1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam. Atau
2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. Atau
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan klasik atau
krisis hiperglikemia. Atau
4. Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP) dan Diabetes
Control and Complications Trial assay (DCCT).
1.2 Patofisiologi2
Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, hepar, dan
sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis pasien DM tipe 2
tetapi terdapat delapan organ lain yang berperan, disebut sebagai the egregious eleven
(Gambar 1).
Secara garis besar patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh sebelas hal
(egregious eleven) yaitu:
1. Kegagalan sel beta pankreas
Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang.
2. Disfungsi sel alfa pankreas
Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia
dan sudah diketahui sejak 1970. Sel alfa berfungsi pada sintesis glukagon yang dalam
keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan produksi glukosa hati (hepatic glucose production) dalam keadaan
basal meningkat secara bermakna dibanding individu yang normal.
3. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas (free fatty acid/FFA) dalam
plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan
mencetuskan resistensi insulin di hepar dan otot, sehingga mengganggu sekresi
insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoksisitas.
4. Otot
Pada pasien DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multipel di
intramioselular, yang diakibatkan oleh gangguan fosforilasi tirosin, sehingga terjadi
gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan
penurunan oksidasi glukosa.
5. Hepar
Pada pasien DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh hepar (hepatic
glucose production) meningkat.
6. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obese
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan
justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak.
7. Kolon/Mikrobiota
Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam keadaan
hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM tipe 1, DM tipe 2,
dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya sebagian individu berat badan
berlebih akan berkembang menjadi DM.
8. Usus halus
Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih besar dibanding bilar
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek inkretin ini diperankan
oleh 2 hormon yaitu glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1) dan glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP).
Pada pasien DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap hormon
GIP. Hormon inkretin juga segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4, sehingga
hanya bekerja dalam beberapa menit. Saluran pencernaan juga mempunyai peran
dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa glukosidase yang akan
memecah polisakarida menjadi monosakarida, dan kemudian diserap oleh usus
sehingga berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan.
9. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM tipe
2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari
glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran enzim sodium glucose co-
transporter -2 (SGLT-2) pada bagian convulated tubulus proksimal, dan 10% sisanya
akan diabsorbsi melalui peran sodium glucose co-transporter - 1 (SGLT-1) pada
tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urin. Pada
pasien DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2, sehingga terjadi peningkatan
reabsorbsi glukosa di dalam tubulus ginjal dan mengakibatkan peningkatan kadar
glukosa darah.
10. Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensi kerusakan
sel beta pankreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan percepatan pengosongan
lambung dan peningkatan absorpsi glukosa di usus halus, yang berhubungan dengan
peningkatan kadar glukosa postprandial.
11. Sistem Imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respon fase akut (disebut sebagai
inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari aktivasi sistem imun bawaan/innate)
yang berhubungan erat dengan patogenesis DM tipe 2 dan berkaitan dengan
komplikasi seperti dislipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah
berperan dalam induksi stres pada endoplasma akibat peningkatan kebutuhan
metabolisme untuk insulin.
2.Hipertensi
2.1 Kriteria Diagnosa3
Di pelayanan kesehatan primer/puskesmas, diagnosis hipertensi ditegakkan
oleh dokter, setelah mendapatkan peningkatan tekanan darah dalam dua kali
pengukuran dengan jarak satu minggu. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila tekanan
darah ≥140/90 mmHg, bila salah satu baik sistolik maupun diastolik meningkat sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis hipertensi.
2.2 Patofisiologi3
Sebagian besar hipertensi (>90%) tidak diketahui penyebabnya. Ada beberapa
mekanisme yang ikut serta dalamkontrol tekanan, seperti tampak pada alur berikut :
2.3 Algoritma Tatalaksana3
Keterangan :
1. Pada saat seseorang ditegakkan diagnosisnya menderita hipertensi derajat satu,
maka yang pertama yang dilakukan adalah mencari faktor risiko apa yang ada.
Kemudia dilakukan upaya untuk menurunkan faktor risiko yang ada dengan
modifikasi gaya hidup, sehingga dapat dicapai tekanan darah yang diharapkan. Bila
dalam waktu 1 bulan tidak tercapai tekanan darah normal, maka terapi obat diberikan.
Bila hipertensi derajat dua maka intervensi obat diberikan bersamaan dengan
modifikasi gaya hidup.
2. Terapi pilhan adalah pertama golongan tiazid, kedua ACEI, selanjutnya CCB.
3. Bila terapi tunggal tidak berhasil maka dikombinasikan dengan obat golongan lain.
Terapi Farmakologis :
1. Obat golongan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Bekerja menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga
bekerja dengan menghambat aktivitas saraf simpatis dengan menurunkan pelepasan
noradrenalin, menghambat pelepasan endotelin, meningkatkan produksi substansi
vasodilatasi seperti NO, bradikinin, prostaglandin dan menurunkan retensi sodium
dengan menghambat produksi aldosteron. Efek samping yang mungkin terjadi adalah
batuk batuk, skin rash, hiperkalemia. Hepatotoksik. glikosuria dan proteinuria
merupakan efek samping yang jarang. Contoh golongan ACEI adalah captopril,
enlapril dan Lisinopril
2. Golongan obat Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Menyebabkan vasodilatasi, peningkatan ekskresi Na+ dan cairan (mengurangi
volume plasma), menurunkan hipertrofi vaskular sehingga dapat menurunkan tekanan
darah. Efek samping yang dapat muncul meliputi pusing, sakit kepala, diare,
hiperkalemia, rash, batuk-batuk (lebih kurang dibanding ACE-inhibitor), abnormal
taste sensation (metallic taste). Contoh golongan ARB adalah candesartan, losartan
dan valsartan.
3. Golongan obat beta bloker
Bekerja dengan mengurangi isi sekuncup jantung, selain itu juga menurunkan
aliran simpatik dari SSP dan menghambat pelepasan rennin dari ginjal sehingga
mengurangi sekresi aldosteron. Efek samping meliputi kelelahan, insomnia,
halusinasi, menurunkan libido dan menyebabkan impotensi. Contoh golongan beta
bloker adalah atenolol dan metoprolol
4. Golongan obat calcium canal bloker (CCB)
Memiliki efek vasodilatasi, memperlambat laju jantung dan menurunkan
kontraktilitas miokard sehingga menurunkan tekanan darah. Efek samping yang
mungkin timbul adalah pusing, bradikardi, flushing, sakit kepala, peningkatan SGOP
dan SGPT, dan gatal gatal juga pernah dilaporkan. Contoh golongan CCB adalah
nifedipine, amlodipine dan diltiazem
5. Golongan obat Thiazid diuretic
Bekerja dengan meningkatkan ekskresi air dan Na+ melalui ginjal yang
menyebabkan berkurangnya preload dan menurunkan cardiac output. Selain itu,
berkurangnya konsentrasi Na+ dalam darah menyebabkan sensitivitas
adrenoreseptor–alfa terhadap katekolamin menurun, sehingga terjadi vasodilatasi atau
resistensi perifer menurun. Efek samping yang mungkin timbum meliputi peningkatan
asam urat, gula darah, gangguan profil lipid dan hiponatremia. Contoh golongan
Thiazid diuretic adalah hidroclorotiazid dan indapamide
3. Tuberculosis
3.1 Kriteria Diganosa4
4.2 Patofisiologi7
HIV merupakam retrovirus yang akan memasuki sel inang melalui interaksi
protein glycoprotein gp120 dalam selubung virus dengan molekul CD4 dan reseptor
kemokin CCR5 dan CXCR4.Setelah itu terjadi penyatuan pori yang dimediasi oleh
gp41.
Setelah berada di dalam sel CD4, salinan DNA (Deoxyribonucleic Acid)
ditranskripsi dari genom RNA oleh enzim reverse transcriptase yang dibawa oleh
virus. Selanjutnya DNA ini ditranspor ke dalam nukleus dan terintegrasi secara acak
di dalam genom sel inang. Virus yang terintegrasi diketahui sebagai DNA provirus.
Pada aktivasi sel inang, RNA ditranskripsi dari cetakan DNA ini dan selanjutnya di
translasi menyebabkan produksi protein virus. Poliprotein prekursor dipecah oleh
protease virus menjadi enzim (misalnya reverse transcriptase dan protease) dan
protein struktural. Hasil pecahan ini kemudian digunakan untuk menghasilkan partikel
virus infeksius yang keluar dari permukaan sel dan bersatu dengan membran sel
inang.
4.3 Algoritma Tatalaksana5
1. Profilaksis Kotrimoksasol
- PPK diberikan pada ODHA dengan stadium klinis 2, 3, dan 4 pada CD4<200
sel/mm3atau stadium klinis 3 dan 4 bila tidak tersedia pemeriksaan CD4
- Dosis PPK untuk orang dewasa 1 x 960 mg (dua tablet atau satu tablet forte)
- Efek samping yang mungkin timbul antara lain ruam kulit (alergi) dari tingkat
ringan sampai berat. Bila timbul ruam kulit yang luas atau basah disertai gejala
sistemik seperti deman, secepatnya mencari pertolongan.
- Kotrimoksasol tidak menggantikan terapi ARV. Oleh karena itu perlu direncanakan
pemberian ARV setelah kotrimoksasol, idealnya sekitar 2 minggu setelah pemberian
kotrimoksasol.
- Profilaksis kotrimoksasol tetap diberikan walaupun pasien mendapatkan pengobatan
untuk IO-nya.
- Profilasis kotrimoksasol dihentikan satu tahun setelah pasien sehat kembali dengan
tingkat kepatuhan minum obat ARV baik dan CD4 >200 setelah pemberian terapi
ARV pada 2 kali pemeriksaan berturut-turut.
2. Penanganan Ko-infeksi TB-HIV dan Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid
(Insoniazid Profilaksis Treatment/IPT)
- Pengobatan TB sesuai dengan pedoman nasional pengendalian TB
- Pemberian anjuran tes dan konseling HIV kepada semua terduga dan pasien TB di
layanan
- Memberikan pengobatan pencegahan kotrimoksasol untuk mengurangi kesakitan
dan kematian ODHA dengan atau tanpa TB
- Terapi ARV diberikan pada semua pasien koinfeksi TB-HIV berapapun jumlah
CD4.
- Pengobatan ARV dapat dimulai setelah OAT dapat ditoleransi, biasanya setelah 2 -
8 minggu
- Pantau kemungkinan terjadi efek samping obat
- Gunakan rejimen yang mengandung Efavirenz
3. Pemberian ARV
- Pastikan status HIV pasien.
- Pasien dengan IO berat yang tidak dapat ditangani di FKTP dirujuk ke FKRTL/RS
agar penyulit ditangani dan ARV diberikan di FKRTL/RS pada saat penanganan IO.
- Pemberian informasi efek samping obat diberikan tanpa membuat pasien takut
minum obat.
- Obat ARV diminum seumur hidup.
- Obat ARV perlu diberikan sedini mungkin setelah memenuhi persyaratan terapi
untuk mencegah pasien masuk ke stadium lebih lanjut.
- ARV diberikan kepada pasien sebulan sekali untuk mengontrol kepatuhan minum
obat. Pemberian obat ARV dapat diberikan sampai tiga bulan bila pasien sudah stabil
dengan riwayat kepatuhan minum obat yang tinggi.
- Sebisa mungkin gunakan rejimen ARV yang mudah untuk pasien seperti kombinasi
dosis tetap (KDT :Tenofovir-Lamivudin-Efavirenz atau Tenofovir-Emtricitabine-
Efavirenz)
- Bila tersedia pemeriksaan laboratorium maka dapat dilakukan pemeriksaan untuk
menjadi dasar memulai ARV, namun bila tidak tersedia, jangan menunda terapi ARV.
Untuk obat-obat ARV dengan efek samping rendah seperti KDT maka pemeriksaan
pra-ARV tidak menjadi syarat dan dapat dilakukan kemudian.
Indikasi untuk memulai terapi ARV
- Semua pasien dengan stadium 3 dan 4, berapapun jumlah CD4 atau;
- Semua pasien dengan CD4 < 350 sel/ml, apapun stadium klinisnya;
- Semua pasien dibawah ini apapun stadium klinisnya dan berapapun jumlah CD4 :
o Semua pasien ko-infeksi TB
o Semua pasien ko-infeksi HBV
o Semua ibu hamil
o ODHA yang memiliki pasangan dengan status HIV negative (sero discordant) o
Populasi kunci (penasun, waria, LSL,WPS)
o Pasien HIV (+) yang tinggal pada daerah epidemi meluas seperti Papua dan Papua
Barat
5. Gagal Jantung
5.1 Kriteria Diganosa8
TEKNIK DIAGNOSTIK
- Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga
gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung. Abnormalitas
EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung.
- Foto Toraks
Foto toraks merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung.
Foto toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura, dan dapat
mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak
nafas.
- Ekokardiografi
Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan
pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien
dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara
HFREF dan HFPEF. HFREF ketika fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.
- Peptida Natriuretik
Kadar plasma peptida natriuretik dapat digunakan untuk diagnosis, membuat
keputusan merawat atau memulangkan pasien. Kadar peptida natriuretik meningkat
sebagai respon peningkatan tekanan dinding ventrikel. Peptida natriuretik mempunyai
waktu paruh yang panjang.
5.2 Patofisiologi9
5.3 Algoritma Tatalaksana8
- Asupan cairan
Restriksi cairan 900 ml–1,2 liter/hari (sesuai berat badan) dipertimbangkan
terutama pada pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan
rutin pada semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan
keuntungan klinis.
Terapi Farmakologis
ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACE-I)
ACE-I harus diberikan pada semua pasien gagal jantung ventrikel kiri ≤40%.
kecuali ada kontraindikasi. ACE-I terkadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal,
hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk, dan angioedema (jarang). Oleh sebab itu,
ACE-I hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium
normal. Contoh obat : Captopril, Enalapril, Lisinopril, Ramipril, Perindopril
Penyekat Reseptor B
Penyekat B harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%.Contoh obat:Bisoprolol, Carvedilol, Metoprolol,
Nebivolol.
ANTAGONIS ALDOSTERON
Kecuali terdapat kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis
kecil harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35% dan gagal
gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional IIIIV NYHA) tanpa hiperkalemia
dan gangguan fungsi ginjal berat. Contoh obat : Eplerenon, Spironolakton
IVABRADINE
Ivabradine bekerja memperlambat laju jantung melalui penghambatan kanal if
dinodus sinus,dan hanya digunakan untuk pasien dengan irama sinus. Pada gagal
jantung pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun ≤35%, irama
sinus dan denyut nadi ≥70x/menit yang mengalami rawat inap dalam 12 bulan
terakhir.
-DIURETIK
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala
kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti B). Tujuan dari pemberian diuretik
adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang
serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien untuk menghindari
dehidrasi atau retensi.Contoh obat : Diuretik Loop (Furosemide, Bumetanid,
Torasemide), Thiazide (Hidrochlorothiazide, Metolazone, Indapamide), Diuretik
hemat kalium (Spironolakton).
DAFTAR PUSTAKA