Anda di halaman 1dari 27

TUGAS SMF ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD SYARIFAH AMBAMI RATO EBU BANGKALAN


2022
Oleh : Nanda Robby Setyawan / 22004101094

1. Diabetes Melitus Tipe 2


1.1 Kriteria Diagnosa1
Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam. Atau
2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. Atau
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan klasik atau
krisis hiperglikemia. Atau
4. Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP) dan Diabetes
Control and Complications Trial assay (DCCT).

1.2 Patofisiologi2
Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, hepar, dan
sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis pasien DM tipe 2
tetapi terdapat delapan organ lain yang berperan, disebut sebagai the egregious eleven
(Gambar 1).
Secara garis besar patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh sebelas hal
(egregious eleven) yaitu:
1. Kegagalan sel beta pankreas
Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang.
2. Disfungsi sel alfa pankreas
Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia
dan sudah diketahui sejak 1970. Sel alfa berfungsi pada sintesis glukagon yang dalam
keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan produksi glukosa hati (hepatic glucose production) dalam keadaan
basal meningkat secara bermakna dibanding individu yang normal.
3. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas (free fatty acid/FFA) dalam
plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan
mencetuskan resistensi insulin di hepar dan otot, sehingga mengganggu sekresi
insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoksisitas.
4. Otot
Pada pasien DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multipel di
intramioselular, yang diakibatkan oleh gangguan fosforilasi tirosin, sehingga terjadi
gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan
penurunan oksidasi glukosa.
5. Hepar
Pada pasien DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh hepar (hepatic
glucose production) meningkat.
6. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obese
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan
justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak.
7. Kolon/Mikrobiota
Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam keadaan
hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM tipe 1, DM tipe 2,
dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya sebagian individu berat badan
berlebih akan berkembang menjadi DM.
8. Usus halus
Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih besar dibanding bilar
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek inkretin ini diperankan
oleh 2 hormon yaitu glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1) dan glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP).
Pada pasien DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap hormon
GIP. Hormon inkretin juga segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4, sehingga
hanya bekerja dalam beberapa menit. Saluran pencernaan juga mempunyai peran
dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa glukosidase yang akan
memecah polisakarida menjadi monosakarida, dan kemudian diserap oleh usus
sehingga berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan.
9. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM tipe
2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari
glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran enzim sodium glucose co-
transporter -2 (SGLT-2) pada bagian convulated tubulus proksimal, dan 10% sisanya
akan diabsorbsi melalui peran sodium glucose co-transporter - 1 (SGLT-1) pada
tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urin. Pada
pasien DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2, sehingga terjadi peningkatan
reabsorbsi glukosa di dalam tubulus ginjal dan mengakibatkan peningkatan kadar
glukosa darah.
10. Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensi kerusakan
sel beta pankreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan percepatan pengosongan
lambung dan peningkatan absorpsi glukosa di usus halus, yang berhubungan dengan
peningkatan kadar glukosa postprandial.
11. Sistem Imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respon fase akut (disebut sebagai
inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari aktivasi sistem imun bawaan/innate)
yang berhubungan erat dengan patogenesis DM tipe 2 dan berkaitan dengan
komplikasi seperti dislipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah
berperan dalam induksi stres pada endoplasma akibat peningkatan kebutuhan
metabolisme untuk insulin.

1.3 Algoritma Tatalaksana1

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan


jasmani (gaya hidup sehat).
1. Obat Antihiperglikemia Oral
A. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
- Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat
badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan fungsi hati dan ginjal). Contoh obat dalam
golongan ini adalah glibenclamide, glipizide, glimepiride, gliquidone dan gliclazide.
- Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya mirip dengan sulfonilurea, namun
berbeda lokasi reseptor, dengan hasil akhir berupa penekanan pada peningkatan
sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid
(derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang mungkin
terjadi adalah hipoglikemia. Obat golongan glinid sudah tidak tersedia di Indonesia.
B. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin (Insulin Sensitizers)
- Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DM tipe 2. Dosis metformin
diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (LFG 30 ʹ 60 ml/menit/1,73
m2 ). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan seperti LFG < 30
mL/menit/1,73 m2 , adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan,
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik), gagal jantung NYHA (New York Heart
Association) fungsional kelas III-IV. Efek samping yang mungkin terjadi adalah
gangguan saluran pencernaan seperti dispepsia, diare, dan lain-lain.
- Tiazolidinedion (TZD)
Tiazolidinedion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel
otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidinedion menyebabkan retensi cairan
tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA
fungsional kelas III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati
pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala.
Obat yang masuk dalam golongan ini adalah pioglitazone.
C. Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa glukosidase di saluran
pencernaan sehingga menghambat absorpsi glukosa dalam usus halƵƐ͘ Penghambaƚ
glƵkoƐidaƐe alfa ƚidak digƵnakan pada keadaan LFG ч 30 ml/min/1,73 m2 ,
gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome (IBS). Efek samping yang
mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering
menimbulkan flatus.Guna mengurangi efek samping pada awalnya dapat diberikan
dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah acarbose.
D. Penghambat enzim Dipeptidil Peptidase-4
Dipeptidil peptidase-4 (DPP-4) adalah suatu serin protease, yang
didistribusikan secara luas dalam tubuh. Enzim ini memecah dua asam amino dari
peptida yang mengandung alanin atau prolin di posisi kedua peptida N-terminal.
Enzim DPP-4 terekspresikan di berbagai organ tubuh, termasuk di usus dan membran
brush border ginjal, di hepatosit, endotelium vaskuler dari kapiler villi, dan dalam
bentuk larut dalam plasma. Penghambat DPP-4 akan menghambat lokasi pengikatan
pada DPP-4 sehingga akan mencegah inaktivasi dari glucagon-like peptide (GLP)-1.
Proses inhibisi ini akan mempertahankan kadar GLP-1 dan glucose-dependent
insulinotropic polypeptide (GIP) dalam bentuk aktif di sirkulasi darah, sehingga dapat
memperbaiki toleransi glukosa, meningkatkan respons insulin, dan mengurangi
sekresi glukagon. Penghambat DPP-4 merupakan agen oral, dan yang termasuk dalam
golongan ini adalah vildagliptin, linagliptin, sitagliptin, saxagliptin dan alogliptin.
E. Penghambat enzim Sodium Glucose co-Transporter 2
Obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi glukosa di tubulus
proksimal dan meningkatkan ekskresi glukosa melalui urin. Obat golongan ini
mempunyai manfaat untuk menurunkan berat badan dan tekanan darah. Efek samping
yang dapat terjadi akibat pemberian obat ini adalah infeksi saluran kencing dan
genital. Pada pasien DM dengan gangguan fungsi ginjal perlu dilakukan penyesuaian
dosis, dan tidak diperkenankan menggunakan obat ini bila LFG kurang dari 45
ml/menit. Hati-hati karena obat ini juga dapat mencetuskan ketoasidosis.

2. Obat Antihiperglikemia Suntik


A. Insulin
Insulin digunakan pada keadaan :
- HbA1c saat diperiksa ≥ 7.5% dan sudah menggunakan satu atau dua obat
antidiabetes
- HbA1c saat diperiksa > 9%
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Krisis hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
- Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
- Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Jenis dan Lama Kerja Insulin Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi
6 jenis :
- Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
- Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
- Insulin kerja menengah (Intermediate-acting insulin)
- Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
- Insulin kerja ultra panjang (Ultra long-acting insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat dengan
menengah (Premixed insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja ultra panjang dengan kerja cepat

Efek samping terapi insulin :


- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia
- Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin

B. Agonis GLP-1 /Incretin Mimetic


Inkretin adalah hormon peptida yang disekresi gastrointestinal setelah
makanan dicerna, yang mempunyai potensi untuk meningkatkan sekresi insulin
melalui stimulasi glukosa. Dua macam inkretin yang dominan adalah glucose-
dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dan GLP-1. GLP-1 RA mempunyai efek
menurunkan berat badan, menghambat pelepasan glukagon, menghambat nafsu
makan, dan memperlambat pengosongan lambung sehingga menurunkan kadar
glukosa darah postprandial. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara
lain rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk golongan ini adalah: Liraglutide,
Exenatide, Albiglutide, Lixisenatide dan Dulaglutide.

2.Hipertensi
2.1 Kriteria Diagnosa3
Di pelayanan kesehatan primer/puskesmas, diagnosis hipertensi ditegakkan
oleh dokter, setelah mendapatkan peningkatan tekanan darah dalam dua kali
pengukuran dengan jarak satu minggu. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila tekanan
darah ≥140/90 mmHg, bila salah satu baik sistolik maupun diastolik meningkat sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis hipertensi.

2.2 Patofisiologi3
Sebagian besar hipertensi (>90%) tidak diketahui penyebabnya. Ada beberapa
mekanisme yang ikut serta dalamkontrol tekanan, seperti tampak pada alur berikut :
2.3 Algoritma Tatalaksana3
Keterangan :
1. Pada saat seseorang ditegakkan diagnosisnya menderita hipertensi derajat satu,
maka yang pertama yang dilakukan adalah mencari faktor risiko apa yang ada.
Kemudia dilakukan upaya untuk menurunkan faktor risiko yang ada dengan
modifikasi gaya hidup, sehingga dapat dicapai tekanan darah yang diharapkan. Bila
dalam waktu 1 bulan tidak tercapai tekanan darah normal, maka terapi obat diberikan.
Bila hipertensi derajat dua maka intervensi obat diberikan bersamaan dengan
modifikasi gaya hidup.
2. Terapi pilhan adalah pertama golongan tiazid, kedua ACEI, selanjutnya CCB.
3. Bila terapi tunggal tidak berhasil maka dikombinasikan dengan obat golongan lain.

Terapi Farmakologis :
1. Obat golongan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Bekerja menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga
bekerja dengan menghambat aktivitas saraf simpatis dengan menurunkan pelepasan
noradrenalin, menghambat pelepasan endotelin, meningkatkan produksi substansi
vasodilatasi seperti NO, bradikinin, prostaglandin dan menurunkan retensi sodium
dengan menghambat produksi aldosteron. Efek samping yang mungkin terjadi adalah
batuk batuk, skin rash, hiperkalemia. Hepatotoksik. glikosuria dan proteinuria
merupakan efek samping yang jarang. Contoh golongan ACEI adalah captopril,
enlapril dan Lisinopril
2. Golongan obat Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Menyebabkan vasodilatasi, peningkatan ekskresi Na+ dan cairan (mengurangi
volume plasma), menurunkan hipertrofi vaskular sehingga dapat menurunkan tekanan
darah. Efek samping yang dapat muncul meliputi pusing, sakit kepala, diare,
hiperkalemia, rash, batuk-batuk (lebih kurang dibanding ACE-inhibitor), abnormal
taste sensation (metallic taste). Contoh golongan ARB adalah candesartan, losartan
dan valsartan.
3. Golongan obat beta bloker
Bekerja dengan mengurangi isi sekuncup jantung, selain itu juga menurunkan
aliran simpatik dari SSP dan menghambat pelepasan rennin dari ginjal sehingga
mengurangi sekresi aldosteron. Efek samping meliputi kelelahan, insomnia,
halusinasi, menurunkan libido dan menyebabkan impotensi. Contoh golongan beta
bloker adalah atenolol dan metoprolol
4. Golongan obat calcium canal bloker (CCB)
Memiliki efek vasodilatasi, memperlambat laju jantung dan menurunkan
kontraktilitas miokard sehingga menurunkan tekanan darah. Efek samping yang
mungkin timbul adalah pusing, bradikardi, flushing, sakit kepala, peningkatan SGOP
dan SGPT, dan gatal gatal juga pernah dilaporkan. Contoh golongan CCB adalah
nifedipine, amlodipine dan diltiazem
5. Golongan obat Thiazid diuretic
Bekerja dengan meningkatkan ekskresi air dan Na+ melalui ginjal yang
menyebabkan berkurangnya preload dan menurunkan cardiac output. Selain itu,
berkurangnya konsentrasi Na+ dalam darah menyebabkan sensitivitas
adrenoreseptor–alfa terhadap katekolamin menurun, sehingga terjadi vasodilatasi atau
resistensi perifer menurun. Efek samping yang mungkin timbum meliputi peningkatan
asam urat, gula darah, gangguan profil lipid dan hiponatremia. Contoh golongan
Thiazid diuretic adalah hidroclorotiazid dan indapamide
3. Tuberculosis
3.1 Kriteria Diganosa4

Prinsip penegakan diagnosis TB:


a. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan
pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah
pemeriksaan mikroskopis, tes cepat molekuler TB dan biakan.
b. Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan
pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis
c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru,
sehingga dapat menyebabkan terjadi over diagnosis ataupun under diagnosis.
d. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.
3.2 Patofisiologi4
Setelah inhalasi, nukleus percik renik terbawa menuju percabangan trakea-
bronkial dan dideposit di dalam bronkiolus respiratorik atau alveolus, di mana nukleus
percik renik tersebut akan dicerna oleh makrofag alveolus yang kemudian akan
memproduksi sebuah respon nonspesifik terhadap basilus. Infeksi bergantung pada
kapasitas virulensi bakteri dan kemampuan bakterisid makrofag alveolus yang
mencernanya. Apabila basilus dapat bertahan melewati mekanisme pertahanan awal
ini, basilus dapat bermultiplikasi di dalam makrofag.
Tuberkel bakteri akan tumbuh perlahan dan membelah setiap 23- 32 jam
sekali di dalam makrofag. Mycobacterium tidak memiliki endotoksin ataupun
eksotoksin, sehingga tidak terjadi reaksi imun segera pada host yang terinfeksi.
Bakteri kemudian akan terus tumbuh dalam 2-12 minggu dan jumlahnya akan
mencapai 103-104, yang merupakan jumlah yang cukup untuk menimbulkan sebuah
respon imun seluler yang dapat dideteksi dalam reaksi pada uji tuberkulin skin test.
Bakteri kemudian akan merusak makrofag dan mengeluarkan produk berupa tuberkel
basilus dan kemokin yang kemudian akan menstimulasi respon imun.
Sebelum imunitas seluler berkembang, tuberkel basili akan menyebar melalui
sistem limfatik menuju nodus limfe hilus, masuk ke dalam aliran darah dan menyebar
ke organ lain. Beberapa organ dan jaringan diketahui memiliki resistensi terhadap
replikasi basili ini. Sumsum tulang, hepar dan limpa ditemukan hampir selalu mudah
terinfeksi oleh Mycobacteria. Organisme akan dideposit di bagian atas (apeks) paru,
ginjal, tulang, dan otak, di mana kondisi organ-organ tersebut sangat menunjang
pertumbuhan bakteri Mycobacteria. Pada beberapa kasus, bakteri dapat berkembang
dengan cepat sebelum terbentuknya respon imun seluler spesifik yang dapat
membatasi multiplikasinya

3.3 Algoritma Tatalaksana4


Prinsip Pengobatan TB :
Obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan
TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut dari bakteri penyebab TB. Pengobatan yang adekuat harus
memenuhi prinsip:
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal
4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
b. Diberikan dalam dosis yang tepat
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (pengawas menelan
obat) sampai selesai masa pengobatan.
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal
serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

Tahapan pengobatan TB terdiri dari 2 tahap, yaitu :


a. Tahap awal Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini
adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam
tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin
sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal
pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat
menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama.
b. Tahap lanjutan Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman
yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat
sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi tahap lanjutan selama 4 bulan.
Pada fase lanjutan seharusnya obat diberikan setiap hari.
4. Human Immunodeficiency Virus (HIV)
4.1 Kriteria Diagnosa5,6
Stadium klinis HIV menurut WHO:
Intepretasi hasil pemeriksaan anti-HIV
 Hasil positif: Bila hasil A1 reaktif. A2 rektif dan A3 reaktif
 Hasil Negatif :
- Bila hasil A1 non reaktif
- Bila hasil A1 reaktif tapi pada pengulangan A1 dan A2 non reaktif
- Bila salah satu reaktif tapi tidak berisiko
 Hasil indeterminate :
- Bila dua hasil reaktif 
- Bila hanya 1 tes reaktif tapi berisiko atau pasangan berisiko

Tindak lanjut hasil pemeriksaan anti-HIV


 Tindak lanjut hasil positif, Rujuk ke pengobatan HIV
 Tindak lanjut hasil negatif 
-Bila hasil negatif dan berisiko dianjurkan pemeriksaan ulang minimum 3 bulan, 6
bulan dan 12 bulan dari pemeriksaan pertama 
- Bila hasil negatif dan tidak berisiko dianjurkan perilaku sehat
 Tidak lanjut hasil indeterminate 
- Tes perlu diulang dengan spesimen baru minimum setelah dua minggu dari
pemeriksaan yang pertama 
- Bila hasil tetap indeterminate, dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR - Bila tidak ada
akses ke pemeriksaan PCR, rapid tes diulang 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan dari
pemeriksaan pertama. Bila sampai satu tahun tetap “indeterminate“ dan faktor risiko
rendah, hasil dinyatakan sebagai negatif.

4.2 Patofisiologi7
HIV merupakam retrovirus yang akan memasuki sel inang melalui interaksi
protein glycoprotein gp120 dalam selubung virus dengan molekul CD4 dan reseptor
kemokin CCR5 dan CXCR4.Setelah itu terjadi penyatuan pori yang dimediasi oleh
gp41.
Setelah berada di dalam sel CD4, salinan DNA (Deoxyribonucleic Acid)
ditranskripsi dari genom RNA oleh enzim reverse transcriptase yang dibawa oleh
virus. Selanjutnya DNA ini ditranspor ke dalam nukleus dan terintegrasi secara acak
di dalam genom sel inang. Virus yang terintegrasi diketahui sebagai DNA provirus.
Pada aktivasi sel inang, RNA ditranskripsi dari cetakan DNA ini dan selanjutnya di
translasi menyebabkan produksi protein virus. Poliprotein prekursor dipecah oleh
protease virus menjadi enzim (misalnya reverse transcriptase dan protease) dan
protein struktural. Hasil pecahan ini kemudian digunakan untuk menghasilkan partikel
virus infeksius yang keluar dari permukaan sel dan bersatu dengan membran sel
inang.
4.3 Algoritma Tatalaksana5
1. Profilaksis Kotrimoksasol
- PPK diberikan pada ODHA dengan stadium klinis 2, 3, dan 4 pada CD4<200
sel/mm3atau stadium klinis 3 dan 4 bila tidak tersedia pemeriksaan CD4
- Dosis PPK untuk orang dewasa 1 x 960 mg (dua tablet atau satu tablet forte)
- Efek samping yang mungkin timbul antara lain ruam kulit (alergi) dari tingkat
ringan sampai berat. Bila timbul ruam kulit yang luas atau basah disertai gejala
sistemik seperti deman, secepatnya mencari pertolongan.
- Kotrimoksasol tidak menggantikan terapi ARV. Oleh karena itu perlu direncanakan
pemberian ARV setelah kotrimoksasol, idealnya sekitar 2 minggu setelah pemberian
kotrimoksasol.
- Profilaksis kotrimoksasol tetap diberikan walaupun pasien mendapatkan pengobatan
untuk IO-nya.
- Profilasis kotrimoksasol dihentikan satu tahun setelah pasien sehat kembali dengan
tingkat kepatuhan minum obat ARV baik dan CD4 >200 setelah pemberian terapi
ARV pada 2 kali pemeriksaan berturut-turut.
2. Penanganan Ko-infeksi TB-HIV dan Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid
(Insoniazid Profilaksis Treatment/IPT)
- Pengobatan TB sesuai dengan pedoman nasional pengendalian TB
- Pemberian anjuran tes dan konseling HIV kepada semua terduga dan pasien TB di
layanan
- Memberikan pengobatan pencegahan kotrimoksasol untuk mengurangi kesakitan
dan kematian ODHA dengan atau tanpa TB
- Terapi ARV diberikan pada semua pasien koinfeksi TB-HIV berapapun jumlah
CD4.
- Pengobatan ARV dapat dimulai setelah OAT dapat ditoleransi, biasanya setelah 2 -
8 minggu
- Pantau kemungkinan terjadi efek samping obat
- Gunakan rejimen yang mengandung Efavirenz

3. Pemberian ARV
- Pastikan status HIV pasien.
- Pasien dengan IO berat yang tidak dapat ditangani di FKTP dirujuk ke FKRTL/RS
agar penyulit ditangani dan ARV diberikan di FKRTL/RS pada saat penanganan IO.
- Pemberian informasi efek samping obat diberikan tanpa membuat pasien takut
minum obat.
- Obat ARV diminum seumur hidup.
- Obat ARV perlu diberikan sedini mungkin setelah memenuhi persyaratan terapi
untuk mencegah pasien masuk ke stadium lebih lanjut.
- ARV diberikan kepada pasien sebulan sekali untuk mengontrol kepatuhan minum
obat. Pemberian obat ARV dapat diberikan sampai tiga bulan bila pasien sudah stabil
dengan riwayat kepatuhan minum obat yang tinggi.
- Sebisa mungkin gunakan rejimen ARV yang mudah untuk pasien seperti kombinasi
dosis tetap (KDT :Tenofovir-Lamivudin-Efavirenz atau Tenofovir-Emtricitabine-
Efavirenz)
- Bila tersedia pemeriksaan laboratorium maka dapat dilakukan pemeriksaan untuk
menjadi dasar memulai ARV, namun bila tidak tersedia, jangan menunda terapi ARV.
Untuk obat-obat ARV dengan efek samping rendah seperti KDT maka pemeriksaan
pra-ARV tidak menjadi syarat dan dapat dilakukan kemudian.
Indikasi untuk memulai terapi ARV 
- Semua pasien dengan stadium 3 dan 4, berapapun jumlah CD4 atau; 
- Semua pasien dengan CD4 < 350 sel/ml, apapun stadium klinisnya; 
- Semua pasien dibawah ini apapun stadium klinisnya dan berapapun jumlah CD4 :
o Semua pasien ko-infeksi TB
o Semua pasien ko-infeksi HBV
o Semua ibu hamil
o ODHA yang memiliki pasangan dengan status HIV negative (sero discordant) o
Populasi kunci (penasun, waria, LSL,WPS)
o Pasien HIV (+) yang tinggal pada daerah epidemi meluas seperti Papua dan Papua
Barat

5. Gagal Jantung
5.1 Kriteria Diganosa8
 TEKNIK DIAGNOSTIK
- Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga
gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung. Abnormalitas
EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung.
- Foto Toraks
Foto toraks merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung.
Foto toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura, dan dapat
mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak
nafas.
- Ekokardiografi
Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan
pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien
dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara
HFREF dan HFPEF. HFREF ketika fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.
- Peptida Natriuretik
Kadar plasma peptida natriuretik dapat digunakan untuk diagnosis, membuat
keputusan merawat atau memulangkan pasien. Kadar peptida natriuretik meningkat
sebagai respon peningkatan tekanan dinding ventrikel. Peptida natriuretik mempunyai
waktu paruh yang panjang.

5.2 Patofisiologi9
5.3 Algoritma Tatalaksana8

- Asupan cairan
Restriksi cairan 900 ml–1,2 liter/hari (sesuai berat badan) dipertimbangkan
terutama pada pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan
rutin pada semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan
keuntungan klinis.

Terapi Farmakologis
 ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACE-I)
ACE-I harus diberikan pada semua pasien gagal jantung ventrikel kiri ≤40%.
kecuali ada kontraindikasi. ACE-I terkadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal,
hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk, dan angioedema (jarang). Oleh sebab itu,
ACE-I hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium
normal. Contoh obat : Captopril, Enalapril, Lisinopril, Ramipril, Perindopril

Kontraindikasi pemberian ACE-I :pada Riwayat angioedema, Stenosis renal bilateral,


Stenosis aorta berat, Kadar kalium serum >5,5 mmol/L, Serum kreatinin > 2,5 mg/dL.

 Penyekat Reseptor B
Penyekat B harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%.Contoh obat:Bisoprolol, Carvedilol, Metoprolol,
Nebivolol.

Indikasi Pemberian penyekat B


- Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%, dengan atau tanpa gejala.
- Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≥40%, dengan tanda dan gejala gagal jantung.
- Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
- ACE-I/ARB/ARNI (dengan atau tanpa antagonis aldosteron) sudah diberikan
- Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada kebutuhan
inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)

Kontraindikasi Pemberian penyekat B : Asma berat, Blok AV (atrioventrikular)


derajat 2 dan 3, sindrom sinus sakit (tanpa pacu jantung permanen), sinus bradikardia

 ANTAGONIS ALDOSTERON
Kecuali terdapat kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis
kecil harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35% dan gagal
gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional IIIIV NYHA) tanpa hiperkalemia
dan gangguan fungsi ginjal berat. Contoh obat : Eplerenon, Spironolakton

Indikasi pemberian antagonis aldosteron


- Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%
- Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III - IV NYHA)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron
- Konsentrasi serum kalium > 5,5 mmol/L
- Serum kreatinin > 2,5 mg/dL (relatif)
- Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
- Kombinasi ACE-I dan ARB atau ARNI

 ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)


ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤40% yang tetap simptomati walaupun sudah diberikan ACEI dan
penyekat B dosis optimal, kecuali terdapat kontraindikasi, dan juga mendapat
antagonis aldosteron. ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien yang
intoleran terhadap ACE-I. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena
penyebab kardiovaskular. Contoh obat :Candesartan, Valsartan

Indikasi pemberian ARB


- fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%
- Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II - IV NYHA) yang intoleran pada ACE-I
-ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi
simtomatik sama seperti ACE-I, tetapi ARB sedikit menyebabkan batuk

Kontraindikasi pemberian ARB


- Sama seperti ACE-I, kecuali angioedema
- Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
- Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial bila ARB digunakan bersamaan
ACEI

 ANGIOTENSIN RECEPTOR – NEPRILYSIN INHIBITOR (ARNI) =


Sacubitril/ valsartan
Pada pasien yang masih simtomatik dengan dosis pengobatan ACE-I/ARB,
penyekat B, dan MRA, dapat juga diberikan terapi baru sebagai pengganti ACE-I /
ARB yaitu Angiotensin Receptor–Neprilysin Inhibitor (ARNI) yang merupakan
kombinasi molekuler valsartansacubitril. Sacubitril merupakan penghambat enzim
nefrilisin yang akan menyebabkan memperbaiki remodeling miokard, diuresis dan
natriuresis serta mengurangi vasokontriksi, retensi cairan dan garam. Bila pasien
sebelumnya mendapatkan ACE-I maka harus ditunda selama minimal 36 jam terbih
dahulu sebelum memulai Sacubitril/ valsartan. Tetapi bila pasien sebelumnya
mendapatkan ARB, maka Sacubitril/ valsartan dapat langsung diberikan sebagai
pengganti ARB. Kontraindikasi : Angioedema dengan ACEI/ARB sebelumnya,
Kehamilan• Menyusui (tidak direkomendasikan) • Gangguan hepar berat.

 IVABRADINE
Ivabradine bekerja memperlambat laju jantung melalui penghambatan kanal if
dinodus sinus,dan hanya digunakan untuk pasien dengan irama sinus. Pada gagal
jantung pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun ≤35%, irama
sinus dan denyut nadi ≥70x/menit yang mengalami rawat inap dalam 12 bulan
terakhir.

-DIURETIK
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala
kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti B). Tujuan dari pemberian diuretik
adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang
serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien untuk menghindari
dehidrasi atau retensi.Contoh obat : Diuretik Loop (Furosemide, Bumetanid,
Torasemide), Thiazide (Hidrochlorothiazide, Metolazone, Indapamide), Diuretik
hemat kalium (Spironolakton).
DAFTAR PUSTAKA

1. PERKENI. (2021). Pedoman pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di


Indonesia 2021. PB. PERKENI.
2. Schwatrz SS, et al. The time is right for a new classification system for diabetes
rationale and implications of the Ecell-centric classification schema. Diabetes
Care. 2016; 39: 179 - 86
3. Depkes RI. 2013. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi.
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta
4. Kementerian Kesehatan RI. (2020). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata
Laksana Tuberkulosis. Kementrian Kesehatan RI
5. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit P2P.(2016). Petunjuk
Teknis Program Pengendalian HIV AIDS dan PIMS Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama.
6. World Health Organization. 2013. Consolidated Gudlines on the Use of
Antiretroviral Drug for treating and Preventing HIV Infection.
7. Mandal BK. 2008. Acquired Immunodeficiency Syndrome. In : Lecture Notes on
Infectious Disease - 6th edition. Editor : Wilkins EGL, Dunbar EM, White
RTM. Oxford : Blackwell Publishing Ltd;
8. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. (2020). Pedoman
Tatalaksana Gagal Jantung. PERKI
9. Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, Bulter J, Casey DE, Drazner MH et al.
CCF/AHA Guideline for the Management of Heart Failure : A Report of the
American Guidelines College of Cardiology Foundation/American Heart
Association Task Force on Practice. Circulation; 2013.

Anda mungkin juga menyukai