Diabetes Melitus merupakan sekelompok penyakit metabolic yang
bercirikan adanya hiperglikemia yang timbul akibat defek pada sekresi insulin, kerja insulin, ataupun keduanya. Gejala dari adanya hiperglikemia biasanya ditunjukkan dengan terjadinya poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, kadang-kadang polifagia, dan penglihatan yang menjadi kabur (ADA, 2010). Menurut WHO (2018), besar prevalensi global penderita diabetes mellitus usia > 18 tahun pada tahun 2014 sebesar 8,5% dari sebelumnya sebesar 4,7% pada tahun 1980. Berdasarkan umur penderita, prevalensi global penderita diabetes mellitus pada usia 35-39 tahun sekitar 5%, 45-49 tahun sekitar 10%, 55-59 tahun sekitar 15%, dan pada usia 65-69 tahun mencapai 20% (EAPC, 2019). Cho, et al. (2018) menyatakan bahwa pada tahun 2017, besar prevalensi penderita diabetes mellitus usia 18-99 tahun sebesar 8,4% dan diprediksi akan meningkat hingga mencapai 9,9% pada tahun 2045. Peningkatan prevalensi ini terjadi secara cepat terutama pada negara berpendapatan rendah-sedang. WHO juga menyebutkan bahwa sekitar 1,6 juta jiwa meninggal akibat diabetes pada tahun 2016, sedangkan pada tahun 2012, sekitar 2,2 juta orang meninggal akibat kadar gula darah yang tinggi (WHO, 2018). Menurut hasil Riskesdas (2018), prevalensi diabetes mellitus di Indonesia berdasarkan pemeriksaan darah pada penduduk ≥15 tahun mengalami peningkatan menjadi 8,5% dari sebeumnya pada tahun 2013 sebesar 6,9%. Penderita diabetes terbesar berada pada rentang usia 55-64 tahun dan 65-74 tahun. Penderitanya lebih banyak berjenis kelamin perempuan (1,8%) dibandingkan laki-laki (1,2%) dan lebih banyak pada penduduk kota (1,9%) dibandingkan pedesaan (1,0%). Keadaan hiperglikemia kronis pada penderita diabetes dalam jangka panjang, berhubungan dengan kerusakan, disfungsi, atau kegagalan multiorgan, khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Salah satu komplikasi yang sering terjadi pada penderita diabetes mellitus adalah neuropati perifer. Neuropati pada saraf perifer dapat mengakibatkan rasa tebal pada ujung ekstremitas baik ekstremitas superior maupun inferior yang meningkatkan risiko terjadinya ulkus pedis, amputasi, dan charcot joins (ADA, 2010). Kaki diabetic atau ulkus pedis pada penderita diabetes mellitus merupakan salah satu komplikasi diabetes yang paling signifikan dan menghancurkan, terjadi karena adanya neuropati perifer dan penyakit arteri perifer pada ekstremitas bawah. Sekitar 5% dari keseluruhan penderita dengan diabetes, datang dengan memiliki riwayat terjadinya ulserasi pada kaki. Risiko penderita diabetes mellitus untuk dapat mengalami komplikasi kaki diabetic diperkirakan mencapai 15%. Sekitar 60-80% ulkus pedis akan sembuh dan membaik, 10-15% akan tetap aktif, dan 5-24% mengarah pada amputasi ekstremitas dalam waktu 6-18 bulan setelah evaluasi atau pemeriksaan pertama kali (Alexiadou dan Doupis, 2012). Berdasarkan suatu studi, prevalensi global kaki diabetic diperkirakan mencapai 6,3%, dan prevalensi tertinggi berada di Amerika Utara yaitu sebesar 13%. Insidensinya meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi global diabetes mellitus dan angka harapan hidup yang lama pada penderita diabetes. Menurut studi sebelumnya, setiap 30 detik, satu eksremitas bawah seseorang diamputasi akibat komplikasi diabetes, dan rata-rata pembiayaan kaki diabetic ialah sebsar $8659 untuk setiap penderita. Di Amerika, biaya medis total untuk penanganan kaki diabetic berada pada rentang $9 hingga $13 milyar. Oleh karena itu, international Diabetes Foundation (IDF) mulai meningkatkan kewaspadaannya terhadap kaki diabetic akibat dampak sosial, medis, dan ekonomi (Zhang et al., 2016). Selain neuropati perifer dan angiopati, diabetes mellitus juga memiliki komplikasi berupa nefropati yang akan mengarahkan pada terjadinya kerusakan atau kegagalan ginjal. Ginjal memiliki fungsi sebagai organ eksretori, misalnya air, ion, dan sisa-sisa metabolism tubuh yang dikeluarkan dalam bentuk urin. Ketidakmampuan ginjal dalam mengekskresi beban air atau asupan air yang berlebih dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam keadaan hiponatremia (Sahay, 2014). Hiponatremia merupakan suatu keadaan yang mana kadar natrium dalam serum <135 meq/L. Hiponatremia dapat terjadi baik secara akut maupun kronis. Hiponatremia akut biasanya menimbulkan gejala neurologis akibat adanya edema serebral yang dipicu oleh perpindahan cairan ke otak. Gejala neurologis yang dapat terjadi berupa kejang, perubahan status mental, koma, atau kematian. Sedangkan pada hiponatremia kronis, seringkali penderita asimtomatik. Namun juga bisa muncul gejala seperti mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan beberapa abnormalitas neurologis (Sahay, 2014). 4