Anda di halaman 1dari 14

Peranan obat hipoglikemik oral pada pengobatan diabetes melitus

Diposkan oleh Darman Rasyid Baido di 20.12 Minggu, 27 Februari 2011 Label: Artikel Ilmu Penyakit Dalam Oleh :Prof. dr Harsinen Sanusi SpPD Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNHAS Makassar

PENDAHULUAN

Tujuan semaksimal

pengobatan mungkin dan

Diabetes berusaha

Mellitus

(DM)

adalah

memberikan yang dapat

kesehatan timbul

yang akibat

meminimalkan

komplikasi

penyakit tersebut.Karena DM adalah merupakan penyakit yang berkepanjangan sehingga sangatlah penting untuk menentukan tujuan pengobatan setiap pasien pada awalnya dan mengevaluasi secara teratur.

Suatu pendekatan umum yang dilakukan dewasa ini seminimal mungkin untuk mengatasi

adalah memberikan pengobatan yang dan keluhan-keluhan yang

hiperglikemia

diakibatkannya sehingga dapat dipertahankan rasa sehat dan nyaman serta komplikasi terutama komplikasi kronik baik mikroangiopati maupun

mencegah

makroangiopati.

Dalam usaha tersebut maka dikenal 4 pilar utama pengelolaan DM yaitu perencanaan makan,latihan jasmani dan obat yang berkhasiat

penyuluhan, hipoglikemik.

Pada dasarnya pengelolaan DM tanpa dekompensasi dimulai dengan pengaturan makan disertai olahraga glukose darah masih yang cukup selama 4-8 minggu . Bila dalam periode tersebut, kadar tinggi dari normal, baru diberikan obat hipoglikemik oral (OHO).

Tercatat hanya 5 % penderita yang mencapai normoglikemia dengan pengaturan makan dan olahraga sedang sisanya 95% tidak memberi hasil yang memuaskan sehingga dapat dimulai

dengan pemberian OHO. Pada penderita hiperglikemia berat ,pemberian obat hipoglikemik oral (OHO) harus dimulai lebih awal.

Dalam Artikel ini akan dibahas peranan obat hipoglikemik oral pada pengobatan DM dalam hal mekanisme kerja OHO, klasifikasi, indikasi dan kontra indikasi, serta jenisjenis OHO.

Mekanisme

kerja

obat

hipoglikemik

oral

Pada dasarnya insulin.

DM tipe 2 disebabkan oleh defek pada sekresi insulin dan kerja yaitu sel beta pankreas

Ada tidaknya hiperglikemia ditentukan oleh 3 faktor

yang mensekresi insulin, Hepatic glucose out put (produksi glukose hati) oleh hati dan sensitivitas jaringan perifer (otot, usus dan hati) terhadap insulin .

Obat hipoglikemik oral mempunyai titik kerja pada salah satu atau lebih dari ketiga faktor tersebut diatas. Sulfonilurea misalnya mempunyai kerja terutama meningkatkan sekresi insulin, sel metformin terhadap bekerja insulin, diperifer inhibitor padaotot-otot alfa dimana memperbaiki menekan

sensitivitas

glukosidase

bekerja

penyerapan glukosa di usus, troglitazon bekerja menekan produksi glukosa oleh hati dan repaglinide bekerja meningkatkan sekresi insulin pada sel beta pankreas.

Klasifikasi OHO

Dikenal berbagai jenis obat hipoglikemik oral : 1. Golongan Sulfonilurea (SU) Generasi 1 : Tolbutamid, Klorpropamid (Diabenese ),Tolazamid,Asetoheksamid. Generasi 2 : Glibenklamid = Gliburid(Daonil), Glipizid (Minidiab), Gliclazid (Diamicron),Gliquidon (Glurenorm), Glimepirid (Amaryl). 2. Biguanid : Metformin (Glucophag, Diabex, Neo Dipar). 3. Inhibitor alfa- glukosidase: Akarbose ( Glucobay) 4. Tiazolidinedione(Troglitazon).

5. Repaglinid (Prandin)

1. Sulfonil urea Efek hipoglikemia dari anti diabetik sulfonil urea adalah pertama kali dikemukakan oleh Loubatieres pada tahun 1940 dan selanjutnya berkembang pada tahun 1950 an

sehingga sampai luas

sekarang ini tetap dipakai sebagai pilihan utama yang diterima secara yang tidak berhasil dengan diet dan latihan jasmani. mensekresi insulin.

untuk pasien DM tipe 2

Obat ini bekerja secara primer dengan merangsang sel beta untuk

Sulfoniurea terikat dengan permukaan reseptor pada membran sel beta dan menghambat ATP-sensitive potassium Channel depolarisasi akibatnya Cytosolic membran sel. sehingga mencegah keluarnya kalium dan terjadilah membuka voltagedependent calcium channel

Depolarisasi

kalsium ekstra seluler masuk dalam sel dan akhirnya meningkatkan Calcium yang merangsang insulin.

Generasi l dari obat golongan sulfonil urea saat ini sudah jarang dipakai oleh karena efek sampingnya baik ada kerja pendek maupun dalam kerja segi panjang efek seperti

Klorpropamid.walaupun

tidak

perbedaan

sistemiknya.

Generasi 2 mempunyai kelebihan yaitu efek kerjanya sedang sehingga dapat diberikan 1 -2 kali perhari.Dosis obat lebih rendah. Dan sangat baik untuk penderita DM yang kurus yang mana sekresi insulin nya menurun (Lihat tabel 1, OHO sulfonil urea).

Golongan sulfonil urea

dalam pemberiannya dapat menyebabkan kegagalan primer yaitu

sejak awal pasien tidak memberi respons yang memuaskan walaupun sudah ditingkatkan dosisnya ke dosis maksimal. Keberhasilan menurunkan kadar glukosa puasa hanya 20-30 % pasien. Demikian pula periode yang lama obat ini sudah terbatas

dapat terjadi kegagalan sekunder bila dalam memberi hasil yang memuasjkan walaupuin

tidak

diberikan dalam dosis maksimal. Kegagalan sekunder dapat terjadi pada sekitar 10 % pasien pertahun. Untuk itu diperlukan obat OHO tambahan atau insulin untuk

memperbaiki kontrol glikemik.

2.Metformin

Metformin

adalah

golongan

dimetil

biguanide

merupakan

OHO

yang

dipakai

untuk

menurunkan kadar glukosa darah menurunkan resistensi insulin

pada pasien DM tipe 2, penggunaanya bertujuan untuk dengan memperbaiki sensitivitas insulin terhadap

jaringan. Dengan demikian metformin diindikasikan sebagai obat pilihan pertama pada pasien DM tipe 2 gemuk yang mana dasar kelainannya adalah resistensi insulin.

Walaupun cara kerja metformin berbeda dengan SU

akan tetapi efek kontrol glikemik

sama dengan golongan sulfonil urea (SU). Sulfonil urea dapat menyebabkan kenaikan berat badan sedang metformin tidak demikian. Selain itu efek hipoglikemik SU sering ditemukan sedang dengan metformin jarang. Oleh karena itu metformin dikenal bekerja sebagai anti hiperglikemi sedang SU sebagai obat yang bekerja sebagai hipoglikemik.

Metformin

dapat

diindikasikan

sebagai

terapi

awal

atau

terapi

tambahan

pada

penderita yang mendapat SU yang ,metformin dengan tidak terikat pada cepat

tidak memberi hasil memuaskan. Tidak seperti plasma, tidak dimetabolisme dan

SU

protein

diekskresi ginjal.

oleh

Mekanisme kerja metformin menambah up-take(utilisasi) glukose diperifer dengan meningkatkan sensitifitas jaringan terhadap insulin, menekan produksi glukosa oleh hati, menurunkan oksidasi Fatty Acid dan meningkatkan pemakaian glukose dalam usus melalui proses non oksidatif. Ekstra laktat yang terbentuk akan diekstraksi oleh hati dan digunakan sebagai bahan baku glukoneogenesis. Keadaan ini mencegah terjadinya efek penurunan kadar glukosa yang berlebihan.

Dosis metformin 500-850 mg

diberikan bersama makanan pada pagi dan malam hari.

Dosis dapat ditingkatkan dengan menambah 1 tablet tiap pemberian dengan interval 1-2 minggu. Dosis total dapat mencapai 3-4 kali 500 mg atau 2-3 kali 850 mg perhari bila diperlukan. Dosis maksimal 3000 mg perhari.( lihat tabel 2, Metformin )

Efek samping pemberian

metformin adalah gangguan gastro intestinal seperti diare,

anoreksia atau rasa tidak enak pada perut. Asidosis laktat jarang ditemukan(0,03 per 1000 pasien pertahun). Biasanya terjadi bila diberikan pada pasien yang

kontraindikasi.

Metformin pulmonale, alkohol,

tidak dapat diberikan pada gangguan fungsi ginjal,penyakit jantung , kor riwayat dan asidosis pemakaian laktat, infeksi berat, gangguan faal hati, intra keracunan vena.

bahan

kontras

radiografi

3.

Inhibitor

Alfa

Glukosidase

Obat golongan berbeda dengan

inhibitor alfa glukosidase (Acarbose) mempunyai mekanisme kerja sulfonilurea dan metformin, yaitu menghambat kerja enzim alfa

glukosidase yang terdapat pada brush border dipermukaan membran usus halus. Enzim alfa glukosidase berfungsi sebagai enzim pemecah karbohidrat menjadi glukosa di usus halus. Dengan pemberian acarbose maka pemecahan karbohidrat menjadi glukosa di usus akan menjadi berkurang, dengan sendirinya kadar glukose darah uji klinis membuktikan hasil bahwa acarbose bahkan sebagai pengobatan akan berkurang. Banyak pada DM tipe 2

tunggal menyamai

memberikan

memuaskan,

keberhasilannya

sulfonilurea.

Obat ini efektif bagi pasien dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar glukosa darah puasa kurang dari 180 mg %. Hanya mempengaruhi kadar glukosa pada waktu makan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu. Bila diminum dan

bersama-sama

sulfonilurea atau dengan insulin dapat terjadi hipoglikemia yang hanya dapat diatasi dengan glukose murni, jadi tidak dapat dengan gula pasir.

Dosis

Acarbose menjadi

dimulai 3 kali

dengan 100

50 mg

mg

sesaat bila

sebelum tidak

makan

dan

dosis

dapat gastro

ditingkatkan

perhari

ditemukan

keluhan

intestinal. Efek samping obat ini berupa gejala perut kurang enak, lebih banyak flatus dan kadang-kadang diare. Keluhan ini akan berkurang jika pengobatan tetap dilanjutkan.

4.

Tiazolidinedion(Troglitazon)

Troglitazon adalah Obat hipoglikemik oral yang meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin. Obat ini sebagaimana dengan Metformin tidak menyebabkan reaksi hipoglikemia. Telah terbukti pada manusia menghilangkan adanya resistensi

insulin, menurunkan hepatic glucose out put, menormalkan gangguan toleransi glukosa, dan mencegah serta memperlambat pula obat progresifitas dapat gangguan toleransi glukosa menjadi dan

diabetes.

Terbukti

ini

memperbaiki

kendali

glukosa

darah,

hiperinsulinemia.

Dosis Troglitazon umumnya berkisar 400 mg perhari sudah menurunkan kadar glukose darah puasa dapat dan HbA1C. Efek yang tidak diinginkan adalah pusing dan edema, namun ini ditolerir penderita.

5.

Repaglined

(Prandin).

Obat ini merupakan obat hipoglikemik oral yang diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1998. Berbeda dengan golongan SU maupun golongan OHO lainnya, repaglinid adalah derivat dari asam benzoat yang mempunyai struktur molekul , mekanisme kerja dan ekskresi yang berbeda. Repaglinid dapat diindikasikan pada pasien DM tipe 2 yang tidak berhasil dengan diet dan latihan jasmani. Dapat dikombinasi dengan metformin bila obat ini sendiri tidak berhasil mengontrol glukosa darah.

Mekanisme kerja repaglinid adalah menutup ATP-sensitive sel beta pankreas. Sehingga terjadi depolarisasi dan

potassium Channel pada menyebabkan perangsangan

pengeluaran insulin dari sel-sel beta pankreas. Repaglinid tidak menekan biosintesis proinsulin golongan dan tidak merangsang secara langsung SU eksositosis insulin sebagaimana .

Repaglinid

sebagian besar diekskresi oleh hati dan hanya 8 % diekskresi di ginjal.

Sehingga bermanfaat terhadap pasien DM dengan disertai gagal ginjal. Dosis repaglinid bervariasi antara 0,5 4 mg diberikan 30 menit sebelum makan dan uji klinis

membuktikan efek hipoglikemik lebih rendah dibanding SU dan efek yag tidak diinginkan selama pemberian hampir sama dengan sulfonil urea.

Sebagaimana dengan OHO lainnya maka repaglinid tidak dianjurkan pemberiannya pada wanita hamil dan wanita menyusui .

Ringkasan

Berbagai bertujuan

obat

hipoglikemik kadar

oral

telah

dikenal yang

saat pada

ini

yang

pada

dasarnya mencegah

untuk

menurunkan

glukosa

darah

tahap

lanjut

komplikasi yang tidak diinginkan. Sulfonilurea adalah merupakan OHO yang dipakai pada pasien DM tipe 2 kurus, mempunyai mekanisme kerja utama meningkatkan sekresi insulin pada sel beta pankreas dengan menghambat ATP sensitif potassium Channel sehingga tidak jarang terjadi reaksi hipoglikemi bila SU tidak diberikan semestinya.

Metformin dapat mengatasi resistensi insulin pada DM tipe 2 gemuk oleh karena efek utamanya meningkatkan pemakaian glukosa di jaringan perifer dan usus. Golongan obat ini harus digunakan berhati-hati bila tidak diberikan sesuai indikasi dapat menyebabkan asidosis laktat.

Golongan inhibitor alfa glukosidase merupakan obat yang diindikasikan bagi pasien DM tipe2 yang kadar glukose darahnya puasanya tidak terlalu tinggi. Mempunyai kerja mencegah absorbsi glukosa diusus.

DAFTAR PUSTAKA:

1.

Adam JMF.: Benefit of Acarbose(Glucobay) as an adjuvant therapy in NIDDM patients with sulfonylurea secondary faillure.Kumpulan Naskah Lengkap Konas IV Perkeni Edit.Adam JMF dkk. Ujungpandang 1997.p.118 - 125.

2.

Balley,CJ., Turner,RC.: Metformin (Drug Therapy,Review Articles) New Engl.Jour of Med. 334, p.574-579.,1996.

3.

Cheatam W,W.:

Repaglinid : A New Oral Blood Glucose

Lowering Agent. Clinical Diabetes,16,70-72,1998. 4. Hale,PJ.: Diabetes mellitus.Editors: Sheppard,MC., Franklyn,JA. In Clinical Endocrinology and Diabetes. Churchill Livingstone Edinburgh, London,1988,p155 -182 5. Henrichs,HR.: Sulfonilurea /Insulin Combination in Diabetes mellitus. Following secondary Failure to Tablets.in

Insulin

/ Sulfonylurea Combination therapy in type II

diabetes. Editors: Bachmann,W., Lotz,N., Mehnert. Karger Basel, Munchen. 1988,p. 51-67. 6. Iwamoto,Y.,Kosaka,K.,Kuzuya,T. et al: Effects of Troglitazone. A new Hypoglicemic agent in patients with NIDDM poorly controlled by diet therapy. Diabetes

Care:19,p.151 - 156,1996. 7. Karam,JH.Salber,PR.,Forsham,H.: Pancreatic hormones and Diabetes mellitus. In Basic and Clinical Endocrinology ed., edited by Greenspan,FS. a Lange Medical book1: 991, p. 617 -620. 8. Lebovitz,HE.: Oral anti diabetic agentin Joslins Diabetes mellitus, 13th ed. edit.by Kahn,CR., Weir,GC. Lea Philadelphia. 1994, p.508 -529. 9. Reaven,GM.: Clinicians Guide to NIDDM : Pathogenesis and Treatment. Marcel Dekker,Inc.New York, Basel.1989 p.93 -106. 10. Schwartz,S., Raskin,P., Fonseca,V., Graveline,JF: Effect of Troglitazone in insulin-treated patients with type diabetes mellitus.The New Engl.Jour.of Med. 338, p.861-866,1998 II Febiger 3th

Pengertian kepatuhan adalah suatu kondisi yang tercipta dan berbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban. Sikap atau perbuatan yang dilakukan bukan lagi atau sama sekali tidak dirasakan sebagai beban, bahkan sebaliknya akan mebebani dirinya bila mana ia tidak dapat berbuat sebagaimana lazimnya (Prijadarminto, 2003). Kepatuhan adalah perilaku positif penderita dalam mencapai tujuan terapi (Degrest et al, 1998). Menurut Decision theory (1985) penderita adalah pengambil keputusan dan kepatuhan sebagai hasil pengambilan keputusan. Patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah atau aturan. Sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Seseorang dikatakan patuh berobat bila mau datang ke petugas kesehatan yang telah ditentukan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan serta mau melaksanakan apa yang dianjurkan oleh petugas (Lukman Ali et al, 1999).

Menurut Sarfino (1990) di kutip oleh Smet B. (1994) mendefinisikan kepatuhan (ketaatan) sebagai tingkat penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan. Perilaku ketat sering diartikan sebagai usaha penderita untuk mengendalikan perilakunya bahkan jika hal tersebut bisa menimbulkan resiko mengenal kesehatanya (Taylor, 1991). Kepatuhan dalam terapi adalah tingkat perilaku pasien yang tertuju terhadap intruksi atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi apapun yang ditentukan, baik diet, latihan, pengobatan atau menepati janji pertemuan dengan dokter (Stanley, 2007). Kepatuhan adalah merupakan suatu perubahan perilaku dari perilaku yang tidak mentaati peraturan ke perilaku yang mentaati peraturan (Green dalam Notoatmodjo, 2003). Kepatuhan adalah tingkat seseorang dalam melaksanakan suatu aturan dan perilaku yang disarankan (Smet, 1994). Kepatuhan ini dibedakan menjadi dua yaitu kepatuhan penuh (total compliance) dimana pada kondisi ini penderita patuh secara sungguh-sungguh terhadap diet, dan penderita yang tidak patuh (non compliance) dimana pada keadaan ini penderita tidak melakukan diet. Menurut Hasibuan (2003), menjelaskan bahwa kepatuhan merupakan kesadaran dan kesediaan seseorang mentaati semua peraturan dan norma-norma sosial yang berlaku. Kepatuhan yang baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini mendorong gairah kerja, semangat kerja, dan terwujudnya tujuan masyarakat, maka setiap orang harus berusaha agar mempunyai kepatuhan yang baik.

KONSEP KEPATUHAN
Dr. Suparyanto, M.Kes KONSEP KEPATUHAN Pengertian Kepatuhan Sarfino (1990) di kutip oleh Smet B. (1994) mendefinisikan kepatuhan (ketaatan) sebagai tingkat penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau yang lain. Kepatuhan adalah perilaku positif penderita dalam mencapai tujuan terapi (Degrest et al, 1998). Menurut Decision theory (1985) penderita adalah pengambil keputusan dan kepatuhan sebagai hasil pengambilan keputusan. Perilaku ketat sering diartikan sebagai usaha penderita untuk mengendalikan perilakunya bahkan jika hal tersebut bisa menimbulkan resiko mengenal kesehatanya (Taylor, 1991). Patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah atau aturan. Sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Seseorang dikatakan patuh berobat bila mau datang ke petugas kesehatan yang telah ditentukan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan serta mau melaksanakan apa yang dianjurkan oleh petugas (Lukman Ali et al, 1999). Proses perubahan sikap dan perilaku (teori Kelman)

Menurut Kelman perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi kemudian baru menjadi internalisasi Mula-mula individu mematuhi anjuran atau instruksi petugas tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman/sanksi jika tidak patuh atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut tahap ini disebut tahap kesediaan, biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan. Pengawasan itu tidak perlu berupa kehadiran fisik petugas atau tokoh otoriter, melainkan cukup rasa takut terhadap ancaman sanksi yang berlaku, jika individu tidak melakukan tindakan tersebut. Dalam tahap ini pengaruh tekanan kelompok sangatlah besar, individu terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku mayoritas kelompok meskipun sebenarnya dia tidak menyetujuinya. Namun segera setelah dia keluar dari kelompok tersebut, kemungkinan perilakunya akan berubah menjadi perilakunya sendiri. Kepatuhan individu berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang pentingnya perilaku yang baru itu dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan atau tokoh yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent). Biasanya kepatuhan ini timbul karena individu merasa tertarik atau mengagumi petugas atau tokoh tersebut, sehingga ingin mematuhi apa yang dianjurkan atau diinstruksikan tanpa memahami sepenuhnya arti dan mamfaat dari tindakan tersebut, tahap ini disebut proses identifikasi. Meskipun motivasi untuk mengubah perilaku individu dalam tahap ini lebih baik dari pada dalam tahap kesediaan, namun motivasi ini belum dapat menjamin kelestarian perilaku itu karena individu belum dapat menghubungkan perilaku tersebut dengan nilai-nilai lain dalam hidupnya, sehingga jika dia ditinggalkan petugas atau tokoh idolanya itu maka dia merasa tidak perlu melanjutkan perilaku tersebut. Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut terjadi melalui proses internalisasi, dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif bagi diri individu dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari hidupnya. Proses internalisasi ini dapat dicapai jika petugas atau tokoh merupakan seseorang yang dapat dipercaya (kredibilitasnya tinggi) yang dapat membuat individu memahami makna dan penggunaan perilaku tersebut serta membuat mereka mengerti akan pentingnya perilaku tersebut bagi kehidupan mereka sendiri. Memang proses internalisasi ini tidaklah mudah dicapai sebab diperlukan kesediaan individu untuk mengubah nilai dan kepercayaan mereka agar menyesuaikan diri dengan nilai atau perilaku yang baru.Teori The Health Belief Model (Model Kepercayaan Kesehatan) Model kepercayaan kesehatan adalah suatu bentuk penjabaran dari teori Sosial-Psikologi, model ini didasarkan pada kenyataan bahwa problem-problem kesehatan ditandai oleh kegagalan-kegagalan orang atau masyarakat untuk menerima usulan-usulan pencegahan dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh provider. Model kepercayaan kesehatan ini menyatakan, apabila individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya, ada 5 (lima) variabel kunci yang terlibat dalam tindakan tersebut, yaitu: Kerentanan yang dirasakan (Perceived Susceptibility) Seseorang akan melakukan tindakan pengobatan atau pencegahan terhadap suatu penyakit bila individu merasa rentan terhadap penyakit tersebut. Keseriusan yang dirasakan (Perceived Seriousness) Seseorang akan terdorong untuk melakukan tindakan pengobatan atau pencegahan terhadap suatu penyakit oleh karena keseriusan penyakit yang dirasakannya. Manfaat yang dirasakan (Perceived Benefits)

Seseorang akan terdorong untuk melakukan tindakan pengobatan atau pencegahan terhadap suatu penyakit oleh karena adanya manfaat yang dirasakannya dalam mengambil tindakan tersebut bagi penyakitnya. Ancaman yang dirasakan (Perceived Threat) Seseorang akan terdorong untuk melakukan tindakan pengobatan atau pencegahan terhadap suatu penyakit oleh karena adanya ancaman yang dirasakan dari penyakitnya. Isyarat atau petunjuk untuk bertindak (Cues to Action) Untuk dapat meningkatkan penerimaan yang benar tentang kerentanan, kegawatan dan keuntungan, perlu adanya isyarat atau petunjuk dari orang lain, misalnya; Media massa, Nasehat petugas kesehatan atau anggota keluarga. Faktor - faktor yang mempengaruhi kepatuhan Dalam hal kepatuhan Carpenito L.j.(2000) berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah segala sesuatu yang dapat berpengaruh positif sehingga penderita tidak mampu lagi mempertahankan kepatuhanya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak patuh. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya: Pemahaman tentang instruksi. Tidak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang diberikan padanya. Ley dan Spelman tahun 1967 menemukan bahwa lebih dari 60% responden yang di wawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan kepada mereka. Kadang kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesalahan dalam memberikan informasi lengkap, penggunaan istilah-istilah medis dan memberikan banyak instruksi yang harus di ingat oleh penderita. Tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif yang diperoleh secara mandiri, lewat tahapan-tahapan tertentu (Feuer Stein et.al., 1986). Singgih D. Gunarso ( 1990 ) mengemukakan bahwa semakin tua umur seseorang maka proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada umur umur tertentu, bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat ketika berusia belasan tahun, dengan demikian dapat disimpulkan factor umur akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang yang akan mengalami puncaknya pada umur umur tertentu dan akan menurun kemampuan penerimaan atau mengingat sesuatu seiring dengan usia semakin lanjut.Hal ini menunjang dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah. Kesakitan dan pengobatan. Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau resiko yang jelas), saran mengenai gaya hidup dan kebiasaan lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas (Dikson dkk,1989,1990, ley,1992). Keyakinan, sikap dan kepribadian. Kepribadian antara orang yang patuh dengan orang yang gagal, Orang yang tidak patuh adalah orang yang mengalami depresi, ansietas, sangat memperhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan memiliki kehidupan social yang lebih, memusatkan perhatian kepada dirinya sendiri. Kekuatan ego yang lebih ditandai dengan kurangnya penguasaan terhadap lingkunganya. Variabel-variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan ketidak patuhan (Tylor, 1991). Sebagai contoh, di Amerika Serikat para wanita kaum kulit putih dan orang-orang tua cenderung mengikuti anjuran dokter (Sarafino, 1990).

Dukungan Keluarga Dukungan Keluarga dapat menjadi faktor yang dapat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta menentukan program pengobatan yang akan mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan anggota keluarga yang sakit. Derajat dimana seseorang terisolasi dari pendampingan orang lain, isolasi sosial, secara negatif berhubungan dengan kepatuhan (Baekeland dan Lundawall) Tingkat ekonomi Tingkat ekonomi merupakan kemampuan finansial untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, akan tetapi ada kalanya penderita TBC sudah pensiun dan tidak bekerja namun biasanya ada sumber keuangan lain yang bisa digunakan untuk membiayai semua program pengobatan dan perawatan sehingga belum tentu tingkat ekonomi menengah ke bawah akan mengalami ketidakpatuhan dan sebaliknya tingkat ekonomi baik tidak terjadi ketidakpatuhan (Power park C.E., 2002). Dukungan sosial Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga teman, waktu, dan uang merupakan factor penting dalam kepatuhan contoh yang sederhana, jika tidak ada transportasi dan biaya dapat mengurangi kepatuhan penderita. Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka dapat menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan dan mereka seringkali dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan. Dukungan sosial nampaknya efektif di negara seperti Indonesia yang memeliki status sosial lebih kuat, dibandingkan dengan negara-negara barat (Meichenbaun, 1997). Perilaku sehat. Perilaku sehat dapat di pengaruhi oleh kebiasaan, oleh karena itu perlu dikembangkan suatu strategi yang bukan hanya untuk mengubah perilaku tetapi juga dapat mempertahankan perubahan tersebut. Sikap pengontrolan diri membutuhkan pemantauan terhadap diri sendiri, evaluasi diri dan penghargaan terhadap diri sendiri terhadap perilaku yang baru tersebut (Dinicola dan Dimatteo, 1984). Dukungan profesi keperawatan (kesehatan) Dukungan profesi kesehatan merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan penderita. Dukungan mereka terutama berguna pada saat penderita menghadapi kenyataan bahwa perilaku sehat yang baru itu merupakan hal yang penting. Begitu juga mereka dapat mempengaruhi perilaku penderita dengan cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari penderita, dan secara terus menerus memberikan yang positif bagi penderita yang telah mampu beradabtasi dengan program pengobatanya (Meichhenbaum, 1997) DAFTAR PUSTAKA 1. Arikunto, S. (2000). Manajemen Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta. 2. Baughman, Diane C. et.al. (2000). Kepewatan Madikal Bedah. EGC. Jakarta. 3. Brunner&Suddarth. (2002). Keperawatan Medikal - Bedah. EGC. Jakarta. 4. Clark J, Marry (2003). Community Health Nursing. EGC. Jakarta. 5. Corwin, Elizabeth J. (2001). Patofisiologi. EGC. Jakarta. 6. Friedman, Marilyn M. (1998). Keperawatan Keluarga Teori dan Praktek. EGC. Jakarta. 7. Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Tehnk Analis Data. Salemba Medika. Jakarta. 8. Lanywati, Endang. (2001). Diabetes Melitus Penyakit Kencing Manis. Kanisius. Yogyakarta. 9. Mansjoer, Arif. et.al.(2000). Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius FKUI. Jakarta.

10. 11. Niven, Neil. (2002). Psikologi Kesehatan. EGC. Jakarta. 12. Noer, Sjaifoellah. et.al. (1999). Ilmu Penyakit Dalam. FKUI. Jakarta. 13. Notoatmodjo, Soekidjo. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rineka Cipta. Jakarta. 14. Notoatmodjo, Soekidjo (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta. 15. Nursalam (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta. 16. Patrick Davey. (2002). At a Glance Medicine. Erlangga. Surabaya. 17. Ranakusuma, Boedisantoso. Et.al. (1999). Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. CV Aksara Buana. Jakarta. 18. Suprajitno (2004). Asuhan Keperawatan Keluarga. EGC. Jakarta. 19. Askandar T. (2006). Hidup Sehat dan Bahagia bersama Diabetes Melitus. PT Gramedia Pustaka

Anda mungkin juga menyukai