Anda di halaman 1dari 14

TUGAS

Pembimbing:
dr. H Ahmad Fariz Malvi Zam Zam Zein, Sp.PD

Disusun Oleh:
Riska Tiara Annisa 114170060

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNSWAGATI CIREBON
RSUD WALED KAB. CIREBON
CIREBON
2019
1. Prediabetes

Prediabetes merupakan keadaan dimaan glukosa plasma di atas nilai normal


namun tidak mencapai nilai untuk diagnosa diabetes melitus yaitu dengan kisaran
(100-125) dan HbA1C <6,5% namun lebih dari 5,7%. (ADA, 2019)

(ADA, 2019)

Prediabetes dapat muncul pada individu dengan obesitas, dislipidemia


dengan trigliserida yang tinggi atau kadar HDL yang rendah, dan hipertensi
Individu dengan prediabetes tidak menunujkkan gejala. (ADA, 2019)

(ADA, 2019)
2. Obat Antihiperglikemia

Obat Antihiperglikemia Oral Berdasarkan cara kerjanya,obat anti-


hiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan: (PERKENI, 2015)

a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)


a) Sulfonilurea.
Obat golongan ini mempunyai efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Efek
samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat
badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien
dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal
hati, dan ginjal). (PERKENI, 2015)
b) Glinid.
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama
dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan
sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan
Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara
cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia
post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah
hipoglikemia. (PERKENI, 2015)
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin.
a) Metformin.
Metformin mempunyai efek utama mengurangi
produksi glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki
ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin merupakan
pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis
Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (GFR 30-60 ml/menit/1,73 m2).Metformin tidak boleh
diberikan pada beberapa keadaan sperti:GFR<30
mL/menit/1,73 m2, adanyagangguan hati berat, serta pasien-
pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebro-vaskular, sepsis, renjatan, PPOK,gagal jantung
[NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa
gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia
(PERKENI, 2015)
b) Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma),
suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot, lemak,
dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di jaringan perifer.
Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh
sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat memperberat
edema/ retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan
bila di berikan perlu pemantauan faal hati secara berkala.
Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.
(PERKENI, 2015)
c. Penghambat Absorpsi Glukosadi saluran pencernaan:
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa
dalam usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar
glukosa darah sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak
digunakan pada keadaan: GFR ≤ 30ml/min/ 1,73 m2, gangguan
faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang
mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus)
sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek
samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat
golongan ini adalah Acarbose. (PERKENI, 2015)
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja
enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap
dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-
1untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi
glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent).
Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.
(PERKENI, 2015)
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat
antidiabetes oral jenis baru yang menghambat penyerapan kembali
glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat kinerja
transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini
antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin,
Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja mendapat approvable
letterdari Badan POM RI pada bulan Mei 2015. (PERKENI, 2015)

(PERKENI, 2015)
Obat Antihiperglikemia Suntik
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan
kombinasi insulin danagonisGLP-1. (PERKENI, 2015)
InsulinInsulin diperlukan pada keadaan :
a. HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
b. Penurunan berat badan yang cepat
c. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
d. Krisis Hiperglikemia
e. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
f. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,
stroke)
g. Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
h. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
i. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
j. Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Jenis dan Lama Kerja Insulin Berdasarkan lama kerja, insulin


terbagi menjadi 5 jenis, yakni : (PERKENI, 2015)

a. Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)§Insulin kerja pendek


(Short-acting insulin)
b. Insulin kerja menengah (Intermediate-acting insulin)
c. Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
d. Insulin kerja ultra panjang (Ultra long-acting insulin)
e. Insulin campuran tetap, kerja pendekdengan menengah dan
kerja cepat dengan menengah (Premixed insulin)

Efek samping terapi insulin. (PERKENI, 2015)

a. Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya


hipoglikemia
b. Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian
komplikasi akut DM
c. Efek samping yang lain berupa reaksi alergiterhadap insulin

3. KAD (Keto Asidosis Diabetik)

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan


metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama
disebabkan oleh defsiensi insulin absolut atau relatif. KAD mungkin merupakan
manifestasi awal dari DM tipe 1 atau mungkin merupakan akibat dari peningkatan
kebutuhan insulin pada DM tipe 1 pada keadaan infeksi, trauma, infark miokard,
atau kelainan lainnya. (Soewendo, 2006)

(ADA, 2019)

Langkah pertama yang harus diambil pada pasien KAD terdiri dari
anamnesis dan pemeriksaan yang cepat dan teliti terutama memperhatikan
patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan
status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat menentukan jenis
pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga
penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan. Meskipun
gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam beberapa hari,
perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasanya tampak dalam jangka
waktu pendek (< 24 jam). Umumnya penampakan seluruh gejala dapat
tampak atau berkembang lebih akut dan pasien dapat tampak menjadi KAD
tanpa gejala atau tanda KAD sebelumnya. Gambaran klinis klasik termasuk
riwayat poliuria, polidipsia, dan polifagia, penurunan berat badan, muntah,
sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of sensoria, dan akhirnya koma.
Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang menurun, respirasi Kussmaul,
takikardia, hipotensi, perubahan status mental, syok, dan koma. Lebih dari
25% pasien KAD menjadi muntah-muntah yang tampak seperti kopi.
Perhatian lebih harus diberikan untuk pasien denganhipotermia karena
menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Demikian pula pasien dengan
abdominal pain, karena gejala ini dapat merupakan akibat atau sebuah
indikasi dari pencetusnya, khususnya pada pasien muda. Evaluasi lebih
lanjut diperlukan jika gejala ini tidak membaik dengan koreksi dehidrasi dan
asidosis metabolik. (ADA, 2019)

4. Ketonemia
KAD secara umum dikategorikan menurut beratnya asidosis, bervariasi dari
ringan (pH vena <7,3, konsentrasi bikarbonat <15 mmol/L), sedang (pH <7,2,
bikarbonat <10), sampai berat (pH <7,1, bikarbonat <5).
Osmolaritas darah harus dipertahankan tidak lebih dari 320mOsm/L krn
jika lebih  berisiko terjadi gagal ginjal akut. Jika osmolaritas dibiarkan terus
meningkat, dapat menurunkan CPP (cerebral perfusion  pressure). Oleh karena itu
dapat diimbangi dengan pemberian cairan saline seperti NaCl 0.9%

2 (natrium + Kalium) + GDS/18 + Ur/6.4

Normal = 300 =/- 20 atau 280 – 320 mOsmol/L


Ketonemia adalah sejumlah besar benda keton yang dilepaskan ke dalam
darah sehingga terdeteksi di dalam darah, sedangkan ketonuria merupakan
terjadinya peningkatan benda keton di dalam darah yang melebihi 10 nilai ambang
batas ginjal yang kemudian diekskresikan ke dalam urin.
Beberapa faktor penyebab ketonemia dan ketonuria antara lain :
1) Tubuh tidak mampu menggunakan karbohidrat sebagai bahan
pembentukan energi, misalnya pada penderita diabetes melitus.
2) Ketidakseimbangan tubuh dalam mengatur pola makan seseorang yang
melakukan program diet, karena kelaparan, paparan dingin dan demam
akut pada anak-anak.
3) Hilangnya karbohidrat karena sering muntah,biasanya terjadi pada ibu
hamil trimester I serta adanya gangguan reabsorpsi ginjal.

Pemeriksaan ketonuria sangat membantu dokter dalam pengelolaan dan


pemantauan pada pasien dengan indikasi diabetes mellitus. Metode pemeriksaan
yang digunakan untuk mendeteksi adanya aseton dan asam asetoasetat di dalam
urin yaitu dengan pereaksi nitroprusida yang banyak digunakan oleh laboratorium.
Beberapa metode yang digunakan untuk pemeriksaan keton urin antara lain
dengan uji Rothera, uji Gerhardt, dan yang sekarang banyak digunakan oleh
laboratorium adalah dipstick.
Penentuan keton urin telah menggunakan metode dipstick yang lebih cepat
dan mudah seiring berkembangnya zaman. Uji dipstick dilakukan dengan cara
mencelupkan strip reagen/ dipstick pada urin segar dan ditunggu selama 15 detik,
lalu diamati terjadinya perubahan warna pada strip reagendan, jika strip berwarna
merah anggur/ ungu maka hasil ketonuria positif, sebaliknya jika tidak terjadi
perubahan warna pada strip maka hasil ketonuria negatif. Uji ketonuria dengan
strip reagen lebih sensitif terhadap asam asetoasetat daripada aseton karena sifat
aseton yang mudah menguap. Pada Uji Dipstick, ketonuria dapat menggunakan
tablet Acetest atau strip reagen Ketostix atau dengan strip reagen multitest seperti
Chombur, Multistix, Arkray, dan sebagainya (Riswanto, 2010).
Stick Chombur merupakan salah satu stick yang digunakan dalam
pemeriksaan urinalisis dan cara pembacaannya dengan menggunakan alat urysis
analyzer (Riswanto, 2010).
5. Skrining DM
1) skrining untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus Tipe-2 (DMT2)
dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan
gejala klasik DM yaitu: Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks
Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m2) yang disertai dengan satu atau lebih
faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam
keluarga).
c. Kelompok ras/ etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL
>4 kg atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional
(DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk
hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
(Perkeni, 2015)
2) Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas. Catatan: Kelompok risiko
tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal sebaiknya
diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan
diulang tiap 1 tahun. (Perkeni, 2015)

Kriteria untuk skrining diabetes atau prediabetes pada orang dewasa tanpa
gejala
1. Pengujian harus dipertimbangkan pada orang dewasa yang kelebihan
berat badan atau obesitas (BMI > 25 kg / m2 atau > 23 kg / m2 pada
orang Asia Amerika) yang memiliki satu atau lebih faktor risiko
berikut:
a) Tingkat relatif pertama dengan diabetes
b) Ras / etnis berisiko tinggi (misalnya, orang Amerika keturunan
Afrika, orang Latin) , Penduduk Asli Amerika, Asia Amerika,
PasificIslander)
c) Riwayat CVD
d) Hipertensi ($ 140/90 mmHg atau untuk terapi hipertensi)
tingkat kolesterol
e) HDL, 35 mg / dL (0,90 mmol / L) dan / atau tingkat
trigliserida.250 mg / dL (2,82 mmol / L)
f) Wanita dengan sindrom ovarium polikistik tidak aktif secara
fisik
g) Kondisi klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin
(misalnya, obesitas berat, acanthosisnigricans)
2. Pasien dengan prediabetes (A1C > 5,7% [39 mmol / mol], IGT, atau
IFG) harus diuji setiap tahun.
3. Wanita yang didiagnosis dengan GDM harus menjalani tes seumur
hidup setidaknya setiap 3 tahun. Untuk semua pasien lain, pengujian
harus dimulai pada usia 45 tahun.
4. Jika hasilnya normal, pengujian harus diulangi minimal interval 3
tahun, dengan pertimbangan pengujian lebih sering tergantung pada
hasil awal dan status risiko.
(ADA, 2019)
6. Egregious Eleven

(ADA, 2016)

Jalur mediasi hiperglikemia ini diinduksi oleh predisposisi genetik untuk IR,
kerentanan terhadap pengaruh lingkungan, atau disregulasi imun dan pengaruh
genetik , disfungsional sel-sel β. Konstruk sel β dapat menggabungkan jalur yang
baru ditemukan untuk disglikemia saat ini berevolusi, seperti penelitian yang
muncul yang menghubungkan kadar osteokalsin dengan A1C dan HOMA status
fungsi sel-B. (ADA, 2016)
Konstruksi β-Cell-centric: Egregious elevent. Disfungsi sel-β adalah sebutan
umum terakhir pada DM. : Sebelas jalur mediasi hiperglikemia yang diketahui
saat ini. Banyak dari ini berkontribusi pada disfungsi sel β (hati, otot, jaringan
adiposa [ditunjukkan dengan warna merah untuk menggambarkan hubungan
tambahan dengan IR], otak, usus besar /bioma, dan disregulasi /radang kekebalan
tubuh [ditunjukkan dengan warna biru]), dan yang lainnya dihasilkan dari
Disfungsi sel β melalui efek hilir (insulin berkurang, efek incretin berkurang,
cacat sel α, lambung /usus kecil melalui amylin yang berkurang, dan ginjal
[ditunjukkan dalam warna hijau]). (ADA, 2016)
Alur mediasi hiperglikemia yang berkontribusi terhadap disfungsi sel β
meliputi hati, otot, dan jaringan adiposa (organ yang berhubungan dengan IR) dan
otak, usus besar, dan disregulasi imun. Kerusakan ini menghasilkan hiperglikemia
yang timbul dari peningkatan sekresi glukagon, serta pengurangan produksi
insulin, efek incretin, dan kadar amylin. Bahkan hiperglikemia ringan akibat
disfungsi sel β dapat meningkatkan SGLT-2 di ginjal, yang selanjutnya
berkontribusi pada hiperglikemia. Hiperglikemia, terlepas dari sumbernya,
menyebabkan glukotoksisitas, yang selanjutnya merusak fungsi sel β. Pada pasien
tertentu, jalur mediasi spesifik hiperglikemia di tempat kerja adalah variabel,
meskipun kemungkinan melibatkan beberapa jalur. (ADA, 2016)

7. Efek Somogyi
Efek Somogyi terjadi akibat pemberian insulin yang berlebihan pada malam
hari diikuti oleh peningkatan rebound pada paginya. Maka terjadi hipoglikemia
sehingga tubuh berupaya mengatasinya dan berakibat terjadi hiperglikemia.
Penyebab hipoglikemia malam hari berkaitan dengan penyuntikan insulin pada
sore hari. Hipoglikemia itu sendiri menyebabkan peningkatan glukagon,
katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan, kemudian hormon-hormon ini
yanng merangsang glukoneogenesis sehingga pada pagi harinya terjadi
hiperglikemia Hal ini ditanggulangi dengan mengurangi dosis insulin pada malam
hari atau pemberian makanan kecil sebelum tidur. (ADA, 2005)
DAFTAR PUSTAKA

1. American Diabetes Association. Hyperglycemic Crisis In Diabetes.


Diabetes Care 2004;27(1):94-102.
2. American Diabetes Association: 2005, STANDARDS OF MEDICAL
CARE IN DIABETES (POSITION STATEMENT). DIABETES CARE;
28(supplement I):S4-S36.
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2015, KONSENSUS
PENGELOLAAN DAN PENCEGAHAN DIABETES MELITUS TIPE 2
DI INDONESIA, Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(PB PERKENI), Jakarta
4. Riswanto, 2010. Badan Keton (Urin). Artikel. Laboratorium Kesehatan
Tes Urin,
5. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S, editors. BUKU AJAR ILMU PENYAKIT
DALAM. 4TH ED. JAKARTA: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2006.p.1896-9.
6. Stanley S. Schwartz, Solomon Epstein, Barbara E. Corkey, Struan F.A.
Grant, James R. Gavin III, and Richard B. Aguilar, 2016, THE TIMEIS
RIGHT FOR A NEW CLASSIFICATION SYSTEM FOR DIABETES:
RATIONALE AND IMPLICATIONS OF THEB-CELL–CENTRIC
CLASSIFICATION SCHEMA, American Diabetes Association.

Anda mungkin juga menyukai