OLEH:
ADE KRISTINA
RIA IRNAWANSA
KIRANA
8. Krepitasi
Krepitasi merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika
bagian-bagaian tulang digerakkan. Krepitasi yang teraba akibat
gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
9. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan
atau trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang
ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk
normalnya.
10. Syok hipovolemik
Syok terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.
Ditandai dengan nadi cepat, kerja jantung meningkat, vasokontriksi.
11. Pemendekan tulang
Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang
sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah
tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain
sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
D. Patofisiologi
Kolumna vertebralis normal dapat menahan tekanan yang
berat dan mempertahankan integritasnya tampa mengalami kerusakan
pada medula spinalis. Akan tetapi, beberapa mekanisme trauma tertentu
dapat merusak sistem pertahanan ini dan mengakibatkan kerusakan pada
kolumna vertebralis dan medula spinalis. Pada daerah kolumna
servikal, kemungkinan terjadinya cedera medula spinalis adalah 40%.
Trauma servikal dapat ditandai dengan kerusakan kolumna vertebralis
(fraktur,dislokasi, dan subluksasi), kompresi diskus, robeknya ligamen
servikal, dan kompresiradiks saraf pada setiap sisinya yang dapat
menekan spinal dan menyebabkan kompresi radiks dan distribusi saraf
sesuai segmen dari tulang belakang servikal (Price, 2009).
Pada cidera hiperekstensi servikal, pukulan pada wajah atau
dahi akan memaksa kepala kebelakang dan tidak ada yang
menyangga oksiput dan diskus dapat rusak atau arkus saraf
mengalami kerusakan. Pada cidera yang stabil dan merupakan tipe
frakutur vertebra yang paling sering di temukan. Jika ligamen
posterior robek, cedera, bersifat tidak stabil dan badan vertebra bagian
atas dapat miring ke depan diatas badan vertebra di bawahnya.
Trauma servikal dapat menyebabkan cedera yang komponen vertebranya
tidak akan tergeser oleh gerakan normal sehingga sumsumtulang tidak
rusak dan resiko biasanya lebih rendah (Muttaqin, 2011).
Cedera yang tidak stabil adalah cedera yang dapat mengalami
pergeseran lebih jauh dan perubahan struktur oseoligamentosa
posterior (pedikulis, sendi permukaan, arkus tulang posterior, ligamen
interspinosa, dan supraspinosa), komponen pertengahan (sepertiga bagian
posterior badan vertebra, bagian posterior diskus intervertebra, dan ligamn
longitudinal posterior), dan kolumna anterior (duapertiga bagian
anterior korpus vertebra, bagian anterior diskus intervertebra dan ligamen
longitudinal anterior) (Muttaqin, 2011).
Cedera spinal tidak stabil menyebabkan resiko tinggi cedera
pada korda sehingga menimbulkan masalah aktual atau resiko
ketidakefektifan pola napas dan penurunan curah jantung akibat
kehilangnya kontrol organ viseral. Kompresi saraf dan spasme otot
servikal memberikan stimulasi nyeri. Kompresi diskus menyebabkan
paralisis dan respons sistemik dengan munculnya keluhan mobilisasi fisik,
gangguan defekasi akibat penurunan peristaltik usus, dan ketidak
seimbangan nutrisi (Price,2002).
Tindakan dekompresi dan stabilitas pada pascabedah akan
menimbulkan portde entree luka pasca bedah yang menyebabkan masalah
resiko tinggi infeksi. Selain itu, tindakan tersebut dapat menyebabkan
kerusakan neuromuskular, yang menimbulkan resiko trauma sekunder
akibat ketidaktahuan tentang teknik mobilisasi yang tepat. Kondisi
psikologis karena prognosis penyakit menimbulkan respons anastesi.
Manipulasi yang tidak tepat akan menimbulkan keluhan nyeri dan
hambatan mobilitas fisik (Muttaqin, 2011)
E. Komplikasi
Komplikasi awal
1. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat perdarahan (baik
kehilangan darah eksterna maupun yang tidak kelihatan) dan
kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak.
2. Sindrom emboli lemak
Setelah terjadi fraktur femur dapat terjadi emboli lemak
khususnya pada dewasa muda (20-30 tahun) pria. Pada saat terjadi
fraktur, globula lemak dapat masuk ke dalam darah karena tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena
katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres pasien akan
memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globula
lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan
trombosit membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh
darah kecil yang memasok otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan
gejalanya sangat cepat, dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu
minggu setelah cedera, namun paling sering terjadi dalam 24 sampai
72 jam. Gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia
dan pireksia. Gangguan cerebral diperlihatkan dengan adanya
perubahan status mental yang bervariasi dari agitasi ringan dan
kebingungan sampai delirium dan koma yang terjadi sebagai respon
terhadap hipoksia, akibat penyumbatan emboli lemak di otak.
3. Sindrom kompertemen
Sindrom kompartemen disebabkan karena penurunan ukuran
kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat
atau gips atau balutan yang menjerat, atau peningkatan isi
kompartemen otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan
berbagai masalah. Pasien mengeluh adanya nyeri dalam, berdenyut
tak tertahankan. Palpasi pada otot akan terasa pembengkakan dan
keras.
Komplikasi lambat
1. Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan
Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi
dengan kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu.
Penyatuan terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik
atau distraksi fragmen tulang. Tidak ada penyatuan terjadi karena
kegagalan penyatuan ujung-ujung patahan tulang.
a. Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak
seharusnya.
b. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjalan
tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan
normal.
c. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali
2. Nekrosis avaskuler tulang
Nekrosis avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan darah
dan mati, dapat terjadi setelah fraktur khususnya pada kolum
femoris. Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorbsi dan
diganti dengan tulang baru. Pasien mengalami nyeri dan
keterbatasan gerak.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase
(LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang
meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
3. Pemeriksaan lain-lain
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur danmtest sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi
infeksi.
c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang.
f. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur
G. Penatalaksanaan
1. Pertolongan Pertama untuk Fraktur Servikal
Setiap cedera kepala atau leher harus dievaluasi adanya fraktur
servikalis. Sebuah fraktur servikal merupakan suatu keadaan darurat
medis yang membutuhkan perawatan segera. Spine trauma mungkin
terkait cedera saraf tulang belakang dan dapat mengakibatkan
kelumpuhan, sehingga sangat penting untuk menjaga leher.
Jika ada kemungkinan patah tulang leher, leher pasien tidak
boleh digerakkan sampai tindakan medis diberikan dan X-ray dapat
diambil. Itu jalan terbaik untuk mengasumsikan adanya cedera leher bagi
siapa saja yang terkena benturan, jatuh atau tabrakan. Gejala fraktur
servikal termasuk parah dengan rasa sakit pada kepala, nyeri yang
menjalar ke bahu atau lengan,memar dan bengkak di bagian belakang
leher.
2. Penanganan Operasi
Goal dari penanganan operasi adalah: Reduksi mal aligment,
decompresi elemen neural dan restorasi spinal stability. Operasi anterior
dan posterior.
Anterior approach, indikasi:
a. Ventral kompresi
b. Kerusakan anterior collum
c. Kemahiran neuro surgeon
Posterior approach, indikasi:
a. Dorsal kompresi pada struktur neural
b. Kerusakan posterior collum Keuntungan:
c. Dikenal banyak neurosurgeon
d. Lebih mudah
e. Medan operasi lebih luas dapat membuka beberapa segmen
f. Minimal morbility
3. Pembatasan aktivitas
Studi spesifik yang membandingkan keluaran dengan atau
tanpa pembatasan aktivitas belum ada. Jadi toleransi terhadap respon
pengobatan yang bersifat individual sebaiknya menjadi panduan bagi
praktisi. Pada tahap akut sebaiknya hindari pekerjaan yang mengharuskan
gerak leher berlebihan. Pemberian edukasi mengenai posisi leher yang
benar sangatlah membantu untuk menghindari iritasi radiks saraf lebih
jauh. Seperti contohnya : penggunaan telepon dengan posisi leher
menekuk dapat dikurangi dengan menggunakan headset, menghindari
penggunaan kacamata bifokal dengan ekstensi leher yang berlebihan,
posisi tidur yang salah. Saat menonton pertandingan pada lapangan
terbuka, maupun layar lebar sebaiknya menghindari tempat duduk yang
menyebabkan kepala menoleh/berotasi ke sisi lesi.
4. Penggunaan collar brace
Ada banyak jenis kolar yang telah dipelajari untuk membatasi
gerak leher. Kolar kaku/ keras memberikan pembatasan gerak yang
lebih banyak dibandingkan kolar lunak (soft collars), kecuali pada gerak
fleksi dan ekstensi. Kelebihan kolar lunak : memberikan kenyamanan yang
lebih pada pasien. Pada salah satu studi menunjukkan bahwa tingkat
kepatuhan pasien untuk menggunakan kolar berkisar 68-72%.
Penggunaan kolar sebaiknya selama mungkin sepanjang hari. Setelah
gejala membaik, kolar dapat digunakan hanya pada keadaan khusus,
seperti saat menyetir kendaraan dan dapat tidak digunakan lagi bila
gejala sudah menghilang. Sangatlah sulit untuk menyatakan waktu yang
tepat kolar tidak perlu digunakan lagi, namun dengan berpatokan :
hilangnya rasa nyeri, hilangnya tanda spurling dan perbaikan defisit
motorik dapat dijadikan sebagai petunjuk.
5. Modalitas terapi lain
Termoterapi dapat digunakan untuk membantu menghilangkan
nyeri. Modalitas terapi ini dapat digunakan sebelum atau pada saat
traksi servikal untuk relaksasi otot. Kompres dingin dapat diberikan
selama 15-30 menit, 1 sampai 4 kali sehari, atau kompres panas
/pemanasan selama 30 menit , 2 sampai 3 kali sehari jika dengan
kompres dingin/pendinginan tidak efektif. Pilihan antara modalitas panas
atau dingin sangatlah pragmatik tergantung pada persepsi pasien terhadap
pengurangan nyeri.
Traksi leher merupakan salah satu terapi yang banyak
digunakan meskipun efektifitasnya belum dibuktikan dan dapat
menimbulkan komplikasi sendi temporomandibular. Ada beberapa jenis
traksi, namun yang dapat dilakukan di rumah adalah door traction.
Traksi dapat dilakukan 3 kali sehari selama 15 menit, dan dapat
dilakukan dengan frekuensi yang lebih sedikit selama 4 sampai 6
minggu. Setelah keluhan nyeri hilang pun traksi masih dapat dianjurkan.
Traksi dikontraindikasikan pada pasien dengan spondilosis
berat dengan mielopati dan adanya arthritis dengan subluksasi atlanto-
aksial. Latihan yang menggerakan leher maupun merangsang nyeri
sebaiknya dihindari pada fase akut. Saat nyeri hilang latihan penguatan
otot leher isometrik lebih dianjurkan. Penggunaan terapi farmakologik
dapat membantu mengurangi rasa nyeri dan mungkin mengurangi
inflamasi di sekitar radiks saraf (meskipun inflamasi sebenarnya tidak
pernah dapat dibuktikan di radiks saraf maupun diskus). Jika gejala
membaik dengan berbagai modalitas terapi di atas, aktivitas dapat secara
progresif ditingkatkan dan terapi dihentikan atau kualitas diturunkan.
Jika tidak ada perbaikan atau justru mengalami perburukan
sebaiknya dilakukan eksplorasi yang lebih jauh termasuk pemeriksaan
MRI dan dipertimbangkan dilakukan intervensi seperti pemberian steroid
epidural maupun terapi operatif. Tidak ada patokan sampai berapa lama
terapi non-operatif dilanjutkan sebelum tindakan operatif. Defisit
neurologis pada herniasi diskus daerah lumbal yang cukup besar
dilaporkan bisa terjadi perbaikan tanpa operasi. Mungkin hal ini juga bisa
terjadi pada herniasi diskus di servikal.
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta :
Widya Medika
Bulecheck, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2016).
Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi Bahasa Indonesia Edisi
Keenam. Singapore: Elsevier.
Black, J.M, et al. 1995. Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing
Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company.