PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
3
2.2 ETIOLOGI
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi
pada berbagai keadaan berikut:
4
5. Rakhitis:L suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain,
biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang
dapat disebabkan kegagalan absorbVitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan
oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan
kegagalan absorbs Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium
atau fosfat yang rendah.
c. Secara Spontan
Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada
penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
a. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan
atau trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke
posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk
normalnya. Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang
berpindah dari tempatnya, perubahan keseimbangan dan kontur terjadi
seperti:
1. Rotasi pemendekan tulang.
2. Penekanan
tulang. b. Bengkak
Edema muncul secara cepat dikarenakan aciran serosa yang
terlokalisir pada daerah fraktur dan ekstravasasi daerah di jaringan
sekitarnya.
d. Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi di sekitar
fraktur.
5
e. Tenderness/ keempukkan.
f. Nyeri
Dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini mungkin
disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan
kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
g. Kehilangan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena
edema.
h. Pergerakan abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada
kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur
tulang panjang.
i. Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.
j. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagian
tulang digerakkan.
k. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau
spasme otot. Paralisis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
2.4 KLASIFIKASI
6
daripada anak perempuan dengan perbandingan 3:2. Insiden tersering
pada usia 11-12 tahun
7
Lebih dari 1/3 klien fraktur leher femur tidak dapat mengalami
union terutama pada fraktur yang bergeser. Komplikasi lebih sering
terjadi pada fraktur dengan lokasi lebih ke proksimal. Ini disebabkan
oleh vaskularisasi yang jelek, reduksi yang tidak akurat, fiksasi yang
tidak adekuat, dan lokasi fraktur adalah intra-artikular.
8
biasanya didapatkan garis fraktur pada atau di bawah trokhenter
minor, bisa bersifat melintang, oblik, atau spiral.
a. Tertutup
Adalah hilangnya kontinuitas tulang paha tanpa disertai
kerusakan jaringan kulit yang dapat disebabkan oleh trauma
langsung atau kondisi tertentu, seperti degenerasi tulang
(osteoporosis) dan tumor atau keganasan tulang paha yang
menyebabkan fraktur patologis.
Pada pemeriksaan fisik regional fraktur batang femur
tertutup, umumnya ditemukan beberapa hal berikut.
9
drajad pemendekan dengan cara mengukur kedua sisi tungkai
dari spina iliakake maleolus.
Look Terlihat adanya luka terbuka pada baha terbuka pada paha
dengan deformitas yang jelas. Kaji beberapa luas kerusakan
jaringan lunak yang terlibat. Kaji apakah pada luka terbuka ada
fragmen tulang yang keluar dan apakah terdapat adanya
kerusakan pada arteri yang beresiko akan meningkatkan respons
syok hipovolemik. Pada fase awal trauma sering di dapatkan
adanya serpihan didalam luka terutama pada trauma kecelakaan
lalu lintas darat yang mempunyai indikasi pada resiko tinggi
infeksi.
10
Meve Gerakan pada daerah tungkai yang patah tidak boleh
dilakukan karena akan memberikan respons trauma pada
jaringan lunak di sekitar ujung fragmen tulang yang patah.
Pasien terlihat tidak mampu melakukan pergerakan pada sisi
paha yang patah.
11
AO-nail terutama adalah fraktur diafisis, fiksasi eksternal
terutama pada fraktursegmental, fraktur kominutif, infected
pseudoarthrosis, atau fraktur terbuka dengan kerusakan
jaringan lunak yang hebat.
12
Pada fraktur suprakondiler femur biasanya akan dilakukan
beberapa penatalaksanaan yaitu:
1. Traksi berimbang dengan mempergunakan bidai Thomas
dan penahan lutut Pearson, east-bracing dan spikal panggul.
2. Terapi operatif dilakukan pada fraktur terbuka atau adanya
pergeseran fraktur yang tidak dapat direduksi secara
konservatif. Terapi dilakukan dengan mempergunakan nail-
phroc dare screw dengan macam-macam tipe yang tersedia.
5. Fraktur Intercondylair
Biasanya fraktur intercondular diikuti oleh fraktur
supracondular, sehingga umumnya terjadi bentuk T fraktur atau Y
fraktur.
13
Manifestasi klinik didapatkan adanya pembengkakan pada lutut,
hematrosis, dan deformitas pada ekstermitas bawah. Penderita juga
mengeluh adanya nyeri lokal, dan kondisi neurologis-vaskular harus
selalu diperiksa tentang adanya tanda dan gejala sindrom
kompartemen pada bagian distal.
2.5 PATOFISIOLOGI
14
Proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase yaitu:
1. Fase Hematum
a. Dalam waktu 24 jam timbul pedarahan, edema, hematume
disekitar fraktur.
b. Setelah 24 jam suplai darah di sekitar fraktur meningkat.
4. Fase Ossificasi
a. Mulai pada 2-3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh.
b. Callus permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan
endapan garam kalsium yang menyatukan tulang yang patah.
1. Foto Rontgen
a. Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara
langsung.
b. Mengetahui tempat dan tipe fraktur.
c. Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan
selama proses penyembuhan secara periodic.
3. Arteriogram
Dilakukan bila dicurigai ada kerusakan vaskuler.
4. CCT
Dilakukan bila banyak kerusakan otot.
5. Hitung Darah Lengkap
HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal setelah trauma.
6. Kreatinin
Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
7. Profil Koagulasi
Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfuse multiple atau
cedera hati.
2.8 PENATALAKSANAAN
a. Rekognisi (pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk
menentukan diagnose dan tindakan selanjutnya, mengetahui dan
menilai keadaan fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinis dan
radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan: lokasi, bentuk
fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan, komplikasi
yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan. Contoh, pada
tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan
bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
b. Reduksi (manipulasi/reposisi)
Reduksi adalah uasaha dan tindakan untuk memanipulasi
fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi
seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat
dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka.
Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan
lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin
sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
c. Retensi (imobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi
eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan
teknik gips atau fiksator eksterna. Implant logam dapat digunakan
untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan
diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan
memasukkan duat atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang
pada begian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut
dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars.
Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada
tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus
dan pelvis.
d. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk
menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan memungkinkan,
harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk
mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi.
1. Terapi konservatif
a. Proteksi.
b. Imobilisasi saja tanpa reposisi.
c. Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips/traksi.
d. Keuntungan ORIF:
a) Reduksi akurat.
b) Stabilitas reduksi tinggi.
c) Pemeriksaan struktur neurovaskuler.
d) Berkurangnya kebutuhan alat imobilisasi eksternal.
e) Penyatuan sendi yang berdekatan dengan tulang yang
patah menjadi lebih cepat.
f) Rawat inap lebih singkat.
g) Dapat lebih cepat kembali ke pola kehidupan normal.
e. Kerugian ORIF:
a) Kemungkinan terjadi infeksi.
b) Osteomielitis.
3. Terapi medis
a. Pemberian obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau prednisone.
b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut.
c. Bedrest, fisioterapi.
2.9 KOMPLIKASI
Brunner, & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (8 ed., Vol.
Vol. 2). Jakarta: EGC.
Mansjoer, A. (2002). Kapita Selekta Kedokteran (3 ed., Vol. Jilid 1). Jakarta:
Medika Aesculapius FKUI.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (1995). Buku 1 Patofisiologi "Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit" (8 ed.). Jakarta: EGC.
45