Anda di halaman 1dari 19

3.

1 Diabetes Melitus
3.1.1 Definisi Diabetes Militis
Menurut American Diabetes Association (ADA) (2015), Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karaketeristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya.

3.1.2 Klasifikasi Diabetes Militus


Klasifikasi DM berdasarkan etiologi menurut Perkeni (2019) ialah sebagai
berikut:
Klasifikasi Deskripsi
Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya berhubungan dengan
defisiensi insulin absolut
- Autoimun

- Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi
insulin disertai defisiensi relatif sampai yang
dominan
defek sekresi insulin disertai resistensi insulin
Diabetes melitus Diabetes yang didiagnosis pada trimester kedua
gestasional atau ketiga kehamilan dimana sebelum kehamilan
tidak didapatkan diabetes
Tipe spesifik yang berkaitan - Sindroma diabetes monogenik (diabetes
dengan penyebab lain neonatal, maturity – onset diabetes of the
young [MODY])
- Penyakit eksokrin pankreas (fibrosis kistik,
pankreatitis)
- Disebabkan oleh obat atau zat kimia
(misalnya penggunaan glukokortikoid pada
terapi HIV/AIDS atau setelah transplantasi
organ)
3.1.3 Patogenesis Diabetes Militus

Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta pankreas
dikenal sebagai patofisiologi sentral dari DM tipe 2. Hasil penelitian terbaru telah
diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat dari yang
diperkirakan sebelumnya. Schwartz (2016), menyampaikan bahwa tidak hanya
otot, hepar, dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam

patogenesis penyandang DM tipe 2 tetapi terdapat delapan organ lain


yang berperan, disebut sebagai the egregious eleven.

3.1.4 Diagnosis Diabetes Militus


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria. Keluhan klasik pada pasien DM adalah poliuria, polidipsia, polifagia,
dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan
lainnya yaitu lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi
pada pria serta pruritus vulvae pada wanita.
Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori mininaml 8 jam

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dL 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa sebesar 75 gram

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL + keluhan klasik

Atau

Pemeriksaan HbA1C ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh

National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP)

Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosi Diabetes dan Prediabetes


HbA1C (%) Glukosa Darah Puasa Glukosa plasma
(mg/dL) 2 jam setelah
TTGO (mg/dL)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200
Pre-diabetes 5,7 – 6,4 100 – 125 140 – 199
Normal < 5,7 70 - 99 70 – 139

Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan
TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM.

3.1.5 Tatalaksana Diabetes Militus


Tatalaksana pada diabetes melitus terdiri atas:

1. Edukasi

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan


sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat
penting dari pengelolaan secara holistik.
2. Terapi Nutrisi Medis

Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan


anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan
jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang
menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu
sendiri.

3. Latihan Fisik

Program latihan fisik secara teratur dilakukan 3-5 hari seminggu selama
30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu, dengan jeda antar latihan tidak
lebih dari 2 hari berturut-turut. Latihan fisik selain untuk menjaga kebugaran
juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,
sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan fisik yang dianjurkan
berupa latihan fisik bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-70% denyut
jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda lantai, jogging, dan berenang.
Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara mengurangi 220 dengan usia
pasien.

4. Terapi Farmakologi

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan


latihan jasmani (gaya hidup sehat). Beriku terapi farmakologi untuk DM:

1. Obat Antihiperglikemia Oral

a) Pemicu Sekresi Insulin (Insulin Secretogogue)

(1) Sulfonilurea

(2) Glinid

b) Peningkatan Sensitivitas terhadap Insulun

(1) Metformin

(2) Tiazolidinedion (TZD)

c) Penghambat Alfa Glukosidase


d) Penghambat enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4 inhibitor)

e) Penghambat enzim Sodium Glucose co-Transporter 2 (SGLT-2 inhibitor)

Profil Obat Antihiperglikemia Orang yang terrsedia di Indonesia

2. Obat Antihiperglikemia Suntik

a) Insulin

Insulin digunakan pada keadaan :

A. HbA1c saat diperiksa 7.5% dan sudah menggunakan satu atau dua
obat antidiabetes
B. HbA1c saat diperiksa > 9%

C. Penurunan berat badan yang cepat

D. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

E. Krisis Hiperglikemia

F. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

G. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)

H. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak


terkendali dengan perencanaan makan
I. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

J. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO


K. Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

b) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic

Agonis GLP-1 mempunyai efek menurunkan berat badan, menghambat


pelepasan glukagon, menghambat nafsu makan, dan memperlambat
pengosongan lambung sehingga menurunkan kadar glukosa darah
postprandial. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain
rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk golongan ini adalah:
Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, Lixisenatide dan Dulaglutide.

3. Terapi Kombinasi

Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan


pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang).
Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur, sedangkan
insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur, atau
diberikan pada pagi hari sesuai dengan kenyamanan pasien. Pendekatan terapi
tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan
dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi adalah
6- 10 unit. kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa darah
puasa keesokan harinya.

Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit) apabila kadar
glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaaan kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal,
maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, sedangkan
pemberian obat antihiperglikemia oral terutama golongan Sulfonilurea dihentikan
dengan hati- hati.
Daftar Obat Anti Hiperglikemik Oral
Sediaan Insulin Eksogen

30
3.2 Diabetic Foot

3.2.1 Pasien dengan diabetes perlu diperiksa terkait insufisiensi arteri dan penyakit
neuropati pada suatu jadwal yang terstruktur berdasarkan faktor risiko yang ada.
Periksa suhu, respirasi, denyut jantung, da tekanan darah pada kedua ekstremitas dan
catat apabila terdapat keadaan yang abnormal. Adanya demam, takikardi, atau
takipnea dapat mengindikasikan adanya ulserasi yang terinfeksi. Evaluasi status
vaskuler pasien dengan melakukan palpasi pada seluruh pulsasi perifer dan periksa
tampak dan suhu pada setiap ekstremitas. Apabila memungkinkan, pengukuran
ankle brachial index (ABI) juga dapat dilakukan. Apabila didapatkan hasil 1-1,2
maka ABI normal, dan apabila didapatkan hasil <0,6 mengindikasikan adanya
klaudikasio.

Insufisiensi arteri memiliki karakteristik berupa adanya klaudikasio yang


intermiten atau limb ischemia, kulit kering, berkilau, dan hairless pada bagian
ekstremitas yang terkena, kuku yang rapuh, dan kulit yang dingin ketika dipegang.
Penderita dengan insufisiensi ringan juga dapat memiliki riwayat adanya disfungsi
erektil atau penyakit kardiovaskular. Pemeriksaan aliran darah arteri juga bisa
dilakukan dengan mengangkat kaki hingga tinggi diatas jantung. Kaki yang normal
akan menunjukkan warna kulit yang tetap merah muda, sedangkan kaki dengan
insufisiensi arteri akan berubah warna menjadi lebih pucat.

Neuropati pada penderita diabetes mellitus ditandai dengan adanya rasa kebas,
tebal, parestesia, dan sensasi terbakar. Adanya rasa tebal dan hilangnya sensasi
perifer menyebabkan penderita harus selalu diperiksa secara teratur. Apabila pasien
memiliki luka pada kaki, lakukan inspeksi, palpasi, dan evaluasi pada pemeriksaan
awal dan pemeriksaan follow up untuk mengetahui perkembangan luka dan adanya
keterlibatan tulang (osteomyelitis).

3.2.2 Kaki diabetic atau ulserasi diabetic memiliki banyak sistem klasifikasi.
Klasifikasi ini dapat berdasarkan kedalaman luka dan tingkat terjadinya infeksi.
Klasifikasi Wagner dan Texas merupakan klasifikasi yang paling sering ditemukan
dan digunakan yang ditunjukkan sebagai berikut.
Gambar 3.6 Klasifikasi Wagner

Gambar 3.7 Klasifikasi Texas


Selain sistem klasifikasi Wagner dan Texas, terdapat juga sistem klasifikasi ulserasi
diabetic yang baru, yaitu sistem klasifikasi PEDIS. Sistem klasifikasi ini mencakup lebih
banyak aspek yang berperan dalam pathogenesis ulserasi diabetic. Sistem klasifikasi PEDIS
memiliki 5 aspek yaitu: perfusion, extent/size, depth/tissue loss, infection, dan sensation.
Kategori ini dianggap menjadi yang paling relevant atau cocok dengan pathogenesis
terjadinya ulserasi diabetic. Sistem klasifikasi PEDIS ditunjukkan sebagai berikut.

Gambar 3.8 Sistem Klasifikasi PEDIS


Risiko seseorang untuk menderita ulserasi diabetic juga diklasifikasikan menjadi
beberapa kategori, diantaranya dijabarkan pada Gambar 3.9 sebagai berikut.
Gambar Klasifikasi risiko ulserasi diabetik / kaki diabetik
Penderita patut dcurigai mengalami osteomyelitis apabila ulserasi berada tepat diatas
penonjolan tulang dan ulserasi gagal sembuh dengan pengurangan tekanan. Tes diagnostic
untuk osteomyelittis ialah probe to bone dan erythrocyte sedimentation rate (ESR). PADA
probe bone test, probe steril yang tumpul dimasukkan kedalam luka, adanya rasa keras,
seperti terdapat pasir merupakan temuan positif terdapat osteomyelitis. Adanya ESR > 70
mm/jam juga mengarahkan adanya osteomyelitis. Selain kedua pemeriksaan tersebut, foto x-
ray juga dapat dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang tambahan.

3.2.3 Gold standard untuk penanganan kaki diabetic diantaranya debridement luka,
manajemen adanya risiko atau telah adanya infeksi, prosedur revaskularisasi, dan
off-loading area yang mengalami ulserasi. Beberapa cara lain juga disarankan untuk
menambah efek yang baik terhadap terapi seperti terapi oksigen hiperbarik,
penggunaan produk perawatan luka dan terapi luka tekanan negative.
a. Debridement
Debridement sebaiknya dilakukan pada semua luka yang kronis untuk
menghlangkan debris dan jaringan nekrotik. Tindakan ini memperbaiki
penyembuhan dengan menginisiasi produksi jaringan granulasi dan dapat dilakukan
baik secara pembedahan, enzimatik, biologis, dan autolysis. Debridement
pembedahan dilakukan dengan menggunakan scalpel dan merupakan tindakan yang
cepat dan feketif untuk menghilangkan hyperkeratosis dan jaringan yang mati.
Perawatan yang particular diperlukan untuk melindungi jaringan yang sehat, yang
tampak berwarna merah hingga merah tua. Scalpel digunakan 45 derajat, semua
jaringan nekrotik harus dihilangkan hingga tampak lapisan jaringan yang sehat.
Apabila dicurigai terdapat iskemia yang berat, debridement harus ditunda hingga
vaskularisasi membaik, jika perlu, lakukan tindakan revaskularisasi.
Debridement enzimatik dapat dilakukan dengan bantuan enzim
termasuk carbe-derived collagenase, kombinasi streptokinase dan streptodornase
dan lain sebagainya. Enzim ini mampu menghilangkan jaringan nekrotik tanpa
merusak jaringan yang sehat. Meskkipun mahal, metode ini diindikasikan untuk
ulserasi yang iskemik.
Debridement biologis dapat dilakukan dengan menggunakan belatung
(maggot) steril. Maggot mempunyai kemampuan untuk mencerna permukaan debris,
bakteri, dan hanya jaringan nekrotik, meninggalkan jaringan sehat yang intak.
Metode ini juga efektif untuk eliminasi pathogen yang resisten terhadap obat seperti
Streptococcus aureus yang resisten terhadap metisilin pada permukaan luka.
Debridement autolitik dilakukan dengan cara menggunakan dressing
yang nantinya akan menciptakan suasana lembab yang akan mengaktifkan enzim-
enzim tubuh dan mengaktivasi kerja neutrofil dan makrofag terhadap jaringan atau
sel yang mati. Autolitik dapat ditingkatkan kerjanya dengan penggunaan
hidrokoloid, hidrogel, dan films.
b. Off-loading
Tindakan pengurangan atau pengtidakadaan beban pada area ulserasi
merupakan hal yang penting untuk penyembuhan ulserasi terutama ulserasi yang
berada di plantar. Metode off-loading yang paling efektif dan dianggap sebagai gold
standard ialah penggunaan nonremovable total-contact cast (NTCC). Alat ini dibuat
dari bahan plaster atau fast-setting fiberglass cast. NTCC diindikasikan untuk
metode efektif off-loading pada ulserasi yang terletak di forefoot atau midfoot.
Adanya iskemia kaki yang berat, abses dakam, osteomyelitis, dan kualitas kulit yang
buruk merupakan kontraindikasi absolute dari penggunaan NTCC.
Selain NTCC, terdapat pilihan lain yaitu removable cast walker
(RCW), yang biasanya memiliki berat yang ringan, dan kerngka semirigid yang
dapat menyokong ekstremitas serta menyediakan perlindungan terhadapnya. Alat ini
memberikan efek off-loading pada forefoot saat berdiri dan berjalan.

Gambar 3.16 Removable cast walker (RCW)

c. Dressing
Ulserasi sembuh lebih cepat dan seringkali sedikit berkomplikasi
dengan infeksi ketika berada pada suasana yang lembab. Satu-satunya pengecualian
yaitu apabila luka ulserasi merupakan luka gangrene yang kering, yang mana area
nekrotik harus dipertahankan agar kering untuk mencegah infeksi dan konversi
menjadi gangrene basah. Eksudat luka kaya akan sitokin, trombosit, leukosit, faktor
pertumbuhan, dan matriks metalloproteinase dan enzim-enzim lain. Sebagian besar
enzim ini menginisiasi proses penyembuhan melalui proliferasi fibroblast dan
keratinosit serta angiogenesis. Dressing yang ideal harus terhindar dari kontaminan
dan mudah menghilangkan eksudat yang timbul dan komponen toksik, yang dapat
mempertahankan lingkungan yang lembab pada dressing, impermeable dari
mikroorganisme, memungkinkan terjadinya pertukaran gas, dan dapat mudah dilepas
serta biaya murah.
d. Terapi luka dengan tekanan negative
Negative pressure wound therapy (NPWT) mulai diperkenalkan
sebagai metode penanganan baru untuk kaki diabetic. Metode ini dilakukan dengan
penggunaan tekanan negative yang berkelanjutan atau berselang melalui pompa
khusus yang menyediakan lingkungan tertutup. Pompa dihubungkan dengan suatu
wadah untuk menampung discharge atau eksudat dari luka. NPWT dianggap dapat
mengoptimalisasi aliran darah, mengurangi edema jaringan, menghilangkan eksudat,
sitokin proinflamasi, dan bakteri dari area luka. Tindakan ini sebaiknya dilakukan
setelah tindakan debridemnt dan diteruskan hingga jaringan granulasi yang sehat
pada permukaan ulserasi terbentuk. NPWT diindikasikan pada luka kaki diabetic
yang kompleks dan kontraindikasi pada penderita dengan ulserasi yang mengalami
perdarahan aktif.
e. Oksigen hiperbarik
Dari studi-studi sebelumnya, terdapat bukti yang kuat jika sel
fibroblast, endotel, dan keratinosit dapat bereplikasi pada kecepatan yang paling
tinggi pada lingkungan yang kaya dengan oksigen. Leukosit juga dapat
mengeliminasi bakteri secara efektif ketika diberi suplai oksigen yang adekuat.
Metode ini merupakan metode dengan pemberian oksigen 100% pada tekanan yang
lebih tinggi dibandingkan tekanan diatas permukaan laut. Metode ini dilakukan
dalam sebuah ruang dengan pasien yang menghirup oksigen 100% berselang dengan
tekanan atmosfer dinaikkan hingga 2-3 atm selama 1-2 jam. Oksigen hiperbarik
dapat sebagai terapi tambahan pada penderita dengan infeksi jaringan lunak yang
berat dan osteomyelitis yang tidak berespon terhadap penanganan konvensional.
f. Pengendalian Infeksi
Penderita dengan kaki diabetic terinfeksi sebaiknya diberikan regimen
antibiotic berdasarkan hasil kultur luka. Infeksi ringan dapat diberikan antibiotic
selama 2 minggu, infeksi dalam dapat diberikan antibiotic hingga mencapai 2 bulan.
Mikrooorganisme yang paling sering terdapat pada infeksi kaki diabetic adalah
Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella, Escherichia coli, dan Staphylococcus aureus.
Bakteri gram negative berespon terhadap ampicillin dengan sulfobactam, cefepine
dengan tazobactam, dan ceftriaxon dengan tazobactam. Bakteri gram positif
berespon terhadap antibiotic golongan teicoplanin, minosiklin, dan amoksisilin plus
asam klavulanat.
g. Perawatan kaki
Bagi penderita diabetes mellitus yang telah mengalami komplikasi
berupa neuropati perifer, penyakit arteri perifer, dan ulserasi kaki, perlu
memerhatikan beberapa hal sebagai berikut.
1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air.
2. Periksa kaki setiap hari, dan dilaporkan pada dokter apabila kulit terkelupas,
kemerahan, atau luka.
3. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.
4. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan mengoleskan krim
pelembab pada kulit kaki yang kering.
5. Potong kuku secara teratur.
6. Keringkan kaki dan sela-sela jari kaki secara teratur setelah dari kamar mandi.
7. Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan pada
ujung-ujung jari kaki.
8. Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur.
9. Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang dibuat khusus.
10. Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak tinggi.
11. Hindari penggunaan bantal atau botol berisi air panas/batu untuk
menghangatkan kaki.
DAFTAR PUSTAKA

Alexiadou, K. dan Doupis, J. 2012. Management of diabetic foot ulcers. Diabetes


Ther. (3)4: 1-15
American Diabetes Association. 2010. Diagnosis and classification of diabetes:
standards of medical care in diabetes-2010. Supplement 1. 62-69.
https://doi.org/10.2337/dc10-S062
American Diabetes Association. 2018. Diagnosis and classification of diabetes:
standards of medical care in diabetes-2018. Supplement 1. 13-27.
https://doi.org/10.2337/dc18-S002
Amin, N. dan Doupis, J. 2016. Diabetic foot disease: From the evaluation of the “foot
at risk” to the novel diabetic ulcer treatment modalities. World Journal of
Diabetes. 7(7): 153-164
Aru W. Sudoyo, et al. 2017. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Aumiller, W.D. dan Dollahite, H.A. 2015. Pathogenesis and management of diabetic
foot ulcers. Journal of the American Academy of Physician Assistants. 28(5):
28-34
Cho, N.H., Shaw, J.E., Karuranga, S., Huang, Y., Fernandes, J.D.R., Ohlrogge, A.W.,
dan Malanda, B. 2018. IDF diabetes atlas: Global estimates of diabetes
prevalence for 2017 and rojections for 2045. Diabetes Research and Clinical
Practice. 138: 271-281
Chuan, F., Tang, K., Jiang, P. Zhou, B., dan He, X. 2015. Reliability and validity of
the perfusion, extent, depth,infection, and sensation (PEDIS) classification
system and score in patient with diabetic foot ulcer. PLOS ONE. 10(4):1-9
EAPC. 2019. Global Statistics on Diabetes. https://www.escardio.org/Sub-specialty-
communities/European-Association-of-Preventive-Cardiology-
(EAPC)/News/global-statistics-on-diabetes [Diakses pada tanggal 28 Juni 2021]

International Diabetes Federation. . 2017. IDF Diabetes Atlas. International


Diabetes Federation. Jurnal International Diabetes
Federation Doi:10.1289/Image.Ehp.V119.I03.
Kate Evans. 2019. Diabetic ketoacidosis: update on management. Journal Clinical
Medicine Volume 19, No 5. UK: Royal Collage Physicians
Kemenkes RI. 2018. InfoDATIN: Hari Diabetes Sedunia. Jakarta: Kemenkes RI
Mogensen CE, Andersen NH, Diabetic and Renal Disease: ACE-Inhibitors,
The Diabetic Kidney,ed Pedro Cortes, Carl Eric Mogensen, Humana
Press Inc 2006,Totowa,New Yersey, page 437-452.
PERKENI. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 Dewasa
di Indonesia 2019. PB PERKENI: 2019.
Prilli G, et al. 2013. Diabetic Ketoacidocis: A Review and Update. Journal Curr
Emerg Hosp Med Rep vol 1, No 10-17. USA; Dapartement of Interna
Medicine
Report., W. | G. 2016. World Health Organization; Available. Retrieved from
http://who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/. [28 Juni 2021]
Sahay, M. dan Sahay, R. 2015. Hyponatremia: a practical approach. Indian Journal of
Endocrinology and Metabolism. 18(6):760-771
Scorpiowomen Dr. 2017. Diabetic Ketoacidocis Management.
https://forum.facmedicine.com/threads/diabetic-ketoacidosis-diagnosis-and-

management.26952/ . [28 Juni 2021]

Silvio et al. 2015. Management of hyperglycaemia in type 2 diabetes, 2015: a


patient-centred approach. Update to a Position Statement of the American
Diabetes Association and the European Association for the Study of Diabetes.
USA; Division of Endocrinology, University of North Carolina School of
Medicine
Schwatrz SS, et al. The time is right for a new classification system for diabetes
rationale and implications of the beta-cell-centric classification schema.
Diabetes Care, 2016;39:179-86.
WHO. 2018. Diabetes. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/diabetes
[Diakses pada tanggal 28 Juni 2021]
Yazdanpanah, L., Shahbazian, H., Nazari, I., Arti, H. R., Ahmadi, F.,
Mohammadianejad, S.E., Cheraghian, B., dan Hesam, S. 2018. Incidence and
risk factors of diabetic foot ulcer: a population-based diabetic foot cohort
(ADFC-study)—two-year follow-up study. International Journal of
Endocrinology 2018. 1-9
Zhang, P., Lu, J., Jing, Y., Tang, S., Zhu, D., dan Bi, Y. 2016. Global epidemiology of
diabetic foot ulceration: a systematic review and meta-analysis. Annals of
Medicine. 49(2): 106-116

Anda mungkin juga menyukai