Anda di halaman 1dari 15

Diabetes

Diabetes adalah suatu penyakit gangguan kesehatan di mana kadar gula dalam darah lebih tinggi
dari normal (normal: 4-8 mmol/L atau 70 sampai 150 mg/dL; dimana saat puasa berkisar antara
80 - < 110 mg/dL, setelah makan 110 - < 160 mg/dL). Orang yang menderita diabetes,
glukosanya sulit masuk ke dalam sel karena sedikit atau tidak adanya zat insulin dalam tubuh.
Akibatnya, kadar glukosa dalam darah menjadi tinggi yang nantinya dapat memberikan efek
samping yang bersifat negatif atau merugikan. Diabetes dikenal juga dengan sebutan penyakit
gula darah atau kencing manis dengan jumlah penderita yang cukup banyak di Indonesia juga di
seluruh dunia.

Gejala-gejala

 Hyperglaisimia (peningkatan abnormal kadar gula darah)


 Air seni mengandung gula sehingga sering dikerubuti semut
 Mudah lemah dan lemas karena kekurangan energi
 Rasa haus yang berlebihan dan mudah lapar
 Sering buang air kecil secara berlebihan, terutama malam hari
 Penglihatan menjadi kabur
 Infeksi kulit dan gatal-gatal
 Sering kesemutan.

Cara kerja klorofil


Klorofil bekerja sebagai detoksifikasi pada kelenjar hormon serta menjaga keseimbangan
hormon. Klorofil dapat mempercepat penyembuhan luka yang ditimbulkan akibat diabetes
karena klorofil dapat mempercepat pembentukan jaringan yang menjadi dasar pada pertumbuhan
jaringan baru dalam luka. Selain itu, klorofil memiliki kemampuan untuk membersihkan sistem
darah dan ginjal, meningkatkan metabolisme dan fungsi kelenjar pankreas serta meremajakan
dan meningkatkan aktivitas sel-sel kelenjar pankreas.

http://klorofilmurah.klorofilsynergy.com/klorofil/diabetes/

Sampai saat ini telah dikenal berbagai obat antihiperglikemik


oral (AHO) pada pengobatan diabetes melitus (DM)  namun jarang
diutarakan manfaatnya bila obat-obat tersebut dikombinasi. Pada
umumnya obat obat antihiperglikemik oral (AHO) bekerja untuk
meningkatkan sekresi insulin (insulin secretagogue) atau 
meningkatkan sensitifitas jaringan perifer terhadap insulin (non
secretagogue).

    Melihat cara kerja obat ini yang berbeda maka sangat rasional
bila obat ini diberikan dalam bentuk kombinasi akan mempunyai
efek yang lebih besar ketimbang diberikan secara tersendiri-
sendiri (terapi tunggal).

    Pengobatan DM tipe 2  meliputi perencanaan makan , latihan


fisik, penyuluhan , obat AHO dan insulin. Bukti klinis dari
berbagai klinik menunjukkan bahwa hanya  10 % pasien yang
berhasil dengan perencanaan makan , latihan fisik dan penyuluhan
dan  hanya 10 % berindikasi pemberian insulin sedang sisanya 80%
membutuhkan pengobatan dengan obat antihiperglikemik oral (AHO).
   
    Pemakaian sulfonilurea sebagai terapi tunggal masih dilakukan
pada pengobatan DM dengan AHO akan tetapi telah diketahui  bahwa
pemberian sulfonilurea memberi kegagalan primer atau sekunder 
yang pada penelitian menunjukkan   5-10 % setiap tahunnya pemakai
sulfonilurea mengalami kegagalan. Tercatat kadar glukosa rata-
rata akan kembali ke nilai awal setelah 5 tahun pengobatan dan
tidak jarang pada pasien DM tipe-2 yang baru ditegakkan dengan
kadar glukosa darah puasa > 200 mg% tidak mencapai  kontrol
euglikemik dengan pengobatan monoterapi saja. Diperlukan insulin
sebagai tambahan untuk mencapai kontrol euglikemik. Biasanya
sebelum ditambahkan insulin, pengobatan  AHO lain yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda dengan AHO pertama diberikan secara
kombinasi.  Setiap  kombinasi  2 obat antihiperglikemik oral
(AHO) diharapkan akan memberi efek sinergistik atau tambahan
dalam menurunkan glukosa darah  dengan efek samping yang kurang
dan outcome yang lebih baik.

    Penelitian secara prospektif di UK (UKPDS) memperlihatkan


dengan jelas  adanya progresivitas penyakit pada 4209 pasien yang
diteliti  dengan terapi konvensional  diet dan pengobatan
tunggal  intensif AHO.  Pengobatan tunggal AHO pada DM tipe 2
yang gemuk biasanya dimulai dengan metformin sedang pada mereka
yang berat badannya normal atau tidak gemuk pengobatan dimulai
dengan sulfonilurea. Pengobatan kombinasi pada DM tipe 2  yang
gemuk maupun tidak gemuk pada prinsipnya sama yang penting kedua
obat mempunyai mekanisme kerja berbeda. Untuk hal tersebut maka
dalam artikel  ini akan diutarakan mengenai pengobatan kombinasi
obat antihiperglikemik oral (AHO), akan tetapi sebelumnya
dijelaskan mengenai pembagian dan mekanisme kerja berbagai jenis
obat AHO.

Regulasi glukosa darah dan patogenesis DM tipe-2

      Mekanisme regulasi glukosa darah  dan patogenesis


hiperglikemia DM tipe 2 sampai saat ini masih belum diketahui
dengan pasti  karena sampai saat ini belum diketahui proses mana
yang lebih dahulu terjadi. Berbeda dengan DM   tipe-1 dimana
penyebabnya sebagian besar disebabkan oleh proses autoimun dan
hanya sebagian kecil tidak diketahui penyebabnya.

  Dalam keadaan normal tubuh senantiasa mempertahankan kadar


glukosa darah dalam batas-batas normal. Ada 3 organ yang berperan
utama dalam pengaturan kadar glukosa plasma yaitu sel beta
pankreas dengan menghasilkan insulin untuk menurunkan glukosa
darah, hati meningkatkan glukosa plasma dengan proses
glukogenolisis dan glukoneogenesis  dan otot menurunkan glukosa
plasma dengan meningkatkan ambilan terhadap glukosa.

   Pada keadaan puasa  kebutuhan glukosa  berasal dari hati yang 


disebut produksi glukosa hati (glukosa endogen) sedang pada
keadaan setelah makan maka glukosa berasal dari makanan (glukosa
eksogen). Pada keadaan sesudah makan  sebagian besar glukosa
plasma akan masuk jaringan seperti sel otot, hati, sel lemak dan
sebagian masuk dalam jaringan yang tidak peka insulin seperti 
otak, usus, sel darah merah.

   Insulin adalah merupakan faktor utama dalam mempertahankan


kadar glukosa darah berkisar 70-120 mg/dl. Insulin berfungsi
merangsang asupan glukosa di perifer khususnya sel otot,  hati
dan insulin menekan sintesis atau pelepasan glukosa oleh hati
dengan kata lain insulin menekan proses glukoneogenesis dan
glukogenolisis.  Pada DM tipe-2 proses mana yang lebih dahulu
terjadi apakah gangguan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
atau menurunnya kepekaan jaringan perifer (resistensi insulin)
belum diketahui dengan pasti . Namun pada DM tipe-2  yang
gambaran klinisnya sudah jelas kedua kelainan tersebut ditemukan
bersamaan.

Pembagian obat antihiperglikemik oral (AHO).

   Dalam beberapa tahun terakhir telah ditemukan beberapa jenis


AHO sehingga golongan sulfonilurea yang mendominasi  AHO  mulai
berkurang dengan munculnya obat acarbose, repaglinide,
nateglinide dan thiazolidinedione.

Menurut mekanisme kerjanya, AHO dapat dibagi dalam 4 golongan :

1.  Obat yang kerjanya  untuk menghambat absorbsi karbohidrat di 


    usus yaitu golongan Alfa glucosidase inhibitor (acarbose)
               
2.  Obat yang kerjanya merangsang sekresi insulin (insulin
    secretagogue)
    a.    Golongan sulfonilurea (Glibenclamide, Gluquidone,
          Gliclazide, glipizide, Glimepiride)
    b.    Golongan nonsulfonilurea ( Repaglinide, Nateglinide,
          Meglitinide )

3.  Obat yang kerjanya menghambat produksi glukosa di hati


    Metformin (glucophag, Formell, Diabex, Glukotide)

4.  Obat yang kerjanya meningkatkan ambilan glukosa (glucose 


    uptake) di jaringan perifer  yaitu  thiazolidinedione, 
    metformin  dan sulfonilurea.

         Bila ditilik mekanisme kerja masing-masing golongan obat


tersebut maka sulfonilurea terutama mempunyai kerja meningkatkan
sekresi insulin pada sel beta pankreas dengan menghambat  dan
menutup ATP dependent K channel, sehingga  K efflux menurun,
terjadi retensi kalium (K) , menyebabkan depolarisasi  yang
membuka votage Ca ++ channel mengakibatkan influx Ca++ meningkat,
merangsang eksositosis granula insulin  sehingga akhirnya sekresi
insulin meningkat. Selain itu sulfonilurea dapat berfungsi
menekan sel-sel alfa menghasilkan glukagon dan merangsang sel
delta untuk meningkatkan sekresi somatostatin yang merupakan
penghambat glukagon.

   Glimepiride adalah golongan sulfonilurea  generasi ke 3 yang


mempunyai kelebihan dari generasi sebelumnya yaitu  selain
meningkatkan sekresi insulin, juga meningkatkan asupan glukosa di
perifer dengan memacu translokasi  GLUT 4 untuk masuknya glukosa
dalam sel dan efek hipoglikemik yang minimal dan tidak
menyebabkan vasokonstriksi perifer. Golongan obat nonsulfonilurea
seperti repaglinide, nateglinide mempunyai tempat reseptor
tersendiri atau berbeda dengan tempat reseptor  sulfonilurea dan
tidak memacu secara langsung eksositosis insulin dalam
meningkatkan sekresi insulin. Obat ini dikenal dengan “Prandial
Glucose Regulator” sehingga timbul konsep No Meal- No Dose.

    Repaglinide adalah AHO yang mempunyai struktur molekuler,


mekanisme kerja, dan ekskresi  yang unik. Walaupun bukan
sulfonilurea akan tetapi obat ini dimasukkan kedalam kelompok
insulin secretagogue karena mekanisme kerjanya merangsang sekresi
insulin  dari sel beta pankreas akan tetapi waktu paruhnya pendek
dan sebagian besar tidak diekskresi lewat ginjal serta cepat
diabsorbsi.

    Berbeda dengan sulfonilurea , metformin mempunyai mekanisme


kerja bukan meningkatkan sekresi insulin di sel beta  pankreas
akan tetapi terutama bekerja menghambat produksi glukosa oleh
hati dengan menekan glukoneogenesis dan glikogenolisis. Selain
itu metformin bekerja pada daerah jaringan perifer dengan
meningkatkan asupan glukosa (glucose-uptake) dan menghambat
absorbsi glukosa di usus.

    Obat penyekat alfa glukosidase acarbose menurunkan kadar


glukosa plasma postprandial dengan memperlambat absorbsi
karbohidrat di usus dan menghemat pemakaian insulin.

    Thiazolidinediones dalam hal ini troglitazone, rosiglitazone,


pioglitazone adalah obat yang diperkenalkan sebagai insulin
sensizer karena meningkatkan sensitivitas insulin baik terhadap
hati maupun pada organ lainya dan otot skelet.

Pengobatan kombinasi

     Dari berbagai obat antihiperglikemik oral (AHO) yang dikenal


saat ini  maka sangat rasional bila dua macam AHO yang  mekanisme
kerjanya berbeda dikombinasi sehingga diperoleh efek kontrol
glikemik yang lebih baik dibanding bila obat diberikan secara
tunggal.

     Sulfonilurea telah terbukti dalam pemberiannya  memerlukan


dosis yang semakin meningkat  dan tidak mustahil pada suatu
ketika dosis obat sudah maksimal akan tetapi kadar glukosa darah
belum terkontrol baik (gagal sekunder). Hal ini disebabkan
karena  ketidak mampuan sel beta untuk lebih meningkatkan sekresi
insulin walaupun diberikan dosis maksimal. Disamping itu
resistensi insulin  lambat laun semakin meningkat.

     Pengobatan kombinasi pada awalnya baru dimulai bila salah


satu jenis AHO yang diberikan sudah dosis maksimal, namun tidak
mampu mengendalikan kadar glukosa plasma, sehingga perlu AHO lain
yang mempunyai titik tangkap yang berbeda  dengan AHO yang
pertama. Baik sulfonilurea maupun metformin pada pemberian jangka
lama, ternyata memerlukan  dosis semakin meningkat untuk mencapai
derajat kontrol glikemik, akan tetapi efek samping obat semakin
meningkat pula. Untuk itu  diperlukan tambahan AHO lain sebelum
dosis maksimal dicapai. Pemberian AHO secara kombinasi dapat
diberikan lebih dini  dengan dosis yang lebih kecil dengan alasan
adanya gangguan sekresi insulin dan gangguan resistensi insulin.
Penelitian oleh asosiasi diabetes Amerika (ADA) merekomndasikan
indikasi  pengobatan kombinasi AHO  pada pasien DM tipe-2 dengan
HbAic > 8%.

Beberapa kemungkinan kombinasi AHO adalah sebagai berikut:

1. Sulfonilurea dengan metformin


2. Sulfonilurea dengan penyekat alfa glukosidase(acarbose)
3. Sulfonilurea dengan  repaglinide/nateglinide
4. Sulfonilurea dengan thiazolidinedione
5. Metformin dengan nateglinide                                    
6. Metformin dengan acarbose
7. Metformin dengan thiazolidinediones
8. Nateglinide dengan thiazolidinediones

1.  Sulfonilurea dengan metformin


    Kombinasi sulfonilurea dengan metformin bekerja saling
sinergistik, dapat ditolerir dan memperbaiki kontrol glikemik dan
kadar lipid pada DM tipe-2 yang tidak terkendali dengan hanya
perencanaan makan dan sulfonilurea.Di Amerika Serikat pemakaian
sulfonilurea pada DM tipe-2 umumnya merupakan pilihan pertama
AHO, namun ternyata 30 % pasien yang menerima sulfonilurea
mengalami kegagalan sejak awal pengobatan sedang 70 % berhasil,
namun masih akan mengalami kegagalan  rata-rata 4-5% pertahun.
Ternyata dengan kombinasi metformin  akan memberi efek kontrol
glikemik, aman  karena mekanisme kerja kedua obat ini berbeda.
Metformin menurunkan glukosa darah dengan menurunkan produksi
glukosa hati dan meningkatkan asupan glukosa di jaringan perifer
sedang sulfonilurea meningkatkan sekresi insulin.   Kadar lipid
menurun sebagaimana bila metformin diberikan sendiri. Demikian
pula bahaya asidosis laktat walaupun meningkat akan tetapi sama
dengan apabila diberikan sendiri.

   Dalam penelitian  uji klinis dengan randomized, double-blind,


control study terhadap 632 pasien dengan  kadar glukosa darah
puasa > 250 mg% dan HbA1c 8,8% memperlihatkan perbaikan dalam 6
bulan bila dengan terapi kombinasi antara glyburide dengan
metformin. Demikian pula penelitian UKPDS terhadap 591 pasien 
yang kontrol jelek dengan pengobatan tunggal setelah ditambahkan
metformin  memberikan penurunan glukosa darah sebesar 30 %  dan
HbA1c menurun 0,5% secara sangat bermakna  dibanding bila
diberikan pengobatan tunggal saja. Dengan terapi kombinassi
sulfonilurea dan metformin juga memperlihatkan simptom
hipoglikemia menurun, kenaikan berat badan tidak meningkat
dibanding dengan pemberian sulfonilurea sendiri. Demikian pula
keluhan-keluhan gastrointestinal yang sering ditemukan pada
pemberian  metformin justru menurun pada pengobatan kombinasi.

2. Sulfonilurea  dengan penyekat alfa glukosidase(acarbose)


   Pemberian tambahan acarbose pada pasien DM tipe-2 yang
mendapat sulfonilurea memberi efek tambahan dalam menurunkan
kadar glukosa plasma terutama  penurunan glukosa darah
postprandial dibanding terapi kombinasi sulfonilurea dengan
metformin.

     Pada pasien-pasien yang gagal sekunder dianjurkan memberikan


AHO golongan acarbose karena hal ini dapat menunda pemakaian
insulin. Terbukti ditemukan penurunan kebutuhan insulin setelah
ditambahkan acarbose pada beberapa pasien. Acarbose  atau
miglitol walapun bukan insulin sensizer akan tetapi membantu 
kerja insulin dengan cara langsung memperlambat absorpsi glukosa 
setelah makan  dan menurunkan jumlah insulin yang diperlukan 
pada postprandial. Dengan demikian kombinasi sulfonilurea  dengan
acarbose akan  memeperbaiki gukosa darah puasa dan postprandial.
Penelitian secara multisenter, double-blind, cross-over study
menunjukkan  penurunan glukosa  darah , HbA1c lebih baik
dibanding dengan sulfonilurea dan plasebo .

3. Sulfonilurea  dengan  repaglinide


   Penelitian secara prospektif, multisenter, selama 1 tahun 
dengan double blind menunjukkan repaglinide sama efektifnya
dengan sulfonilurea pada pengobatan DM tipe-2. Walaupun
repaglinide dan sulfonilurea mempunyai mekanisme kerja  yang sama
yaitu insulin sekretagoque, kedua obat ini dapat dikombinasi
dengan alasan mempunyai tempat reseptor yang berbeda pada sel
beta pankreas dan tidak memacu sel secara langsung exositosis
dari insulin. Dengan demikian secara teoritis repaglinide dapat
dikombinasi dengan sulfonilurea, namun masih memerlukan
penelitian lebih lanjut.

4. Sulfonilurea  dengan thiazolidinediones


  Kombinasi sulfonilurea dengan thiazolidinediones bekerja
sinergistik dalam kontrol glikemik pada DM tipe-2 dan terbukti
sama efektifnya dengan kombinasi sulfonilurea dengan metformin.
Pada uji klinis double-blind dengan kontrol plasebo pada 552
pasien DM tipe-2 yang tidak terkontrol dengan glibenklamide 12 mg
perhari diberikan tambahan troglitazone  400 mg perhari dan
hasilnya dapat menurunkan kadar glukosa plasma puasa  sebesar 15
%.

5. Metformin  dengan nateglinid / repaglinide


  Penelitian dari Horton dkk. menunjukkan efek  nateglinid  bila
dikombinasi dengan metformin saling melengkapi  dalam memperbaiki
kontrol glikemik  DM tipe-2. Nateglinid menurunkan hiperglikemik
postprandial. Penurunan HBA1c 0,5 % bila hanya dengan terapi
nateglinid  dan jika hanya metformin menurun 0,8 % sedang bila
dikombinasi maka penurunan HbA1c 1,4%.

     Penelitian terhadap 467 pasien DM tipe-2 yang gagal dengan


pengobatan metformin dosis >1500 mg perhari, bila ditambahkan
nateglinide 60-120 mg perhari,  selama 24 minggu penelitian
menunjukkan  penurunan bermakna kadar glukosa plasma puasa dan
HbA1c. Bila repaglinide dikombinasi dengan metformin HbA1c
menurun dari 8,3% menjadi 6,9%(p.<0,002) dan kadar glukosa darah
puasa menurun dari 10,2  menjadi 8,0 mmol/l (p<0,001). Sedang
apabila kedua obat ini diberikan secara tunggal hasilnya tidak
bermakna menurunkan kadar glukosa darah puasa maupun Hb A1c.
Selanjutnya Moses memperlihatkan  kombinasi metformin dengan
repaglinide lebih efektif dibanding bila diberikan secara tunggal

6. Metformin dengan thiazolidinediones


   Kombinasi  metformin dengan  thiazolidindiones saling menyokong khususnya pada
pasien DM tipe-2 yang resistensi insulinnya dominan. Metformin  menekan produksi
glukosa di hati dan thiazolidinediones khususnya troglitazone mempunyai titik tangkap
meningkatkan uptake glukosa di otot.

7. Nategklinide dengan thiazolidinediones


   Penelitian secara multisenter terhadap 256 pasien DM tipe-2
selama 33 minggu, menunjukkan kombinasi repaglinide dengan
troglitazone menurunkan secara bermakna HbA1c dari 8,9 menjadi
7,9% pada pasien yang diterapi dengan repaglinide saja dan dari
8,6 menjadi 7,3 % bila pengobatan kombinasi repaglinide dengan
troglitazone pada 14 minggu pengobatan. Sedang apabila pasien
mendapat hanya dengan troglitazone hasilnya justru meningkat dari
8,6 ke 8,7 %. Dengan demikian dapat disimpulkan ada efek
sinergistik  obat kombinasi repaglinide dengan troglitazone
sehingga lebih efektif dibanding diberikan secara tunggal. Tidak
ditemukan efek hipoglikemia selama penelitian berlangsung.

    telah dilakukan Penelitian pengobatan kombinasi nateglinide


dengan troglitazone dan  Hasil akhir setelah   penelitian, 
menunjukkan    penurunan  kadar glukosa darah puasa dan HbA1c
secara statistik sangat bermakna,    dibanding jika ke dua obat
tersebut digunakan dengan  pengobatan tunggal.

Ringkasan

   Sampai saat ini telah dikenal berbagai jenis obat


antihiperglikemik oral (AHO) yang pada prinsipnya bertujuan
pertama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
(golongan obat secretagogue) seperti golongan sulfonilurea dan
nonsulfonilurea misalnya repaglinide, nateglinide dan kedua
adalah golongan obat untuk meningkatkan sensitivitas insulin di
jaringan resistensi insulin seperti metformin,
thiazolidinediones. Pengobatan kombinasi dua jenis AHO yang
mekanisme kerjanya berbeda titik tangkapnya terbukti menyebabkan
kontrol glikemik secara bermakna dibanding bila diberikan secara
tunggal. Kombinasi dua macam AHO selain mengurangi efek samping
juga dapat menunda pemberian insulin. Kombinasi sulfonilurea dan
metformin paling sering dilakukan , namun kombinasi  lainnya
dapat juga memberi efek yang sama. Meskipun pemberian obat secara
kombinasi di sarankan namun Pemberian  3 jenis AHO yang berbeda
tempat kerjanya juga tidak dianjurkan. oleh karena selain tidak
praktis, efek sampingnya juga lebih besar.Bagi mereka yang gagal
dengan kombinasi 2 macam AHO, maka pemberian insulin yang
kerjanya sedang dimalam hari sebagai pengobatan tambahan
dianjurkan.
http://dokternetworkangk97.blogspot.com/2011/02/terapi-kombinasi-obat-antihiperglikemik.html

Diabetes mellitus adalah penyakit yang berkaitan dengan gangguan produksi dan/atau
fungsi hormon insulin. Pada keadaan normal, insulin yang dihasilkan oleh sel-sel 
pankreas bertugas menjaga agar kadar gula darah tetap berada dalam rentang normal
(“normoglisemia”), yaitu 70-100 mg/dL pada keadaan puasa, atau 115-150 mg/dL pada
keadaan sewaktu. Tugas insulin dilakukan dengan cara membuat glukosa masuk ke
dalam sel-sel. Pada orang normal, pelepasan insulin terjadi melalui 2 cara:

• Basal: dilepaskan secara kontinyu di antara waktu makan dan sepanjang malam •
Terstimulasi: merupakan pelepasan insulin sebagai respon terhadap adanya makanan  
Gambar berikut menunjukkan bagaimana insulin dapat menyebabkan glukosa masuk

ke dalam sel.     


Selain insulin, hormon yang bertugas menjaga kadar gula darah tetap normal adalah
glukagon, yang diproduksi oleh sel-sel  pankreas. Kerjasama insulin dan glukagon
dapat digambarkan sebagai berikut: • Jika kadar gula darah tinggi (di atas normal): sel-
sel  pankreas akan dirangsang untuk melepaskan insulin ke dalam darah, yang
selanjutnya akan menyebabkan ati, otot dan sel-sel lemak akan “menyerap” kelebihan
kadar gula dari darah. Kelebihan gula tersebut akan disimpan sebagai glikogen, protein
dan trigliserida • Jika kadar gula darah rendah (di bawah
normal): sel-sel  pankreas akan dirangsang untuk
melepaskan glukagon ke dalam darah, yang selanjutnya
akan menyebabkan hati, otot dan sel-sel lemak akan
menguraikan dan melepaskan cadangan gula ke dalam
darah. Gambar di samping menunjukkan bagaimana
insulin dan glukagon berfungsi mempertahankan agar
kadar gula darah selalu normal.
Hiperglikemia
Adalah keadaan dimana kadar gula darah melebihi normal (kadar gula sewaktu > 180
mg/dL). Kondisi ini dapat dikenali dari bebera-pa gejalanya yang sangat khusus, yaitu:
• Mulut terasa kering atau lengket
• Cepat merasa haus (polydypsia), disertai buang air kecil yang sering (polyuria)
• Cepat merasa lapar (polyfagia) meskipun nafsu makan tinggi
• Cepat merasa lelah atau mengantuk
• Mudah terserang infeksi berulang-ulang, khususnya infeksi di kulit, genitalia dan
saluran kemih
• Jika mengalami luka atau tergores memerlukan waktu yang lama untuk sembuh

        2. Diabetes Mellitus Adalah keadaan dimana hiperglikemia berlangsung secara


terus-menerus. Berdasarkan penyebabnya, diabetes mellitus dapat digolongkan
menjadi 3: • Tipe 1, atau dulu dikenal sebagai Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(IDDM) atau juvenile diabetes mellitus. Diabetes tipe 1 kebanyakan terjadi pada mereka
yang berusia muda (< 30 tahun), bahkan tidak jarang muncul pada masa kanak-kanak.
Sebagian besar penderita diabetes tipe 1 bertubuh kurus. Faktor resiko seseorang bisa
menderita diabetes tipe 1 adalah: mempunyai orang tua pengidap diabetes tipe 1 atau
pernah terinfeksi virus mump (gondongan). • Tipe 2, atau dulu dikenal sebagai Non-
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau adult onset diabetes mellitus.
Diabetes tipe 2 biasanya muncul pada usia yang lebih tua dibandingkan tipe 1 (> 45
tahun) dan sebagian besar penderitanya mempunyai bobot badan berlebihan
(overweight, body mass index > 25). • Gestational Diabetes Mellitus (GDM) adalah
diabetes yang hanya terjadi pada wanita yang tengah mengalami kehamilan. GDM
biasanya terdeteksi pertama kali pada usia kehamilan trimester kedua atau ketiga
(setelah usia kehamilan 3 atau 6 bulan), dan umumnya akan menghilang dengan
sendirinya setelah proses melahirkan. GDM menyerang 3-5% dari wanita hamil, terjadi
karena adanya hormon yang bekerja melawan kerja insulin -- yang dihasilkan oleh
plasenta – serta meningkatnya resistensi insulin.         Komplikasi Diabetes Mellitus

Diabetes yang tidak diterapi atau dikontrol dengan baik dapat menyebabkan terjadinya
komplikasi, antara lain: • Diabetic neuropathy, yaitu gangguan saraf pada anggota
gerak bagian bawah yang menyebabkan anggota gerak tidak dapat merasakan
sentuhan atau bahkan nyeri. • Diabetic nephropathy, yaitu gangguan ginjal, yang dapat
mengarah pada terjadinya microalbuminuria (ditemukannya protein pada urine) •
Diabetic retinopathy, yaitu gangguan pada retina, yang dapat menyebabkan katarak
atau bahkan kebutaan • Hipertensi • Gangguan ritme jantung • Stroke • Impotensi •
Koma, akibat hiperglikemia parah         3. Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes tipe 2 merupakan tipe yang paling sering terjadi. Diperkirakan 90% dari kasus
diabetes adalah tipe 2. Mengingat insiden diabetes terus meningkat dari waktu ke
waktu, maka kriteria diagnostik oleh the American Diabetes Association (ADA) pada
tahun 1997 juga menyertakan parameter random plasma glucose (kadar gula plasma
sewaktu), mengingat sebagian penderita diabetes “terjaring” pada saat pemeriksaan
glukosa sewaktu. ADA menetapkan kriteria diagnostik diabetes tipe 2 sebagai berikut: •
Seseorang dengan dengan gejala hiperglikemia dan random plasma glucose (RPG)
atau glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dari hasil 2 kali pengukuran terpisah dapat
dikatakan menderita diabetes tipe 2, atau • Seseorang dengan fasting plasma glucose
(FPG) atau glukosa plasma dalam keadaan puasa ≥ 126 mg/dL dari hasil 2 kali
pengukuran terpisah dapat dikatakan menderita diabetes tipe 2 • Seseorang dengan
fasting plasma glucose (FPG) atau glukosa plasma dalam keadaan puasa ≥ 110 mg/dL
dari hasil 2 kali pengukuran terpisah dapat dikatakan beresiko menderita diabetes tipe
2.         Keterangan:
Puasa: tidak ada pemasukan kalori selama sekurangnya 8 jam

Penyebab munculnya diabetes tipe 2 adalah satu atau lebih dari kejadian berikut: •
Organ pankreas tidak mampu menghasilkan insulin dalam jumlah cukup • Reseptor
insulin yang ada di dalam tubuh tidak memberi respon yang baik terhadap hormon
insulin yang ada. Keadaan ini dikenal sebagai resistensi insulin • Hati memproduksi
gula secara berlebihan (sebagai hasil penguraian glikogen).         Akibatnya muncul
keadaan hiperglikemia yang terus-menerus, dimana glukosa akan tetap berada di
dalam darah, bukan masuk ke dalam sel. Gambar berikut menunjukkan bagaimana
kondisi hiperglikemia dengan kadar insulin cukup (kasus resistensi):

        Faktor resiko diabetes


tipe 2: • Riwayat keluarga: jika orang tua atau saudara kandung mengidap diabetes •
Usia ≥ 45 tahun • Overweight atau mempunyai indeks massa tubuh ≥ 25 kg/m2 •
Pernah menderita GDM sewaktu hamil.      

Golongan Sulfonilurea

Antidiabetik oral yang paling tua ini mulai digunakan dalam pengobatan diabetes tipe 2 sejak
tahun 1952. Mekanisme kerjanya adalah merangsang pelepasan insulin dari sel  pankreas.
Terkait dengan mekanisme kerjanya ini, maka salah satu efek samping yang menonjol dari
golongan sulfonilurea adalah hipoglisemia, yang terjadi jika pengaturan dosis tidak tepat,
penderita terlambat makan atau penderita melakukan olah raga atau aktivitas fisik yang terlalu
intensif. Efek samping yang lain adalah peningkatan bobot badan, sehingga golongan ini tidak
dianjurkan sebagai pilihan pertama pada penderita yang overweight atau kegemukan.
Dilihat dari kemampuannya untuk menurunkan kadar gula puasa maupun HbA1c, golongan
sulfonilurea termasuk antidiabetika oral yang potensial. Semua golongan sulfonilurea
mempunyai efikasi yang tidak terlalu berbeda, yaitu mampu menurunkan kadar gula puasa 60-
70 mg/dL dan menurunkan HbA1c 1,5-2%. Perbedaannya terletak pada farmakokinetik dan lama
kerja, sehingga klorpropramid, misalnya sering menimbulkan hipoglikemia pada pasien usia
lanjut.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan golongan sulfonilurea adalah : • Golongan
sulfonilurea cenderung meningkatkan berat badan • Penggunaannya harus hati-hati pada
pasien usia lanjut, gangguan fungsi hati dan ginjal. Klorpropramid dan glibenklamid tidak
dianjurkan untuk pasien usia lanjut dan pasien insufisiensi ginjal. Pada gangguan fungsi ginjal
dapat digunakan glikuidon, gliklazid atau tolbutamid yang kerjanya singkat. • Wanita menyusui,
porfiria dan ketoasidosis merupakan kontraindikasi bagi sulfonilurea         Aturan minum
golongan ini adalah: sesaat sebelum makan pagi atau bersama makan pagi. Dosis awal yang
dianjurkan adalah dosis rendah. Jika kadar gula darah penderita masih belum terkontrol dan
penderita dapat mentoleransi efek sampingnya, maka dosis dapat ditingkatkan. Karena efek
samping hipoglisemia sangat berbahaya bagi mereka yang berusia lanjut, maka bagi mereka
mungkin diperlukan penyesuaian dosis, umumnya adalah setengah dosis lazim.

Beberapa sediaan golongan sulfonilurea dibuat dalam bentuk lepas lambat untuk tujuan
mengurangi frekuensi pemberian dan menjamin pelepasan dosis yang terkontrol sehingga
dapat mengurangi resiko hipoglisemia.

Senyawa yang termasuk dalam golongan sulfonilurea – dengan aturan minum 1 x sehari --
adalah: • Chlorpropamid, 100 mg • Glibenklamid atau gliburid, 2,5 - 5 mg • Glipizid, 5 - 10 mg •
Gliklazid, 80 mg • Gliquidon, 30 mg • Glimepirid, 1 - 4 mg         Bagi orang yang berpuasa,
minumlah obat ini pada saat buka puasa. Jangan pada waktu sahur.

Efek samping hipoglikemia – didefinisikan sebagai kadar gula darah ≤ 60 mg/dL – dapat
diketahui dari gejala-gejala berikut: • Gemetar • Berkeringat dingin • Pusing dan bingung • Muka
pucat • Rasa lapar sekali • Lidah tidak berasa   Jika hipoglikemia terjadi pada malam hari, misal:
karena penderita tidak makan malam karena suatu alasan – maka gejala yang muncul adalah: •
Pakaian atau alas tidur basah oleh keringat • Mimpi buruk • Bangun dengan kesiagaan penuh •
Bangun dengan detak jantung cepat • Gelisah dan tidak dapat tidur kembali         Cara mengatasi
gejala hipoglikemia adalah dengan memakan bahan makanan yang manis, seperti permen atau
air gula.

Golongan Insulin Secretagogue

Mekanisme kerja golongan ini serupa dengan golongan sulfonilurea, sedangkan


kemampuannya sebagai antidiabetika oral sedikit di bawah golongan sulfonilurea. Perbedaan
nyata golongan insulin secretagogue dengan golongan sulfonilurea adalah: golongan ini awal
kerjanya lebih cepat, namun masa kerjanya lebih pendek. Hal ini sering diistilahkan “quick on –
quick off”. Kelebihan golongan ini adalah: menawarkan kontrol kadar gula setelah makan
(postprandial) yang jauh lebih baik dibandingkan golongan sulfonilurea. Jika penderita tidak
makan, maka penderita tidak perlu minum obat ini. Selain itu, karena masa kerjanya pendek,
maka resiko hipoglisemia yang muncul pada golongan sulfonilurea juga jauh berkurang pada
golongan ini. Namun efek samping meningkatkan bobot badan masih dimiliki golongan ini.
Golongan insulin secretagogue mampu menurunkan kadar gula puasa sampai dengan 60
mg/dL, dan menurunkan HbA1c 1,7 – 1,9%. Kekurangan golongan insulin secretagogue adalah
frekuensi pemberian yang lebih sering dibandingkan golongan sulfonilurea dan tidak dapat
diberikan secara tunggal (untuk nateglinid, harus dikombinasi dengan metformin). Setiap kali
penderita makan, penderita perlu minum obat. Senyawa yang termasuk dalam golongan insulin
secretagogue adalah: repaglinid dan nateglinid.
Repaglinid diindikasikan untuk diabetes melitus tipe 2, sebagai monoterapi atau dalam
kombinasi dengan metformin jika metformin tunggal, tidak dapat mengontrol kadar gula darah.
Dosis repaglinid : dosis awal 500 μg kemudian disesuaikan menurut respons setiap 1-2 minggu.
Dapat diberikan hingga 4 mg sebagai dosis tunggal. Dosis maksimal per hari 16 mg. Jika
merupakan penggunaan repaglinid merupakan pengalihan dari obat antidiabetik oral yang lain,
dosis awal repaglinid adalah 1 mg.
Nateglinid diindikasikan pada diabetes melitus tipe 2 dalam kombinasi metformin, jika metformin
tunggal tidak dapat mengontrol kadar gula darah. Dosis nateglinid : dosis awal 3 x sehari 60
mg, kemudian disesuaikan menurut respon hingga 3 x 180 mg. Nateglinid tidak
direkomendasikan penggunaannya pada anak dan remaja usia dibawah 18 tahun.

Golongan Biguanida

Berbeda halnya dengan golongan sulfonilurea dan insulin secretagogue yang bekerja sebagai
antidiabetika dengan cara merangsang pelepasan insulin oleh sel-sel  pankreas, golongan
biguanida bekerja dengan cara menurunkan resistensi insulin di beberapa jaringan, terutama di
hati. Kerja utamanya adalah mengurangi produksi gula (sebagai hasil urai glikogen) di hati.
Sedangkan kerja sekundernya adalah memperbaiki kerja insulin. Kemampuan golongan
biguanida untuk menurunkan kadar gula darah hampir sama dengan golongan sulfonilurea,
sehingga penggunaannya sebagai antidiabetika di seluruh dunia menempati posisi kedua
setelah golongan sulfonilurea. Namun berbeda halnya dengan golongan sulfonilurea yang
dapat meningkatkan bobot badan, metformin justru menginduksi penurunan bobot badan,
sehingga sering dijadikan pilihan utama bagi penderita yang overweight. Golongan biguanida
dapat menurunkan glukosa plasma puasa 60-70 mg/dL dan HbA1c 1,5-2%. Senyawa yang
termasuk dalam golongan biguanida saat ini baru hanya ada satu yaitu metformin, setelah
ditariknya senyawa fenformin dari peredaran pada tahun 1975 karena efek toksis laktat
asidosis, bahkan kematian. Karena efek samping yang menonjol dari golongan biguanida
adalah efek gastrointestinal – misal : mual, kembung, diare -- maka skema terapi yang
dianjurkan adalah peningkatan dosis secara bertahap sebagai berikut (jika digunakan secara
tunggal):
http://www.pom.go.id/io/ce/m/21.html

Alpha-Glucosidase Inhibitors
Alpha-glucosidase inhibitor, termsuk di dalamnya acarbose (Precose, Glucobay) dan miglitol
(Glyset) memilki cara kerja mengurangi kadar glukosa dengan menginterfensi penyerapan sari
pati dalam usus. Acarbose cenderung menurunkan kadar insulin setelah makan, yang merupakan
keuntungan khusus obat ini, karena kadar insulin yang tinggi setelah makan berkaitan dengan
pengingkatan risiko penyakit jantung. Studi tahun 2002 juga menemukan bahwa obat ini
kemungkinan bisa menunda datangnya diabetes tipe 2 pada orang risiko tinggi. Alpha-
glucosidase inhibitor tidak seefektif obat lain bila digunakan sebagai terapi tunggal. Namun bila
digunakan secara kombinasi, misalnya dengan metformin, insulin, atau sulfonylurea, bisa
meningkatkan efektivitasnya.

Efek samping yang paling sering


dikeluhkan adalah produksi gas dalam
perut dan diare, khususnya setelah
konsumsi makanan tinggi kandungan
karbohidrat yang menyebabkan sepertiga
pasien berhenti menggunakan obat ini.
Medikasi obat ini dilakukan saat makan.
Obat ini juga kemungkinan
mempengaruhi penyerapan zat besi.

Hepatotoksisitas (tergantung dosis) juga


dikaitkan dengan obat ini. sehingga uji
fungsi hati harus dilakukan terutama pada
pasien yang menerima dosis tinggi (lebih
dari 50 mg tiga kali sehari). Peningkatan
enzim transaminase diakibatkan penghentian obat yang kadangkala asimtomatik. Kadar
transaminase dalam serum harus dicek setiap tiga bulan di tahun pertama pasien menerima obat
dan selanjutnya tetap dilakukan secara periodeik. Obat-obat yang mudah berikatan dengan obat
lain seperti cholestyramine, seharusnya diberikan dengan rentang pemberian dua atau empat jam
dengan alpha-glucosidase inhibitor untuk menghindari interaksi obat. Obat-obat absorban dan
preparat enzim digestif sebaiknya tidak diberikan bersama acarbose.

Insulin
Untuk pasien yang tidak bisa mengontrol diabetes dengan diet atau pengobatan oral, kombinasi
insulin dan obat-obatan lain bisa sangat efektif. Insulin kadangkala dijadikan pilihan sementara,
misalnya selama kehamilan. Namun, pada psien dengan diabetes melitus tipe 2 yang memburuk,
maka penggantian insulin total menjadi suatu kebutuhan. Ada beberapa bentuk insulin yang
tersedia atau tengah dalam penelitian.

 NPH yang merupakan insulin standar.


 Long-acting insulin (insulin glargine, ultralente insulin) yang menstimulasi sekresi
insulin alami. Para ahli banyak menganjurkan insulin jenis ini.
 Insulin lispro dan insulin aspart yang merupakan fast-acting insulins. Diberikan sebelum
makan, dan aksi pendeknya mengurangi risiko hipoglikemia sesudahnya. Stud pada
pasien diabetes melitus tipe 2, insulin lispro bisa memperbaiki kualitas hidup dan risiko
hipoglikemia dibandingkan insulin reguler, meski dalam hal kontrol gula darah tidak ada
perbedaan.
 Investigative oral insulin kini tengah mendapat perhatian sebagai pengganti insulin.
Beberapa diberikan secara inhaler atau oral spray yang diserap di cheek lining (Oralin).
Pemberian secara oral kemungkinan bisa mengurangi komplikasi jantung dibandingkan
insulin injeksi. Namun studi pada tikus melaporkan adanya masalah pada hati dan
meningkatnya kadar trigliserida.

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=83

Anda mungkin juga menyukai