Anda di halaman 1dari 86

APOTEKER MUDA

REPUBLIK INDONESIA
Tel [Telephone]
Fax [Fax]
[Website]

PANDUAN UKAI
PANDUAN UKAI
SUMATIF 2017
SUMATIF 2017
MENUJU UKAI, MENUJU MASA DEPAN
EDISI REVISI PANDUAN UKAI FORMATIF 2016
APOTEKER MUDA
REPUBLIK INDONESIA
Tel [Telephone]
Fax [Fax]
[Website]

PANDUAN UKAI
PANDUAN UKAI
SUMATIF 2017
SUMATIF 2017
MENUJU UKAI, MENUJU MASA DEPAN
EDISI REVISI PANDUAN UKAI FORMATIF 2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia
yang diberikan sehingga penyusunan Panduan UKAI Sumatif 2017 dapat diselesaikan.
Panduan UKAI ini dibuat merujuk pada Panduan UKAI Formatif 2016 yang disusun
oleh Mahasiswa Alumnus Program Studi Profesi Apoteker yang berasal dari
Universitas Gadjah Mada. Panduan ini direvisi dengan merujuk pada gambaran try out
UKAI pada 29 Oktober 2016 lalu untuk memudahkan mahasiswa Program Studi
Profesi Apoteker untuk mempelajari materi yang diujikan pada UKAI Sumatif 2017.

Konten yang ada dalam panduan ini merupakan hasil saduran yang direvisi
kembali dari Panduan UKAI Formatif 2016 untuk memenuhi kebutuhan materi selama
persiapan menuju UKAI Sumatif 2017. Pada edisi revisi ini, konten dibagi atas 3 bagian
besar, yakni bagian farmasi klinis yang memuat konsep-konsep terkait obat dan
farmakoterapi, bagian pharmaceutical science yang mencakup aspek industri farmasi dan
analisis kimia, serta bagian etika dan praktek kefarmasian yang membahas praktek
profesi apoteker hingga manajemen bisnis apotek.

Seperti halnya penyusunan Panduan UKAI Formatif 2016, dalam


penyusunan Panduan UKAI Sumatif 2017 ini tentunya tidak lepas dari dukungan
berbagai pihak. Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Penyusun Panduan UKAI Formatif 2016, Alumnus dari Program Studi Profesi
Apoteker, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada atas kerja kersanya sehingga
menghasilkan Panduan UKAI Formatif 2016 yang sangat membantu penyusun
dalam menyelesaikan Panduan UKAI Sumatif 2017.
2. Rekan-rekan dari Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi, Universitas
Padjadjaran atas segala dukungannya dalam penyusunan Panduan UKAI Sumatif
2017.
3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas bantuan dan dukungan
yang diberikan, sehingga penyusunan Panduan UKAI Sumatif 2017 dapat
diselesaikan.

Penyusun menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam


penyusunan Panduan UKAI Sumatif 2017 ini. Seperti kata pepatah, tak ada gading yang
tak retak, oleh karena itu, penyusun terbuka untuk kritik dan saran dari berbagai pihak
yang membangun demi perbaikan Panduan UKAI ini kedepannya. Semoga Panduan
UKAI Sumatif 2017 ini dapat bermanfaat dan membantu rekan-rekan calon Apoteker
diseluruh Indonesia.

Bandung, 1 Januari 2017

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAGIAN I FARMASI KLINIS ................................................................... 1
1.1. Penggolongan Obat .......................................................................... 1
1.2. Konsep Reseptor .............................................................................. 3
1.3. Konsep Induksi Saraf Simpatis dan Parasimpatis ........................ 3
1.4. Farmakologi Golongan Obat .......................................................... 4
1.5. Keamanan Obat dan Toksikologi .................................................. 8
1.6. Cara Pemakaian Obat....................................................................... 11
1.7. Penggunaan Obat Off-Label (Unlabeled) .......................................... 11
1.8. Farmakokinetika................................................................................ 12
1.9. Kapita Selekta Farmakoterapi ......................................................... 14
BAGIAN II PHARMACEUTICAL SCIENCE .......................................... 55
2.1. Sediaan Farmasi................................................................................. 55
2.2. Uji Stabilitas ....................................................................................... 63
2.3. Farmasi Industri ................................................................................ 64
2.4. Konsep Kimia Dasar ........................................................................ 65
2.5. Kimia Analisis Konvensional .......................................................... 68
2.6. Kimia Analisis Instrumental ............................................................ 69
BAGIAN III ETIKA DAN PRAKTEK KEFARMASIAN ......................... 73
3.1. Praktek Apoteker .............................................................................. 73
3.2. Aturan Hukum Terkait Lainnya ..................................................... 74
3.3. Praktek Apoteker di Industri Farmasi ........................................... 75
3.4. Praktek Apoteker di Rumah Sakit .................................................. 76
3.5. Praktek Apoteker di Puskesmas ..................................................... 77
3.6. Praktek Apoteker di Apotek ........................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 81

iii
BAGIAN I
FARMASI KLINIS

1.1. Penggolongan Obat


Golongan Obat Logo Keterangan

Dapat digunakan untuk


Obat Bebas
swamedikasi.

Dapat digunakan untuk


swamedikasi, harus
Obat Bebas Terbatas diberikan informasi lebih
karena mengandung obat
keras.

Harus dengan resep


Obat Keras
dokter.

Khasiat yang
dicantumkan merupakan
khasiat empiris di
Jamu masyarakat, belum
sepenuhnya terstandar,
dan belum dilakukan uji
praklinik dan klinik.
Khasiat yang
dicantumkan sudah
dibuktikan dengan uji
praklinik, sudah
Obat Herbal Terstandar
terstandar, dan sudah
dilakukan uji praklinik
dan/atau uji klinik belum
lengkap.

1
2

Khasiat yang
dicantumkan sudah
dibuktikan dengan uji
praklinik dan klinik,
Fitofarmaka
sudah terstandar, dan
sudah dilakukan uji klinik
dengan lengkap (fase 1,
fase 2, dan fase 3).
Harus dengan resep
dokter dan
mengakibatkan
Narkotika ketergantungan yang
kuat. Distribusinya
dikendalikan oleh
pemerintah.
Harus dengan resep
dokter dan kadang
Psikotropika
mengakibatkan
ketergantungan.
Obat keras yang dapat
diserahkan oleh apoteker
dengan syarat dan
ketentuan yang berlaku
Obat Wajib Apotek
menurut undang-undang,
dapat digunakan untuk
swamedikasi atau
pengobatan rutin.
3

1.2. Konsep Reseptor


Berikut ini adalah kondisi yang terjadi ketika reseptor diinduksi oleh
substrat-substrat agonis.

1.3. Konsep Induksi Saraf Simpatis dan Parasimpatis


Berikut ini kondisi yang terjadi ketika sistem saraf simpatis dan
parasimpatis mengalami induksi.
4

Adrenergik dan Kolinergik berkerja BERLAWANAN


Antiadrenergik dan Kolinergik berkerja SERUPA
Simpatomimetik dan Parasimpatomimetik berkerja BERLAWANAN
Simpatomimetik dan Parasimpatolitik berkerja SERUPA

Efek Adrenergik (Simpatomimetik) adalah efek yang serupa dengan ketika saraf
simpatis diinduksi
Efek Kolinergik (parasimpatomimetik) adalah efek yang serupa dengan ketika
saraf parasimpatis diinduksi

Contoh :
Atenolol = Beta Bloker = Obat Antiadrenergik (Adrenolitik), artinya bekerja
melawan efek induksi sistem saraf simpatis, dampaknya adalah terjadi penurunan
tekanan darah, hal ini serupa dengan efek kolinergik yang menginduksi sistem
saraf parasimpatis.

1.4. Farmakologi Golongan Obat


Golongan Mekanisme Aksi Contoh Obat

Anastesi Amida Blokade reversibel pada Lidokain, Bupivikain

Anastesi Ester kanal natrium pada akson Benzokain, Prokain


Inhibisi hidrolisis
Antikolinesterase asetilkolin pada enzim Piridostigmin, Neostigmin
kolinesterase
Memacu reseptor
Agonis Muskarinik Pilokarpin
muskarinik
Memacu reseptor
Agonis Nikotinik Nikotin
nikotinik
Menghambat reseptor
Antagonis muskarinik dan Atropin, Hiosin,
Muskarinik mengakibatkan efek Ipatropium
excitatory
5

Menghambat reseptor alfa


Alfa Bloker adrenergik, sehingga Prazosin
terjadi dilatasi vena.
- Beta-1 selektif:
Bisoprolol, Atenolol,
Menghambat reseptor
Beta Bloker Metoprolol
beta adrenergik.
- Beta bloker non-selektif:
Propanolol
Meningkatkan kerja
reseptor beta adrenergik 2, Salbutamol, Formoterol,
Agons Beta-2
sehingga terjadi relaksasi Salmeterol
otot polos bronkus.
Menghambat perubahan
Captopril, Lisinopril,
ACE Inhibitor angiotensin I menjadi
Enalapril
angiotensin II
Angiotensin Menghambat pada Valsartan, Losartan,
Receptor Blocker reseptor angiotensin Candesartan
- DHP : Amlodipin,
Menghambat masuk
Calcium Channel Nifedipin
kalsium pada sel otot
Blocker - Non DHP : Diltiazem,
jantung
Verapamil
Menghambat reabsorbsi
natrium di tubulus distal,
Diuretik Thiazid sehingga meningkatkan Hidroklortiazid
eksresi air, natrium, dan
ion hidrogen.
Menghambat reabsorbsi
natrium dan klorida di
Diuretik Sulfon tubulus proksimal, tubulus Furosemid
distal, dan lengkung
Henle, sehingga
6

meningkatkan eksresi air,


natrium, klorida,
magnesium, dan kalsium.
Mengikat reseptor
aldosteron di tubulus
distal, sehingga
Antagonis
meningkatkan sekresi Spironolakton
Aldosteron
natrium dan klorida dan
menahan kalium dan ion
hidrogen.
Modulasi metabolisme
lipid, karbohidrat, dan
protein serta
mempertahankan
keseimbangan cairan.
Metilprednisolon,
Kortikosteroid Mengontrol sintesis
Hidrokortison
protein, menekan migrasi
PMN dan fibroblas,
mengubah kapilaritas
membran, dan
menstabilkan lisosom.
Menurunkan produksi
glukosa hepatik,
menurunkan absorbsi
Biguanida glukosa di saluran cerna, Metformin
dan meningkatkan
sensitivitas reseptor
insulin.
Meningkatkan sekresi
Sulfonilurea insulin, Menurunkan Glibenklamide, Glimepiride
produksi glukosa hepatik,
7

dan meningkatkan
sensitivitas reseptor
insulin.
Menghambat enzim
HMG-CoA pengubah substrat Simvastatin, Atorvastatin,
Reductase Inhibitor kolesterol (HMG-CoA Rosuvastatin
Reductase)
Menghambat lipolisis
perifer dan menurunkan Gemfibrozil, Fenofibrate,
Asam Fibrat
pengambilan asam lemak Cipofibrate
bebas oleh hati.
Resin Asam Mengikat asam empedu Kolestipol, Koleselvam,
Empedu pada saluran cerna. Kolestiramin
Mengikat kristal
hidroksiapatit pada tulang
dan menghambat
Asam Alendronat, Asam
Bifosfonat osteoklast serta
Risendronat
menghambat pelepasan
mineral dan kolagen dari
tulang.
Menghambat pompa
Proton Pump Omeprazol, Pantoprazol,
proton dalam sekresi ion
Inhibitor Lansoprazol
hidrogen pada lambung.
Menghambat reseptor H-
2 pada sel parietal
H-2 Receptor
lambung, sehingga Famotidin, Ranitidin
Antagonis
menghambat sekresi asam
lambung.
Menghambat reseptor H-
H-1 Receptor - Generasi lama :
1, sehingga tidak tejadi
Antagonis Klorfeniramin Maleat.
aktivasi oleh histamin.
8

- Generasi baru :
Loratadin, Cetirizin,
Fexofenadin.
Antibiotika Penisilin Amoksisilin, Ampisilin
Menghambat sintesis - Generasi 1 : Cefradoksil
Antibiotika dinding bakteri (golongan - Generasi 2 : Cefuroksim
Sefalosporin beta laktam). - Generasi 3 : Ceftriakson,
Cefotaksim, Ceftazidim
Menghambat sintesis
protein dengan mengikat
Antibiotika subunit ribosom 30S dan Tetrasklin, Oksitetrasiklin,
Tetrasiklin 50S dan mengikat logam Doksisiklin
untuk metabolisme
bakteri.
Menghambat DNA girase,
Antibiotika Ciprofloksasin,
sehingga merusak struktur
Quinolon Levofloksasin
double helix DNA.
Menghambat sintesis
Antibiotika protein dengan mengikat Azitromisin, Claritomisin,
Makrolida subunit ribosom 30S dan Eritromisin
50S.
Menghambat sintesis
Antibiotika Fenikol protein dengan mengikat Kloramfenikol, Tiamfenikol
subunit ribosom 50S.

1.5. Keamanan Obat dan Toksikologi


1.5.1. Keamanan Obat
a. Indeks Kehamilan
Masa kehamilan merupakan masa kritis pertumbuhan janin. Namun, tidak
jarang ditemui ibu hamil yang menderita penyakit tertentu saat hamil. Berikut
adalah indeks kehamilan dan keterangan mengenai indeks kehamilan :
9

Indeks Kehamilan Keterangan Penggunaan Klinis


Studi terkontrol pada wanita
hamil tidak memperlihatkan
Dapat digunakan secara
A adanya resiko terhadap janin
aman bagi wanita hamil.
pada kehamilan trimester 1
dan trimester berikutnya.
Studi terhadap reproduksi
binatang memperlihatkan
Dapat digunakan relatif
B tidak ada resiko terhadap
aman bagi wanita hamil.
janin, tetap belum ada studi
terkontrol terhadap manusia.
Studi pada binatang
percobaan memperlihatkan
Penggunaan obat harus
adanya efek terhadap janin
mempertimbangkan
C dan studi terkontrol pada
manfaat klinis dan resiko
wanita dan binatang tidak
terhadap janin.
tersedia atau tidak dapat
dilakukan.
Penggunaan obat dapat
Terdapat bukti adanya resiko
digunakan dalam kasus
pada janin pada binatang
D life-threatening atau apabila
percobaan atau studi pada
ada alternatif lebih baik
manusia.
harus diutamakan.
Studi pada manusia dan
Tidak dianjurkan
binatang memperlihatkan
X penggunaannya selama
adanya abnormaltas pada
masa kehamilan.
janin.

b. Efek Samping Beberapa Obat


Obat Efek Samping Khas
Amlodipin Edema dan edema paru
10

Kaptopril Batuk
Pirazinamid Nyeri tulang, hepatotoksik
INH Kesemutan, hepatotoksik
Mengubah warna urin menjadi
Rifampisin
merah, induksi sitokrom
Streptomisin Ototoksis, nefrotoksis
Perdarahan, iritasi saluran cerna,
Asetosal
tinitus
Hidroklortiazid Hipokalemia, kenaikan asam urat
Kortikosteroid Inhalasi Candidasis
Iritasi saluran cerna, moon face karena
Kortikosteroid Oral (e.g MP)
retensi Na dan Air, keropos tulang
Etambutol Buta warna, kebutaan
Fenitoin Gingival hyperplasia, induser sitokrom
Hepatotoksik dari metabolitnya,
Karbamazepin
induser sitokrom
Orlistat Feses berlemak
Antibiotika Kuinolon Menghambat pertumbuhan anak
Antibiotika Tetrasiklin Kolorasi gigi menjadi kuning
Antibiotika Aminoglikosida Nefrotoksis
Bifosfonat Iritasi saluran cerna
Semua OAT Mual dan muntah
Kodein Konstipasi
Metformin Mual, kembung
Mengubah warna urin menjadi
Metronidazole
kecokelatan

1.5.2. Toksikologi
Kasus keracunan selalu ditemukan terkait dengan penggunaan bahan kimia
sebagai obat atau kecelakaan. Berikut adalah daftar senyawa yang dapat bersifat
racun dan antidot yang dapat diberikan :
11

Substrat Racun Antidot


Parasetamol Asetilsistein
Logam berat (As, Hg, Cu) BAL (dimecaprol)
Logam berat (Pb) EDTA
Ferrum Deferoksamin
Opioid, Dextromethorphan Nalokson
Antikolinesterase (Insektisida) Atropin, Pralidoksim
Sianida Nitrit, Nitrat
Metanol, Etilen Glikol Etanol
Beta Bloker (Atenolol, Propanolol) Adrenalin, Isoprenalin
Benzodiazepin Flumazenil
TCA Diazpam
Kumarin, Warfarin Vitamin K
Digoksin Fenitoin, MgSO4, Atropin
Heparin Protamin
INH Piridoksin
Nitrit Metilen Blue
Karbonmonoksida Oksigen

1.6. Cara Pemakaian Obat


Pemakaian obat yang tepat memiliki beberapa pertimbangan, salah satunya
adalah sifat fisika kimia obat, mengikuti ritme biologis tubuh dan/atau mengikuti
t1/2 obat yang digunakan. Sebagai contoh penggunaan atorvastatin dan simvastatin
memiliki perbedaan. Atorvastatin dapat diberikan pada sore hari, sedangkan
simvastatin harus diberikan malam hari. Hal ini terjadi karena t1/2 atorvastatin
adalah 14 jam, sedangkan simvastatin 2 jam, sehingga simvastatin harus segera
digunakan pada waktu biologis tubuh untuk sintesis kolesterol, yaitu pada waktu
malam hari. Golongan bifosfonat harus diberikan dengan cara pasien harus duduk
dikarenakan sifat kimia obat yang iritatif, sehingga dengan duduk diharapkan
berinteraksi singkat dengan saluran cerna atas dan segera memasuki lambung.
12

1.7. Penggunaan Obat Off-Label (Unlabeled)


Penggunaan obat off-label adalah penggunaan obat di luar indikasi yang
disetujui oleh lembaga yang berwenang. Penggunaan obat off-label terdiri dari dua
jenis, pertama adalah obat yang disetujui untuk mengobati penyakit tertentu, tetapi
kemudian digunakan untuk penyakit yang sama sekali berbeda, contohnya
amitriptilin, disetujui sebagai antidepresi, namun digunakan juga untuk mengatasi
nyeri neuropatik. Kedua, obat yang disetujui untuk mengobati penyakit tertentu,
kemudia diresepkan untuk keadaan yang masih terkait, tetapi diluar spesifikasi
yang disetujui, contohnya sildenafil, diindikasikan untuk mengatasi disfungsi
ereksi pada pria, tetapi juga digunakan untuk meningkatkan gairah seksual pria
meskipun tidak mengalami impotensi atau disfungsi ereksi. Beberapa contoh obat
off-label antara lain.
Obat Indikasi Awal Indikasi Off-Label
Amitriptilin Antidepresi Analgesik Neurpatik
Domperidon Antimual-Muntah Pelancar ASI
Ketotifen Antialergi Meningkatkan Nafsu Makan
Levimasol Antikonvulsan Imunomodulator
Metformin Antidiabetes Memperbaiki Siklus Haid
Misoprostol Anti Ulkus Peptik Induksi Persalinan
Sildenafil Disfungsi Ereksi Peningkat Gairah Seksual
Siproheptadin Antialergi Meningkatkan Nafsu Makan

1.8. Farmakokinetika
1.8.1. Kecepatan Infus

R=

Keterangan: R = kecepatan infus
S = fraksi aktif
= interval pemberian
13

Contoh:
Pasien ATS menerima infus teofilin dengan dosis 40 mg tiap jam. Berapakah
kecepatan infus yang harus diatur? Diketahui teofilin memiliki fraksi aktif sebesar
80 %.
,
R= = = 32 mg/jam

1.8.2. Perubahan Dosis Intravena ke Dosis Peroral


Umumnya diberikan pada keadaan tunak rerata (Cav), dengan rumus :

D=

Keterangan: D = dosis peroral


Cav = konsentrasi tunak rerata
k = konstanta eliminasi
Vd = volume distribusi
F = fraksi bioavaibilitas
S = fraksi aktif
= interval pemberian
Contoh:
Pasien RA 28 tahun, 78 kg diresepkan Tetrasiklin HCl untuk keluhan
Gonorrhae. Tetrasiklin HCl memiliki bioavabilitas oral 77 % dengan semua
fraksi aktif. Volume distribusi sebesar 0,2 L/kgBB, waktu paro eliminasi adalah
10,6 jam. Kadar tunak rerata yang digunakan dalam pengobatan RA di rumah
sakit adalah 35 mg/mL. Apabila RA diizinkan pulang oleh dokter dan
meneruskan terapi tetrasiklin HCl peroral dengan interval tiap 6 jam, berapakah
dosis yang disarankan?
Diketahui: Vd = 0,2 L/kgBB x 78 kg = 15,6 L
K = 0,693/t1/2 = 0,693/10,6 = 0,065 /jam
Ditanya: Dosis yang disarankan?
Jawab:

, ,
D= = = 276,54 mg 300 mg
,
14

1.9. Kapita Selekta Farmakoterapi


1.9.1. Hipertensi
Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi Berdasarkan JNC 8
15

Berdasarkan JNC 8, target terapi dan pilihan regimen dalam


penatalaksanaan hipertensi adalah sebagai berikut :
Kondisi Pilihan Obat
- Tunggal: ACEi ARB, CCB, atau diuretic
Normal - ACEi atau ARB + diuretic; serta ACEi atau
ARB + CCB
CKD ACEi atau ARB
- First Line : ACEi atau ARB
Diabetes Mellitus - Second Line : CCB
- Third Line : diuretic atau BB
Heart Failure ACEi atau ARB + BB + diuretic + spironolactone
Post-MI BB + ACEi atau ARB
CAD ACEi, BB, diuretic, CCB
Pencegahan
ACEi, diuretic
Kekambuhan Stroke
Kehamilan Labetolol (first line), nifedipin, metidopa
Beta-Bloker Selektif Beta-1 seperti metoprolol, bisoprolol, betaxolol, dan
acebutolol lebih aman untuk pasien dengan PPOK, asma, dibetes dan peripheral
vascular disease.

1.9.2. Dislipidemia dan Obesitas


Menurut ATP III, dalam tatalaksana penurunan LDL dan manajemen
resiko penyakit degeneratif ada faktor resiko yang harus diketahui, berikut adalah
faktor resiko menurut ATP III.
Faktor Resiko Mayor yang Membutuhkan Modifikasi LDL
Kebiasaan merokok
Tekanan darah (BP > 140/90 mmHg atau dalam pengobatan hipertensi
Kolesterol HDL rendah (< 40 mg/dL)*
Family history of premature CHD
Usia (pria 45 tahun, wanita 55 tahun)
*Kolesterol HDL 60 mg/dL dapat dihilangkan dari hitungan faktor resiko
16

Jika memiliki 2 faktor resiko dengan atau tanpa CHD, lakukan assesment
terhadap 10-years (short-term) CHD risk dengan hitungan pada tabel Framingham.
Dengan mengetahui faktor resiko, target penurunan LDL dan memulai terapi
dapat diketahui. Berikut adalah target dan nilai LDL memulai terapi :
Nilai LDL
Faktor Resiko Target LDL Nilai LDL Mulai
untuk Mulai
Hasil Assesment (mg/dL) Terapi Obat
TLC
CHD or CHD Risk
130
Equivalents (10-years < 100 100
(100-129 drug optional)*
risk > 20%)
10-year risk 10-20%
2 Risk Factors 130
< 130 130
(10-years risk 20%) 10-year risk < 10%
160
190
0 1 Risk Factor < 160 160
(160-189 drug optional)
Keterangan: TLC (Therapeutics Lifestyle Changes); (*) beberapa ahli merekomen-
dasikan penggunaan obat penurun LDL jika target < 100 mg/dL
tidak dapat tercapai dengan TLC

TLC Features
TLC diet
Lemak jenuh < 7% dari kalori, kolesterol < 200 mg/hari
Konsumsi serat (10-20 g/hari)
Manajemen berat badan serta meningkatkan aktivitas fisik

Berikut adalah pilihan obat yang dapat diberikan :


Golongan Contoh Obat Efek Terapi Efek Samping Kontraindikasi
Simvastatin
HMG CoA Menurunkan Miopati,
Lovastatin, Penyakit liver
Reductase LDL dan meningkatkan
Pitavastatin, aktif dan kronis
Inhibitor trigliserida, enzim hati
Rosuvastatin
17

menaikkan
HDL
Menurunkan GI Upset
Colestipol
Resin Asam LDL, Konstipasi Trigliserida >
Coleselvam
Empedu menaikkan Menurunkan 400 mg/dL
Colestiramin
HDL absorbsi obat
Menurunkan Muka merah
LDL dan Hipoglikemi Penyakit liver
Asam Asam
trigliserida, Hiperurisemia kronis
Nikotinat Nikotinat
menaikkan Hepatotoksis Gout parah
HDL GI Upset
Menurunkan
Dispepsia
LDL dan Gangguan
Asam Gemfibrozil Batu empedu
trigliserida, ginjal dan hati
Fibrat Fenofibrat Miopati
menaikkan parah
HDL
Penurunan berat badan dapat digunakan orlistat, apabila target dengan
terapi non-farmakologi tidak mencapai penurunan 10% berat badan. Orlistat
memiliki efek samping feses berlemak dan dapat menggangu absorbsi vitamin,
siklosporin, dan levotiroksin.

1.9.3. Metabolisme dan Darah


Kondisi Tanda dan Gejala Obat Pilihan
Hirsutisme (tumbuh
Polycystic Ovary Klomifen Sitrat,
rambut), glukosa tinggi,
Syndrome (POS) Metformin
menstruasi tidak teratur.
Beta Blocker (Atenolol
Gugup, cemas, takikardi,
atau Propanolol)
tremor (gejala
Hipertiroid untuk gejala tremor,
tirotoksikosis), kelemahan
takikardi, dan cemas
otot, turun berat badan
(gejala tirotoksikosis);
18

agen antitiroid
(Propilthiourasil,
Methimazol, KI)
Kelemahan, bradikardi, Levotiroksin,
Hipotiroid
mudah mengantuk, goiter Liothironin
Nilai MCV besar, nilai
Anemia kadar B12 rendah, atau Sianokobalamin, Asam
Megaloblastik nilai kadar asam folat Folat
rendah.
- Agen imunosupres-an:
MP, Siklosporin
Kelemahan, perdarahan - Hemapoetic Growth
gusi, bengkak pada kaki, Factor : Filgastrim
Anemia Aplastik
serta nilai rendah pada - Agen antineoplastik :
retikulosit dan WBC. Fludarabin
- Kelator :
Deferoxamin
Anemia Defisiensi Nilai MCV rendah dan
Fe Sulfat, Fe Fumarat
Besi serum feritrin rendah.
Suplementasi kalsium
Sakit pada tulang tertentu, (kalsium karbonat,
penurunan tinggi badan, kalsium sitrat), first line
Osteoporosis perubahan struktur tubuh, (Asam Alendronat,
nilai T score di bawah Asam Risendronat),
2,5. alternatif (Raloksifen,
Asam Ibandronat)

1.9.4. Diabetes
Diabetes ditanda dengan gejala: polivagi (banyak makan), poliuria (banyak
buang air kecil), dan polidipsi (banyak minum). Diabetes digolongkan menjadi
dua tipe utama, yaitu tipe I dan tipe II.
19

Pada tipe I, pasien lebih cenderung memiliki berat badan rendah dan mengalami
ketoasidosis, sedangkan pada tipe II cenderung obesitas.
Berikut adalah target terapi dari diabetes mellitus :

Glycemic Control Algorithm Based on AACE 2015


20

Selain antidiabetika oral, dapat pula digunakan insulin seperti pada algoritma
pengobatan, khusus untuk DM tipe I, insulin dimulai sejak pasien didiagnosa
mengalami diabetes. Berikut adalah jenis insulin yang dapat digunakan :
Kerja Insulin Contoh Penggunaan
Humalog (insulin lispro),
5 15 menit
Rapid Acting NovoLog (insulin aspart),
sebelum makan
Apidra (insulin glulisine)
30 menit
Short Acting Humulin R, Novolin R
sebelum makan
Umumnya 1 x
Intermediate Humulin N, Novolin N
sehari
Umumnya 1 x
Lantus (insulin glargine),
Long Acting sehari di waktu
Levemir (insulin detemir)
yang sama
21

Algorithm For Adding/Intensifying Insulin

Profiles of Antidiabetic Medications


22

Diabetes Pada Kehamilan


Anak yang lahir dari ibu dengan pre-gestasional diabetes melitus (PGDM)
atau gestasional diabetes melitus (GDM) memiliki resiko yang meningkat untuk
mengalami slight gross and fine motor deficits. Anak-anak ini juga memiliki resiko
melambatnya kemampuan belajar dan dapat mengalami masalah hiperaktifitas
(ADHD). Sehingga penting untuk melakukan pengontrolan gula darah selama
masa kehamilan.
A. Insulin
DM tipe I harus dikontrol dengan baik melalui penggunaan insulin
sebelum merencanakan kehamilan. Human insulin adalah pilihan dalam
pengobatan ini. Seorang wanita yang kadar gulanya terkontrol dengan baik
menggunakan insulin lispro dan aspart tidak boleh diganti selama masa
kehamilan. Namun untuk long-acting analogs bagaimanapun harus dihentikan
dan diganti. Wantia hamil dengan DM tipe II atau GDM yang gula darahnya
tidak dapat terkontrol dengan baik melalui diet, harus mendapatkan terapi
insulin. Pada kasus kadar gula mencapai titik kritis dan fetal macrosomia, terapi
insulin harus di investigasi. Pada wanita hamil yang telah menggunakan
insulin, penggunaan dapat ditingkatkan. Untuk pengontrolan terapi, USG
terhadap perkembangan biometrika janin harus dilakukan. Penggunaan
glukokortikoid dan tokolitik harus dibatasi agar tidak terjadi toleransi
karbohidrat, disamping itu pengontrolan kondisi metabolik sangat disarankan
ketika obat ini diberikan.
B. Antidiabetes Oral (OAD)
Antidiabetes oral (OAD) bukanlah horman dan tidak bekerja seperti
halnya insulin, sehingga keduanya bukan merupakan produk yang dapat saling
disubstitusi. OAD secara primer digunakan pada penanganan DM tipe II.
Evidence-based end-point related positive effectiveness proofs on diabetes-specific late
complications are available for insulin, metformin and sulfonilurea preparations. OAD
sering digunakan selama kehamilan, khususnya pada penanganan GDM yang
disertai diet. Beberapa OAD yang lazim digunakan adalah sebagai berikut.
23

Turunan sulfonilurea menstimulasi sel -pankreas yang masih memiliki


fungsi, yang termasuk golongan ini adalah glibenclamide, gliclazide,
glimepiride dan gliquidone.
Metformin merupakan satu-satunya golongan biguanida yang ada di
pasaran. Obat ini bekerja dengan cara mencegah pembentukan glukosa di
hati, memperlambat penyerapan glukosa pada intestinal dan meningkatkan
ambilan glukosa pada otot.
Inhibitor -glukosidase, seperti akarbose dan miglitol, bekerja dengan cara
membatasi penyerapan karbohidrat pada intestinal.
Glinide, seperti nateglinide dan repaglinide merupakan regulator glukosa
postprandial, yang berkerja dengan cara menginduksi sekresi insulin (short-
term).
Modulator inkreatin, seperti vildagliptin, sitagliptin, dan saxagliptin bekerja
seperti hormon yang disekresikan di intestinal, yang ditujukan untuk
meningkatkan sekresi insulin yang diperlukan saat makan. Pada pasien
dengan diabetes, produksi inkreatin sangat minim jika dibandingkan
dengan orang sehat. Sitagliptin bekerja dengan memblok enzim yang
secara normal memecah inkreatin.
Glitazone, seperti pioglitazone dan rosiglitazone, disebut sebagai insulin
sensitizer, yang bekerja dengan cara meningkatkan sensitifitas sel periferal
terhadap insulin.
Exenatide dan liraglutide merupakan glucagon-like peptides (GLP-1)-receptor
antagonists, yang hanya digunakan secara subkutan dan hanya
dikombinasikan dengan OAD. Pada penelitian terhadap hewan uji,
keduanya menunjukkan adanya peningkatan toksisitas. The transplacental
transfer of exenatide was only minimal in a palcenta model. There is no experince
availiable during pregnancy.
1) Glibenclamide
Pada placenta model in vitro, glibencalmide (=glyburide) hanya
ditemukan dalam jumlah kecil pada fetus dan pada percobaan dengan
hewan uji, terbukti tidak teratogen. Demikian pula pada manusia, no
24

teratogenicity has been described. Newer case report and a retrospective analysis
terhadap 379 wanita hamil dengan pre-existing diabetes tidak menunjukkan
adanya peningkatan resiko terjadinya malformasi kongenital.
2) Metofrmin
Kontras dari glibenclamide, metformin tidak menstimulasi sekresi
insulin dan tidak menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Pada pasien
dengan kelebihan berat badan, pemberian obat yang dapat meningkatkan
sensitifitas insulin dan penurunkan kebutuhan insulin lebih diperlukan
daripada pemberian glibenclamide. Metformin adalah satu-satunya yang
diterima untuk DM tipe II, dan juga digunakan untuk GDM dan untuk
wanita dengan polycystic ovary syndrome (POS) dalam konteks fertility treatment.
3) Pioglitazone
Pioglitazone terbukti tidak toksik pada percobaan hewan namun
belum ada penelitian yang membuktikan keamanannya pada manusia.
Rekomendasi. Pasien dengan DM tipe II yang mendapat terapi OAD harus
diganti dengan insulin apabila merencanakan kehamilan, namun melanjutkan
penggunaan OAD masih dapat diterima. In any case, the use of any oral antidiabetic
drug does not justify a risk-grounded termination of the pregnancy. USG secara
mendetail pada trimester kedua harus dilakukan terutama pada wanita hamil
dengan DM tipe II. Should there be important grounds in individual cases againt insulin
therapy, metformin would be the most likely OAD to be considered.
C. Glukagon
Glukagon hormon polipeptida dengan 29 asam amino yang
disekresikan oleh sel -pankreas. Kerjanya berlawanan dengan insulin karena
menyebabkan peningkatan kadar gula darah dengan meningkatkan
glikogenolisis dan glukoneogenesis. Glukogon dapat diberikan selama
kehamilan pada trimester berapapun saat terdiagnosa terjadi hipoglikemi
parah dan glukosa intravena tidak dapat diberikan.
25

1.9.5. Asam Urat


Gout merupakan penyakit yang ditandai dengan kadar asam urat serum
lebih besar dari 6,8 atau 7,0 mg/dL. Pada manajemen terapi gout dan
hiperurisemia, tujuan terapinya adalah :
1. Mengurangi serangan akut.
2. Menghindari terjadinya serangan.
3. Menghindari komplikasi yang disebabkan oleh penumpukan kronis kristal
asam urat di jaringan.
Penggunaan obat pada terapi gout adalah untuk mendukung tercapainya tujuan
terapi. Kondisi inflamasi dapat di atasi dengan pemberian NSAID,
kortikosteroid, atau kolkisin, sedangkan untuk mencegah serangan gout dengan
mengatur kadar asam urat dalam darah agar tidak lebih dari 6,8 atau 7,0 mg/dL
dapat digunakan allopurinol, febuxostat, atau probenecid.
Kondisi Keterangan
First line yang digunakan adalah allopurinol
atau febuxosat. Apabila alergi terhadap
xanthine oxidase inhibitor (XOI) bisa
digunakan probenecid. Kombinasi XOI
Hiperurisemia
(allopurinol atau febuxosat) dan agen
urikosurik (probenesid) terkadang dibutuh-
kan. Penderita gagal ginjal harus mengatur
dosis allopurinol.
Harus di-assesment tingkat inflamasi dan
tingkat nyeri (nyeri digunakan visual analog
Inflamasi scale (VAS)). Dapat digunakan terapi
tunggal atau kombinasi. Obat pilihan antara
lain NSAID, kortikosteroid, dan kolkisin.

Terapi Antigout Pada Kehamilan


Probenecid dapat dikatakan sebagai obat pilihan untuk eliminasi asam
urat selama kehamilan. Allopurinol relatif dikontraindikasikan, walaupun belum
ada studi lebih lanjut yang membuktikan bahwa paparan allopurinol pada
26

trimester pertama dapat menyebabkan terminasi kehamilan. Pegloticase


sebaiknya tidak digunakan selama kehamilan karena minimnya informasi.
Hingga minggu ke-28, ibuprofen adalah obat pilihan pertama untuk penanganan
serangan gout saat kehamilan. Kortikosteroid intraartikuler atau sistemik dapat
diberikan pada trimester berapapun. Kolkisin hanya disarankan untuk digunakan
pada kondisi khusus. Penggunaan kolkisin jangka panjang diperlukan pada
kondisi kehamilan yang didiagnosa mengalami Familial Mediterranean Fever.

1.9.6. Manajemen Nyeri


Manajemen nyeri secara umum menggunakan WHO Pain Ladder. Berikut
adalah pembagian tingkat nyeri dan terapi yang digunakan :
Tingkat Nyeri Terapi
Parasetamol 650 mg, aspirin 500 mg,
ibuprofen 400 mg, atau NSAID bisa
Ringan (0 3)
ditambah NSAID lain, antidepresan
trisiklik, dan obat kejang
Sedang (4 6) Parasetamol 325 mg + opioid (kodein)
Morfin atau fentanil bisa ditambah NSAID
Berat (7 10)
lain, antidepresan trisiklik, dan obat kejang

Terapi Analgesik Pada Kehamilan


A. Analgesik
1) Parasetamol
Parasetamol adalah analgesik dan antipiretik yang menjadi pilihan
pertama selama kehamilan dan dalam digunakan pada trimester berapapun
saat diperlukan.
2) Asetosal
Aspirin bukanlah analgesik atau antiinflamasi yang menjadi pilihan
pertama selama kehamilan. Parasetamol lebih disarankan atau saat
antiinflamasi diperlukan, ibuprofen atau diklofenak dapat menjadi opsi
pertama untuk AINS pilihan. Aspirin dan AINS seharusnya tidak
digunakan secara rutin selama trimester terakhir. Penggunaan yang
27

berkepanjangan setelah minggu ke-28 dapat menyebabkan prematur closure


of the fetal ductus arterious. Aspirin dosis rendah dapat digunakan secara aman
tanpa adanya batasan selama memang diindikasikan.
B. Anti Inflamasi Non-Steroid
1) COX Non-Selective Inhibitor
Ibroprofen adalah analgesik yang menjadi pilihan kedua setelah
parasetamol dan antiinflamasi pilihan pertama hingga kehamilan mencapai
minggu ke-28. Penggunaan diklofenak juga memungkinkan. Setelah
kehamilan memasuki minggu ke-28, penggulangan dalam penggunaan
AINS harus dihindari. Jika digunakan selama trimester ketiga, maka ductal
flow dan amniotic fluid volume harus dipantau dengan USG.
2) COX-2 Selective Inhibitor
Inhibitor COX-2 selektif (celecoxib, etricoxib, dan parecoxib)
dikontraindikasikan selama kehamilan karena minimnya informasi dan
berpotensi memiliki efek pada janin terutama dalam proses pematangan
ginjal dan efek samping lain terkait AINS. Penggunaan inhibitor COX-2
selektif secara berkelanjutan dalam mencegah terjadinya pembuahan dan
harus dihindari selama fase periovulatory.
C. Pengobatan Migrain
1) Terapi Serangan Migrain
Metoklopramide direkomendasikan sebagai antiemetik yang aman
pada trimester berapapun. Untuk analgesik, gunakan parasetamol (3 x 1
g), parasetamol dan kodein, atau ibuprofen (3 x 800 mg) atau diklofenak
(2-3 x 50 mg) terbukti aman untuk digunakan pada serangan migrain. Sama
seperti parasetamol, penggunaan naproxen dan aspirin juga dapat diterima
bila dikombinasikan dengan kodein. Penggunaan AINS secara berulang
sebaiknya dihindari setelah minggu ke-28. Alkaloid ergot dikontraindikasi-
kan pada trimester berapapun.
2) Pencegahan Migrain
Selama kehamilan, pengobatan yang dapat diberikan untuk
mencegah terjadinya migrain adalah beta-bloker seperti metoprolol,
propanolol, atau saat sangat diperlukan dapat menggunakan bisoprolol.
28

Obat lain yang dapat diterima termasuk antidepresan trisiklik (amitriptilin,


nortriptilin). Antikonvulsan sebaiknya tidak diberikan selama kehamilan
untuk pencegahan migrain. Penggunaan obat-obat yang bekerja pada
sistem RAS (ACEi dan ARB) dikontraindikasikan, termasuk flunarizin,
agen CCB yang juga minim informasi.

1.9.7. Epilepsi
First Line Menurut Alternatif Menurut UK
Jenis Epilepsi
UK Guideline Guideline
Levetiracetam,
Partial Seizure Karbamazepin,
Oxkarbazepin, Asam
(Diagnosis Baru) Lamotrigin
Valproat
Partial Seizure Lamotrigin,
(Refractory Oxcarbazepin, -
Monotherapy) Topiramat
Karbamazepin,
Klobazam, Gabapentin, Lacosamid,
Partial Seizure Lamotrigin, Fenobarbital, Fenitoin,
(Refractory Adjunct) Levetiracetam, Pregabalin, Tiagabin,
Oxcarbazepin, Asam Vigabatrin, Zonisamid
Valproat, Topiramat
Etoksusimid, Klobazam, Klonazepam,
Generalized Seizure
Lamotrigin, Asam Levetiracetam,
Absence
Valproat Topiramat, Zonisamid
Asam Valproat,
Klobazam,
Primary General Lamotrigin,
Levetiracetam,
(Tonic-Clonic) Karbamazepin,
Topiramat
Oxkarbazepin
Etoksusimid, Klobazam, Klonazepam,
Juvenile Myoclonic
Lamotrigin, Asam Levetiracetam,
Epilepsy
Valproat Topiramat, Zonisamid
29

Terapi Antiepilepsi Pada Kehamilan


Tidak ada satupun wanita hamil yang seharusnya mendapat pengobatan
antiepilepsi tanpa adanya alasan yang jelas. Pada kasus untuk indikasi berupa
kondisi neurologik non-epileptik atau psikiatrik, penggunaan antiepilepsi
harus dihindari, terkecuali lamotrigine yang mungkin dapat ditoleransi.
Valproic Acid (VPA) harus dihindari pada masa-masa produktif. Kecuali
pengobatan epilepsi gagal dengan pengobatan lain.
Monoterapi lebih disarankan, penggunaan beberapa obat antiepilepsi
beresiko terhadap perkembangan embrio, walaupun pada beberapa penelitian
menunjukkan bahwa VPA merupakan faktor resiko utama.
Selama masa organogenesis, dosis pengobatan harus serendah mungkin yang
masih bisa digunakan. Jika VPA harus diberikan, dosis harus dibagi dalam 2-
4 dosis per hari.
Jika antieplepsi yang diresepkan adalah yang memiliki klirens tinggi, maka
penentuan kadar obat bebas harus ditentukan minimal sekali pada tiap
trimester. Peningkatan klirens selama kehamilan terutama terjadi pada
lamotrigine dan levetiractam. Selain itu juga dapat terjadi pada ozcarbazepine,
phenytoin dan carbamazepin walau peningkatannya lebih rendah.
Pada kasus idiopatik, kejang umum, lamotrigine is the best tolerated drug by
embryo/fetus, although VPA is more effective. Untuk focal epilepsy, carbamazepine
seefektif VPA tapi dengan resiko yang lebih rendah.

1.9.8. Ansietas
Berdasarkan Panduan Canadian Network for Mood and Anxiety Treatments
GAD PhD PTSD OCD PaD
SSRI,
st *
SSRI,
SSRI, SSRI,
1 Line SNRI , SSRI, TCA

RIMA TCA SNRI
Buspirone
SNRI, SNRI,
2nd Line TCA SNRI TCA
MAOi SARI
30

BDZ, BZD, D2-


3rd Line / BDZ,
BDZ BDZ Divalproexm Bloker,
Adjunct MAOi
Clonidine Gabapentin
Keterangan: GAD = Generalized Anxiety Disorder, MAOi = Monoamine Oxidase Inhibitor,
OCD = Obssesive-Compulsive Disorder, PTSD = Post-Traumatic Stress Disorder, RIMA =
Reversible Inhibitor of Monoamine Oxidase, SARI = Serotonin Antagonis/Reuptake Inhibitor,
SNRI = Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitor, SSRI = Selective Serotonin Reuptake
Inhibitor, TCA = Tricyclic Antidepressant
(*) First Line = Level 1 Evidence/Tolerated Based on Mixed Age Studies
() Beberapa bukti pada pasien dengan usia > 65 tahun
() Direkomendasikan pada orang dewasa yang lebih muda, penggunaan pada pasien
dengan usia > 65 tahun umumnya dibatasi oleh adanya efek samping

Terapi Antidepresan Pada Kehamilan


Faktor primer yang menjadi dasar pemilihan antidepresan selama kehamilan
adalah riwayat pengobatan yang dijalani. The drug to which she has responded, or
ideally remitted (recovered fully to functional status prior to depressive episode), serta
memiliki efek samping yang dapat diterima akan menjadi pilihan pertama.
Pemilihan obat dengan respon dan efek samping yang belum jelas pada pasien
harus dipertimbangkan secara hati-hati.
Terapi non-farmakologi seperti psikoterapi, berjemur, akupuntur, dan
transcranial magnetic stimulation dapat dilakukan selama kehamilan.
Antidepresan selectives serotonin-reuptake-inhibitors (SSRI) adalah
antidepresan yang paling sering digunakan dalam terapi farmakologi untuk
ganggunan depresi mayor, karena memiliki toksisitas yang rendah walau
dalam kondisi overdosis. SSRI are among the most comprehensively studied group of
medication taken by pregnant women.
The serotonin-noreponephrine reuaptake inhibitors (SNRI) have been included with the
group of SSRI medications as wel as separately for pregnancy exposure studies.
Tricyclic antidepresan (TCA) are less well studied than SSRI; namun TCA berguna
untuk wanita yang tidak responsif terhadap SSRI atau terganggu dengan efek
samping. Semua antidepresan memiliki efek yang mirip untuk depresi.
31

Salah satu keuntungan TCA adalah kadar serum berkaitan dengan respon,
sehingga berguna dalam proses evaluasi pasien. Pemantauan kadar serum juga
memberikan keuntungan yakni dapat dengan segera mengetahui perubahan
farmakokinetika selama kehamilan yang mungkin akan membutuhkan
penyesuaian dosis untuk mempertahanan efikasi.
Buspropion, suatu dopamin-norepinephrine reuptake inhibitors telah diuji
pada wanita hamil dan juga telah disetujui oleh FDA sebagai tambahan terapi
untuk menghentikan kebiasaan merokok.
Mengoptimalkan dosis obat tunggal harus diutamakan sebelum menambah-
kan obat lainnya.
A. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI)
Termasuk dalam golongan ini adalah fluoxetine, sertaline, paroxetine,
citalopram, escitalopram (isomer aktif dari citalopram) dan fluvoxamine.
Bekerja secara selektif dalam menghambat reuptake serotonin dari celah
sinaps. SSRI memiliki efek antikolinergik yang lebih rendah apabila
dibandingkan dengan TCA. Semua SSRI dapat menembus sawar plasenta,
dengan citalopram adalah yang terbesar diikuti dengan fluoxetine. Sedangkan
yang terendah adalah sertaline, diikuti dengan paroxetine.
B. Tri- dan Tetracyclic Antidepressant
Meta-analisis menunjukkan bahwa SSRI lebih memiliki efikasi dan
lebih dapat ditoleransi apabila dibandingkan dengan TCA. However SSRIs were
not as effective in treating inpatient and amitriptyline was more effective than SSRI
comparators. SSRI lebih tidak toksik pada kondisi overdosis apabila
dibandingkan dengan TCA. TCA bekerja dengan cara memblok reuptake
neurotransmiter (noradrenalin dan serotonin) pada saraf adrenergik.
Prototype dari TCA adalah imipramine. Similar medications are clomipramine,
dibenzepin and lofepramine. Obat yang spesifik memiliki efek stimulasi pada
sebagian pasien seperti desipramine (metabolit imipramine), nortriptyline
(metabolit amitriptyline) dan trimipramine (secara kimia mirip imipramine).
Obat tipikal lainnya memiliki efek sedatif seperti amitriptyline, dosuleprine,
32

doxepin dan opopramol yang memiliki karakter seperti antidepresan dan


antipsikotik.
C. Beberapa Rekomendasi Obat
1) Amitiptyline
Amitiptyline adalah obat golongan TCA yang sering digunakan
untuk efek sedasi, namun sebenarnya obat ini memiliki efek antikolinergik
yang dapat menyebabkan konstipasi dan hipertensi ortostatik terutama
pada wanita hamil di bulan-bulan akhir. There is no eveidence of teratogenic effects.
2) Buspirone
Disebut pula amfebutamone, merupakan antidepresan atipikal yang
berkerja dengan cara menghambat reuptake noradrenaline dan sedikit
dopamin. Diindikasikan untuk menghentikan kebiasaan merokok.
Penelitian terhadap lebih dari 700 wanita hamil pada trimester pertama
yang mendapatkan terapi buspiron tidak menunjukkan adanya
peningkatan resiko malformasi. Namun penelitian lebih lanjut terhadap
buspiron khususnya pada trimester kedua menunjukkan peningkatkan
resiko terjadinya kondisi hiperaktif pada anak.
3) Citalopram
Sama seperti SSRI lainnya, resiko malformasi tidak dilaporkan pada
penggunaan citaprolam. Pada studi cohort retrospektif, membuktikan
bahwa SSRI tidak terkait dengan malformasi, namun dalam analsisi secara
tunggal penggunaan citaprolam terkait dengan neural tube defects.
4) Clomipiramine
Clomipiramine adalah antidepresan TCA yang unik karena memiliki
efek serotonergik substansial dan menjadi pilihan pertama dalam
penanganan obsessive compulsive disorder. Efek serotonergik substansial dan
efek samping antikolinergik menyebabkan obat ini menjadi pilihan kedua
pada terapi kebanyakan pasien.
5) Duloxetine
Dulocetine adalah agen SNRI yang diindikasikan pada penanganan
depresi dan gangguan ansietas, nyeri neuropatik, diabetic peropheral
neurophaty, nyeri muskuoskeletal, hingga fibromyalgia. Berdasarkan
33

analisis database dari FDA Adverse Events Reporting System (AERS),


there was no disproportionate elevation of adverse pregnancy outcomes includinh
congenital anomalies, miscarriage, ectopic pregnancy and stillbirth in patients treated
with duloxetine.
6) Fluoxetine
Fluoxetine adalah SSRI dengan aktivitas stimulasi pada sebagian
pasien. Obat ini digunakan pada penanganan depresi, obsessive-compulsive
dan gangguan panik serta premenstrual dysphoric disorder.
7) Sertaline
Merupakan SSRI pilihan pertama yang dapat digunakan selama
kehamilan karena lebih dapat ditoleransi dan minim interaksi dengan
pengobatan lainnya.

1.9.9. Asma
Pada kondisi asma, pasien harus sering dikontrol. Kontrol dapat
menggunakan spirometri dan memantau frekuensi serangan asma. Berikut
adalah tahapan dalam terapi asma dan rekomendasi yang diberikan.
34

Obat yang digunakan dalam terapi asma adalah sebagai berikut :


Obat Keterangan
LABA (Long Acting Beta-2 Agonis) : Digunakan rutin dalam
Salmeterol, Formoterol pengobatan asma
SABA (Short Acting Beta-2 Agonis) : Digunakan apabila merasa akan
salbutamol (Albuterol) sesak
Harus ada mekanisme tappring.
Apabila digunakan secara inhalasi
Kortikosteroid
harus kumur untuk menghindari
jamur di mulut
Sebaiknya digunakan di jam yang
Teofilin sama dan waspada terhadap obat
induser maupun inhibitor enzim
Keterangan: obat adrenergik seperti albuterol dan formoterol serta kortikosteroid
inhalasi seperti budesonide menjadi pilihan dalam manajemen asma jangka panjang pada
wanita hamil (Global Initiative for Asthma 2012)

1.9.10. Osteroarthritis
Pedoman tatalaksana osteoarthritis merujuk pada American Pain Society Guidelines.
35

1.9.11. Infeksi dan Penggunaan Antibiotika


Dalam memilih antibiotika, hendaknya memperhatikan dua faktor yaitu
faktor antibiotika dan faktor pasien. Faktor antibiotika seperti dosis, rute, bentuk
obat, penetrasi ke tempat infeksi, lama terapi, frekuensi, hingga harga. Sedangkan
faktor pasien seperti adanya penyakit penyerta, alergi, ataupun kehamilan. Faktor
terbatasnya penetrasi ke tempat infeksi seperti pada meningitis, osteomyelitis,
protatitis, infeksi kandung empedu membatasi antibiotika yang dapat dipilih.
Sehingga perlu benar-benar dipikirkan antibiotik yang dapat menembus infeksi
di daerah tersebut.
Penetrasi Antibiotika
Chloramphenicol, Metronidazole, Rifampicin, Cotrimoxazole
(Sangat Baik)
Penicillin dan Turunannya, Gol Carbapenem, Cefepime,
CNS Cefotaxim, Ceftazidim, Ceftizoxim, Ceftriaxone, Cefuroxim,
Ciprofloxacin, Ofloxacin (Baik)
Aminoglikosida, Azithromycin, Clarithomycin, Clindamycin,
Erithromycin, Vancomycin (Kurang Buruk)
Tulang Cefazolin (Sangat Baik)
Prostat Cotrimoxazole, Fluoroquinolon
Sumber: Optimizing the Dose of Fluconazole (Dutcher, 2008) dalam Praktik Farmasi Klinik
(Widyati, 2015).

A. Tatalaksana Beberapa Penyakit Infeksi


Infeksi Tatalaksana
Asimptomatis Do NOT treat (promote relaps)
Ringan-Sedang Metronidazole 500 tid
Colistridium difficile
Berat Vamcomycin 125 qid
Infection (CDI)
Berat+Komplikasi Metronidazole + Vancomycin
Lama Terapi 10-14 Hari
Campylobacter sp Azithromycin 500 qd
Diare
Lama Terapi 1 3 Hari
36

E.coli (enterotoksigenk,
enteropatogenik,
enteroinvasif) atau terapi Ciprofloxacin 500 bid
empirik untuk travelers
diarrhea
Lama Terapi 1 3 Hari
Ciprofloxacin 500 bid
Salmonella sp (non-typhoid) TMP/SMX 160/800 bid
Ceftriaxone 1 g (iv)
Lama Terapi 5 7 Hari; 14 Hari untuk Pasien
Immunocompromised
TMP/SMX 160/800 bid
Shigella sp
Ciprofloxacin 500 bid
Lama Terapi 3 Hari; 7 Hari untuk Pasien
Immunocompromised
TMP/SMX 160/800 bid
Yersinia sp Ciprofloxacin 500 bid
Doxycycline 100 bid
Lama Terapi 3 Hari; 3 5 Hari unutk TMP/SMX
Metonidazole 750 tid
Entamoeba histolytica
Tinidazole 1 g bid
Setiap pasien harus menerima terapi tambahan berupa
Paromomycin 500 tid selama 7 hari
Lama Terapi 5 10 Hari untuk Metronidazole dan 3
Hari untuk Tinidazole
Lini Pertama
Amoxicillin 1 g +Clarithomycin 500
+ Pantoprazole 40 (bid)
Helicobacter pylori Kasus Baru
Alergi Penicillin
Clarithomycin 500 + Metronidazole
500 + Pantoprazole 40 (bid)
37

atau
Tetracycline 500 (qid) +
Metronidazole 500 (tid) + Bismuth
Subsalicylate 525 (qid) +
Pantoprazole 40 (bid)
Lama Terapi 10 14 Hari
Sebisa mungkin hindari antibiotik
yang sudah pernah digunakan
Tetracycline 500 (qid) +
Kambuhan
Metronidazole 500 (tid) + Bismuth
Subsalicylate 525 (qid) +
Pantoprazole 40 (bid)
Lama Terapi 14 Hari
H-2 RA dapat digunakan untuk menggantikan PPI
Trichomoniasis Metronidazole 2 g qd
Lama Terapi 7 Hari
Trichomonas vaginalis Metronidazole 500 bid
Tatalaksana Empiris PPOK
Doxycycline 100 bid Lama Terapi 5 Hari
Eksaserbasi PPOK
Azithromycin 500 qd Lama Terapi 3 Hari
M.catarrhalis
Co-amoxiclav 875 bid Lama Terapi 5 Hari
S.penumoniae
Cefpodoxime 200 bid Lama Terapi 5 Hari
Cefdinir 300 bid Lama Terapi 5 Hari
Standar
Selulitis Co-amoxiclav 875 bid
Streptococcus Cephalexin 500 qid Lama Terapi 5 7 Hari
Staphylococcus Alergi Penicillin
Clindamycin 300 tid
Clotrimazole 10 Troche (5x)
Kasus Baru
Candidiasis Nystatin 100.000 U/mL Suspensi qid
Orofaring Kambuhan Fluconazole 100-200 qd
Lama Terapi 5 10 Hari
38

Fluconazole 150 qd
Candida vaginitis
Miconazole 2% Krim (intravaginal) (7x)
Ciprofloxacin tidak direkomendasikan untuk
penanganan empiris
Nitrofurantoin 100 bid Lama Terapi 5 Hari
Urinary Tract Cephalexin 500 qid Lama Terapi 5 Hari
Infections (UTI) Cefpodoxime 100 bid Lama Terapi 5 Hari
Acute Cystitis Cefdinir 300 bid Lama Terapi 5 Hari
TMP/SMX DS tab bid Lama Terapi 3 Hari
Pada pasien dengan komplikasi, lama terapi
diperpanjang menjadi 7 14 Hari
Standar (Lama Terapi 5 7 Hari)
Ciprofloxacin 15 mg/kg
Ofloxacin 15 mg/kg
Cefixime 15-20 mg/kg (7 14 Hari)
Ringan Alternatif (Lama Terapi 14 21 Hari)
Chloramphenicol 50-75 mg/kg
Amoxicillin 75-100 mg/kg
Cotrimoxazole 8-40 mg/kg
Azithromycin 8-10 mg/kg (7 Hari)
Demam Typhoid
Standar (Lama Terapi 10 14 Hari)
Ciprofloxacin 15 mg/kg
Ofloxacin 15 mg/kg
Cefixime 15-20 mg/kg
Berat Alternatif (Lama Terapi 14 21 Hari)
Chloramphenicol 100 mg/kg
Amoxicillin 100 mg/kg
Cotrimoxazole 8-40 mg/kg
Cefotaxime 80 mg/kg (10 14 Hari)
Singaktan nama obat; H=Isoniazid; R=Rifampicin;
Tuberculosis
Z=Pyrazinamide; E=Ethambutol; S=Streptomycin
39

2 Bulan Pertama
Sputum Smear
HRZE (qd)
Kasus Baru pada bulan kedua
4 Bulan Lanjutan
dan kelima
HR (3 hari sekali)
2 Bulan Pertama
HRZES Sputum Smear
1 Bulan Lanjutan pada bulan
Kambuhan
HRZE ketiga, kelima
5 Bulan Terakhir dan kedelapan
HRE
Grup 1 (Injeksi)
Streptomycin 15-20 mg/kg
Amikacin 15-20 mg/kg
Capreomycin 15-20 mg/kg
Resistensi
Kanamycin 15-20 mg/kg
MDR-XDR
Grup 2 (FluorQ)
Ofloxacin 750-1000 mg qd
Levofloxacin 750-1000 mg qd
Moxifloxacin 400 mg qd
Sumber: Antibiotic Guidelines 2015-2016 (Cosgrove et al, 2015); Guidelines for the Management
of Typhoid Fever (WHO, 2011); Tuberculosis Treatment and Management (Zumla et
al, 2015)

B. Ringkasan Penggunaan Antiviral, Antimikroba, dan Antijamur


Berdasarkan Teratogen Information System (TERIS) Estimasi Resiko
oleh FDA
Obat TERIS Risk FDA Risk Rating
Topical: undetermined
Asiklovir B
Sistemik: unlikely
Amoxicillin Unlikely B
Ampicillin None B
Azithromycin Undetermined B
Cefixime Undetermined B
40

Chloramphenicol Unlikely C
Chloroquine None to minimal C
Ciprofloxacin Unlikely C
Claritomycin Undetermined C
Clindamycin Undetermined B
Clortimazole Unlikely B
Erythromycin None B
Fluconazole Undetermined C
Gentamicin Undetermined C
Griseofulvin Undetermined C
Ketokonazole Undetermined C
Metronidazole None B
Norfloxacin Unlikely C
Nystatin None C
Penicillin None B
Pyrazinamide Undetermined C
Quinine Moderate D
Spiramycin Undetermined C
Terconazole Undetermined C
Tetracycline Unlikely D
Trimethroprim Minimal C
Valacyclovir Undetermined B
Vancomycin Undetermined C
Zidovudine Unlikely C
Sumber: Drugs and Pregnancy: A Handbook (Little, 2006)

C. Pemilihan Antimikroba pada Kehamilan


Obat atau Golongan
Rekomendasi
Obat
Penicillin dan Inhibitor - Penicillin merupakan kelompok obat yang
Lactamase menjadi pilihan selama kehamilan. Jika
41

terindikasi adanya resistensi, penicllin dalam


dikombinasikan dengan asam klavulanat,
sulbaktam atau tazobaktam.
Sama seperti penicillin, cephalosporin
merupakan antibiotik yang dapat menjadi
Cephalosporin pilihan selama kehamilan, jika mungkin,
gunakan cephalosporin yang telah lazim
khususnya cefalor, cefalexin, dan cefuroxim.
Azetronam, imipenem dan meropemen dapat
Carbapenem dan
digunakan ketika hasil tes resistensi menun-
Monobactam
jukkan bahwa antimikroba ini diperlukan.
Erithromycin, clarithomycin, azithromycin
dan roxithromycin dapat digunakan misalnya
dalam kasus resistensi atau ketika pasien
Erithromycin dan alergi terhadap golongan penicillin. Karena
Makrolida Lain hepatotoksik, erithromycin estolate sebaiknya
tidak diberikan selama trimester kedua dan
ketiga. Spiramycin adalah pilihan terapi untuk
toksoplasmolisis pada trimester pertama.
Clindamycin dan lincomycin hanya diberikan
Clindamycin dan ketika penicillin, cephalosporin, dan makro-
Lincomycin lida tidak berhasil. Clindamycin tidak boleh
digunakan secara rutin pasca dental procedures.
Tetracycline dikontraindikasikan setelah
Tetracycline
memasuki minggu kelima kehamilan.
Sulfonamida, trimetoprim dan cotrimoxazole
Sulfonamida dan
adalah antibiotik yang menjadi pilihan kedua
Trimetoprim
selama kehamilan.
Antibiotik quinolon adalah antibiotik pilihan
Quinolone kedua selama kehamilan khususnya untuk
norflaxacin dan ciproflaxacin.
42

Penggunaan chloramphenicol dan tiampheni-


Chloramphenicol dan
col secara sistemik dikontraindikasikan pada
Tiamphenicol
wanita hamil.
Streptomycin dikontraindikasikan selama
Streptomycin
kehamilan karena bersifat ototoksik.
Sumber: Drugs During Pregnancy and Lactation (Schaefer et al, 2015)
D. Kombinasi Antibiotika
Kombinasi antibiotika diberikan pada penderita: neutropenic fever,
penumonia, sepsis, infeksi saluran cerna, dan infeksi polimikrobial lain.
Kombinasi antibiotika umumnya bertujuan untuk:
1) Memperluas cakupan antibiotik
Contoh:
Ceftriaxone + Metronidazole akan memperluas cakupan yakni aerob
Gram positif sedikit dan aerob Gram negatif luas serta anaerob Gram
positif dan Gram negatif
2) Memperkuat daya bunuh terhadap bakteri tertentu
Contoh:
Ceftazidime + Amikacin akan memperkuat daya bunuh bakteri aerob
Gram negaitf. Kombinasi ini seringkali digunakan pada penumonia
nosokomial, sepsis, neutropenic fever
3) Sinergisme
Contoh:
Cefalosporin yang bekerja mengahmbat sintesis dinding bakteri bila
dikombinasikan dengan quinolon yang menghambat sintesis DNA bakteri
menghasilkan daya bunuh yang masksimal.
4) Menekan resistensi antbiotik
E. Kegagalan Antibiotika
Kegagalan antibiotika disebabkan antara beberapa hal seperti
pemilihan antibiotika yang kurang tepat, penetrasi antibiotika kurang baik ke
tempat infeksi, bakteri telah resisten, dosis dan lama terapi kurang tepat,
kondisi imun yang kurang baik, adanya penyakit penyerta seperti DM yang
tidak terkontrol dengan baik atau sudah mengalami peripheral vascular diseases
43

yang berakibat distribusi antibiotik ke tempat infeksi kurang baik, serta


superinfeksi
F. Penambahan Kortikosteroid kepada Antibiotika
Penambahan kortikosteroid tidak direkomendasikan khususnya pada
sepsis, infeksi berat lainnya, dan infeksi pada immunocompromised. Hal ini
disebabkan karena kortikosteroid dapat menurunkan demam sehingga
menutupi tanda-tanda infeksi (masking infection sign). Di sisi lain, kehadiran
kortikosteroid yang juga merupakan immunosupresan dapat memperparah
infeksi dengan melemahkan sistem imun. Selain itu pemberian kortikosteroid
dapat menyebabkan leukositosis palsu (bukan infeksi) sehingga mempersulit
interpretasi progresifitas infeksi.

1.9.12. Terapi Infeksi HIV


Europenan AIDS Clinical Society (EACS) Guidelines for the Clinical
Management and Treatment of HIV-infected Adults
44

Penatalaksanaan Infeksi HIV dengan Regimen yang Direkomendasikan


Regimen yang Disarankan Keterbatasan
Tidak dapat digunakan
pada trimester pertama
NNRTI Efavirenz + Tenofovir +
kehamilan
based Emtricitabine
Not in women without
adequate contraception
Darunavir + Ritonavir +
Ruam
Tenofovir + Emtricitabine
Jangan gunakan bersama
Atazanavir + Ritonavir +
PI based PPI
Tenofovir + Emtricitabine
Ruam
Reltegnavir + Ritonavir +
Twice daily (not once)
Tenofovir + Emtrivitabine
Regimen Alternatif Keterbatasan
Efavirenz + (Abacavir atau Efikasi turun pada kondisi
Zidovudine) + Lamivudine viral load tinggi (Abacavir)
Tidak bisa untuk pasien
gangguan hati sedang
Nevirapine + Zidovudine + berat
PI based Lamivudine Wanita dengan CD4 >
250 atau pria dengan
CD4 > 450
Atazanavir-Ritonavir +
(Abacavir atau Zidovudine) Lihat diatas
+ Lamivudine
Regimen atau Komponen yang Sebaiknya tidak Digunakan
Regiman atau Komponen Alasan
Semua regimen NRTI Efikasi rendah
Abacavir +Diadanosine + Tenofovir Data tidak memadai
45

Dapat menyebabkan fat loss


Stavudine Neuropati perifer
Asidosis laktat
Ritonavir Intoleransi GI
Keterangan: NRTI = Nucleoside Reverse Transciptase Inhibitors, NNRTI = Non
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors, PI = Protease Inhibitors

Karakter Farmakologi Beberapa Obat Antiretroviral


Obat Efek Samping
Nucleoside Reverse Transciptase Inhibitors (NRTI)
Abacavir Hipersensitivitas
Didanosine Neuropati perifer, pankeatitis
Emtricitabine Pigmentasi
Lamivudine Sakit kepala, pankreatitis
Stavudine Lipoatropi, neuropati perifer
Tenofovir Tokisisitas ginjal
Zidovudine Anemia, neutropenia, miopati
Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI)
Delavirdine Ruam, peningkatan hasil tes hati
Efavirenz Gangguan SSP, teratogen
Etravirine Ruam, mual
Nevirapine Potensial ruam, hepatoksik
Protease Inhibitors (PI)
Atazanavir Ruam
Indinavir Nefrolitiasis
Lopinavir Hiperlipidemia, intoleransi GI
Ritonavir Intoleransi GI
Saquinavir Mual, kembung
Nelfinavir Diare
Sumber: Guidelines for the Use of Antiretroviral Agents in HIV-Infected Adult and
Adolscents (DHHS, 2009)
46

Terapi Antiretroviral Pada Kehamilan


Tujuan dari terapi antiretroviral (ARV) selama kehamilan adalah untuk
mencegah terjadinya transmisi vertikal dari ibu kepada anak dan juga untuk
mengoptimalkan pengobatan yang diterima ibu. Obat ARV dapat digunakan
selama kehamilan. Spesific risks for the prophylaxis of transmission and the therapy of
maternal HIV infection need to be observed. Pemilihan dan pemberian obat di waktu
yang tepat harus diputuskan berdasarkan pasien. Saat memilih obat, harus
ditandai bahwa terdapat beberapa ARV yang perlu dihindari selama kehamilan.
Salah satunya adalah efavirenz (memiliki efek teratogenik) dan kombinasi
stavudin/didanosine (asidosis laktat). Untuk pengobatan baru seperti
maraviroc, reltegravir, dan etravirine hanya terdapat beberapa data yang
memungkinkan obat ini dapat digunakan selama kehamilan. Perhatian harus
diberikan pada nevirapine yang digunakan pada wanita dengan jumlah sel CD4
< 250 (hepatoksisitas). Jika nevirapine digunakan selama kehamilan,
pemantauan fungsi hati harus dilakukan, terutama selama 18 minggu pertama
pengobatan.

1.9.13. Jerawat (Acne Vulgaris)


Patogenesis terjadinya jerawat terdiri dari empat tahap utama, yakni (1)
peningkatan kreatinisasi folikular, (2) peningkatan produksi sebum, (3) lipolisis
trigliserida sebum menjadi asam lemak oleh bakteri, dan (4) inflamasi. Jerawat
diawali dengan proses pematangan kelenjar adrenal dan produksi hormon
androgen serta aktivitas kelenjar sebaceous. Untuk penanganan jerawat ringan
hingga sedang dengan noninflammatory lesions (komedo), few inflammatory lesion,
dan no scar, agen aktif adalah pilihan pertama yang bekerja dengan cara melawan
keratinisasi dengan memproduksi eksfolasi, contohnya seperti retinoid, asam
salisilat, dan benzoil peroksida.
Dalam penanganan jerawat sedang hingga parah dengan predominantly
inflammatory lesions (papul, pustul dan nodul) dan some scars, penting untuk
mengontrol populasi bakteri pada folikel. Pilihannya dapat menggunakan
benzoil peroksida, antibiotik topikal (seperti clindamycin, tunggal atau
kombinasi dengan benzoil peroksida dan antibiotik oral seperti erythromycin,
47

tetracycline, atau minocycline). Sedangkan untuk penanganan jerawat parah


dimana terjadi inflamasi (papul, pustul) dan muncul nodul-nodul besar,
penggunaan obat yang dapat menurunkan aktifitas kelenjar sebaceous seperti
agen antiandrogen, isotreonin atau antibiotik topikal dapat menjadi pilihan.
Patogenesis Jerawat dan Mekanisme Kerja Obat Antijerawat

1.9.14. Beberapa Pengobatan yang Mempengaruhi Laktasi


Pengobatan dengan obat yang memiliki efek antidopamine seperti
phenothiazine, haloperidol, dan nuroleptik lainnya seperti sulpiride dan
risperidone, selain itu antihipertensi seperti metildopa dan pengobatan yang
menstimulasi peristaltik usus seperti domperidon dan metoclopramide dapat
menyebabkan peningkatan sekresi prolaktin yang menstimulasi produksi air
susu. Selain itu obat dengan kerja simpatikolitik seperti reserpin memiliki efek
serupa. Beberapa obat yang diketahui dapat menyebabkan masalah selama
periode menyusui antara lain:
A. Antineoplastik
B. Radionuklida
C. Terapi kombinasi dengan psikotropik atau antiepilepsi
48

D. Iodine-containing contrast media, iodine-containing expectorants, and broad-based iodine-


containing disinfectants (Iodine memiliki rasio Milk/Plasma sebesar 15-65,
sehingga sebagian besar obat dapat berada dalam air susu)
E. Opioid if more than single doses up to 2 days
Penanganan nyeri pada post-partum sering kali menjadi tantangan.
Codein telah umum digunakan karena merupakan pilihan yang aman. Namun
ada wanita yang dapat dengan cepat memetabolisme codein menjadi morfin
tetapi ada pula yang lambat. Pada pasien yang memetabolisme codein secara
lambat, penggunaan codein tidak memberikan keuntungan. Keamanan
penggunaan codein pada saat menyusui tergantung pemahaman sang ibu dalam
menangani obat tersebut karena depresi SSP yang mengancam jiwa dapat
terjadi pada bayi yang menyusui karena bayi pada usia 2 hingga 6 bulan sangat
lambat dalam memetabolisme morfin. Sehingga direkomendasikan untuk
membatasi penggunaan codein maksimal 4 hari. Lakukan pemantauan secara
seksama terhadap tanda dan gejala depresi SSP yang dapat terjadi pada bayi.

1.9.15. Menstruation-Related Disorder


Gangguan terkait menstruasi umumnya dapat dikelompokkan menjadi
beberapa kondisi, seperti amenorrhea, menorrhagia, anovulatory bleeding, dysmenorrhea,
premenstrual syndrome (PMS), dan premenstrual dysphoric disorder (PMDD). Ovarium
memiliki fungsi kritis dalam proses menstruasi. Ovarium harus mampu
merespon kerja follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH)
dengan mensekresi estrogen dan progesteron dalam jumlah yang sesuai untuk
mempengaruhi perkembangan dan penebalan endometrium.
49

A. Amenorrhea
Amenorrhea dapat dibedakan menjadi amenorrhea primer dan
sekunder. Amenorrhea primer merupakan kondisi tidak terjadinya mens
hingga usia 16 tahun (dengan perkembangan yang normal dari ciri seks
sekunder) atau tidak mens hingga usia 14 tahun (dengan tidak terjadinya
perkembangan ciri seks sekunder). Sedangkan amenorrhea sekunder
merupakan kondisi tidak terjadinya mens hingga tiga siklus atau 6 bulan
sejak mens terakhir kali.
B. Menorrhagia
Didefinisikan sebagai kondisi dimana menstrual blood loss lebih dari 80
mL per siklus.
C. Anovulatory Bleeding
Merupakan terminologi standar untuk mendeskripsikan perdarahan
endometrium akibat disfungsi dari menstrual system, namun tidak termasuk
perubahan anatomis uterus.
D. Dysmenorrhea
Merupakan salah satu kondisi yang paling umum terjadi dengan
kondisi nyeri serta kram pada panggul selama mens.
E. PMS dan PMDD
PMS is a constellation of symptoms including mild mood disturbances and
physical symptoms occuring prior to menses and resolving with menses initiation. It is
distinct from PMDD.

Therapeutic Agents for Selected Menstrual Disordes


Kondisi Therapeutic Agent Keterangan
ES: tromboemboli,
CEE
Amenorrhea (Primer mual, GI upset, udem
atau Sekunder) Etinil Estradiol Seperti CEE
Kombinasi OC Seperti CEE
Amenorrhea ES: edema, weight gain or loss,
Oral MPA
(Sekunder) LDL naik dan HDL turun
50

Norethindrone Berikan selama 7-10 Hari


Progesteron Berikan selama 7-10 Hari
Amenorrhea terkait Bromocriptine ES: hipotensi, konstipasi
Hiperprolaktin Cabegroline Seperti Bromocriptine
Anovulatory Bleeding Kombinasi OC Seperti CEE
Kombinasi OC Seperti CEE
Depo MPA Seperti Oral MPA
ES: irregular mens,
Levonorgestrel
amenorrhea
Dysmenorrhea
Diclofenac, Ibuprofen,
AINS Asam Mefenamat,
Naproxen
Celexoib -
Kombinasi OC Seperti CEE
Levonorgestrel Lihat Levonogestrel
Oral MPA Lihat Oral MPA
Menorrhagia
ANIS Lihat AINS
Berikan selama 4-7 Hari
Asam Traneksamat
ES: diare, kembung
ES: mulut kering, vertigo
Clomipramine
keringatan
Seperti Kombinasi OC
Drospirenone
hiperkalemia
ES: sakit kepala, keringat
PMDD Leuprolide
malam, hot flashes
Citalopram, Escitalopram,
Fluoxetine, Sertaline,
SSRI
Fluvoxamine, Paroxetine
ES: insomia, diare
Depo MPA Seperti Oral MPA
PCO
Kombinasi OC Seperti CEE
51

Oral MPA Lihat Oral MPA


Metformin ES: diare, flatulen
Pioglitazone, Rosiglitazone
ES: weight gain, LDL, HDL,
Thiazolidinedione
total kolesterol naik, udem,
sakit kepala
Keterangan: CEE = Conjugate Equine Estrogen, IUD = Intrautrine Device, MPA =
Medroxy Progesterone Acetate, OC = Oral Contraceptive, Bromocriptine dan
Cabergoline adalah Agonis Dopamin
Norethindone atau dikenal juga sebagai norethisterone merupakan bentuk
sintetis dari progesteron. Norethindrone dapat digunakan untuk mengatasi
menstruasi yang tidak teratur atau dapat pula digunakan untuk menunda
mens.
Kontrasepsi oral kombinasi (estrogen-progesteron) dapat menyebabkan
gangguan kardiovaskuler (meningkatnya curah jantung) akibat kerja obat ini
yang dapat mempengaruhi metabolisme dalam tubuh, seperti metabolisme
lemak dan karbohidrat. Progesteron diketahui lebih dominan mempunyai
efek dalam metabolisme karbohidrat yakni menyababkan gangguan
penggunaan glukosa di dalam tubuh. Sedangkan estrogen dapat
meningkatkan kolesterol total, trigliserida, HDL, dan LDL.

1.9.16. Vaksin
Vaksin Kegunaan Diberikan Pada
Bayi < 3 bulan, jika > 3 tahun, lakukan
BCG Tuberkulosis uji tuberkulin, jika hasil positif, jangan
diberikan.
Diberikan sebanyak 5 kali pada usia:
Difteri
2-4-6-18 bulan-(4-6) tahun atau
DPT Pertusis
2-3-4-18 bulan-SD kelas 1
Tetanus
Dapat diulang 10 tahun sekali
52

Campak Bayi usia 9 bulan dan diulang pada


Campak
(Virus Morbili) umur 2 tahun dan pada saat masuk SD
Bayi usia 12-15 bulan, jika hingga usia
13 tahun ke atas (belum mengalami
Cacar Air
Cacar Air cacar atau belum mendapat vaksin)
(Varicella zoster)
harus diberikan dua dosis dengan
interval sekurang-kurangnya 28 hari
Bayi mendapat 3 dosis vaksin
Dosis pertama: Saat lahir sebelum usia
Hepatitis B Hepatitis B 12 jam
Dosis kedua: Saat usia 1-2 bulan
Dosis ketiga: Saat usia 6-12 bulan
Meningitis
Diberikan 3 atau 4 dosis pada usia 2, 4,
Pneumonia
Hib 6 bulan dan diulang pada umur 12-15
(Haemophilus
bulan
influenzae B)
Diberikan tiap tahun pada usia 6 bulan
Influenza Flu
sampai 8 tahun
Meales
(Campak) Diberikan dalam 2 dosis vaksin
Mumps Dosis pertama: Usia 12-15 bulan
MMR
(Gondongan) Dosis kedua: Usia 4-6 tahun (atau lebih
Rubella cepat)
(Campak Jerman)
Pneumonia
Sepsis
Pneumokokus Otitis Media Diberikan secara rutin pada bayi usia 2,
Konjugasi Meningitis 4, 6 dan 12-15 bulan
(Streptococcus
pneumoniae)
53

Diberikan 4 dosis vaksin dengan jadwal


sebagai berikut, dosis pertama saat
Polio Polio lahir, dilanjutkan pada usia 2, 4, 6 bulan
Vaksin polio diulang pada usia 18 bulan
dan pada 4-6 tahun
Jadwal pemberian vaksin rabies pra-
paparan adalah dalam 3 dosis
Dosis satu: Bila dibutuhkan
Rabies Rabies
Dosis dua: 7 hari setelah dosis satu
Dosis tiga: 21 hari atau 28 hari setelah
dosis satu
Diberikan 2 atau 3 dosis
Vaksin diberikan pada usia 2, 4, (dan 6
Rotavirus Diare
bulan bila 3 dosis) dengan cara dimi-
num bukan disuntik
Wisatawan yang akan pergi ke wilayah
endemik tifoid (satu suntikan 2 minggu
Demam Tifoid
Tifoid sebelum berangkat)
(Salmonella typhi)
Dosis booster dapat diberikan setiap 3
tahun sekali
Sumber: Informasi Vaksin Untuk Orang Tua (IDAI, 2014)

1.9.17. Penggunaan Dekongestan pada Pasien dengan Hipertensi


Terapi utama dalam penanganan common cold umumnya meliputi istirahat,
mengonsumsi cukup air, humidification for expectorian and avoidance of others to
minimize viral transmission. Namun, banyak diantara obat-obat over-the-counter
mengandung dekongestan sebagai agen farmakologi pilihan pada penanganan
common cold. Dekongestan merupakan agen simpatomimetik yang secara mayor
bekerja pada reseptor -adrenergik dengan sedikit pada reseptor -adrenergik.
Aktivitas sebagai agonis menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh darah
yang ada pada saluran nafas, reducing edema, nasal congestion, and tissue hyperemia,
and increasing nasal patency.
54

agonis agonis FGA / H1RA SGA / H2RA


Pse Phe Nap Oxy Tet Chl Cle Dip Aze Cet Fex Lor Des
RC RC C C RC RC - - - - - - -
Keterangan: RC = Relatively Contraindicated
C = Contraindicated
FGA= First Generation Antihistamine
SGA= Second Generation Antihistamine
Pse = Pseudoephendrine
Phe = Phenylephrine
Nap = Naphazoline
Oxy = Oxymetazoline
Tet = Tetrahydrazoline
Chl = Chlorpheniramine
Dip = Diphenhydramine
Aze = Azelastine
Cet = Cetirizine
Fex = Fexofenadine
Lor = Loratadine
Des = Desloratdine
BAGIAN II
PHARMACEUTICAL SCIENCE

2.1. Sediaan Farmasi


2.1.1. Biofarmasetika
Pada pembuatan obat, harus diperhatikan kelas penggolangan obat
menurut BCS. Berikut adalah kelas pembagian obat berdasarkan BCS :
Kelas BCS Rate Limiting Step Solusi
Menambahkan bahan
I (kelarutan besar,
Kecepatan disolusi untuk mempercepat
permeabilitas tinggi)
disolusi
Menambahkan bahan
II (kelarutan kecil, yang dapat
Kelarutan senyawa
pemeabilitas tinggi) meningkatkan
kelarutan senyawa
Menambahkan
III (kelarutan tinggi, Permeabilitas
permeability enhancer
permeabilitas rendah) senyawa
pada formulasi
Tidak diketahui (tidak
IV (kelarutan rendah,
ada hubungan antara -
permeabilitas rendah)
in vitro dan in vivo)

2.1.2. Padat/Solid
Sediaan padat contohnya adalah serbuk, granul, tablet, dan kapsul. Pada
sediaan padat apabila ingin dibuat tablet harus memperhatikan bentuk partikel,
ukuran partikel, dan sifat kimia, sehingga dapat ditentukan cara pembuatan
tablet.
Metode Keterangan
Senyawa aktif tahan air dan panas, sifat
Granulasi Basah
alir jelek, dilakukan pembuatan massa

55
56

dengan pengikat, dikeringkan lalu


diayak.
Senyawa aktif tidak tahan panas dan air,
sifat alir jelek, dilakukan kempa dengan
Granulasi Kering
bahan pengisi lalu dihancurkan dan
diayak.
Senyawa aktif tidak tahan panas dan air,
Kempa Langsung
sifat alir baik.

Pada pembuatan kapsul, harus diperhatikan sifat alir campuran karena


berpengaruh pada keseragaman bobot saat pengisian kapsul. Analisis bahan
sediaan padat dapat berupa penetapan bulk density dan sudut diam. Dalam kontrol
kualitas sediaan padat dapat dilakukan keseragaman bobot, keseragaman kadar,
dan uji disolusi. Untuk uji stabilitas dapat dilakukan menurut ICH.

A. Eksipien Formulasi Tablet


Komposisi tablet umumnya terdiri atas zat aktif dan eksipien (ada
sejumlah tablet yang dapat dibuat tanpa eksipien). Eksipien tablet antara lain:
1. Pengisi
Turunan Selulosa (Avicel PH-MCC)
PH-101 = untuk kempa langsung dan granulasi basah
PH-102 = untuk meningkatkan sifat alir
PH-103 = baik untuk zat aktif peka kelambaban
Amilum
2. Pengikat
Povidon K-29/32, Kopovilidon, Gelatin dan Gom Alam
3. Penghancur (desintegran/super desintegran)
Croscarmellose, Crospovidon, Amprotab, Primogel, Ac-disol
4. Pelincir (lubrikan)
Magnesium Stearat
5. Anti lengket (antiadheran)
Talk
57

6. Pelicin (glidants)
Silikon Dioksida
7. Pembasah (weting/surface active agents)
8. Zat warna (colour/pigments)
9. Peningkat rasa (flavors)
10.Pemanis
11.Penutup rasa
Pemilihan eksipien pada formulasi tablet tergantung pada zat aktif,
tipe tablet, karakteristik yang dibutuhkan, dan proses manufaktur yang akan
diaplikasikan.

B. Evaluasi Mutu Tablet


Evaluasi mutu tablet meliputi evaluasi bentuk dan ukuran, kekerasan
tablet, friabilitas, friksibilitas, keseragaman bobot, keseragaman kandungan,
waktu hancur, dan disolusi.
Uji Disolusi
Lazimnya menggunakan 2 tipe apparatus untuk uji sediaan padat, yaitu
apparatus tipe I (basket/keranjang) dan apparatus tipe II (paddle/dayung),
dasar pemilihan apparatus umumnya merujuk pada kompendial.
Kriteria Penerimaan Untuk Uji Disolusi
Tahap Sampel Uji Kriteria Penerimaan
S1 6 Tiap unit tidak kurang dari Q+5%
Rata-rata dari 12 unit (S1+S2) adalah sama
S2 Ditambah 6 dengan atau lebih dari Q dan tidak boleh
ada satupun unit yang kurang dari Q-15%
Rata-rata dari 24 unit (S1+S2+S3) adalah
sama dengan atau lebih dari Q dan tidak
S3 Ditambah 12 lebih dari 2 unit yang kurang dari Q-15%
serta tidak boleh ada satupun unit yang
kurang dari Q-25%
58

C. Masalah dan Solusi Terkait Pembuatan Sediaan Padat


1. Lengket pada Cetakan
Kondisi : melekat pada die dan sulit dikeluarkan, bunyi keras pada mesin,
sisi tablet menjadi kasar
Solusi : meningkatkan antiadheren dan lubrikan, penggantian lubrikan
2. Sticking dan Picking
Kondisi : permukaan tablet terlihat ada goresan, bentuk tablet berlekuk-
lekuk
Solusi : menurunkan ukuran granul, mengganti lubrikan, bersihkan
dan salut permukaan punch dengan minyak mineral
3. Capping
Kondisi : bagian atas tablet terpisah dari bagian utamanya
Solusi : tambahkan pengikat kering, regranulasi, menurunkan jumlah
lubrikan
4. Chipping/Cracking
Kondisi : tablet rusak di bagian tepi
Solusi : poles permukaan punch dan die, perkecil ukuran granul, tam-
bahkan pengikat kering, kurangi jumlah fines

2.1.3. Semipadat
Sediaan semipadat contohnya adalah salep, krim, dan gel. Pada
pembuatan sediaan semipadat, harus memperhatikan sifat hidrofilisitas dan
stabilitas senyawa aktif, sehingga dapat ditentukan cara pembuatan sediaan
semipadat. Apabila dalam pencampuran krim dengan salep harus digunakan
surfaktan agar tidak terjadi pemisahan fase. Pemilihan emulgator dalam
pembuatan krim sangat diperlukan dengan menghitung nilai HLB yang
diperlukan. Umumnya senyawa yang hidrofob dibuat sediaan salep dan krim
emulsi o/w serta senyawa hidrofil dibuat sediaan gel atau krim emulsi w/o.
Dalam kontrol kualitas sediaan semipadat dapat dilakukan keseragaman bobot,
keseragaman kadar, uji pelepasan obat, uji daya lekat, dan uji penyebaran. Untuk
uji stabilitas dapat dilakukan menurut ICH.
59

2.1.4. Cair/Liquid
Sediaan cair contohnya adalah larutan, suspensi, dan emulsi. Pada
pembuatan sediaan cair, harus memperhatikan polaritas, stabilitas, dan kelarutan
senyawa aktif, sehingga dapat ditentukan cara pembuatan sediaan cair. Sediaan
cair dapat dibedakan menjadi dua, yaitu steril dan nonsteril. Pada pembuatan
sediaan steril, stabilitas senyawa aktif harus diperhatikan karena akan memilih
metode sterilisasi atau pembuatan sediaan steril. Pada larutan, senyawa aktif
harus melarut pada medium dispersi. Pada suspensi, senyawa aktif harus
terdispersi pada medium dispersi. Pada sediaan emulsi, senyawa aktif harus dapat
berpartisi pada medium dispersi. Dalam pembuatan sediaan cair, metode
peningkatan kelarutan senyawa (solubilisasi) dapat dilakukan dengan
pengubahan pH larutan, penambahan surfaktan, atau menambahkan kosolven
agar mudah melarut. Dalam pembuatan suspensi, bahan tambahan dapat berupa
agen flokulasi (pencegah penempelan partikel dengan tolakan muatan listrik) dan
thickening agent (menambah kekentalan medium dispersi agar partikel tidak mudah
mengendap). Dalam pembuatan emulsi, harus diperhatikan emulgator yang
digunakan serta nilai HLB yang akan digunakan. Sediaan emulsi dan suspensi
harus dikocok dahulu dalam penggunaan agar penyebaran senyawa aktif merata.
Sediaan emulsi dan suspensi disarankan tidak disimpan dalam lemari pendingin
karena dapat mengubah penyebaran partikel dan pemisahan fase emulsi. Dalam
kontrol kualitas sediaan semipadat dapat dilakukan keseragaman volume dan
keseragaman kadar. Untuk uji stabilitas dapat dilakukan menurut ICH.

2.1.5. Gas/Aerosol
Sediaan gas contohnya adalah aerosol dan spray. Pada pembuatan
sediaan gas, harus memperhatikan volatilitas senyawa aktif, jenis propelan, dan
kompatibilitas senyawa aktif dengan propelan, sehingga dapat ditentukan cara
pembuatan sediaan gas. Sediaan gas harus disimpan jauh dari api agar tidak
meledak.
60

2.1.6. Perhitungan Tonisitas Sediaan Injeksi


Perhitungan tonisitas dapat digunakan 2 metode, yakni metode ekuivalensi
NaCl dan metode penurunan titik beku (Tf).
A. Metode Ekuivalensi NaCl
Didefinisikan sebagai suatu faktor yang dikonversikan terhadap sejumlah
tertentu zat terlarut terhadap jumlah NaCl yang memberikan efek osmotik
yang sama. Misalnya ekivalensi NaCl asam borat 0,55 berarti 1 g asam borat
di dalam larutan memberikan jumlah partikel yang sama dengan 0,55 g NaCl.
Metode Wells
L = dan E = 17
Keterangan: L = turunnya titik beku molal
I = turunnya titik beku akibat zat terlarut
C= konsentrasi molal zat terlarut
E= ekuivalensi NaCl
M= berat molekul zat

Metode Liso
Dapat digunakan untuk menentukan nilai E dan Tf

E = 17 dan Tf =

Keterangan: E = ekuvalensi NaCl


Liso= harga tetapan (non elektrolit 1.86, elektrolit lemah 2.0,
univalen 3.4
M = berat molekul zat
Tf= penurunan titik beku
m = berat zat terlarut (g)
V = volume larutan (mL)

B. Metode Penurunan Titik Beku


Metode I
,
W=
Keterangan: W = jumlah (g) bahan pembantu isotonis dalam 100 mL larutan
61

a = turunanya titik beku air akibat zat terlarut, dihitung dengan


memperbanyak nilai untuk larutan 1% b/v
b = turunnya titik beku air yang dihasilkan oleh 1% b/v bahan
pembantu isotonis
Jika konsentrasi tidak dinyatakan, maka a = 0

Metode II

Tb =

Keterangan: Tb = turunnya titik beku larutan teradap pelarut murninya


K= turunnya titik beku pelarut dalam molar (konstanta
krioskopik air 1,86 yang menunjukkan turunnya titik beku
1 mol zat terlarut dalam 1000 g cairan)
m = zat yang ditimbang
n = jumlah ion
M = berat molekul zat terlarut
L = massa pelarut (g)

Contoh Perhitungan Tonisitas


R/Ranitidin HCl 27,9 mg
Na2HPO4 anhidrat 0,98 mg
KH2PO4 1,5 mg
Aqua Pro Inj ad 1 mL
Metode Ekuivalensi NaCl
A. Penentuan nilai Ex%
Ranitidin HCl 27,9 mg/mL = 2,79 g/100 mL
= 2,79% 3%, maka E3% = 0,16
!
Na2HPO4 anhidrat 0,98 mg/mL = ( 0,98)
!
&,&'
=( 0,98)
( ,&'

= 1,1 mg/mL
= 0,11 g/100 mL
= 0,11% 0,5%, maka E0,5% = 0,44
62

KH2PO4 = 1,5 mg/mL = 0,15 g/100 mL


= 0,15% 0,5%, maka E0,5% = 0,48
Zat E Kesetaraan NaCl
Ranitidin HCl 0,16 0,4464
Na2HPO4 0,44 0,0484
KH2PO4 0,48 0,0720

B. Perhitungan jumlah NaCl yang ditambahkan


NaCl yang ditambahkan agar isotonis adalah:
NaCl = 0,9 (0,4464 + 0,0484 + 00720)
= 0,3332 g/100 mL
= 3,3 mg/mL

Metode Penurunan Titik Beku (Tf)

Zat *,%+ C (%) C *,%


+
Ranitidin HCl 0,1 2,79 0,279
Na2HPO4 0,24 0,11 0,0264
KH2PO4 0,25 0,15 0,0375
Jumlah 0,3429 0,34

Tf isotonis = 0,52
Agar isotonis, maka Tf menjadi = 0,52 0,34
= 0,18
, .
Setara dengan NaCl =
,
0,9%

= 0,31 g/100 mL
= 3,1 mg/mL
Jadi NaCl yang ditambahkan agar larutan menjadi isotonis adalah 3,1 mg/mL
63

2.2. Uji Stabilitas


Kondisi Penyimpanan Selama Uji Stabilitas Menurut ICH
Kondisi Lama Waktu
Jenis Kondisi
Penyimpanan Uji
Long term 25C/60% RH 12 bulan
Suhu Kamar Intermediate* 30C/65% RH 6 bulan
Accelerated 40C/70% RH 6 bulan
Long term 5C/Ambient 12 bulan
Lemari Pendingin
Accelerated 25C/60% RH 6 bulan
Freezer Long term -20C/Ambient 12 bulan
Keterangan:
Suhu Chamber diatur terkontrol 2C, dan kelembaban relatif diatur terkontrol
5%
(*) Pengujian dilakukan jika terdapat perubahan signifikan pada suhu
40C/70% RH

Suatu data hasil pengujian stabilitas dipercepat dikatakan berubah secara signifikan
jika memenuhi beberapa kriteria dibawah ini.
Perubahan signifikan ditetapkan atas dasar jika tidak
Zat Aktif
terpenuhinya spesifikasi yang seharusnya
1. Terjadi perubahan potensi sebesar 5% dari nilai awal
2. Produk degradasi ditemukan dalam jumlah yang melebihi
batasan penerimaan
3. Tidak memenuhi kriteria penerimaan dalam uji
Sediaan Obat
penampilan dan fisik sediaan (seperti warna, pemisahan
fase, caking, dan lain-lain)
4. pH melebihi kriteria penerimaan
5. Disolusi melebihi kriteria penerimaan untuk 12 sampel uji

Pengujian dipercepat (accelerated) umumnya digunakan untuk memprediksi tanggal


kadaluwarsa guna kepentingan registrasi, sedangkan uji jangka panjang (long term)
dimaksudkan untuk menentukan shelf-life sesungguhnya dari sediaan.
64

2.3. Farmasi Industri


2.3.1. Kualifikasi dan Validasi
Kualifikasi merupakan proses pembuktian secara tertulis berdasarkan data
yang menunjukkan kelayakan suatu peralatan, fasilitas, sistem penunjuang sesuai
dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Tahapan kualifikasi ada empat, yaitu :
a. Kualifikasi Desain
b. Kualifikasi Instalasi
c. Kualifikasi Operasional
d. Kualifikasi Kinerja
Validasi merupakan tindakan pembuktian dengan cara yang sesuai bahwa
tiap bahan, prosedur, kegiatan, sistem, perlengkapan, atau mekanisme yang
digunakan dalam produksi dan pengawasan akan senantiasa mencapai hasil yang
diharapkan. Validasi yang dikenal adalah validasi metode analisis, validasi proses,
dan validasi pembersihan. Kualifikasi dilakukan sebelum validasi.
A. Validasi Proses
Tindakan pembuktian yang di dokumentasikan bahwa proses yang
dilakukan dalam batas parameter yang ditetapkan dapat bekerja secara efektif
dan memberi hasil yang dapat terulang untuk menghasilkan produk jadi yang
memenuhi spesifikasi dan atribut mutu yang ditetapkan sebelumnya. Validasi
proses dapat dibedakan atas validasi prospektif, konkuren dan retrospektif.
1) Validasi Prospektif
Validasi yang dilakukan sebelum pelaksanaan produksi rutin dari produk
yang akan dipasarkan.
2) Validasi Konkuren
Validasi yang dilakukan pada saat pembuatan rutin produk untuk dijual
3) Validasi Retrospektif
Validasi dari suatu proses untuk suatu produk yang telah dipasarkan
berdasarkan akumulasi data produksi, pengujian, dan pengendalian bets.
B. Validasi Metode Analisis
Tindakan pembuktian bahwa semua metode tetap yang digunakan
sesuai dengan tujuan penggunaannya dan selalu memberikan hasil yang dapat
dipercaya. Validasi metode analisis umumnya dilakukan terhadap empat jenis,
65

yaitu uji identifikasi, uji kuantitatif kandungan impuritas, uji batas impuritas,
dan uji kuantitatif zat aktif dalam sampel bahan aktif obat atau obat atau
komponen tertentu dalam obat.
Pengujian Impuritas Penetapan Kadar
Parameter
Identifikasi - Disolusi
Validasi Kuantitaitf Batas
- Kandungan
Akurasi - + - +
Presisi
Ripitabilitas - + - +
Presisi Int - + - +3
Spesifisitas1 + + + +
LOD - -2 + -
LOQ - + - -
Linearitas - + - +
Rentang - + - +
(-) Tidak dipersyaratkan
(+) Dipersyaratkan
(1) Kekurangan spesifisitas dari salah satu prosedur analisis dapat
dikompensasikan dengan prosedur analisis yang lain yang dapat
menunjang
(2) Hanya dilakukan pada kasus tertentu
(3) Dalam hal telah dilakukan tes reprodusibilitas, maka presisi intermediet
tidak dipersyaratkan

C. Validasi Pembersihan
Tindakan pembuktian bahwa prosedur yang telah ditetapkan untuk
membersihkan suatu peralatan pengolahan, hingga pengemasan primer
mampu membersihkan sisa bahan aktif obat dan zat pembersih yang
digunakan untuk proses pencucian dan juga dapat mengendalikan cemaran
mikroba pada tingkat yang dapat diterima. Metode pembersihan meliputi
metode apus (swab), metode pembilasan terakhir (rinse), dan metode dengan
plasebo.
66

2.3.2. Klasifikasi Kebersihan Ruang Pembuatan Obat


Nonoperasional Operasional
Kelas Jumlah maksimum partikel/m3 yang diperbolehkan
0,5 m 5 m 0,5 m 5 m
A 3.520 20 3.520 20
B 3.520 29 3.520 20
C 352.000 2.900 3.520.000 29.000
D 3.520.000 29.000 - -
E 3.520.000 29.000 - -

2.3.3. Rekomendasi dalam Pembuatan Sediaan


Kelas Sebutan Suhu (C) Humiditas (%) Keterangan
- Pengelolaan dan
pengisian aseptis
A Under LAF 16-25 45-55 - Pengisian salep
mata, bubuk dan
suspensi steril
- Lingkungan latar
belakang kelas A
B Steril 16-25 45-55 dan untuk
pengolahan dan
pengisian aseptis
- Pembuatan larutan
bila ada resiko
C Steril 16-25 45-55
- Pengisian produk
non-aseptis
- Pembuatan obat
D Bersih 20-27 40-60 steril dengan
sterilisasi akhir
- Ruang pengolahan
E Umum 20-27 Maks 70
dan pengemasan
67

primer obat non-


steril, pembuatan
salep kecuali salep
mata
- Pengolahan bahan
E Khusus 20-27 Maks 40 higroskopis (e.g
Effervescent)

2.4. Konsep Kimia Dasar


2.4.1. Kesetaraan Mol
Kesetaraan mol sering digunakan dalam penggantian bahan baku dari
suatu bahan yang setara. Misalnya dalam membuat tablet atorvastatin, tetapi kita
mendapat bahan baku atorvastatin kalsium dari supplier. Apabila BM atorvastatin
adalah 559 dan atorvastatin kalsium adalah 599. Hitung berapa mg setara
atorvastatin kalsium terhadap 10 mg atorvastatin.
Konsep mol terkait BM:
!
mol =

karena senyawanya mirip bisa digunakan konsep mol. Jadi :


mol atorvastatin = mol atorvastatin kalsium
! !
=
/
=
& &&
&&
X = x 10
'&
X = 10,53 mg
Jadi, 10 mg atorvastatin setara dengan 10,53 mg atorvastatin kalsium.

2.4.2. Pengenceran
Praktek pengenceran sering ditemukan pada praktek sehari-hari pada
pelayanan kefarmasian, misalnya dalam pembuatan alkohol cuci atau
68

mengencerkan bahan obat tertentu. Prinsip pengenceran adalah kesetaraan


jumlah molekul atau jumlah bobot senyawa dalam larutan.
Bagaimana cara pembuatan alkohol 70% dengan volume 1,5 liter dari alkohol
95%?
Konsep pengenceran :
volume awal x konsentrasi awal = volume akhir x konsentrasi akhir
Atau,
V1 x C 1 = V2 x C 2
95% x X = 70% x 1,5 L
X = (70/95) x 1,5 L
X = 1,1 L
Jadi, ambil 1,1 liter alkohol 95 % lalu ditambahkan akuades sampai 1,5 liter.

2.5. Kimia Analisis Konvensional


Analisis kimia konvensional menggunakan alat analisis sederhana seperti
volumetri dan gravimetri. Berikut adalah beberapa metode yang sering digunakan.
Metode Prinsip Keterangan
Umumnya pada analisis
Perbedaan bobot tetap saat
Gravimetri kadar abu dan susut
ditimbang
pengeringan
Reaksi asam basa yang
Analisis asam dan basa
Titrasi Bebas Air dapat diganggu oleh adanya
lemah
air
Reaksi diazotasi
Analisis nitrit dan senyawa
Nitrimetri menimbulkan perubahan
turunan sulfanilamid
warna
Reaksi kompleks antara
Analisis logam valensi 2
Kompleksometri EDTA sehingga
dan 3
menimbulkan warna
69

Analisis serimetri (Ce),


Titrasi Redoks Reaksi redoks dalam larutan permanganometri, iodo-
iodimetri
Kelarutan senyawa hasil
Titrasi Analisis argentometri
reaksi yang mudah
Pengendapan untuk kadar NaCl
mengendap
Reaksi asam basa yang tidak Analisis basa dan asam
Asidi-alkalimetri
diganggu air kuat

2.6. Kimia Analisis Instrumental


Analisis kimia instrumental menggunakan alat analisis berupa instrumen
seperti spektrofotometri, kromatografi, dan elektroforesis. Berikut adalah
beberapa metode yang sering digunakan :
Metode Prinsip Keterangan
Penyerapan spektrum
Spektrofotometri UV-
Spektrofotometri gelombang cahaya oleh
Visibel, IR
senyawa dalam larutan
Dapat digunakan fase
normal (fase gerak
Pemisahan berdasarkan
Kromatografi nonpolar dan fase diam
polaritas senyawa dan
Lapis Tipis polar) atau fase terbalik
ikatan pada fase gerak
(fase gerak polar dan fase
diam nonpolar)
Apabila senyawa yang
akan dianalisis susah
Pemisahan berdasarkan
Kromatografi menguap dilakukan
perbedaan titik didih dan
Gas derivatisasi menggunakan
volatilitas senyawa
senyawa tertentu agar
mudah menguap
70

Dapat digunakan fase


normal (fase gerak
Pemisahan berdasarkan
nonpolar dan fase diam
KCKT (HPLC) polaritas senyawa dan
polar) atau fase terbalik
ikatan pada fase gerak
(fase gerak polar dan fase
diam nonpolar)
Pemisahan berdasarkan Biasanya digunakan pada
Elektroforesis muatan listrik senyawa dan analisis asam amino dan
ukuran molekul protein

Perhitungan dalam Analisis Instrumental


Contoh 1
Lima larutan baku obat X (Mr = 288,4 g/mol) diukur absorbansinya pada
spektrofotometer-UV dengan panjang gelombang maksimum 285 nm terhadap
blanko etanol. Hasil pengujiannya dapat dilihat pada tabel berikut.
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
2,5 0,140
5 0,281
7,5 0,421
10 0,562
12,5 0,697

%
Tentukan nilai 0 1 dan absorptivitas molar (2) dari obat X pada panjang
gelombang 285 nm !
Jawab:
Penentuan nilai 3,%
, 45

Misalnya digunakan larutan baku dengan konsentrasi 10 ppm


10 ppm = 0,001 g/100 mL
= 0,001% b/v
%
Karena a = 0 1 67 (dengan a = absorbansi; b = tebal kuvet; c = konsentrasi)
Maka,
%
0,562 = 0 1 10,001
%
0 1 = 562
71

Penentuan nilai 8
%
Dengan merujuk pada persamaan yang sama, yakni a = 0 1 67, nilai 2 dapat
ditentukan, namun konsentrasi harus dibuat dalam satuan molar bukan %b/v,
sehingga:
10 ppm = 10 mg/L = 0,01 g/L
, 9/
Karena M = n V dan n = , maka M =
..,( 9/ ;
Molar
,
Dengan persamaan a = 267, maka 0,562 = 2 1, sehingga
..,(

2 = 16208,08 16208

Contoh 2
Sebanyak 100 mg sampel yang mengandung parasetamol dilarutkan dalam etanol
hingga 100 mL. Setelah itu diambil 10 mL dan diencerkan hingga 100 mL pada
labu takar. Larutan tersebut kemudian diukur serapannya pada spektrofotometer
dan diperoleh A = 0,465. Berapakah kadar parasetamol tersebut jika diketahui
persamaan kurva bakunya adalah y = 0,013x + 0,096?
Jawab:
y = 0,013x + 0,096
0,465 = 0,013x + 0,096
x = 28,38 ppm = 28,38 mg/L
< ! = >! ?< 9< 1< ;@ < A B<;
% Kadar = A B<;
100%
.,C. 9/ ,
% Kadar = 100%
9

% Kadar = 28,38%

Contoh 3
Sebanyak 500 mg sampel yang mengandung vitamin C dilarutkan dalam 250 mL
pelarut yang sesuai sehingga diperoleh larutan stok 2000 ppm. Setelah itu
dilakukan pengenceran bertingkat dengan pengenceran pertama dilakukan dengan
mengambil 2 mL dan diencerkan hingga 100 mL, setelah itu 25 mL dari hasil
pengenceran pertama diencerkan kembali hingga 100 mL pada labu takar. Larutan
tersebut kemudian diukur serapannya pada spektrofotometer dan diperoleh A =
72

0,506. Berapakah kadar vitamin C tersebut jika diketahui persamaan kurva


bakunya adalah y = 0,0379x 0,0312?
Jawab:
y = 0,0379x 0,0312
0,506 = 0,0379x 0,0312
x = 14,17 ppm
< ! = >! ?< 9< 1< ;@ < A B<;
% Kadar = 100%
A B<;
(, D 9/ ,
% Kadar = 100%
9

% Kadar = 56,68%
BAGIAN III
ETIKA DAN PRAKTEK KEFARMASIAN

3.1. Praktek Apoteker


Setelah menyelesaikan pendidikan Apoteker, apoteker baru akan
mendapatkan STRA (Surat Tanda Registrasi Apoteker), bukti sumpah Apoteker,
sertifikat kompetensi Apoteker, dan ijazah Apoteker. Apabila apoteker baru akan
praktek di luar kota kelulusan maka harus mengurus surat lolos butuh. Apoteker
yang akan berpraktek dipelayanan maupun fasilitas produksi harus mengurus
SIPA (Surat Izin Praktek Apoteker).
Keterangan:
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 889 Tahun 2011 Tentang Registrasi,
Izin Praktek dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian
A. STRA dikeluarkan oleh Komite Farmasi Nasional (KFN) sedangakan
STRTTK dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
B. Pedoman Penyelenggaraan Uji Kompetensi dikeluarkan oleh KFN
C. Sertifikat Kompetensi Apoteker dikeluarkan oleh IAI setempat
D. SIPA dan SIPTTK dikeluarkan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Syarat pembuatan SIPA adalah melampirkan legalisir STRA dan rekomendasi
IAI setempat.
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 31 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas
Permenkes Nomor 889 Tahun 2011 Tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin
Kerja Tenaga Kefarmasian
A. SIPA adalah Surat Izin Praktek Apoteker yang berlaku untuk apoteker
dipelayanan maupun fasilitas produksi.
B. SIPA bagi apoteker di fasilitas kefarmasian hanya diberikan untuk 1 tempat
fasilitas kefarmasian.
C. SIPA bagi apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian dapat diberikan untuk paling
banyak 3 tempat fasilitas pelayanan kefarmasian.

73
74

3.2. Aturan Hukum Terkait Lainnya


1. PP Nomor 20 Tahun 1962 Tentang Lafal Sumpah Janji Apotker
2. Kepmenkes RI Nomor 1332 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Permenkes
RI Nomor 922 Tahun 1993 Tentang Izin Apotek
Permohonan surat izin apotek (SIA) ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
Terdapat 4 golongan psikotropika, dimana golongan I hanya dapat digunakan untuk
tujuan ilmu pengetahuan
4. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Terdapat 3 golongan, dimana golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
6. PP Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian
Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian atau penyaluran obat,
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional
Mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau
obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien
Industri farmasi harus memiliki 3(tiga) orang Apoteker sebagai penanggung jawab
masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu setiap
produksi sediaan farmasi
Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya
1(satu) orang Apoteker sebagai penanggung jawab
7. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
8. Keputusan Kongres Nasional XVIII ISFI Tahun 2009 Tentang Kode Etik
Apoteker Indonesia
9. Permenkes RI Nomor 1799 Tahun 2010 Tentang Industri Farmasi
75

10.PP Nomor 44 Tahun 2010 Tentang Prekursor


Prekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam
pembuatan Narkotika dan Psikotropika
11.Permenkes RI Nomor 1191 Tahun 2010 Tentang Penyaluran Alat Kesehatan
Izin Penyaluran Alat Kesehatan (PAK) diberikan oleh Dijen Binfar
Izin cabang PAK diberikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
Izin toko alat kesehatan diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
12.Permenkes RI Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Industri Usaha Obat Tradisional
13.Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
14.Permenkes RI Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Klink
15.Permenkes RI Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Perubahan Penggolongan
Narkotika
Menambah 17 item narkotika baru ke dalam golongan I
16.Permenkes RI Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Peredaran, Penyimpanan,
Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi
17.Permenkes RI Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Perubahan Permenkes Nomor
58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit
18.Permenkes RI Nomor 35 Tahun 2016 Tentang Perubahan Permenkes Nomor
35 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek
19.Permenkes RI Nomor 36 Tahun 2016 Tentang Perubahan Permenkes Nomor
30 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
20.Perka BPOM Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pengelolaan Obat-
Obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan
OOT terdiri atas Tramadol, Triheksifenidil, Klorpromazin, Amitriptilin dan/atau
Haloperidol

3.3. Praktek Apoteker di Industri Farmasi


Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang
Pekerjaan Kefarmasian, Industri Farmasi minimal harus memiliki 3 orang
apoteker yang masing-masing menempati posisi sebagai kepala bagian produksi,
manager pengawasan mutu (QC) dan manager pemastian mutu (QA). Sedangkan
76

berdasar pada Permenkes RI Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Industri Usaha Obat
Tradisional, IOT (Industri Obat Tradisional) dan IEBA (Industri Ekstrak Bahan
Alam) minimal memiliki 1 orang apoteker sebagai penanggung jawab.
Keterangan:
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 1799 Tahun 2010 Tentang Industri Farmasi
A. Izin Industri Farmasi dikeluarkan oleh Dirjen Binfar dengan Pemenuhuan
CPOB diajukan kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan serta
Pemenuhan Administrasi diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Industri Usaha Obat
Tradisional
A. Izin IOT dan IEBA dikeluarkan oleh Dirjen Binfar
B. Izin UKOT dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
C. Izin UMOT dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

Registrasi Obat
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 1010 Tahun 2008 Tentang Registrasi
Obat, registrasi adalah prosedur pendaftaran dan evaluasi obat untuk
mendapatkan izin edar. Izin edar diberikan oleh menteri yang dilimpahkan kepada
Kepala Badan POM.
A. Pengajuan registrasi obat dengan paten dapat dilakukan oleh bukan pemegang
hak paten mulai 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya perlindungan hak paten
B. Izin edar berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi
ketentuan yang berlaku

3.4. Praktek Apoteker di Rumah Sakit


3.4.1. Klasifikasi Rumah Sakit
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 56 Tahun 2014 Tentang Klasifikasi dan
Perizinan Rumah Sakit, rumah sakit dapat dibedakan menjadi 4 kelas,
dimana masing-masing kelas memiliki jumlah apoteker minimal. Rumah
sakit juga diwajibakan untuk melakukan akreditasi setiap 3 tahun sekali.
A. Kelas A (>500 bed) = 15 Apoteker
B. Kelas B (200-500 bed) = 13 Apoteker
77

C. Kelas C (100-200 bed) = 8 Apoteker


D. Kelas D (50-100 bed) = 3 Apoteker
3.4.2. Beban Kerja Apoteker
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, rasio standar apoteker di rawat inap
adalah 1 apoteker untuk 30 pasien, sedangkan di rawat jalan adalah 1
apoteker untuk 50 pasien.
3.4.3. Perhatian dalam Sistem Penyimpanan Obat di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit
A. Perhatian Terhadap Obat High-Alert
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 1691 Tahun 2011 Tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit, rumah sakit perlu mengembangkan suatu
pendekatan untuk memperbaiki keamanan obat-obat high-alert. Obat high-
alert sendiri adalah obat yang sering kali terjadi kesalahan dan dapat beresiko
tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan. Contoh obat high-alert
seperti elektrolit pekat (NaCl 3%, KCl 7,46%, MgSO4 20% dan 40%),
warfarin, insulin, sevofluran, fondaparinux, streptokinase.
B. Perhatian Terhadap Obat LASA
LASA atau Look Alike Sound Alike adalah kumpulan obat-obat yang
memiliki penyebutan atau penampilan (wadah sediaan) yang mirip satu sama
lain. Dalam proses penyimpanannya, obat-obat seperti ini harus ditandai
secara khusus untuk meminimalisir terjadinya kesalahan pengambilan, salah
satunya adalah dengan menggunakan prinsip Tall Man Letters seperti terlihat
pada contoh dibawah.
Pasangan Nama Obat LASA
acetaZOLAMIDE acetoHEXAMIDE
chlorproMAZINE chlorproPAMIDE
DAUNOrubicin DOXOrubicin
DOBUTamine DOPamine
busPROPIon busPIRon
vinBLAStine vinCRIStine
78

3.4.4. Sistem Distribusi Obat di Rumah Sakit


Berdasarkan Permenkes RI Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, sistem distribusi di unit pelayanan
dapat dilakukan dengan cara.
A. Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (floor stock)
B. Sistem Resep Perorangan (individual prescription)
C. Sistem Unit Dose (unit dose dispensing)
D. Sistem Kombinasi

3.5. Praktek Apoteker di Puskesmas


Berdasarkan Permenkes RI Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, puskesmas minimal memiliki 1 orang
apoteker sebagai penanggung jawab. Jumlah kebutuhan apoteker dihitung
bedasarkan rasio kunjungan pasien, baik rawat inap maupun rawat jalan. Rasio
untuk menentukan jumlah apoteker adalah 1 apoteker untuk 50 pasien perhari.

3.6. Praktek Apoteker di Apotek


3.6.1. Pelayanan dan Praktek Kefarmasian
A. Terkait Regulasi
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek, pelayanan kefarmasian di apotek
diselenggarakan oleh apoteker dan dibantu oleh apoteker pendamping atau
tenaga teknis kefarmasian.
SP Narkotik terdiri atas 4 rangkap sedangkan psikotropika dan prekursor
2 rangkap
Resep disimpan selama 5 tahun sebelum dimusnahkan
Pemusnahan obat mengandung narkotika dan psikotropika dilakukan
oleh apoteker penanggung jawab dan disaksikan oleh perwakilan dari
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
79

B. Pelayanan Obat
Apoteker di apotek dapat melakukan penyerahan obat tanpa resep
dokter meliputi obat bebas, bebas terbatas, dan DOWA (daftar obat wajib
apotek). DOWA merupakan golongan obat keras yang dimungkinkan untuk
dapat diserahkan tanpa resep dokter. Hal ini sesuai dengan Kepmenkes RI
Nomor 347 Tahun 1990 Tentang DOWA Nomor 1, Kepmenkes RI
Nomor 924 Tahun 1993 Tentang DOWA Nomor 2, dan Kepmenkes RI
Nomor 1176 Tahun 1999 Tentang DOWA Nomor 3. Dimana dalam
penyerahannya terdapat jumlah maksimal yang dapat diberikan.
Contoh Obat Jumlah Maksimal
Kontrasepsi Oral 1 Siklus
Antibiotik Topikal 1 Tube
Omeprazole 7 Tablet
Ranitidin 150 mg 10 Tablet
Allopurinol 100 mg 10 Tablet
Natrium Diklofenak 25 mg 10 Tablet
Piroksikam 10 mg 10 Tablet
Setirizin 10 Tablet
Siproheptadin 10 Tablet
Gentamisin Obat Mata 1 Tube atau 1 Botol

3.6.2. Manajemen Bisnis


A. Penetapan Harga
Penetapan harga merupakan hal yang penting di dalam praktek
keseharian farmasis. Mulai dari pembuatan obat oleh industri farmasi hingga
penjualan obat di apotek ataupun toko obat.
1. Penetapan Harga Jual oleh Industi Farmasi
Industri farmasi Y ingin membuat sirup parasetamol dengan dosis 250
mg/5 mL. Setiap kali produksi membutuhkan biaya total Rp 10.000.000
untuk 2000 botol. Berapakah harga satu botol sirup parasetamol dosis
250 mg/5 mL?
80

Jawab:
Pada kasus di atas, dalam menentukan harga per botol dapat ditentukan
sebagai berikut :

Harga per botol = + pajak pertambahan nilai

. . . .
Harga per botol = + (10 % x )

Harga per botol = Rp 5.000 + Rp 500 = Rp 5.500

2. Penetapan Harga Jual oleh Apotek


Pada penjualan obat di Apotek, umumnya menggunakan HJA dengan
rumus:
HJA = Harga jual + (% kenaikan x Harga jual)
Berapakah harga Allopurinol 100 mg apabila satu tablet berharga Rp 500
dan persen kenaikan allopurinol 100 mg adalah 25 %?
Jawab:
HJA = Rp 500 + (0,25 x Rp 500) = 1,25 + Rp 500 = Rp 625

B. Perhitungan Harga Pokok Penjualan


Perhitungan nilai Harga Pokok Penjualan (HPP) dapat menggunakan 2
cara, yakni:
Dengan faktor harga jual
! "
HPP = 100% (100% )
!

Dengan nilai stok barang


($ %& ' ( )( *)"($ % )
HPP = 100%
(*+ *

Nilai stok barang suatu apotek pada awal tahun 2016 adalah Rp 153 juta
dan nilai pembelian pada selama tahun 2016 tercatat Rp 98,2 juta. Nilai
stok barang pada akhir tahun 2016 setelah dihitung adalah Rp 102 juta
dengan omset rata-rata selama satu tahun mencapai angka Rp 211 juta
(faktor harga jual = 1,25). Berapa HPP apotek tersebut di tahun 2016?
Jawab:
( ,-'./, )"( )
HPP = 100% = 70,7%
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, G., 2009, Teknologi Bahan Alam : Seri Farmasi Industri 2, Edisi Revisi, ITB,
Bandung, Indonesia.
American Diabetes Association, 2015, 2015 American Diabetes Association Diabetes
Guideline, American Diabetes Association, Amerika.
Ansel, H C., 2010, Pharmaceutical Calculation, 13th Edition, Lippincott Wiliam & Wilkins,
Philadephia.
Ansel, H C., Allen, L V., Popovich, N G., 2011, Ansels Pharmaceutical Dosage Form and
Drug Delivery Systems, 9th Edition, Lippincott Wiliam & Wilkins, Philadephia.
Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012, Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang
Baik, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta, Indonesia.
Cairns, Donald, 2008, Essential of Pharmaceutical Chemistry, Third Edition, Pharmaceutical
Press, London, Inggris.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1977, Materia Medika Indonesia, Jilid I,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985, Cara Pembuatan Simplisia,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1994, Kodifikasi Peraturan Perundang-
Undangan Obat Tradisional, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta,
Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008, Farmakope Herbal Indonesia, Edisi I,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia.
DiPiro, J T., Wells, B G., Schwinghammer, T L., DiPiro, C V., 2015, Pharmacotherapy
Handbook 9th Edition, McGraw-Hill Education, New York, Amerika.
Djunarko, I., Hendrawati, Y D., 2011, Swamedikasi yang Baik dan Benar, Citra Aji
Pratama, Yogyakarta.
Gandjar, I G., Rohman, A., 2010, Kimia Farmasi Analisis, Cetakan IV, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Hartini, Y S., Sulasmono., 2007, Apotek : Ulasan Beserta Naskah Peraturan Perundang-
undangan terkait Apotek Termasuk Naskah dan Ulasan Permenkes tentang Apotek
Rakyat, USD Press, Yogyakarta.
Hendriati, L, 2013, Compounding dan Dispensing, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2009, Peraturan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 51 Tahun
2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Lachman, L., Lieberman, H A., Kanig, J L., 1986, The Theory and Practice of Industrial
Pharmacy, Lea & Febiger, Philadephia.

81
82

Neal, M J, 2012, Medical Pharmacology at A Glance, Seventh Edition, Wiley-Blackwell,


Inggris.
Priyanto, 2009, Farmakoterapi dan Terminologi Medis, Leskonfi, Jakarta.
Priyanto, 2009, Toksikologi : Mekanisme, Terapi Antidotum, dan Penilaian Resiko, Leskonfi,
Jakarta.
Schaefer, C., Peters, P., Miller, R K, 2015, Drugs During Pregnancy and Lactation: Treatment
Options and Risk Assessment, 3rd Edition, Elsevier, New York.
Seto, S., Nita, Y., Triana, L., 2012, Manajemen Farmasi : Apotek, Rumah Sakit, Pedagang
Besar Apotek, dan Industri Farmasi Edisi Ketiga, Airlangga University Press,
Surabaya.
Swarbrick, J, 2007, Encyclopedia of Pharmaceutical Technology, 3rd Edition, Informa
Helathcare, Amerika.
Waller, G D., Sampson, A P., Renwick, A., Hillier, K., 2014, Medical Pharmacology and
Therapeutics, Fourth Edition, Elsevier, Inggris.
Widyati, 2015, Praktek Farmasi Klinik: Fokus Pada Pharmaceutical Care, Brilian
Internasional, Sidoarjo.
Winter, M E., 2014, Basic Clinical Pharmacokinetics, Fifth Edition, Lippincott William and
Wilkins, Amerika.
World Health Organization, 2003, Drug and Therapeutic Commites : A practical Guide,
Department Of Essential Drug And Medicine Policy Geneva, Switzerland.
World Health Organization, 2009, WHO Pain Relief Ladder, WHO, Geneva,
Switzerland.

Anda mungkin juga menyukai