Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR CERVIKAL
DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD)
RSUD dr. GONDO SUWARNO UNGARAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Praktik Klinik
Keperawatan Gawat Darurat

Disusun oleh :

ADELA HENRI PUTRI P27220019096


EMA PUJI RAHAYU P27220019106
HANING RAHMA N. R P27220019113
LIA AYU PUSPITASARI P27220019116
LINA APRILIASARI P27220019117
NABILA APRIYANTI P27220019123

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN


POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA
2022
KONSEP DASAR PENYAKIT

A. Definisi
Tulang yang mendukung kepala dan menghubungkannya ke bahu dan
tubuh terdapat tujuh tulang servikal vertebrae (tulang belakang). Adanya
patahan atau retak pada salah satu tulang leher disebut sebagai fraktur servikal
atau juga sering disebut patah tulang leher. Cedera tulang belakang adalah
cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma : jatuh dari
ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga dsb (Sjamsuhidayat,
2017).

B. Etiologi
Penyebab fraktur ada tiga, yaitu :
1. Cedera traumatik
Dapat disebabkan oleh :
a) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan.
b) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan misalnya jatuh dengan kaki berjulur sehingga
menyebabkan fraktur
c) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari
otot yang kuat
2. Fraktur patologik
Dalam hal ini, kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur yang dapat terjadi pada
berbagai keadaan berikut :
a) Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru
yang tidak terkendali dan progresif
b) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi
akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif,
lambat dan nyeri
c) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skeletal lain
biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang
dapat disebabkan kegagalan absorbsi vitamin D atau oleh karena
asupan kalsium dan fosfat yang rendah.
d) Osteoporosis
3. Secara spontan
Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada
penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran.

C. Patofisiologi
Berbagai macam mekanisme trauma yang dapat menimbulkan cedera pada
tulang servikal ialah trauma pembebanan gaya aksial, trauma hiperfleksi, dan
trauma cambuk (whiplash injury). Mekanisme trauma tersebut dapat
menyebabkan berbagai patologi yaitu tipe vertikel, tipe kompresi, dislokasi
faset sendi intervertebral unilateral atau bilateral.
Menurut Black dan Matassarin (2013) serta Patrick dan Woods (2012).
Ketika patah tulang, akan terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah,
sumsum tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut adalah terjadi
perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya.Keadaan ini
menimbulkan hematom pada kanal medulla antara tepi tulang dibawah
periostium dengan jaringan tulang yang mengatasi fraktur.Terjadinya respon
inflamsi akibat sirkulasi jaringan nekrotik adalah ditandai dengan vasodilatasi
dari plasma dan leukoit. Ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai
melakukan proses penyembuhan untuk memperbaiki cidera, tahap
inimenunjukkan tahap awal penyembuhan tulang.
Hematom yang terbentuk bisamenyebabkan peningkatan tekanan dalam
sumsum tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan
lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai organ-organ
yang lain. Hematon menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga
meningkatkan tekanan kapiler, kemudianmenstimulasi histamin pada otot
yang iskhemik dan menyebabkan protein plasmahilang dan masuk ke
interstitial.Hal ini menyebabkan terjadinya edema.

D. Pathway
E. Manifestasi Klinis
Lewis (2016) menyampaikan gejala klinis dari fraktur adalah sebagai
berikut:
1. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma.Hal ini dikarenakan
adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan
sekitarnya.Nyeri dirasakan terus menerus dan bertambah beratnya sampai
fragmen tulang diimobilisasi.Spasme otot yang menyertai fraktur
merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan
gerakan antar fragmen tulang.
2. Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir
pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
3. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di
jaringan sekitarnya.
4. Spame otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
5. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
6. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang frkatur, nyeri atau spasme otot,
paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
7. Mobilitas abnormal
Mobilitas abnormal adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian
yang pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan.Ini terjadi pada
fraktur tulang panjang.
8. Krepitasi
Krepitasi merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian
tulang digerakkan. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen
satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
9. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma
dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal,
akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
10. Syok hipovolemik
Syok terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.Ditandai
dengan nadi cepat, kerja jantung meningkat, vasokontriksi.
11. Pemendekan tulang
Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai
2 inci).

F. Komplikasi
Komplikasi awal
1. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat perdarahan (baik kehilangan
darah eksterna maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan
ekstrasel ke jaringan yang rusak.
2. Sindrom emboli lemak
Setelah terjadi fraktur femur dapat terjadi emboli lemak khususnya pada
dewasa muda (20-30 tahun) pria. Pada saat terjadi fraktur, globula lemak
dapat masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi
dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi
stres pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya
globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan
trombosit membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah
kecil yang memasok otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan gejalanya
sangat cepat, dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah
cedera, namun paling sering terjadi dalam 24 sampai 72 jam.Gambaran
khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia dan pireksia.Gangguan
cerebral diperlihatkan dengan adanya perubahan status mental yang
bervariasi dari agitasi ringan dan kebingungan sampai delirium dan koma
yang terjadi sebagai respon terhadap hipoksia, akibat penyumbatan emboli
lemak di otak.
3. Sindrom kompertemen
Sindrom kompartemen disebabkan karena penurunan ukuran
kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau
gips atau balutan yang menjerat, atau peningkatan isi kompartemen otot
karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah.
Pasien mengeluh adanya nyeri dalam, berdenyut tak tertahankan. Palpasi
pada otot akan terasa pembengkakan dan keras.

Komplikasi lambat
1. Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan
Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan
kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu.Penyatuan
terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik atau distraksi
fragmen tulang.Tidak ada penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan
ujung-ujung patahan tulang.
a) Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak
seharusnya.
b) Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjalan tetapi dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
c) Non union : tulang yang tidak menyambung kembali
2. Nekrosis avaskuler tulang
Nekrosis avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati,
dapat terjadi setelah fraktur khususnya pada kolum femoris.Tulang yang
mati mengalami kolaps atau diabsorbsi dan diganti dengan tulang
baru.Pasien mengalami nyeri dan keterbatasan gerak.
3. Reaksi terhadap alat fiksasi interna
Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah terjadi,
namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai
menimbulkan gejala.Nyeri dan penurunan fungsi merupakan indikator
utama telah terjadi masalah.Masalah tersebut meliputi pemasangan dan
stabilisasi yang tidak memadai, alat yang cacat atau rusak, berkaratnya alat
menyebabkan inflamasi lokal, respon alergi terhadap campuran logam
yang digunakan dan remodeling osteoporotik di sekitar alat fiksasi.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray).Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral.Dalam keadaan tertentu diperlukan
proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi
yang dicari karena adanya superposisi.Perlu disadari bahwa permintaan x-
ray harus atas dasar indikasi  kegunaan pemeriksaan penunjang dan
hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-
ray:
a) Bayangan jaringan lunak.
b) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
c) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu teknik khususnya
seperti:
a) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang
lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur
saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
b) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan
akibat trauma.
c) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.
d) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
b) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase  (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.
3. Pemeriksaan lain-lain
a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
d) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
e) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
f) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur
H. Penatalaksanaan
1. Pertolongan Pertama untuk FrakturServikal
Setiap cedera kepala atau leher harus dievaluasi adanya fraktur
servikalis.Sebuah fraktur servikal merupakan suatu keadaan darurat medis
yang membutuhkan perawatan segera. Spine trauma mungkin terkait
cedera saraf tulang belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan,
sehingga sangat penting untuk menjaga leher .
Jika ada kemungkinan patah tulang leher, leher pasien tidak boleh
digerakkan sampai tindakan medis diberikan dan X-ray dapat diambil.Itu
jalan terbaik untuk mengasumsikan adanya cedera leher bagi siapa saja
yang terkena benturan, jatuh atau tabrakan.
Gejala fraktur servikal termasuk parah dengan rasa sakit pada kepala,
nyeri yang menjalar ke bahu atau lengan,memar dan bengkak di bagian
belakang leher.
2. Penanganan Operasi
Goal dari penanganan operasi adalah: Reduksi mal aligment,
decompresi elemen neural dan restorasi spinal stability. Operasi anterior
dan posterior
Anterior approach, indikasi:
1) Ventralkompresi
2) Kerusakan anteriorcollum
3) Kemahiran neurosurgeon
Posterior approach, indikasi:
1) Dorsal kompresi pada strukturneural
2) Kerusakan posterior collum Keuntungan:
3) Dikenal banyakneurosurgeon
4) Lebih mudah
5) Medan operasi lebih luas dapat membuka beberapasegmen
6) Minimal morbility
3. Pembatasan aktivitas
Studi spesifik yang membandingkan keluaran dengan atau tanpa
pembatasan aktivitas belum ada.Jadi toleransi terhadap respon pengobatan
yang bersifat individual sebaiknya menjadi panduan bagi praktisi.Pada
tahap akut sebaiknya hindari pekerjaan yang mengharuskan gerak leher
berlebihan.Pemberian edukasi mengenai posisi leher yang benar sangatlah
membantu untuk menghindari iritasi radiks saraf lebih jauh. Seperti
contohnya : penggunaan telepon dengan posisi leher menekuk dapat
dikurangi dengan menggunakan headset, menghindari penggunaan
kacamata bifokal dengan ekstensi leher yang berlebihan, posisi tidur
yang salah. Saat menonton pertandingan pada lapangan terbuka,
maupun layar lebar sebaiknya menghindari tempat duduk yang
menyebabkan kepala menoleh/berotasi ke sisi lesi.
4. Penggunaan collarbrace
Ada banyak jenis kolar yang telah dipelajari untuk membatasi gerak
leher. Kolar kaku/ keras memberikan pembatasan gerak yang lebih banyak
dibandingkan kolar lunak (soft collars ), kecuali pada gerak fleksi dan
ekstensi. Kelebihan kolar lunak : memberikan kenyamanan yang lebih
pada pasien. Pada salah satu studi menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan
pasien untuk menggunakan kolar berkisar 68-72%.Penggunaan kolar
sebaiknya selama mungkin sepanjang hari. Setelah gejala membaik, kolar
dapat digunakan hanya pada keadaan khusus , seperti saat menyetir
kendaraan dan dapat tidak digunakan lagi bila gejala sudah menghilang.
Sangatlah sulit untuk menyatakan waktu yang tepat kolar tidak perlu
digunakan lagi, namun dengan berpatokan : hilangnya rasa nyeri,
hilangnya tanda spurling dan perbaikan defisit motorik dapat dijadikan
sebagai petunjuk.
5. Modalitas terapilain
Termoterapi dapat digunakan untuk membantu menghilangkan
nyeri.Modalitas terapi ini dapat digunakan sebelum atau pada saat traksi
servikal untuk relaksasi otot. Kompres dingin dapat diberikan selama 15-
30 menit, 1 sampai 4 kali sehari, atau kompres panas /pemanasan selama
30 menit , 2 sampai 3 kali sehari jika dengan kompres dingin/pendinginan
tidak efektif. Pilihan antara modalitas panas atau dingin sangatlah
pragmatik tergantung pada persepsi pasien terhadap pengurangannyeri.
Traksi leher merupakan salah satu terapi yang banyak digunakan
meskipun efektifitasnya belum dibuktikan dan dapat menimbulkan
komplikasi sendi temporomandibular.Ada beberapa jenis traksi, namun
yang dapat dilakukan di rumah adalah door traction. Traksi dapat
dilakukan 3 kali sehari selama 15 menit , dan dapat dilakukan dengan
frekuensi yang lebih sedikit selama 4 sampai 6 minggu. Setelah keluhan
nyeri hilang pun traksi masih dapat dianjurkan.Traksi dikontraindikasikan
pada pasien dengan spondilosis berat dengan mielopati dan adanya
arthritis dengan subluksasi atlanto-aksial.Latihan yang menggerakan leher
maupun merangsang nyeri sebaiknya dihindari pada fase akut.Saat nyeri
hilang latihan penguatan otot leher isometrik lebih dianjurkan.
Penggunaan terapi farmakologik dapat membantu mengurangi rasa
nyeri dan mungkin mengurangi inflamasi di sekitar radiks saraf (meskipun
inflamasi sebenarnya tidak pernah dapat dibuktikan di radiks saraf maupun
diskus).Jika gejala membaik dengan berbagai modalitas terapi di atas,
aktivitas dapat secara progresif ditingkatkan dan terapi dihentikan atau
kualitas diturunkan.Jika tidak ada perbaikan atau justru mengalami
perburukan sebaiknya dilakukan eksplorasi yang lebih jauh termasuk
pemeriksaan MRI dan dipertimbangkan dilakukan intervensi seperti
pemberian steroid epidural maupun terapi operatif.Tidak ada patokan
sampai berapa lama terapi non-operatif dilanjutkan sebelum tindakan
operatif.Defisit neurologis pada herniasi diskus daerah lumbal yang cukup
besar dilaporkan bisa terjadi perbaikan tanpa operasi.Mungkin hal ini juga
bisa terjadi pada herniasi diskus diservikal.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

1. Pengkajian
Menurut Tembaru (2018), pengkajian merupakan tahap awal proses
asuhan keperawatan dengan metode mengumpulkan data-data yang akurat dari
klien sehingga dapat diketahui permasalahan yang dialami pasien (Kosanke,
2019). Pengkajian meliputi :
a. Identitas
Mendapatkan data identitas pasien meliputi nama, inisial, umur, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor registrasi, dan diagnosa
medis.
b. Initial assessment (pengkajian primer)
Menggunakan metode AVPU untuk menentukan pasien responsive atau
tidak
- A (Alert) : pasien terjaga, responsive, berorientasi dan berbicara
dengan petugas.
- V (Verbal) : Petugas memberikan ransangan berupa suara (memanggil
pasien).
- P (Painful) : Jika pasien tidak memberikan respon dengan suara, maka
perlu melakukan pemberian rangsangan nyeri dengan cara menggosok
sternum atau sedikit cubitan pada bahu.
- U (Unresponsive) : Tidak ada respon apapun dengan suara atau nyeri.
Setelah pasien sampai di Instalasi Gawat Darurat (IGD) prinsip primary
survey yang digunakan pertama kali di RSUD dr. Gondo Suwarna adalah
prinsip Circulation , Airway , Breathing , Disability Limitation , Exposure
(CABDE).
1) C (Circulation)
Mengontrol perdarahan vena dengan memberikan tekanan langsung
pada daerah perdarahan bersamaan dengan tekanan jari pada arteri
paling dekat dengan perdarahan. Curigai adanya hemoragi internal
(pleura, parasardial atau abdomen) pada kejadian syok lanjut dan
adanya cidera dada dan abdomen. Pasien dengan fraktur dan
kehilangan banyak darah akan menyebabkan syok, maka harus segera
ditangani. Kaji tanda-tanda syok yaitu penurunan tekanan darah, kulit
dingin, lembab dan nadi halus.
2) A (Airway)
Penilaian airway pada pasien mengalami fraktur meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan benda asing, fraktur
wajah, fraktur mandibular atau maksila, fraktur laring atau trachea.
Pembebasan jalan napas harus melindungi vertebral servikal karena
adanya kemungkinan patah tulangnya harus diperhitungkan.
Melakukan Chin Lift tetapi tidak boleh melibatkan hiperekstensi
leher.
3) B (Breathing)
Setelah airway selanjutnya adalah breathing, untuk menjamin
ventilasi yang baik meliputi fungsi paru-paru, dinding dada dan
diafragma baik. Untuk melihat pernapasan yang baik, dada pasien
harus dibuka.
4) D (Disability Limitation)
Menilai tingkat kesadaran (GCS) pasien untuk mengkaji keadaan
neurologis dengan cepat. Selain GCS dilakukan pengukuran dan
reaksi pada pupil. Adanya penurunan oksigen dan perfusi ke otak atau
disebabkan perlukaan pada otak merupakan penyebab dari penurunan
kesadaran. Pemeriksaan terhadap keadaan ventilasi, perfusi dan
oksigenasi dilakukan untuk melihat perubahan kesadaran pada pasien.
5) E (Exposure)
Jika perlu membuka pakaian pasien biasanya dilakukan di Rumah
Sakit. Tujuannya untuk melakukan pemeriksaan fisik pada thoraks
selain itu untuk melakukan evaluasi pada keadaan pasien. Setelah
pakaian dibuka, berikan selimut agar pasien tidak kedinginan, ruangan
dibuat hangat dan berikan cairan intravena.
Sumber : (Kosanke, 2019)

c. Pengkajian sekunder
Pengkajian sekunder dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Tujuannya adalah untuk mencari cedera lain yang mungkin terjadi pada
pasien hingga tidak ada yang terlewatkan dan tidak terobati :
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
2) Riwayat Kesehatan Keluarga
3) Jika pasien dapat berbicara maka dilakukan anamnesa singkat
(SAMPLE) :
- Sign and Symptom : tanda dan gejala utama yang dirasakan pasien
saat itu.
- Allergies : riwayat alergi pada pasien seperti makanan dan obat-
obatan
- Medication : terapi terakhir yang sudah diberikan kepada pasien
dan apakah terapi tersebut mengurangi permasalahan pasien atau
tidak
- Past Ilness : riwayat medis sebelum pasien dirawat saat ini.
- Last Oral Intake : detail makanan dan minuman yang baru saja
dikonsumsi pasien.
- Event Before Incident : peristiwa yang mengawali serangan atau
penyakit pasien saat ini.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien dengan fraktur servikal adalah:
a. Nyeri akut berhungan dengan agen pencedera fisik (D.0077)
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan inervasi
diagfragma (D.0005)
c. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasive (D.0142)
d. Risiko ganagguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan
mobilitas (D.0139)
e. gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang (D.0054)
3. Intervensi keperawatan
Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
Nyeri akut berhungan dengan Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri (I.08238)
agen pencedera fisik keperawatan selama 1x6 jam Observasi :
(D.0077) diharapkan tingkat nyeri (L.08066) - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
menurun dengan kriteria hasil: intensitas nyeri
a. Keluhan nyeri menurun - Identifikasi skala nyeri
b. Meringis menurun - Identifikasi respons nyeri non verbal
c. Sikap protektif menurun - Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan
d. Gelisah menurun nyeri
Terapeutik :
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri (teknik relaksasi napas dalam)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi :
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian analgetik
Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan napas (I.01011)
berhubungan dengan keperawatan selama 1x6 jam Observasi :
kerusakan inervasi diharapkan pola napas (L.01004) - Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
diagfragma (D.0005) membaik dengan krieria hasil : - Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi,
a. Dipsnea menurun wheezing, ronkhi kering)
b. Penggunaan otot bantu napas - Monitor sputum
menurun Terapeutik :
c. Pemanjangan fase ekspirasi - Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan
menurun chin-lift
d. Frekuensi napas membaik - Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
e. Kedalaman napas membaik - Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
f. Ventilasi semenit meningkat
- Berikan oksigen
Edukasi :
- Anjurkan asupan cairan 200 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
Risiko infeksi berhubungan Setelah dilakukan tindakan Pencegahan infeksi (I.14539)
dengan efek prosedur keperawatan selama 1x6 jam Observasi :
invasive (D.0142) diharapkan tingkat infeksi - Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
(L.14137) menurun dengan kriteria Terapeutik :
hasil : - Batasi jumlah pengunjung
a. Demam menurun - Berikan perawatan luka pada area edema
b. Kemerahan menurun - Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
c. Nyeri menurun lingkungan pasien
d. Bengkak menurun - Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
e. Kebersihan tangan meningkat Edukasi :
f. Kebersihan badan meningkat
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
- Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu

Perawatan luka (I.14564)


Observasi :
- Monitor karakteristik luka
- Monitor tanda-tanda infeksi
Terapeutik :
- Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
- Bersihkan dengan cairan NaCl
- Bersihkan jaringan nekrotik
- Berikan salep yang sesuai dengan kulit
- Pasang balutan sesuai jenis luka
- Pertahankan teknik steril saat melakukan perawatan luka
- Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase
Edukasi :
- Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri

Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian antibiotik
Risiko gangguan integritas Setelah dilakukan tindakan Perawatan integritas kulit (I.11353)
kulit berhubungan dengan keperawatan selama 1x6 jam Observasi :
penurunan mobilitas (D.0139) diharapkan integritas kulit dan - Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
jaringan meningkat (L.14125) Terapeutik :
dengan kriteria hasil : - Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
a. Kerusakan jaringan menurun - Gunakan produk berbahan petrolium atau minyak pada kulit
b. Kerusakan lapisan kulit kering
menurun - Gunakan produk berbahan ringan/alami dan hipoalergik
c. Pigmentasi abnormal menurun pada kulit sensitif
d. Elasitas meningkat - Hindari produk berbahan dasar alkhol pada kulit kering
Edukasi :
- Anjurkan menggunakan pelembab
- Anjurkan minum air yang cukup
- Anjurkan meningkatkan asupan bauh dan sayur
- Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrem
Kolaborasi : -
Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan Dukungan ambulasi (I.06171)
berhubungan dengan keperawatan selama 1x6 jam Observasi :
kerusakan integritas struktur diharapkan mobilitas fisik - Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
tulang (D.0054) (L.05042) meningkat dengan - Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
dengan kriteria hasil: - Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
a. Pergerakan ekstermitas Terapeutik :
meningkat - Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu
b. Kekuatan otot meningkat - Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika perlu
c. Rentang gerak (ROM) - Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
meningkat meningkatkan ambulasi
d. Kelemahan fisik menurun Edukasi :
- Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
- Anjurkan melakukan ambulasi dini
- Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan
Kolaborasi : -
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan pelaksanaan tindakan yang sudah direncanakan
dalam rencana keperawatan. tindakan berupa tindakan mandiri dan kolaborasi

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan penilaian tindakan sebelumnya sekaligus merencakan
tindakan berikutnya yang dilakukan secara terarah oleh tenaga kesehatan yang
professional untuk menentukan kemajuan pasien menuju tujuan / hasil dari
rencana dan tindakan asuhan keperawatan. evaluasi akan menentukan
intervensi yang digunakan harus diakhiri, dilanjutkan atau ditambahkan.
DAFTAR PUSTAKA

Kosanke, R. M. (2019). BAB III LAPORAN KASUS. April.


V. J. Caiozzo, F. Haddad, S. Lee, M. Baker, W. P. and K. M. B., Burkhardt, H.,
Ph, R. O., Vogiatzis, G., Hernández, C., Priese, L., Harker, M., O’Leary, P.,
Geometry, R., Analysis, G., Amato, G., Ciampi, L., Falchi, F., Gennaro, C.,
Ricci, E., Rota, S., Snoek, C., Lanz, O., Goos, G., … Einschub, M. (2019).
LAPORAN PENDAHULUAN DYSPNEA. Society, 2(1), 1–19.
http://www.scopus.com/inward/record.url?eid=2-s2.0-
84865607390&partnerID=tZOtx3y1%0Ahttp://books.google.com/books?
hl=en&lr=&id=2LIMMD9FVXkC&oi=fnd&pg=PR5&a
mp;dq=Principles+of+Digital+Image+Processing+fundamental+techniques&
amp;ots=HjrHeuS_
PPNI, 2016.  Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) edisi 1 cetakan
II. DPP PPNI. Jakarta
PPNI, 2018.  Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) edisi 1 cetakan
II. DPP PPNI. Jakarta
PPNI, 2018.  Standart Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) edisi 1 cetakan II.
DPP PPNI. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai