Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPOGLIKEMIA PADA DM TYPE 2


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Praktik Klinik
Keperawatan Gawat Darurat

Disusun oleh:
DAFFYA ISLAMATUZ ZAHRO’
P27220022213

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA
2022
KONSEP DASAR PENYAKIT

A. Definisi
Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit gangguan metabolik yang akan
ditandai dengan kenaikan glukosa dalam darah yang diakibatkan karena
penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas atau gangguan resistensi
insullin (International Diabetes Federation, 2015).
Hipoglikemia merupakan suatu keadaan penurunan konsentrasi glukosa
serum dengan atau tanpa adanya gejala sistem autonom dan neuroglikopenia.
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <70 mg/dl
(<4,0mmol/L) dengan atau adanya whipple’s triad, yaitu terdapat gejala-
gejala hipoglikemia, seperti kadar glukosa darah yang rendah, gejala
berkurang dengan pengobatan. Hipoglikemia sering dialami oleh pasien DM
tipe 1, diikuti oleh pasien DM tipe 2 yang diterapi dengan insulin dan
sulfonilurea (Rusdi, 2020).
Hipoglikemia merupakan keadaan kegagalan di dalam darah untuk
mencapai batas normal glukosa dalam darah (Kedia, 2015). Hipoglikemia
merupakan keadaan dimana kadar glukosa dalam darah <70 mg/dl (American
Diabetes Association, 2016).
B. Klasifikasi
Menurut Yale, et all dan Paluchamy dalam Rusdi (2020) tingkat keparahan
penderita hipoglikemia dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Ringan
Rentang glukosa darah adalah 54 - 70 mg/dl. Terdapat gejala autonom,
yaitu tremor, palpitasi, gugup, takikardi, berkeringat, dan rasa lapar.
Pasien dapat mengobati sendiri.
2. Sedang
Rentang glukosa darah adalah 40 - 54 mg/dl.Terdapat gejala autonom dan
neuroglikopenia, seperti bingung, rasa marah, kesulitan konsenterasi, sakit
kepala, lupa, mati rasa pada bibir dan lidah, kesulitan bicara, mengantuk
dan pandangan kabur. Pasien dapat mengobati sendiri.
3. Berat
Glukosa darah kurang dari 40 mg/dl. Terjadi kerusakan sistem saraf pusat,
dengan gejala perubahan emosi, kejang, stupor, atau penurunan
kesadaran. Pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk pemberian
karbohidrat, glukagon, atau resusitasi lainnya. Bisa terjadi ketidaksadaran
pasien.
C. Etiologi
Etiologi hipoglikemia menurut Purnamasari dan Arsana (2012),
hipoglikemia umum terjadi pada pasien DM yang sedang mengkonsumsi obat
anti diabetes (OAD) atau insulin. Selain itu, hipoglikemia juga disebabkan
oleh beberapa penyakit seperti insulinoma, penyakit kritis disertai gagal
organ, sepsis, defisiensi hormon , penyakit metabolik turunan dan operasi
prior gastric. Etiologi hipoglikemia dibagi berdasarkan penyebab
hipoglikemia puasa dan hipoglikemia reaktif.

1. Hipoglikemia puasa (pasca absorbs )


a) Obat- obatan
Paling sering: insulin, sulfonylurea, etanol, kadang-kadang
: golongan quinine, pentamidine, jarang : salisilat,sulfonamide.
b) Keadaan sakit berat
Gagal hati, gagal ginjal, atau gagal jantung, sepsis dan koma.
c) Defisiensi hormon
Kortisol, growth hormon, glukagon dan epinefrin (pada
diabetes dengan defisiensi insulin)
d) Tumor non sel β
e) Hiperinsulin endogen
Insulinoma, penyakit sel β lainya, insulin secretagogue
(sulfonlurea dan lainya ), autoimun (autoantibody pada insulin
atau pada insulin reseptor ), sekresi insulin ektopik.
f) Penyakit pada neonates dan balita
Transient intolerance of fasting, hiperinsulin congonetal,
defisiensi enzim turunan.
2. Hipoglikemia reaktif (postpandrial)
a) Alimentary (postgatrektomi )
b) Noninsulinoma pancreatogenous hypoglycemia syndrome
Tanpa riwayat operasi sebelumnya, setelah operasi Roux-en-Y-
gastric bypass
c) Penyebab lain dari hiperinsulin endogen
D. Patofisiologi
Kekurangan insulin bisa absolut apabila pankreas tidak menghasilkan
insulin sama sekali atau menghasilkan insulin tetapi dalam jumlah yang tidak
cukup, misalnya terjadi pada DM tipe 1. Kekurangan insulin dikatakan relatif
apabila pankreas menghasilkan insulin dalam jumlah yang normal, tetapi
insulinya tidak efektif, hal ini tampak pada DM tipe 2. Baik kekurangan
insulin absolute maupun relatif akan mengakibatkan gangguan metabolisme
bahan bakar, yaitu karbohidrat, protein, dan lemak. Tubuh membutuhkan
bahan bakar untuk melangsungkan fungsinya membangun jaringan baru,dan
memperbaiki jaringan (Baradero,2009).
Glukosa merupakan bahan bakar metabolisme yang utama untuk otak.
Salain itu otak tidak dapat mensintesis glukosa dan hanya
menyimpan cadangan glukosa (dalam bentuk glikogen) dalam jumlah
yang sangat sedikit. Oleh karena itu, fungsi otak yang normal sangat
tergantung pada konsentrasi asupan glukosa dan sirkulasi. Gangguan pasokan
glukosa yang berlangsung lebih dari beberapa menit dapat menimbulkan
disfungsi system saraf pusat, gangguan kognisi dan koma.
Konsentrasi glukosa plasma normalnya dipertahankan pada batas normal
sekitar 70-110 mg/dl pada saat puasa serta disertai adanya perubahan sesaat
yang mencolok sesaat setelah makan,ataupun peningkatan yang bervariasi
pada saat mendapatkan glukosa eksogen (dari makanan ) disertai dengan
produksi gula endogen (saat olahraga). Diantara waktu makan dan saat
puasa, konsentrasi glukosa plasma dipertahankan tubuh dengan cara
produksi glukosa endogen,glikogenolisis hepatik, dan glukoneogenesis
hepatik ( dan renal ). Cadangan glikogen hepatik dapat menjaga konsentrasi
glukosa plasma dalam batas normal selama kurang lebih 8 jam, tetapi pada
beberapa keadaan seperti olahraga (dimana glukosa yang dipakai
bertambah banyak) atau pada saat cadangan glikogen terbatas (contohnya
pada saat puasa atau sakit) cadangan glikogen tersebut hanya dapat betahan
beberapa saat.
Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar gula darah <70 mg/dl,
atau kadar glukosa darah < 80 mg/dl dengan gejala klinis. Kasus
hipoglikemia paling banyak dijumpai pada penderita diabetes ( alwi dan
Salim,2016).
Penurunan konsentrasi glukosa plasma akan memicu respon tubuh, yaitu
penurunan konsentrasi insulin secara fisiologis seiring dengan turunya
konsentrasi glukosa plasma yang masih dalam batas fisiologis, peningkatan
konsentrasi glukagon dan epinefrin sebagai respon neuroendokrin pada
konsentrasi glukosa plasma sedikit dibawah normal, dan timbulnya gejala
neurogenik (autonom) dan penurunan kesadaran pada konsentrasi glukosa
darah dibawah batas normal. Batas konsentrasi glukosa plasma yang
dimaksud yaitu konsentrasi glukosa plasma pada rata-rata orang sehat.
konsentrasi glukosa plasma yang masih dapat dietrima tubuh sangat
bervariasi. Konsentrasi glukosa plasma normal pada subjek DM dengan
glukosa darah yang tidak terkontrol akan lebih tinggi daripada subjek DM
yang glukosa darahnya terkontrol baik dan orang sehat.
Konsentrasi glukosa darah berkaitan erat dengan system hormonal,
persarafan dan dan pengaturan produksi glukosa endogen serta
penggunaan glukosa oleh jaringan organ perifer. Insulin memegang
peranan yang utama dalam pengaturan konsentrasi glukosa darah. Saat
puasa konsentrasi glukosa darah turun secara fisiologis dan sekresi insulin
oleh sel β pankreas ikut menurun. Hal ini akan meningkatkan
glikogenolisis hepatik dan glukoneogenesis hepatik (dan renal ). Konsentrasi
insulin yang rendah juga mengurangi penggunaan glukosa pada jaringan
perifer,merangsang lipolisis dan proteolisis. Oleh karena itu pengurangan
insulin merupakan mekanisme kontrareglukosasi yang pertama untuk
menanggulangi hipoglikemia.
Apabila konsentrasi glukosa darah menurun melewati batas bawah
konsentrasi normal, hormon–hormon kontraregulasi akan dilepaskan. Dalam
hal ini, glukoagon yang diproduksi oleh α pankreas berperan penting
sebagai pertahanan utama terhadap hipoglikemia. Selanjutnya epinefrin,
kortisol,dan hormon-hormon pertumbuhan juga berperan dalam
meningkatkan produksi dan mengurangi penggunaan glukosa.
Glukagon dan epinefrin merupakan dua hormon yang disekresi pada
kejadian hipoglikemia akut. Glukagon hanya bekerja di hati, glukagon
mula-mula meningkatkan glikogenolisis dan kemudian gluko neogenesis.
Epinefrin selain meningkatkan glikogenolisis dan glukoneogenesis dihati
juga menyebabkan lipolisis dijaringan lemak serta glikogenolisis dan
proteolisis di otot. Gliserol, hasil lipolisis, serta asam amino (alanin dan
aspartat) merupakan bahan baku glukoneogenesis hati. Epinefrin juga
meningkatkan glukoneogenesis di ginjal, yang pada keadaan tertentu
merupakan 25% produksi glukosa tubuh. Kortisol dan growth hormon
berperan pada keadaan hipoglikemia yang berlangsung lama, dengan cara
melawan kerja insulin dijaringan perifer (lemak dan otot) serta meningkatkan
glukoneogenesis (Purnamasari dan Arsana,2012).
Pada hipoglikemia ringan,ketika kadar glukosa darah menurun,sistem
saraf simpatik akan terangsang. Pelimpahan adrenalin kedalam darah akan
menyebabkan gejala seperti persipirasi, tremor, takikardi, palpitasi,
kegelisahan dan rasa lapar.
Pada hipoglikemia sedang penurunan kadar glukosa darah menyebabkan
sel-sel otak tidak memperoleh cukup bahan bakar untuk bekerja dengan
baik. Tanda-tanda gangguan fungsi pada sistem saraf pusat mencakup
ketidakmampuan konsentrasi,sakit kepala, vertigo, penurunan daya ingat,
patirasa didaerah bibir dan lidah, perubahan emosional, perilaku tidak
rasional, penglihatan ganda serta perasaa ingin pingsan.
Pada hipoglikemia berat, fungsi system saraf pusat mengalami gangguan
yang sangat berat, sehingga pasien memerlukan pertolongan orang lain untuk
mengatasi hipoglikemia. Gejala dapat mencakup perilaku yang mengalami
disorientasi, sulit dubangunkan dari tidur bahkan kehilangan kesadaran
(Smeltzer,2013).
E. Pathway
F. Manifestasi Klinis
Menurut Setyohadi (2012) tanda dan gejala hipoglikemia
antara lain:
1. Adrenegik seperti pucat, kerigat dingin, takikardi, gemetar, lapar, cemas,
gelisah, sakit kepala hingga mengantuk.
2. Neuroglikopenia seperti bingung, bicara tidak jeas, perubahan sikap dan
perilaku, lemah, disorientasi, penurunan kesadaran, kejang, penurunan
terhadap stimulus bahaya.
Smeltzer (2013), menjelaskan pada hipoglikemia ringan ketika kadar
glukosa darah menurun,sistem saraf simpatik akan terangsang. Pelimpahan
adrenalin kedalam darah akan menyebabkan gejala seperti persipirasi,
tremor,takikardi, palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar.
Pada hipoglikemia sedang penurunan kadar glukosa darah menyebabkan
sel-sel otak tidak memperoleh cukup bahan bakar untuk bekerja dengan baik
.Tanda-tanda gangguan fungsi pada sistem saraf pusat mencakup
ketidakmampuan konsentrasi,sakit kepala, vertigo, penurunan daya ingat,
patirasa didaerah bibir dan lidah, perubahan emosional, perilaku tidak
rasional, penglihatan ganda serta perasaa ingin pingsan.
Pada hipoglikemia berat, fungsi system saraf pusat mengalami gangguan
yang sangat berat, sehingga pasien memerlukan pertolongan orang lain untuk
mengatasi hipoglikemia. Gejala dapat mencakup perilaku yang mengalami
disorientasi, serangan kejang, sulit dibangunkan dari tidur bahkan kehilangan
kesadaran.
G. Faktor Resiko
Menurut Rusdi (2020) Hipoglikemia terjadi jarena ketidakseimbangan antara
suplai glukosa, pengunaan glukosa dan level insulin. Faktor risiko kejadian
hipoglikemia pada pasien DM sering berkaitan dengan penggunaan insulin
atau insulin sekretagog (sulfonilurea/glinid) yang kurang tepat, diantaranya :
1. Dosis insulin dan insulin sekretagog (sulfonilurea/glinid) yang berlebihan,
salah aturan pakai atau salah jenis insulin.
2. Intake glukosa berkurang, bisa disebabkan oleh lupa makan atau puasa
3. Penggunaan glukosa yang meningkat (pada saat dan sehabis olahraga)
4. Produksi glukosa endogen berkurang (pada saat konsumsi alkohol)
5. Sensitivitas insulin meningkat (pada saat tengah malam, berat badan
turun, kesehatan membaik dan pada saat peningkatan kontrol glikemik)
6. Penurunan bersihan insulin (pada kasus gagal ginjal)
H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nugroho, Putri, dan Dara (2016) beberapa pemeriksaan
penunjang yang mengarah pada pasien hipoglikemia antara lain :
1. Gula darah puasa yang akan diperiksa untuk mengetahui kadar gula darah
puasa (sebelum diberi glukosa 75 gram oral) dan nilai normalnya antara
70-110 mg/dl.
2. Gula Darah 2 jam post prandial yang akan diperiksa setelah 2 jam diberi
glukosa dengan nilai normal < 140 mg/dl/2 jam.
3. HBA1c
Pemeriksaan dengan menggunakan bahan darah untuk memperoleh kadar
gula yang sesungguhnya karena pasien tidak dapat mengontrol hasil tes
dalam waktu 2-3 bulan. HBA1c menunjukan kadae hemoglobin
terglikosilasi yang pada orang normal antara 4-6 %. Semakin tinggi akan
menunjukkan bahwa orang tersebut menderita DM dan beresiko
terjadinya komplikasi.
4. Elektrolit
Terjadinya peningkatan creatinine jika fungsi ginjalnya telah terganggu.
5. Leukosit
Terjadi peningkatan leukosit jika sampai terjadi infeksi.
I. Penatalaksanaan
Terapi menurut Purnamasari dan Arsana (2012) yaitu:
1. Terapi non farmakologi
Penatalaksanaan utama pada hipoglikemia adalah mengatasi
hipoglikemia dan mencari penyebabnya, penilaian keadaan pasien yang
meliputi keadaan umum pasien, tingkat kesadaran, tanda vital (tekanan
darah, frekuensi pernafasan, frekuensi nadi, dan suhu), pengukuran
konsentrasi glukosa darah, pemasangan jalur intravena, riwayat
penggunaan insulin, dan obat antidiabetik oral ( waktu dan jumlah yang
diberikan) dan penilaian riwayat nutrisi yang diberikan kepada pasien,
terapi insulin atau obat anti diabetic lainya yang menyebabkan
hipoglikemia segera dihentikan.
Jika pasien masih sadar dapat diterapi menggunakan sumber
karbohidrat oral, atau menggunakan terapi yang paling sederhana yaitu
menggunakan larutan glukosa murni 20-30 gram. Bila pasien
mengalami kesulitan menelan dan keadaan tidak terlalu gawat, pemberian
made atau gel glukosa lewat mukosa rongga mulut (bucal) dapat dicoba.
2. Terapi farmakologik
Jika pasien tidak sadar atau tidak dapat mengkonsumsi apapun
melalui oral, jalur intra vena harus terpasang. Pemberian Dektrosa 40%
secara bolus merupakan terapi awal yang dianjurkan. Terapi ini
diteruskan selama 10-20 menit jika pasien belum sadar sampai pasien
sadar. Selain itu diberikan cairan Dektrose 10% perinfus 6 jam per kolf
untuk mempertahankan glukosa darah dalam nilai normal atau diatas
normal disertai pemantauan glukosa darah. Apabila pasien tetap tidak
sadar tetapi glukosa darah sudah ada dalam batas normal maka
dilakukakn pemberian hidrokortison 100 mg per 4 jam selama 12 jam,
atau deksametason 10 mg iv bolus, dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan
manitol iv 1,5-2 g/kgBB setiap 6-8 jam. Selanjutnya cari penyebab lain
dari hipoglikemia.
Yang perlu ditekankan pada terapi hipoglikemia yaitu mencegah
timbulnya hipoglikemia berulang. Oleh karena itu, setelah selesai
menatalaksanaan pasien DM dengan Hipoglikemi, atasi penyebebab
tersebut, dan jika terdapat indikasi, dapat dilakukakan evaluasi dosis
dan waktu pemberian insulin atau obat anti diabetik oral. Selain itu
perlu diperhatikan jumlah dan waktu pemberian nutrisi dan olahraga pada
pasien.
a) Stadium permulaan (sadar)
Berikan glukosa murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirup/
permen glukosa murni ( bukan pemanis pengganti glukosa atau
glukosa diet/ glukosa diabetes ) dan makanan mengandung hidrat
arang, stop obat hipoglikemik sementara, periksa glukosa darah
sewaktu.
b) Stadium lanjut ( koma hipoglikemia )
Penanganan harus cepat, berikan larutan dekstrose 40%
sebanyak 2 flakon melalui vena setiap 10-20 menit sampai pasien
sadar, berikan cairan Dekstrose 10% per infuse 6 jam per kolf untuk
mempertahankan glukosa darah dalam nilai normal atau diatas
normal disertai pemantuan glukosa darah, bila hipoglikemia belum
teratasi berikan antagonis seperti adrenali, kortison dosis tinggi.
Sebelum dipulangkan, pasien harus mendapat edukasi baik secara
verbal, maupun tulisan mengenai hal-hal yang harus dilakukan untuk
menunjang terapi DM terutama hipoglikemia berulang. Selain itu
perlu dibuat rujukan ke pusat-pusat diabetes untuk mencegah
komplikasi lebih lanjut.

Penatalaksanaan hipoglikemia pada pasien bukan DM


disesuaikan dengan penyebab penyakit. Bila disebabkan oleh
insulinome, maka pendekatan bedah lebih dipilih. Sedangkan pada
gangguan fungsi ginjal dan hati yang berat maka asupan karbohidrat
adekuat yang rutin mutlak diperlukan. Pada defisiensi hormon adrenal,
maka terapi penyebab penyakit dan pemberian glukokortikoid dapat
mengatasi hipoglikemia Alwi (2016), menjelaskan penatalaksanaan
hipoglikemia stadium lanjut (koma hipoglikemia) adalah:

1) Diberikan larutan dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50


ml),bolus intravena
2) Diberikan cairan dekstrosa 10% per infuse, jam per kolf bila
tanpa penyulit lain
3) Periksa glukosa darah sewaktu, kalau memungkinkan dengan
glukometer:
(1) Bila GDS <50 mg/dl berikan bolus Dekstrosa 40% 50 ml IV
(2) Bila GDS <100 mg/dl diberikan bolus Dekstrosa 40% 25 ml
IV
4) Periksa glukosa darah sewaktu setiap 15 menit setelah
pemberian Dekstrosa 40%:
(1) Bila GDS <50 mg/dl diberikan bolus Dekstrosa 40% 50 ml IV
(2) Bila GDS <100 mg/dl diberikan bolus Dekstrosa 40% 25 ml
IV
(3) Bila GDS 100-200 mg/dl tanpa pemberian bolus Dekstrosa
40%
(4) Bila GDS >200 mg/dl pertimbangkan menurunkan
kecepatan drip Dekstrosa 10%
(5) Bila GDS >100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut,
pemantauan GDS setiap 2 jam,dengan protokol sesuai di atas,
bila GDS >200 mg/dl pertimbangkan mengganti infuse dengan
Dekstrosa 5% atau NaCl 0.9%.
(6) Bila GDS >100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut,
masing- masing selang 2 jam,pemantauan GDS setiap 4
jam,dengan protokol sesuai di atas, bila GDS >200 mg/dl
pertimbangkan mengganti infuse dengan Dekstrosa 5% atau
NaCl 0.9%.
(7) Bila GDS >100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut masing-
masing selang 4 jam,periksa GDS dapat diperpanjang sesuai
kebutuhan sampai efek obat penyebab hipoglikemia
diperkirakan sudah habis dan pasien sudah dapat makan
seperti biasa.
(8) Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian
antagonis insulin,seperti :glucagon 0,5-1 mg IV/IM atau
kortison,adrenal.
(9) Bila pasien belum sadar,sementara hipoglikemia sudah
teratasi, maka cari penyebab lain atau sudah terjadi brain
damage akibat hipoglikemia berkepanjangan.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

1. Pengkajian
Musliha (2010) menjelaskan pengkajian awal keperawatan gawat
darurat merupakan tahap awal yang sangat penting dengan
mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan pasien dan penyakit
pasien untuk menentukan rencana keperawatan selanjutnya. Umumnya
diawali dari identitas pasien, dilanjutkan pengkajian primer dan
pengkajian sekunder.
a. Pengkajian primer
Pengkajian primer dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain:
1) Pengkajian airway
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui gangguan kepatenan
saluran napas. Pengkajian ini umumnya dilakukan dengan
melihat adanya sumbatan saluran napas atau dengan
mendengarkan kejernihan suara napas. Adapun yang perlu
diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien adalah: 
a) Kaji kepatenan jalan napas pasien. Apakah pasien dapat
berbicara atau bernapas dengan bebas.
b) Kaji adanya tanda-tanda obstruksi jalan napas pada pasien
seperti snoring atau gurgling, stridor, agitasi, penggunaan
otot bantu pernafasan, dan sianosis.
c) Kaji tenggorokan pasien, apakah terdapat kemerahan dan
bengkak yang mengindikasikan adanya infeksi atau
peradangan jalan napas.
2) Pengkajian breathing
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui status pernapasan
pasien baik keadekuatan pola napas maupun frekuensi pernapasan.
Adapun yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada
pasien antara lain:
a) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah
ditemukan tanda-tanda berikut : sianosis, fail chest,
penggunaan otot bantu pernafasan, sucking chest wound.
b) Perkusi untuk menentukan apakah paru-paru dipenuhi
cairan, lendir dan darah.
c) Auskultasi untuk adanya suara abnormal saat pernapasan.
Pada pasien asma bronchial ditemukan suara whezzing saat
auskultasi yang menandakan penyempitan bronkus.
d) Look, listen, feel lakukan penilaian untuk ventilasi dan
oksigenasi pasien. Lihat pergerakan dada (look), dengar
napas pasien (listen), dan rasakan udara ekspirasi pasien
(feel). Bila pasien tidak dapat bernafas maka segera berikan
bantuan napas atau oksigen dengan alat bantu napas.
3) Pengkajian circulation
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui status sirkulasi pasien.
Pengkajian ini meliputi pemeriksaan denyut nadi, warna dan
temperatur kulit, capillary refill time, dan pengkajian terhadap
adanya tanda perdarahan internal maupun eksternal.
4) Pengkajian level of consiousness and disability
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala
Alert, Verbal, Pain, Unresponsive (AVPU). Pengkajian AVPU
meliputi:
a) Alert (A), jika pasien sadar dan berorientasi dengan baik.
b) Verbal (V), jika pasien memberikan respon terhadap
rangsangan suara
c) Pain (P), jika pasien memberikan respon terhadap
rangsangan nyeri
d) Unresponsive (U), jika pasien toidak memberikan respon
terhadap rangsangan apapun.
5) Expose, examine and evaluate
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pasien terpapar
atau kontak dengan bahan berbahaya. Adapun untuk memperoleh
pemeriksaan yang lebih jelas maka seluruh pakaian harus
ditanggalkan dan diganti dengan pakaian yang disediakan IGD dan
pemeriksaan dilakukan secara sistematika dari kepala sampai kaki.
b. Pengkajian sekunder
Pengkajian berikutnya merupakan pengkajian Symptoms,
Allergies, Medications, Past Medical History, Last Oral Intake, Even
Prociding Incident (SAMPLE) yang merupakan pengkajian
mengenai riwayat singkat pasien dirawat di rumah sakit. Pengkajian
ini dapat dilanjutkan ketika pasien sudah dalam keadaan stabil.
Pengkajian SAMPLE ini meliputi:
1. Symptoms (S), yaitu gejala utama yang dirasakan pasien pada
saat itu.
2. Allergies (A), adakah riwayat alergi pada pasien, seperti makanan
danobat-obatan.
3. Medications (M), yaitu terapi terakhir yang sudah diberikan
kepada pasien dan apakah terapi tersebut mengurangi
permasalahan pasien atau tidak.
4. Past Medical History (P), riwayat medis sebelum pasien dirawat
saat ini.
5. Last Oral Intake (L), detail makanan dan minuman yang baru
saja dikonsumsi pasien.
6. Even Prociding Incident (E), peristiwa yang mengawali serangan
atau penyakit pasien saat ini.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan
respon manusia (status kesehatan/perubahan pola) dari individu atau
kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasikan
dan memberi tindakan secara pasti untuk menjaga, membatasi, merubah
status kesehatan pasien. Diagnosa keperawatan gawat darurat yang
muncul pada pasien diabetes melitus hipoglikemia menurut NANDA
dalam Wilkinson (2014) dan Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia
(SDKI, 2016) adalah sebagai berikut :
a) Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
perubahan status mental (penurunan kesadaran).
b) Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan
dengan hiperinsulinemia.

3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah suatu perencanaan dengan
tujuan mengubah atau memanipulasi stimulus fokal,kontekstual, dan
residual. Pelaksanaanya juga ditujukan kepada kemampuan klien
dalam mengubah koping secara luas.
Tujuan yang ditetapkan harus sesuai dengan SMART, yaitu
specific (khusus), measurable (dapat diukur), acceptable (dapat
diterima), real (nyata), time (kriteria tepat waktu). Kriteria hasil
merupakan tujuan ke arah mana perawatan kesehatan diarahkan dan
merupakan dasar untuk memberikan keperawatan komponen penyertaan
kriteria hasil.

Intervensi keperawatan:

a) Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan


perubahan status mental (penurunan kesadaran).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan,
diharapkan gangguan perfusi jaringan serebral dapat teratasi.
Kriteria Hasil :
1. Tekanan systole dan diastole dalam rentang normal
2. Tidak ada ortostatik hipertensi
3. Tingkat kesadaran membaik
Intervensi :

1. Observasi tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale.


Rasional: Mengetahui tingkat kesadaran pasien.
2. Ukur bentuk,kesimetrisan, dan reaktivitas pupil
Rasional: Mengetahui keadekuatan perfusi jaringan
3. Monitor vital sign
4. Monitor irama jantung (EKG)
Rasional : Mengetahui gambaran irama jantung pasien
5. Pertahankan level glukosa darah dalam batas normal
(diatas 100 mg/dl)
Rasional : Mencegah terjadinya koma hipoglikemia

6. Tinggikan kepala pasien 0-45o tergantung pada


kondisi dan program dokter (EBP)
Rasional : Mempertahankan sirkulasi oksigen agar sampai
ke otak
7. Kolaborasi pemberian oksigen sesuai indikasi.(EBP)
Rasional : Mempertahankan jalan napas tetap paten
b. Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan
dengan hiperinsulinemia.
Tujuan : Setelah dilakukan tidakan keperawatan,
kadar glukosa dalam darah stabil.
Kriteria Hasil :
1. Tingkat pemeliharaan kadar glukosa di dalam plasma
dan urin dalam rentang normal (diatas 100 mg/dl)
2. Pasien mampu untuk memanajemen diabetes
melitus dan mencegah penyakit semakin parah
3. Menunjukan tingkat pemahaman yang ditunjukkan
mengenai diabetes melitus dan pecegahan komplikasi
Intervensi :

1. Monitor kadar glukosa serum (< 60 mg/dl)


menunjukkan hipoglikemia tiap 15 menit
Rasional : Mengetahui kadar glukosa darah pasien
yang menunjukan hipogliemia
2. Monitor tanda dan gejala hipoglikemia (glukosa
serum < 60 mg/dl, pucat, takikardi, diaphoresis,
gugup penglihatan kabur, iritabilitas, menggigil,
dingin)
Rasional : Mengetahui tanda dan gejala hipoglikemi
3. Beri karbohidrat sederhana/kompleks dan protein
sesuai indikasi
Rasional : Mencegah terjadinya hipoglikemia yang
lebih lanjut
4. Pertahankan akses intravena jika perlu.
Rasional : Mencegah terjadinya koma hipoglikemia
5. Beri informasi mengenai diabetes melitus hipoglikemia
(EBP)
Rasional : Meningkatkan pemahaman tentang
diabetes melitus hipoglikemia
6. Beri informasi mengenai penerapan diet dan obat-
obatan yang digunakan untuk mengendalikan diabetes
Rasional : Meningkatkan pemahaman tentang
diet dan penanganan hipoglikemia
7. Kolaborasi dengan dokter jika tanda dan gejala
hipoglikemia terjadi dan tidak dapat dikembalikan
dengan aktivitas mandiri.
Rasional : Mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh perawat maupun tenaga medis lain untuk
membantu pasien dalam proses penyembuhan dan perawatan serta
masalah kesehatan yang dihadapi pasien yang sebelumnya disusun
dalam rencana keperawatan (Nursallam, 2011).
5. Evaluasi Keperawatan
Menurut Nursalam, 2011 , evaluasi keperawatan terdiri dari dua jenis
yaitu :

1. Evaluasi formatif. Evaluasi ini disebut juga evaluasi


berjalan dimana evaluasi dilakukan sampai dengan tujuan
tercapai
2. Evaluasi somatif , merupakan evaluasi akhir dimana dalam
metode evaluasi ini menggunakan SOAP.
ANALISIS JURNAL PICOT

EVIDENCE BASED PRACTICE GANGGUAN NIFAS

No Jurnal Populasi Intervensi Comparasion Outcome Time


1 Pengaruh Populasi dalam Pengumpulan Rancangan ini responden setelah 2020
Pemberian penelitian ini data melalui membandingkan dilakukan pemberian
Oksigen Dan adalah seluruh lembar observasi pre-post test one oksigen dan elevasi
Elevasi Kepala pasien cedera peningkatan grup dengan kepala 30º
30º Terhadap kepala yang di kesadaran sebelum mengalami
Tingakt rawat inap di sebelum dan dilakuakn peningkatan tingkat
Kesadaran Pada Rumah Sakit sesudah elevasi dan kesadaran dan pada
Pasien Cedera Grandmed Lubuk dilakukan setelah sebelum dilakukan
Kepala Sedang Pakam pada tindakan dilakukan pemberian oksigen
bulan September pemberian elevasi dan elevasi kepala
2018 sampai oksigen 100 % 30º. Pemberian
Maret 2019 dan elevasi oksigen disesuaikan
berjumlah 80 kepala 30º pada dengan kebutuhan
orang. pasien cedera oksigen dan ketika
kepala sedang. dilakukan pemberian
Sedangkan oksigen sekaligus
pengumpulan pasien di berikan
data untuk tingkat posisi elevasi kepala
kesadaran dengan 30º. Otak
menggunakan mempunyai tingkat
lembar observasi metabolisme yang
penilaian GCS tinggi, aliran darah di
pada pasien otak juga harus
cedera kepala terjaga agar
sedang. metabolisme dengan
bantuan oksigen
dapat berlangsung
dengan baik di otak.
2 Hubungan sampel 60 orang Terdapat 3 Rancangan ini Penelitian ini 2020
Tingkat yang dilakukan di kuesioner untuk menganalisis menyatakan bahwa
Pengetahuan Puskesmas responden yang Hubungan seiring dengan
Hipoglikemia Klampis Ngasem terdiri dari Tingkat bertambahnya tingkat
Dengan Surabaya kuesioner untuk Pengetahuan pengetahuan maka
Kemampuan karakteristik Hipoglikemia kemampuan dalam
Deteksi demografi, Dengan deteksi terjadinya
Hipoglikemia kuesioner tingkat Kemampuan hipoglikemia akan
Pasien DM Tipe pengetahuan Deteksi semakin baik.
2 tentang Hipoglikemia Pengetahuan
hipoglikemia, dan Pasien DM Tipe merupakan hasil
kuesioner tentang 2 penginderaan
kemampuan manusia atau hasil
dalam deteksi tahu seseorang
terjadinya terhadap obyek
hipoglikemia. melalui proses
penginderaan (mata,
telinga, lidah,
hidung, kulit)
DAFTAR PUSTAKA

Bulechcek, GM, dkk. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC) edisi


Keenam. Elsevier

Ginting, L. R., Sitepu, K., & Ginting, R. A. (2020). Pengaruh Pemberian


Oksigen Dan Elevasi Kepala 30o Terhadap Tingkat Kesadaran Pada
Pasien Cedera Kepala Sedang. Jurnal Keperawatan Dan Fisioterapi
(Jkf), 2(2), 102–112.

Hafid, Abdul, dkk. 2006. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana., Buku Ajar Ilmu
Bedah, Edisi Revisi. Jakarta: EGC

Heather, Herdman, Phd. 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi dan


Klasifikasi 2018-2020. Jakarta: EGC

Krisanty, Paula, dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: Trans
Info Media

Moorhead, Sue, dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) edisi


Kelima. Elsevier

Nurhayati, C., & Sari, N. A. (2020). Hubungan Tingkat Pengetahuan


Hipoglikemia Dengan Kemampuan Deteksi Hipoglikemia Pasien Dm Tipe 2.
Indonesian Jurnal of Health Development Vol.2 No.1, 2(1), 1–8.

Anda mungkin juga menyukai