontopetaltum. Indikasi, sebagai adjuvant
terhadap anestesi umum agar intubasi trakea dapat dilakukan dan
untuk relaksasi otot rangka selama proses pembedahan atau
ventilasi terkendali. Dosis yang dianjurkan : 0,3-0,6 mg/kg
(tergantung durasi blokade penuh yang dibutuhkan) dan akan
memberikan relaksasi yang memadai selama 15-35 menit. Intubasi
endotrakea biasanya sudah dapat dilakukan dalam 90 detik setelah
injeksi intravena 0,5-0,6 mg/kg. Efek samping :
Skin flushing, hioptensi atau bronkospasme ringan dan
sementara, yang berhubungan dengan pelepasan histamine.
Sangat jarang terjadi : reaksi anafilaktik berat dilaporkan terjadi
pada pasien yang mendapatkan atracurium bersamaan dengan
beberapa obat lain. Pasien ini biasanya memiliki satu atau lebih
kondisi medis yang memudahkan terjadinya kejang (contohnya
trauma cranial, edema serebri, uremia). 5,11
KI : Pasien yg hipersensitif trhadap obat ini.
36
Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat
terdahulu antara lain adalah :
Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui
suatu reaksi kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman.
Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal.
Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang
bermakna.
Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi
adalah 2-3 menit, sedang lama kerja atracurium dengan dosis
relaksasi 15-35 menit3.
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan
(sesudah lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian
antikolinesterase. Nampaknya atracurium dapat menjadi obat
terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung
dan ginjal yang berat. 4,5
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung
50 mg atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada
penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap
penyinaran.9,10 Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv
37
pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis
biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena menggunakan
opioid, pelumpuh otot, dan ventilator. Untuk mengembangkan paru
digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2
3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran
2-4 vol%, atau sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas
spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan (controlled). 4
Isoflurane
- Bau tidak enak
- Termasuk anestesi inhalasi kuat dengan sifat analgetis dan relaksasi
otot baik
- Efek samping: hipotensi, aritmi, menggigil, konstriksi bronkhi,
meningkatnya jumlah leukosit. Pasca bedah dapat timbul mual,
muntah, dan keadaan tegang
- Sediaan : isofluran 3-3,5% dlm O2; + NO2-O2 = induksi;
maintenance : 0,5%-3%
Sevoflurane
Sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin. Peningkatan kadar
alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat untuk
induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun
dewasa. Induksi inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi
N2O dan oksigen dapat dicapai dalam 1-3 menit.
Efek terhadap Sistem Organ
Sevofluran dapat menurunkan kontraktilitas miokard, namun
bersifat ringan. Resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah
arterial secara ringan juga mengalami penurunan, namun lebih
sedikit dibandingkan isofluran atau desfluran. Belum ada laporan
mengenai coronary steal oleh karena sevofluran. Agen inhalasi ini
dapat mengakibatkan depresi napas, serta bersifat bronkodilator.
38
Efek terhadap SSP adalah peningkatan TIK, meski beberapa riset
menunjukkan adanya penurunan aliran darah serebral. Kebutuhan
otak akan oksigen juga mengalami penurunan. Efeknya terhadap
neuromuskular adalah relaksasi otot yang adekuat sehingga
membantu dilakukannya intubasi pada anak setelah induksi
inhalasi. Terhadap ginjal, sevofluran menurunkan aliran darah
renal dalam jumlah sedikit, sedangkan terhadap hati, sevofluran
menurunkan aliran vena porta tapi meningkatkan aliran arteri
hepatik, sehingga menjaga aliran darah dan oksigen untuk hati.
Sevofluran dikontraindikasikan pada hipovolemik berat,
hipertermia maligna, dan hipertensi intrakranial. Sevofluran juga
sama seperti agen anestetik inhalasi lainnya, dapat meningkatkan
kerja pelumpuh otot.
39
dikurangi menjadi 1-1,5% tergantung respon terhadap rangsang
operasi. Halotan dikurangi dan dihentikan beberapa menit sebelum
operasi selesai. Selesai operasi, N2O dihentikan dan penderita diberi
O2 100% beberapa menit untuk mencegah hipoksi difusi.
2. Teknik anestesi nafas spontan dengan pipa endotrakea
Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas
bebas pada anestesi dengan sungkup muka. Setelah induksi, dapat
dilakukan intubasi. Balon pipa endotrakea dikembangkan sampai tidak
ada kebocoran pada waktu melakukan nafas buatan dengan balon
nafas. Harus yakin bahwa pipa endotrakea ada di dalam trakea dan
tidak masuk terlalu dalam yaitu di salah satu bronkus atau di
eosofagus. Pipa endotrakea di fiksasi, lalu pasang guedel di mulut
supaya pipa endotrakea tidak tergigit. Lalu mata ditutup dengan
plester supaya tidak terbuka dan kornea tidak menjadi kering. Lalu
pipa endotrakea dihubungkan dengan konektor pada sirkuit nafas alat
anestesi. 5,7,9
3. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali
Teknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas. Nafas
dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila menggunakan
respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan + 10 ml/kgBB
dengan frekuensi 10/14 per menit. Apabila nafas dikendalikan secara
manual, harus diperhatikan pergerakan dada kanan dan kiri yang
simetris. Menjelang akhir operasi setelah menjahit lapisan otot selesai
diusahakan nafas spontan dengan membantu usaha “nafas sendiri”
secara manual. Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit
terjahit. N2O dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit.
Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali
dengan volume tidal 300 ml. O2 diberi terus 5-6 L selama 2-3 menit
untuk mencegah hipoksia difusi. 5,7,9
40
4. Ekstubasi
Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan
tidak disertai batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan
gangguan nafas, hipoksia sianosis.7,9
41
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
42
Kriteria Skor
Kesadaran
Sadar penuh 2
Terangsang oleh stimulus verbal 1
Tidak terangsang oleh stimulus verbal 0
Respirasi
Dapat bernapas dalam dan batuk 2
Dispnea atau hanya dapat bernapas dangkal 1
Tidak dapat bernapas tanpa bantuan (apnea) 0
Tekanan Darah
Berbeda 20% dari tekanan darah sebelum operasi 2
Berbeda 20 – 50% dari tekanan darah sebelum operasi 1
Berbeda > 50% dari tekanan darah sebelum operasi 0
Oksigenasi
SpO2 > 92% pada udara ruangan 2
Memerlukan O2 tambahan untuk mencapai SpO2 > 90% 1
SpO2 < 90% meskipun telah mendapat O2 tambahan 0
Tabel 4. Aldrete’s Score
43
c. Numerical Rating Scale (NRS) terdiri daripada angka 0-5 atau 0-10
dimana pasien ditanya tentang intensitas nyerinya dalam bentuk
angka.
d. Visual Analog Scale (VAS). Terdiri dari pada garis lurus sepanjang
100 ml meter dimana pasien membuat tanda silang pada garis yang
mengambarkan itensitas nyerinya.13
44
BAB V
KESIMPULAN
45
DAFTAR PUSTAKA
46