PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) adalah kelainan yang bersifat kronis ditandai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak yang disebabkan defisiensi insulin baik absolut dan
atau relatif. Defisiensi insulin absolut biasanya didapatkan pada pasien diabetes mellitus tipe – 1.
Hal ini disebabkan adanya kerusakan sel pankreas yang progresif sehingga insulin tidak dapat
disintesis oleh kelenjar pankreas. Defisiensi insulin relatif ditemukan pada pasien diabetes mellitus
tipe – 2 dikarenakan kurang efektifnya pemakaian insulin di dalam tubuh. 1
Sebagian besar penderita diabetes mellitus pada anak termasuk dalam DM tipe – 1, yang
terjadi akibat suatu proses autoimun yang merusak sel beta pankreas sehingga produksi insulin
berkurang bahkan berhenti.1,2 Oleh karena itu penderita sangat tergantung pada insulin untuk
kelangsungan hidupnya.1,3 Diabetes mellitus tipe – 1 ini disebut juga DM Tergantung Insulin
(DMTI).1
Sampai saat ini melalui penulusuran kepustakaan sedikit sekali tulisan di Indonesia
mengenai karakteristik klinis dan laboratorium DM tipe – 1. Hal ini mengakibatkan banyak tenaga
medis yang tidak mengetahuinya sehingga sering sekali salah dalam mendiagnosis pasien DM tipe
– 1.1 Gambaran klinis yang khas pada DM tipe – 1 berupa poliuria, polidipsi, polifagia, dan adanya
penurunan berat badan.1,2,3,4 Dengan demikian tindakan yang diberikan pada pasien tersebut tidak
adekuat, sehingga pasien tersebut mengalami hiperglikemi kronis dan akhirnya jatuh dalam
komplikasi yang berat, yaitu ketoasidosis diabteik (KAD), gangguan pertumbuhan, dan
komplikasi kronis lainnya berupa retinopati diabetika, nefropati diabetika, neuropati diabetika dan
sebagainya.1 Selain itu, masyarakat masih banyak yang kurang percaya bahwa DM bisa terjadi
pada anak.1 Setelah anak nya dirawat dengan komplikasi akut seperti KAD orang tua baru
menyadarinya.1 Gambaran klinis yang tidak khas perlu diperhatikan dan ditelusuri lebih lanjut
untuk lebih menajamkan diagnosis seperti mudah lelah, kesemutan atau keram kaki.1 Gangguan
kesadaran dan asidosis metabolik selalu bermanifestasi bila pasien datang dengan komplikasi
KAD.1
Pemeriksaan laboratorium darah perlu dikerjakan untuk menegakan diagnosis pasti DM
tipe – 1. Pemeriksaan kadar gula darah, darah perifer lengkap, HbA1c, C – peptide, dan bila pasien
menderita KAD diperiksa juga analisis gas darah, ureum, dan kreatinin, serta elektrolit darah.1
Diabetes mellitus tipe – 1 terjadi pada anak dan orang dewasa dengan rentang usia pada
anak 5 dan 7 tahun serta terjadi pada anak yang mendekati pubertas. Insidensi diabetes mellitus
tipe – 1 dipengaruhi oleh perubahan musim. Insiden meningkat pada musim gugur dan musim
dingin dan insidensi rendah pada musim panas.4
Insiden diabetes mellitus tipe – 1 sangat bervariasi baik antar negara maupun di dalam
suatau negara. Insiden tertinggi terdapat di Finlandia, yaitu 43/100.000 dan insidens yang rendah
2.1.DEFINISI
Diabetes mellitus (DM) termasuk dalam kelompok penyakit metabolik yang ditandai
dengan hiperglikemia kronik yang disebabkan oleh gangguan dari sekresi insulin, aksi insulin,
atau keduanya. Secara umum diabetes mellitus dibagi dalam dua bentuk utama, yaitu
kerusakan sel β pancreas yang menyebabkan defisiensi sebagian atau keseluruhan insulin, dan
resistensi insulin pada jaringan dengan sedikit atau tanpa gangguan sintesis atau pelepasan
insulin. Penurunan aksi pada jaringan target menyebabkan gangguan metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein.3
Diabetes mellitus tipe-1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan metabolisme
glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik.2 Keadaan ini disebabkan oleh kerusakan sel
β pankreas baik oleh proses autoimun maupun idiopatik sehingga produksi insulin berkurang
bahkan terhenti.2,4 Sekresi insulin yang rendah mengakibatkan gangguan pada metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein.2
2.2.KLASIFIKASI
d. Gangguan endokrin
Akromegali
Sindrom Cushing
Glucagonoma
Feokromatisoma
Hipertiroid
Somatostatinoma
Aldostrenoma
Dan lain – lain
Diabetes mellitus tipe 1 adalah penyakit autoimun di mana sel β pankreas tidak cukup
menghasilkan insulin, hormon yang mengatur penggunaan gula darah (glukosa) untuk dijadikan
energi. Energi dalam sel berkurang sehingga menyebabkan glukosa dalam darah meningkat. Hal
ini kemudian diikuti oleh kondisi yang mengancam jiwa, seperti kondisi hipoglikemia, gula darah
rendah, dan hiperglikemia, serta gula darah tinggi. Ketika terjadi hipoglikemia, sel tidak cukup
mendapatkan glukosa sehingga pasien akan mengalami kebingungan, kehilangan kesadaran, dan
koma. Bahkan dapat mengakibatkan kematian apabila jaringan otak kehilangan glukosa terlalu
lama. Hiperglikemia dan tidak adanya insulin yang berkepanjangan mungkin terjadi menyebabkan
ketoasidosis, yaitu akumulasi keton dalam darah saat tubuh menggunakan lemak sebagai energi
bukan menggunakan glukosa sebagai energi. Hal ini terjadi karena asam lemak tidak dapat diubah
menjadi glukosa. Keton membuat darah asam dan memperlambat kerja fungsi tubuh.6
Kemungkinan diabetes tipe lain perlu dipikirkan pada anak dengan riwayat keluarga
autosomal dominan, berhubungan dengan tuli, atrofi optik, atau gambaran sindrom yang lain,
resistensi insulin, riwayat terpapar obat – obatan yang toksik terhadap sel β dan yang menyebabkan
terjadinya resistensi insulin. Gambaran karakteristik diabetes pada anak diabetes mellitus tipe 1,
tipe 2 dan monogenik terdapat pada table berikut3 :
Tabel 2.2. Karakteristik Klinik Diabetes Mellitus Tipe – 1, Tipe – 2, dan Monogenik pada Anak dan Dewasa
Pada tipe diabetes mogoneik terdapat kelainan genetik dari fungsi sel β atau aksi insulin.
Sebelumnya tipe ini disebut sebagai Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY). Karakteristik
kelainannya berupa : timbul sebelum usai 25 tahun, autosomal dominan, diabetes nonketotik.
Kelainan genetiknya memperlihatkan gambaran yang berbeda antara subgroup genetik . Oleh
sebab itu, pada tipe ini terdapat banyak variasi derajat hiperglikemia, kebutuhan terhadap insulin,
dan risiko komplikasi yang akan terjadi.3
2.3.PATOGENESIS
Diabetes Tipe 1 ditandai dengan penghancuran autoimun sel insulin di pankreas oleh sel CD
4+ dan CD8 + T dan makrofag yang menginfiltrasi pulau kecil (Sel langerhans pankreas ). Berikut
ciri – ciri diabetes mellitus tipe – 1 sebagai penyakit autoimun5 :
1. Kehadiran sel-sel imuno-kompeten dan aksesori di pulau langerhans pankreas
2. Penyakit rentan terhadap Major Histocompatibilitas Class II (MHC II) dan Human
Leucocyte Antigens (HLA)
3. Kehadiran autoantibodi sel islet tertentu
4. Perubahan imunoregulasi yang dimediasi sel T , khususnya sel CD4 +
5. Keterlibatan sel monokin dan TH1 yang memproduksi interleukin
6. Respon terhadap imunoterapi
7. Sering terjadi penyakit autoimunitas spesifik organ lain pada individu yang terkena atau
anggota keluarga mereka.
Sekitar 85% pasien memiliki antibodi sel beta yang beredar di sirkulasi darah, dan mayoritas
juga memiliki antibodi anti-insulin yang terdeteksi sebelum menerima terapi insulin. Sebagian
besar antibodi sel islet menyerang dekarboksilase asam glutamat (GAD) di dalam sel B pancreas.5
Penghancuran sel β pancreas secara autoimun, menyebabkan sekresi insulin berkurang
sehingga dapat menyebabkan gangguan metabolik . Selain berkurangnya sekresi insulin, terjadi
disfungsi sel α pankreas dan terjadi berlebihnya sekresi glukagon pada pasien DM tipe - 1.
Biasanya, hiperglikemia menyebabkan sekresi glukagon berkurang, namun pada pasien dengan
DM tipe - 1, sekresi glukagon tidak ditekan oleh hiperglikemia . Hasilnya, tingkat glukagon yang
tidak tepat menghasilkan memperburuk defek metabolik karena defisiensi insulin. Meskipun
defisiensi insulin adalah cacat utama pada DM tipe - 1, ada juga kekurangan dalam pemberian
insulin. Kekurangan insulin menyebabkan lipolisis yang tidak terkontrol dan peningkatan kadar
asam lemak bebas di dalam plasma, yang menekan metabolisme glukosa di jaringan perifer seperti
otot rangka . Hal ini mengganggu pemanfaatan glukosa dan defisiensi insulin juga menurunkan
ekspresi sejumlah gen yang diperlukan untuk jaringan target untuk merespon secara normal
Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan pada terjadinya DM tipe – 1.3 walaupun
hampir 80% penderita DM tipe – 1 baru tidak mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit
serupa, factor genetic diakui berperan dalam proses patogenesis DM tipe – 1.3 Faktor genetik
dikaitkan dengan pola HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. 3,7,8 Tetapi system HLA bukan
faktor dominan pada patogenesis DM tipe – 1.3 Sistem HLA berperan sebagai suatu susceptibility
gene atau factor kerentanan.3 Diperlukan suatau factor pemicu yang berasal dari lingkungan yang
dapat menginduksi autoimun sel beta, seperti enterovirus yang homolog dengan protein P2 – C
(khususnya pada coxsackie B viruse) dan segmen dari Glutamic Acid Decarboxylase 65 (GAD65,
merupakan berat isoform molekul rendah dari GAD), homologi antara protein kapsid virus rubella
dan islet heatshock protein 52 kDa , segmen pendek dari albumin serum yang didapatkan dalam
susu sapi yang biasa disebut sebagai ABBOS, dan peptide 69- kDa yang dapat mengekspresikan
Insulin memegang peranan penting dalam cadangan energi sel. Pada keadaan normal,
insulin diekskresikan sebagai respon terhadap adanya makanan yang diatur oleh suatu mekanisme
kompleks yang melibatkan system neural, hormonal, dan substrat. Hal ini memungkinkan
pengaturan disposisi energi yang berasal dari makanan menjadi energi yang langsung dipakai atau
disimpan.3
Pada diabetes mellitus tipe – 1, massa sel beta hancur secara bertahap dari waktu ke waktu
pada individu (yang rentan secara genetik nya) setelah terpapar lingkungan yang dapat memicu
cedera sel beta yang dimediasi oleh sel T dan respon antibodi humoral. Tingkat penghancuran sel
beta dapat ditentukan dengan respon insulin tahap pertama selama tes toleransi glukosa intravena.
Mereka yang telah kehilangan pelepasan insulin fase pertama memiliki risiko tinggi untuk
mengembangkan klinis diabetes . Pada onset klinis penyakit, populasi sel beta residual tetap
bertahan sehingga memungkinkan remisi atau “honeymoon" periode setelah diagnosis diabetes .
Jika sel tidak dapat dipertahankan, manajemen diabetes akan menjadi sangat sulit sepanjang
waktu.6,7
Tabel 2.3. Risiko Absolut pada Diabetes Mellitus Tipe – 1 berhubungan dengan DR/DQ genotip
Sumber : Morales AE, She JX, Schatz DA. Perdiction and Prevention of Type 1 Diabetes. Current Diabetes
Report 2001, 1 : 28 – 32.7
2.4.PERJALANAN PENYAKIT
Diabetes mellitus tipe – 1 terjadi pada semua umur, dari bayi baru lahir sampai usia lanjut.3
Insidensi tertinggi DM tipe – 1 pada anak berada diantara usia 5 – 15 tahun.6,7 Perjalanan
penyakit diabetes ditandai melalui beberapa periode3,6,7,8 :
Pre – diabetes
Manifestasi klinis diabetes
Periode “honeymoon”
Ketergantungan insulin yang menetap
Keterangan : GAD65An: glutamic acid decarboxylase autoantibodies ; IAA : insulin autoantibodies ; ICA :
islet cell autoantibodies ; ICA512/IA– 2A : antibodies to an islet tyrosine phosphatase ; IVGTT : intravenous
glucose tolerance test ; OGTT “ Oral glucose tolerance test.
Sumber : Morales AE, She JX, Schatz DA. Perdiction and Prevention of Type 1 Diabetes. Current Diabetes
Report 2001, 1 : 28 – 32.7
10 | D i a g n o s i s D i a b e t e s M e l l i t u s T i p e – 1 p a d a A n a k
2.4.3. Periode “honeymoon”
Periode “honeymoon” ini berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu atau
bulan setelah terapi insulin. Kriteria periode “honeymoon” bila kebutuhan insulin kurang
dari 0,5U/kgBB/hari dengan HbA1c <7%. Hal ini perlu dijelaskan kepada keluarga yang
biasanya menganggap fenomena ini sebagai tanda – tanda kesembuhan, padahal keadaan
ini hanya bersifat sementara sebelum memasuki periode ketergantungan total terhadap
insulin.3
2.4.4. Periode Ketergantungan Terhadap Insulin
Perjalanan penyakit dari periode “honeymoon” ke periode tergantung insulin
seumur hidup biasanya lambat, tetapi bisa dipercepat dengan adanya penyakit lain. Terapi
sulih insulin merupakan satu – satunya pengobatan untuk DM tipe – 1.3
2.5.GAMBARAN KLINIS
Sebagian besar penderita DM tipe-1 mempunyai riwayat perjalanan klinis yang akut.
Poliuria, polidipsia, nokturia, enuresis, penurunan berat badan yang cepat dalam 2-6 minggu
sebelum diagnosis ditegakkan, kadang-kadang disertai polifagia dan gangguan penglihatan.2,3,5
Apabila gejala-gejala klinis ini disertai dengan hiperglikemia maka diagnosis DM tidak
diragukan lagi. Sering terjadi kesalahan dan keterlambatan diagnosis DM tipe-1.2,3
Insidens DM tipe – 1 di Indonesia masih belum diketahui dengan pasti, sehingga sering
terjadi kesalahan diagnosis yang mengakibatkan keterlambatan diagnosis. Akibatnya pasien
sering datang dengan ketoasidosis dibetik pdasaat awitan diagnosis. Kesalahn diagnosis yang
sering terjadi adalah napas Kussmaul disangka sebagai bronkopneumonia atau dehidrasi
dianggap disebabkan oleh gastroenteritis.3
Strategi utama untuk mengurangi keterlambatan diagnosis adalah meningkatkan
kewaspadaan terhadap DM tipe – 1. Diabetes mellitus tipe – 1 harus dipertimbangkan sebagai
salah satu diagnosis banding pada anak dengan enuresis nocturnal (pada anak yang sudah
besar), anak dengan dehidrasi sedang sampai berat tetapi masih ditemukan diuresis (polyuria)
apalagi disertai dengan pernafasan Kussmaul dan bau keton.3
Perjalanan alamiah penyakit DM tipe – 1 ditandai dengan adanya periode “remisi”
(parsial) yang dikenal sebagai periode honeymoon. Periode ini terjadi akibat berfungsinya
kembali jaringan residul pankreas sehingga pancreas mensekresikan kembali sisa insulin.
Periode ini akan berakhir apabila pancreas sudah menghabiskan seluruh sisa insulin. Secara
klinis ada tidaknya periode ini harus dicurigai apabila seseorang penderita baru DM tipe – 1
sering mengalami serangan hipoglikemia sehingga kebutuhan insulin harus dikurangi untuk
menghindari hipoglikemia. Apabila dosis insulin yang dibutuhkan sudah mencapai
<0,5U/kgBB/hari maka dapat dikatakan penderita berada pada periode “remisi”. Di negara
berkembang yang masih diwarnai oleh pengobatan tradisional, periode ini perlu dijelaskan
kepada penderita sehingga anggapan bahwa penderita telah “sembuh” dapat dihindari. Perlu
11 | D i a g n o s i s D i a b e t e s M e l l i t u s T i p e – 1 p a d a A n a k
diingat bahwa pada saat cadangan insulin sudah habis, penderita akan membutuhkan kembali
insulin dan apabila tidak segera mendapat insulin, penderita akan jatuh kembali ke keadaan
ketoasidosis dengan segala konsekuensinya.3
2.6.KRITERIA DIAGNOSTIK
Kriteria diagnosis diabetes dibuat berdasarkan pengukuran glukosa darah dan ada tidak
nya gejala. Glukosa plasma puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah kapiler <126
mg/dL (7 mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk DM sehingga perlu dikonfirmasi
dengan pemeriksaan glukosa darah. Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah
satu kriteria sebagai berikut2,3,5:
1. Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidipsia, nokturia, enuresis, penurunan
berat badan, polifagia, dan kadar glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/ dL (11.1
mmol/L). Atau
2. Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (≥7 mmol/L). Puasa adalah tanpa
asupan kalori minimal selama 8 jam. Atau
3. Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/ dL (11.1 mmol/L) pada jam ke – 2 TTGO
(Tes Toleransi Glukosa Oral).Atau
4. HbA1c >6.5% (dengan standar NGSP dan DCCT) Pada penderita yang
asimtomatis dengan peningkatan kadar glukosa plasma sewaktu (>200 mg/dL)
harus dikonfi rmasi dengan kadar glukosa plasma puasa atau dengan tes
toleransi glukosa oral yang terganggu. Diagnosis tidak ditegakkan berdasarkan
satu kali pemeriksaan.
12 | D i a g n o s i s D i a b e t e s M e l l i t u s T i p e – 1 p a d a A n a k
Penilaian hasil tes toleransi glukosa3 :
1. Anak penderita diabetes mellitus apabila :
Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL (7mmol/L) atau kadar glukosa darah
pada jam ke – 2 >200 mg/dL (11,1 mmol/L)
2. Anak dikatakan menderita toleransi glukosa terganggu apabila :
Kadar glukosa darah puasa 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan kadar
glukosa darah pada jam ke – 2 : 140 – 199 mg/dL (7,8 – 11,1 mmol/L)
3. Anak dikatakan normal apabila :
Kadar glukosa darah puasa (plasma) < 100mg/dL (5,6 mmol/L) dan kadar
glukosa darah pada jam ke – 2 <140 mg/dL (7,8 – 11 mmol/L).
Glikolasi Protein
Protein bereaksi secara spontan dalam darah dengan glukosa untuk membentuk
turunan glikolasi. Tingkat glikasi protein dikendalikan oleh konsentrasi glukosa dalam
darah dan dengan jumlah kelompok amino reaktif yang ada dalam protein yang dapat
diakses glukosa untuk reaksi. Semua protein dengan situs reaktif dapat digitasi dan
konsentrasi protein terglikasi yang dapat diukur dalam darah merupakan penanda fluktuasi
konsentrasi glukosa darah selama periode tertentu. Dari titik klinis protein glycated dengan
waktu hidup yang lebih lama dalam darah sangat menarik, karena mereka mencerminkan
pemaparan protein ini ke glukosa untuk waktu yang lebih lama.5
Glikolasi Hemoglobin
Masa hidup hemoglobin secara in vivo adalah 90 sampai120 hari. Selama waktu
ini bentuk A glikolaso hemoglobin , menjadi senyawa ketoamine yang dibentuk oleh
kombinasi hemoglobin A dan glukosa. Beberapa subfraksi hemoglobin terglikasi telah
diisolasi. Dari jumlah tersebut, hemoglobin terglikasi sebagian fraksi HbA1c paling banyak
diminati sebagai indikator retrospektif konsentrasi glukosa rata-rata. HbA1c
direkomendasikan sebagai indikator penting untuk pemantauan kontrol glukosa darah.
Darah HbA1c≥ 6,5% dianggap sebagai diabetes.5
Fruktosamin Tes
Albumin adalah komponen utama protein plasma. Karena albumin juga
mengandung kelompok amino bebas, reaksi non-enzimatik dengan glukosa dalam plasma
terjadi. Oleh karena itu albumin terglikasi juga dapat berfungsi sebagai penanda untuk
memantau glukosa darah. Albumin glikolasi biasanya diambil untuk memberikan ukuran
retrospektif konsentrasi glukosa darah rata-rata selama periode 1 sampai 3 minggu. Interval
referensi: 205- 285 mikro mol / L.5
13 | D i a g n o s i s D i a b e t e s M e l l i t u s T i p e – 1 p a d a A n a k
The 1997 American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan diagnosis
diabtese mellitus berfokus pada Fasting Plasma Glucose (FPG), serta WHO memfokuskan
pada the Oral Glucose Tolerance Test (OGTT)
14 | D i a g n o s i s D i a b e t e s M e l l i t u s T i p e – 1 p a d a A n a k
2.7.KOMPLIKASI
Komplikasi diabetes mellitus dibagi menjadi5 :
1. Komplikasi Akut, berupa :
a. Hipoglikemia
b. Hiperglikemia :
Diabetes Ketoasidosis (DKA)
Hyperglycemic Hyperosmolar Stase (HHS)
2. Komplikasi Kronis, berupa :
a. Komplikasi Mikrovaskular :
Retinopati diabetikum
Nefropati diabetikum
Neuropati diabetikum
b. Penyakit Makrovaskular
3. Komplikasi Lainnya :
a. Pertumbuhan dan perkembangan terganggu
b. Terkait dengan kondisi autoimun :
Hipotiroidd
Hipertiroid
Celiac disease
Vitiligo
Addison’s disease
c. Lipodystrophy ( Lipoatrophy and Lipohypertrophy)
d. Necrobiosis lipoidica diabeticorum
e. Non – alcoholic fatty liver disease
f. Infeksi
g. Edema
Ketoasidosis diabetik (DKA) terjadi pada 25% sampai 40% pasien yang memiliki
penyakit onset baru dan pada mereka yang telah mengenal diabetes tipe 1 pada tingkat 8
per 100 orang-tahun. Menurut Rewers dkk, pada penderita onset baru, DKA harus dicurigai
bila ada muntah, dehidrasi, sesak napas, sakit perut, atau perubahan tingkat kesadaran.
Selama evaluasi medis, klinisi harus menentukan riwayat terdahulu poliuria, polidipsia,
penurunan berat badan, perubahan nafsu makan, atau penurunan aktivitas, gejala yang
menunjukkan diabetes. DKA sering salah didiagnosis sebagai "flu" pada pasien yang sudah
mengenal diabetes. Setiap pasien yang menderita diabetes dan telah muntah harus
diasumsikan memiliki DKA sampai terbukti sebaliknya. DKA tetap merupakan sumber
utama morbiditas dan mortalitas terutama disebabkan oleh pengembangan edema serebral,
komplikasi paling parah dari DKA. Edema serebral terjadi pada 1% sampai 5% episode
DKA dan berhubungan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Permulaan
edema serebral biasanya berlangsung dalam waktu 6 sampai 12 jam setelah inisiasi
pengobatan.8
15 | D i a g n o s i s D i a b e t e s M e l l i t u s T i p e – 1 p a d a A n a k
Gambar 2.5. Warning Sign dan Faktor Risiko Edema Cerebral
Sumber : Kaufman F.R. Type 1 Diabetes Mellitus. Professor of Pediatrics, The Keck School of Medicine of University
of Southern California; Head, Center for Diabetes, Endocrinology and Metabolism, Children’s Hospital of Los
Angeles, Los Angeles, CA.Vol. 24 No.9. September 2003. 8
16 | D i a g n o s i s D i a b e t e s M e l l i t u s T i p e – 1 p a d a A n a k
BAB III
KESIMPULAN
Diabetes mellitus tipe 1 merupakan penyakit kronik yang sering terjadi pada anak
dengan rentang usia 5 dan 7 tahun yang dapat disebabkan oleh autoimun. Gejala klinis
pada penyakit ini berupa polyuria, polidipsi, polifagia, dan berat badan yang cepat
menurun terjadi antara satu sampai dua minggu sebelum diagnosis ditegakkan.
Insidensi diabetes mellitus tipe – 1 di Indonesia masih belum diketahui dengan pasti
dan sering terjadi kesalahan diagnosis yang mengakibatkan keterlambatan
diagnosis.akibatnya pasien erring datang dengan ketoasidosis diabetic pada awitan saat
diagnosis. Strategi utama untuk mengurangi keterlambatan diagnosis adalah
meningkatkan kewaspadaan terhadap diabetes mellitus tipe -1 pada anak. Pemeriksaan
yang menunjang diagnosis berupa pemeriksaan kadar glukosa puasa, tes toleransi
glukosa, HbA1c, glikolasi protein, dan fruktosamin tes.
17 | D i a g n o s i s D i a b e t e s M e l l i t u s T i p e – 1 p a d a A n a k
DAFTAR PUSTAKA
1. Haryudi A.C. Gambaran Klinis dan Laboratoris Diabetes Melitus Tipe-1 pada
Anak. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 26, No. 4, Agustus 2011.
3. Batubara J.R, Tridjaja Bambang, Pulungan A.B. Buku Ajar Endokrinologi Anak.
Edisi 1. Cetakan Pertama. IDAI. 2010. 125 – 94.
4. Atkinson M.A. The Pathogenesis and Natural History of Type 1 Diabetes. Cold
Spring Harb Perspect Med 2012;2:a007641
7. Morales AE, She JX, Schatz DA. Perdiction and Prevention of Type 1 Diabetes.
Current Diabetes Report 2001, 1 : 28 – 32.
8. Kaufman F.R. Type 1 Diabetes Mellitus. Professor of Pediatrics, The Keck School of
Medicine of University of Southern California; Head, Center for Diabetes, Endocrinology
and Metabolism, Children’s Hospital of Los Angeles, Los Angeles, CA.Vol. 24 No.9.
September 2003.
18 | D i a g n o s i s D i a b e t e s M e l l i t u s T i p e – 1 p a d a A n a k