Anda di halaman 1dari 37

BAB 1.

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus merupakan sekelompok penyakit metabolic yang


bercirikan adanya hiperglikemia yang timbul akibat defek pada sekresi insulin,
kerja insulin, ataupun keduanya. Gejala dari adanya hiperglikemia biasanya
ditunjukkan dengan terjadinya poliuria, polidipsia, penurunan berat badan,
kadang-kadang polifagia, dan penglihatan yang menjadi kabur (ADA, 2010).
Menurut WHO (2018), besar prevalensi global penderita diabetes mellitus
usia > 18 tahun pada tahun 2014 sebesar 8,5% dari sebelumnya sebesar 4,7% pada
tahun 1980. Berdasarkan umur penderita, prevalensi global penderita diabetes
mellitus pada usia 35-39 tahun sekitar 5%, 45-49 tahun sekitar 10%, 55-59 tahun
sekitar 15%, dan pada usia 65-69 tahun mencapai 20% (EAPC, 2019). Cho, et al.
(2018) menyatakan bahwa pada tahun 2017, besar prevalensi penderita diabetes
mellitus usia 18-99 tahun sebesar 8,4% dan diprediksi akan meningkat hingga
mencapai 9,9% pada tahun 2045. Peningkatan prevalensi ini terjadi secara cepat
terutama pada negara berpendapatan rendah-sedang. WHO juga menyebutkan
bahwa sekitar 1,6 juta jiwa meninggal akibat diabetes pada tahun 2016, sedangkan
pada tahun 2012, sekitar 2,2 juta orang meninggal akibat kadar gula darah yang
tinggi (WHO, 2018).
Menurut hasil Riskesdas (2018), prevalensi diabetes mellitus di Indonesia
berdasarkan pemeriksaan darah pada penduduk ≥15 tahun mengalami peningkatan
menjadi 8,5% dari sebeumnya pada tahun 2013 sebesar 6,9%. Penderita diabetes
terbesar berada pada rentang usia 55-64 tahun dan 65-74 tahun. Penderitanya
lebih banyak berjenis kelamin perempuan (1,8%) dibandingkan laki-laki (1,2%)
dan lebih banyak pada penduduk kota (1,9%) dibandingkan pedesaan (1,0%).
Keadaan hiperglikemia kronis pada penderita diabetes dalam jangka
panjang, berhubungan dengan kerusakan, disfungsi, atau kegagalan multiorgan,
khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Salah satu
komplikasi yang sering terjadi pada penderita diabetes mellitus adalah neuropati
perifer. Neuropati pada saraf perifer dapat mengakibatkan rasa tebal pada ujung
ekstremitas baik ekstremitas superior maupun inferior yang meningkatkan risiko
terjadinya ulkus pedis, amputasi, dan charcot joins (ADA, 2010).
Kaki diabetic atau ulkus pedis pada penderita diabetes mellitus merupakan
salah satu komplikasi diabetes yang paling signifikan dan menghancurkan, terjadi
karena adanya neuropati perifer dan penyakit arteri perifer pada ekstremitas
bawah. Sekitar 5% dari keseluruhan penderita dengan diabetes, datang dengan
memiliki riwayat terjadinya ulserasi pada kaki. Risiko penderita diabetes mellitus
untuk dapat mengalami komplikasi kaki diabetic diperkirakan mencapai 15%.
Sekitar 60-80% ulkus pedis akan sembuh dan membaik, 10-15% akan tetap aktif,
dan 5-24% mengarah pada amputasi ekstremitas dalam waktu 6-18 bulan setelah
evaluasi atau pemeriksaan pertama kali (Alexiadou dan Doupis, 2012).
Berdasarkan suatu studi, prevalensi global kaki diabetic diperkirakan
mencapai 6,3%, dan prevalensi tertinggi berada di Amerika Utara yaitu sebesar
13%. Insidensinya meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi global
diabetes mellitus dan angka harapan hidup yang lama pada penderita diabetes.
Menurut studi sebelumnya, setiap 30 detik, satu eksremitas bawah seseorang
diamputasi akibat komplikasi diabetes, dan rata-rata pembiayaan kaki diabetic
ialah sebsar $8659 untuk setiap penderita. Di Amerika, biaya medis total untuk
penanganan kaki diabetic berada pada rentang $9 hingga $13 milyar. Oleh karena
itu, international Diabetes Foundation (IDF) mulai meningkatkan
kewaspadaannya terhadap kaki diabetic akibat dampak sosial, medis, dan ekonomi
(Zhang et al., 2016).
Selain neuropati perifer dan angiopati, diabetes mellitus juga memiliki
komplikasi berupa nefropati yang akan mengarahkan pada terjadinya kerusakan
atau kegagalan ginjal. Ginjal memiliki fungsi sebagai organ eksretori, misalnya
air, ion, dan sisa-sisa metabolism tubuh yang dikeluarkan dalam bentuk urin.
Ketidakmampuan ginjal dalam mengekskresi beban air atau asupan air yang
berlebih dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam keadaan hiponatremia (Sahay,
2014).
Hiponatremia merupakan suatu keadaan yang mana kadar natrium dalam
serum <135 meq/L. Hiponatremia dapat terjadi baik secara akut maupun kronis.
Hiponatremia akut biasanya menimbulkan gejala neurologis akibat adanya edema
serebral yang dipicu oleh perpindahan cairan ke otak. Gejala neurologis yang
dapat terjadi berupa kejang, perubahan status mental, koma, atau kematian.
Sedangkan pada hiponatremia kronis, seringkali penderita asimtomatik. Namun
juga bisa muncul gejala seperti mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan
beberapa abnormalitas neurologis (Sahay, 2014).
BAB 2. LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Penderita


Nama : Ny. J
Umur : 49 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Patrang Tengah, Jember
Status : Sudah Menikah
Pendidikan : SMP
Suku : Jawa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Status Pelayanan : BPJS NPBI
No. RM : 095436
Tanggal MRS : 27 Juni 2021
Tanggal Pemeriksaan : 27 Juni 2021
Tanggal KRS : 28 Juni 2021

2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan heteroanamnesis dilakukan kepada pasien dan anak pasien pada
tanggal 27 Juni 2021 di Ruang A RSD dr. Soebandi Jember.

2.2.1 Keluhan Utama


Kesadaran menurun.

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


. Pasien datang ke IGD RSDS dengan keluhan penurunan kesadaran sejak minggu dini hari (27/6) .
Keluarga pasien mengetahui pasien mengalami penurunan kesadaran ketika dibangunkan tetapi
tidak ada respon. Tidak ada kelemahan anggota gerak. Pasien mengonsumsi obat diabetes dua
macam, tetapi lupa nama obatnya. Keluarga tidak ada keluhan seperti pasien saat ini. Keluarga
pasien mengaku bahwa pasien memiliki riwayat gula darah tinggi. Saat ini pasien mengalami
penurunan kesadaran
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien menderita Diabetes Melitus sejak dua tahun
yang lalu rutin mengonsumsi obat

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita hal serupa.

2.2.5 Riwayat Pengobatan


Pasien mengonsumsi 2 jenis obat diabetes tetapi lupa namanya

2.2.6 Riwayat Sosial Lingkungan Ekonomi


Pasien tinggal bersama dengan suami, dan dua anak,. Pasien seorang Ibu Rumah Tangga,
Suami bekerja sebagai sopir GOJEK, kedua anak pasien seorang Pegawai Swasta dengan
penghasilan tidak menentu + Rp. 1000.000 – Rp 1500.000.
Kesan : Riwayat sosial lingkungan ekonomi menengah kebawah.

2.2.7 Riwayat Sanitasi Lingkungan


Pasien menggunakan air sumur untuk kebutuhan mandi dan mencuci dan sebagai
sumber air untuk dikonsumsi. Air minum sehari-hari yang berasal dari sumur selalu dimasak
hingga mendidih sebelum dikonsumsi. Untuk kebutuhan kakus, pasien dan keluarga
menggunakan kamar mandi sendiri. Kamar mandi menggunakan jamban cemplung yang
terletak di bagian belakang rumah dengan lantai ubin.
Kesan : Riwayat sanitasi lingkungan cukup.

2.2.8 Riwayat Gizi


Dalam sehari pasien dapat makan 2-3 kali. Rata-rata menu setiap harinya adalah
nasi, tempe, tahu, sayur, telur, terkadang ikan dan ayam.
BB : 52 kg
TB : 160 cm
BMI = Berat Badan (kg) = 52
Tinggi Badan(m)2 (1,6)2
BMI = 20,3 (Normal)

2.2.9 Anamnesis Sistem


- Sistem serebrospinal : penurunan kesadaran (+), demam (-),
kejang (-), nyeri kepala (-), pusing (-)
- Sistem kardiovaskular : palpitasi (-)
- Sistem pernapasan : sesak (-), batuk (-), pilek (-)
nyeri dada (-)
- Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), diare (-), nafsu
nyeri tekan (-), BAB (+)
- Sistem urogenital : BAK (+)
- Sistem integumentum : turgor kulit normal, sianosis (-), ikterik
(-), ulkus (+) pada pedis dextra dan sinistra
- Sistem muskuloskeletal : kelemahan ekstremitas (-), edema (-), atrofi (-),
deformitas (-) ulkus (+) pada pedis dextra dan sinistra
- Sistem reproduksi : dalam batas normal

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1 Pemeriksaan Umum Pada Tanggal 27 Juni 2021 (IGD RSDS)
Keadaan Umum : Penurunan Kesadaran
Kesadaran : GCS 2-2-6
Vital Sign : TD : 128/64mmHg
Nadi : 60x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,3oC
SpO2 : 97%
Pernapasan : sesak (-), batuk (-), pilek (-)
Kulit : turgor kulit normal, sianosis (-), ikterik (-), gatal (-)
Kelenjar limfe : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Otot : edema (-), atrofi (-)
Tulang : deformitas (-)
Status gizi : BB 70
TB : 150 cm
BMI : 31,1

2.3.2 Pemeriksaan Fisik Khusus


a. Kepala
- Bentuk : normocephal
- Rambut : hitam, keriting
- Mata : konjungtiva anemis : -/-
sklera ikterus : -/-
edema palpebra : -/-
refleks cahaya : +/+
- Hidung : sekret (-), bau (-), pernapasan cuping hidung (+)
- Telinga : sekret (-), bau (-), perdarahan (-)
- Mulut : sianosis (-), bau (-), plak berwana putih di lidah (-)
b. Leher
- KGB : dalam batas normal
- Tiroid : dalam batas normal
- JVP : tidak meningkat
c. Thorax
1. Cor :
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis teraba ICS V MCL S
- Perkusi : redup di ICS II PSL D s.d ICS II PSL S, ICS IV PSL D s/d ICS V MCL
S
- Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, suara tambahan (-)

2. Pulmo :
Ventral Dorsal
Inspeksi: Inspeksi:
 Bentuk thoraks normal  Bentuk thoraks normal
 Simetris  Simetris
 Retraksi +/+  Retraksi +/+
 Ketinggalan gerak -/-  Ketinggalan gerak -/-
 Deviasi trakea -
Palpasi: Palpasi:
 Letak trakea dan iktus kordis  Nyeri tekan (–)
normal  Ruang antar iga teraba
 Ruang antar iga teraba normal
normal  Ekspansi dada
 Ekspansi dada N N
N N N
N N N N
N N
 Fremitus raba N
N N  Fremitus raba
N N N N
N N N N
N N
Perkusi : Perkusi :
S S S S
S S
S S S S S S S
S S SS S
S S
Ventral Dorsal
Auskultasi : Auskultasi :
Suara nafas dasar: Suara nafas dasar:
V V V V
V V V V
V V V V

Suara nafas tambahan: Suara nafas tambahan:


Rhonki Rhonki
- - - -
- - - -
- - - -

Wheezing Wheezing
- - - -
- - - -
- - - -

d. Abdomen
- Inspeksi : flat
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Palpasi : soepel, nyeri tekan (-), nyeri ketok ginjal (-)
- Perkusi : timpani
e. Ekstremitas
- Superior : akral hangat -/-, edema-/-
- Inferior : akral hangat -/-, edema -/-, Tampak Ulkus pada pedis dextra dan
sinistra berwarna kekuningan dengan tepi basah

2.3.3 Pemeriksaan Umum Pada Tanggal 27 Juni 2021 (Ruang A RSDS)


Keadaan Umum : lemah
Kesadaran : GCS 4-5-6
Vital Sign : TD : 110/60mmHg
Nadi : 90x/menit
RR : 28x/menit
Suhu : 36,5oC
SpO2 : 97%
Pernapasan : sesak (-), batuk (-), pilek (-)
Kulit : turgor kulit normal, sianosis (-), ikterik (-), gatal (-)
Kelenjar limfe : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Otot : edema (-), atrofi (-)
Tulang : deformitas (-)
Status gizi : BB 70
TB : 150 cm
BMI : 31,5

2.3.4 Pemeriksaan Fisik Khusus


a. Kepala
- Bentuk : normocephal
- Rambut : hitam, keriting
- Mata : konjungtiva anemis : -/-
sklera ikterus : -/-
edema palpebra : -/-
refleks cahaya : +/+
- Hidung : sekret (-), bau (-), pernapasan cuping hidung (-)
- Telinga : sekret (-), bau (-), perdarahan (-)
- Mulut : sianosis (-), bau (-), plak berwana putih di lidah (-)
b. Leher
- KGB : dalam batas normal
- Tiroid : dalam batas normal
- JVP : tidak meningkat
c. Thorax
1. Cor :
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis teraba ICS V MCL S
- Perkusi : redup di ICS II PSL D s.d ICS II PSL S, ICS IV PSL D s/d ICS V MCL
S
- Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, suara tambahan (-)
3. Pulmo :
Ventral Dorsal
Inspeksi: Inspeksi:
 Bentuk thoraks normal  Bentuk thoraks normal
 Simetris  Simetris
 Retraksi -/-  Retraksi -/-
 Ketinggalan gerak -/-  Ketinggalan gerak -/-
 Deviasi trakea -
Palpasi: Palpasi:
 Letak trakea dan iktus kordis  Nyeri tekan (–)
normal  Ruang antar iga teraba
 Ruang antar iga teraba normal
normal  Ekspansi dada
 Ekspansi dada N N
N N N
N N N N
N N
 Fremitus raba N
N N  Fremitus raba
N N N N
N N N N
N N
Perkusi : Perkusi :
S S S S
S S S S
S S S S S S S S
S S S S
Ventral Dorsal
Auskultasi : Auskultasi :
Suara nafas dasar: Suara nafas dasar:
V V V V
V V V V
V V V V

Suara nafas tambahan: Suara nafas tambahan:


Rhonki Rhonki
- - - -
- - - -
- - - -

Wheezing Wheezing
- - - -
- - - -
- - - -

d. Abdomen
- Inspeksi : flat
- Auskultasi :bising usus (+) normal
- Palpasi :soepel, nyeri tekan (-), nyeri ketok ginjal (-)
- Perkusi :hipertimpani
e. Ekstremitas
- Superior :akral hangat +/+, edema-/-
- Inferior : akral hangat +/+, edema -/- Tampak Ulkus pada pedis dextra dan sinistra
berwarna kekuningan dengan tepi basah

2.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium (27-06-2021) ( Pukul 09.30)
Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Normal
Glukosa Sewaktu 26 <200

2. Pemeriksaan Laboratorium (27-06-2021) (Pukul 09.30)


Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Normal
Hemoglobin 13,6 12-16
Lekosit 8,1 4,5-11
Hitung Jenis 5/-/-/72/15/8 0-4/0-1/3-5/54-
62/25-33/2-6/36-46
Hematokrit 41,3 36-46
Trombosit 245 150-450
SGOT 22 10-31
SGPT 16 9-36
Natrium 140,9 135-155
Kalium 3,87 3,5-5
Chlorida 108,5 90-110
Kreatinin Serum 0,7 0,5-1,1
BUN 15 6-20

3. Pemeriksaan Laboratorium (27-06-2021) (Pukul 10.25)

Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Normal


Glukosa Sewaktu 247 >200
1. Pemeriksaan Thorax Foto

Kesan: Normal

2. Pemeriksaan EKG
2.5 Resume
 Anamnesis:
Perempuan usia 42 tahun datang ke IGD RSDS dengan keluhan penurunan kesadaran
sejak minggu dini hari (27/6) . Keluarga pasien mengetahui pasien mengalami
penurunan kesadaran ketika dibangunkan tetapi tidak ada respon. Tidak ada kelemahan
anggota gerak. Pasien mengonsumsi obat diabetes dua macam, tetapi lupa nama
obatnya. Keluarga tidak ada keluhan seperti pasien saat ini. Keluarga pasien mengaku
bahwa pasien memiliki riwayat gula darah tinggi. Saat ini pasien mengalami penurunan
kesadaran
 Pemeriksaan Fisik:
- Pada pemeriksaan fisik umum, didapatkan keadaan umum pasien Penuruanan kesadaran, GCS
2-2-5, Tampak Ulkus pada pedis dextra dan sinistra berwarna kekuningan dengan tepi
basah
 Pemeriksaan Penunjang:
Laboratorium : Gula darah turun
2.6 Diagnosis
DM Hipoglikemia + Gangren Pedis
2.7 Planning
2.7.1 Planning Monitoring
 Vital Sign
 Gula darah
 Perburukan infeksi
 Kesadaran

2.7.2 Planning Diagnostik


 Darah Lengkap
 Foto Thoraks
 EKG
 GDP / GDA
2.7.3 Planning Terapi
Inf. D10 14 tpm
Inj lansoprazole 1x1
2.7.3 Planning Edukasi

Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien kepada keluarga (penyebab,


perjalanan penyakit, perawatan, prognosis, komplikasi serta usaha pencegahan
komplikasi)

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad
malam Quo ad sanationam : Dubia ad
malam Quo ad functionam : Dubia ad
malam

2.9 Follow Up
27 Jun1 2021 28 Juni 2021
S KU: Lemas KU: lemas
O KU: Lemah KU: lemah
Kes: GCS 4-5-6 Kes: GCS 4-5-
TD: 110/60mmHg 6
N: 90x/mnt TD: 120/90 mmHg
RR: 28x/mnt N: 85x/mnt
Tax: 36,5oC RR: 28x/mnt
SpO2: 97% Tax: 36,7 oC
K/L:a/i/c/d: -/-/-/- SpO2 : 99%
Thorax: c/dbn K/L:a/i/c/d: -/-/-/-
p/ I : simetri +/+, retraksi -/- Thorax: c/dbn
P: fr raba n/n p/ I : simetri +/+, retraksi
P : sonor/sonor +/+,
A : ves/ves rho +/+ P: fr raba n/n
whe -/- P : sonor/sonor
Abd: cembung, BU (+) normal, nyeri A : ves/ves rho +/+
tekan (-), timpani, soepel whe -/-
Abd: cembung, BU (+) normal, nyeri
Ext: AH di keempat akral, edema ext
tekan (-), timpani, soepel
atas +/-; edema ext bawah -/- Tampak
Ext: AH di keempat akral, edema ext
Ulkus pada pedis dextra dan sinistra
atas +/-; edema ext bawah -/- Tampak
berwarna kekuningan dengan tepi basah
Ulkus pada pedis dextra dan sinistra
berwarna kekuningan dengan tepi
basah

A DM Hipoglikemia + Gangren Pedis DM Hipoglikemia + Gangren Pedis


P Inf. D10% 14 tpm Inf. D10% 14 tpm
Inj Lansoprazole 1x1 Inj Lansoprazole 1x1
BAB 3. PEMBAHASAN

3.1 Diabetes Melitus


3.1.1 Definisi Diabetes Militis
Menurut American Diabetes Association (ADA) (2015), Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karaketeristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya.

3.1.2 Klasifikasi Diabetes Militus


Klasifikasi DM berdasarkan etiologi menurut Perkeni (2019) ialah sebagai
berikut:
Klasifikasi Deskripsi
Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya berhubungan dengan
defisiensi insulin absolut
- Autoimun

- Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi
insulin disertai defisiensi relatif sampai yang
dominan
defek sekresi insulin disertai resistensi insulin
Diabetes melitus Diabetes yang didiagnosis pada trimester kedua
gestasional atau ketiga kehamilan dimana sebelum kehamilan
tidak didapatkan diabetes
Tipe spesifik yang berkaitan - Sindroma diabetes monogenik (diabetes
dengan penyebab lain neonatal, maturity – onset diabetes of the
young [MODY])
- Penyakit eksokrin pankreas (fibrosis kistik,
pankreatitis)
- Disebabkan oleh obat atau zat kimia
(misalnya penggunaan glukokortikoid pada
terapi HIV/AIDS atau setelah transplantasi
organ)
3.1.3 Patogenesis Diabetes Militus

Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta pankreas
dikenal sebagai patofisiologi sentral dari DM tipe 2. Hasil penelitian terbaru telah
diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat dari yang
diperkirakan sebelumnya. Schwartz (2016), menyampaikan bahwa tidak hanya
otot, hepar, dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam

patogenesis penyandang DM tipe 2 tetapi terdapat delapan organ lain


yang berperan, disebut sebagai the egregious eleven.

3.1.4 Diagnosis Diabetes Militus


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria. Keluhan klasik pada pasien DM adalah poliuria, polidipsia, polifagia,
dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan
lainnya yaitu lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi
pada pria serta pruritus vulvae pada wanita.
Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori mininaml 8 jam

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dL 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa sebesar 75 gram

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL + keluhan klasik

Atau

Pemeriksaan HbA1C ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh

National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP)

Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosi Diabetes dan Prediabetes


HbA1C (%) Glukosa Darah Puasa Glukosa plasma
(mg/dL) 2 jam setelah
TTGO (mg/dL)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200
Pre-diabetes 5,7 – 6,4 100 – 125 140 – 199
Normal < 5,7 70 - 99 70 – 139

Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan
TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM.

3.1.5 Tatalaksana Diabetes Militus


Tatalaksana pada diabetes melitus terdiri atas:

1. Edukasi

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan


sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat
penting dari pengelolaan secara holistik.
2. Terapi Nutrisi Medis

Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan


anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan
jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang
menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu
sendiri.

3. Latihan Fisik

Program latihan fisik secara teratur dilakukan 3-5 hari seminggu selama
30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu, dengan jeda antar latihan tidak
lebih dari 2 hari berturut-turut. Latihan fisik selain untuk menjaga kebugaran
juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,
sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan fisik yang dianjurkan
berupa latihan fisik bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-70% denyut
jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda lantai, jogging, dan berenang.
Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara mengurangi 220 dengan usia
pasien.

4. Terapi Farmakologi

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan


latihan jasmani (gaya hidup sehat). Beriku terapi farmakologi untuk DM:

1. Obat Antihiperglikemia Oral

a) Pemicu Sekresi Insulin (Insulin Secretogogue)

(1) Sulfonilurea

(2) Glinid

b) Peningkatan Sensitivitas terhadap Insulun

(1) Metformin

(2) Tiazolidinedion (TZD)

c) Penghambat Alfa Glukosidase


d) Penghambat enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4 inhibitor)

e) Penghambat enzim Sodium Glucose co-Transporter 2 (SGLT-2 inhibitor)

Profil Obat Antihiperglikemia Orang yang terrsedia di Indonesia

2. Obat Antihiperglikemia Suntik

a) Insulin

Insulin digunakan pada keadaan :

A. HbA1c saat diperiksa 7.5% dan sudah menggunakan satu atau dua
obat antidiabetes
B. HbA1c saat diperiksa > 9%

C. Penurunan berat badan yang cepat

D. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

E. Krisis Hiperglikemia

F. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

G. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)

H. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak


terkendali dengan perencanaan makan
I. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

J. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO


K. Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

b) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic

Agonis GLP-1 mempunyai efek menurunkan berat badan, menghambat


pelepasan glukagon, menghambat nafsu makan, dan memperlambat
pengosongan lambung sehingga menurunkan kadar glukosa darah
postprandial. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain
rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk golongan ini adalah:
Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, Lixisenatide dan Dulaglutide.

3. Terapi Kombinasi

Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan


pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang).
Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur, sedangkan
insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur, atau
diberikan pada pagi hari sesuai dengan kenyamanan pasien. Pendekatan terapi
tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan
dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi adalah
6- 10 unit. kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa darah
puasa keesokan harinya.

Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit) apabila kadar
glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaaan kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal,
maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, sedangkan
pemberian obat antihiperglikemia oral terutama golongan Sulfonilurea dihentikan
dengan hati- hati.
Daftar Obat Anti Hiperglikemik Oral
Sediaan Insulin Eksogen

30
3.2 Diabetic Foot

3.2.1 Pasien dengan diabetes perlu diperiksa terkait insufisiensi arteri dan penyakit
neuropati pada suatu jadwal yang terstruktur berdasarkan faktor risiko yang ada.
Periksa suhu, respirasi, denyut jantung, da tekanan darah pada kedua ekstremitas dan
catat apabila terdapat keadaan yang abnormal. Adanya demam, takikardi, atau
takipnea dapat mengindikasikan adanya ulserasi yang terinfeksi. Evaluasi status
vaskuler pasien dengan melakukan palpasi pada seluruh pulsasi perifer dan periksa
tampak dan suhu pada setiap ekstremitas. Apabila memungkinkan, pengukuran
ankle brachial index (ABI) juga dapat dilakukan. Apabila didapatkan hasil 1-1,2
maka ABI normal, dan apabila didapatkan hasil <0,6 mengindikasikan adanya
klaudikasio.

Insufisiensi arteri memiliki karakteristik berupa adanya klaudikasio yang


intermiten atau limb ischemia, kulit kering, berkilau, dan hairless pada bagian
ekstremitas yang terkena, kuku yang rapuh, dan kulit yang dingin ketika dipegang.
Penderita dengan insufisiensi ringan juga dapat memiliki riwayat adanya disfungsi
erektil atau penyakit kardiovaskular. Pemeriksaan aliran darah arteri juga bisa
dilakukan dengan mengangkat kaki hingga tinggi diatas jantung. Kaki yang normal
akan menunjukkan warna kulit yang tetap merah muda, sedangkan kaki dengan
insufisiensi arteri akan berubah warna menjadi lebih pucat.

Neuropati pada penderita diabetes mellitus ditandai dengan adanya rasa kebas,
tebal, parestesia, dan sensasi terbakar. Adanya rasa tebal dan hilangnya sensasi
perifer menyebabkan penderita harus selalu diperiksa secara teratur. Apabila pasien
memiliki luka pada kaki, lakukan inspeksi, palpasi, dan evaluasi pada pemeriksaan
awal dan pemeriksaan follow up untuk mengetahui perkembangan luka dan adanya
keterlibatan tulang (osteomyelitis).

3.2.2 Kaki diabetic atau ulserasi diabetic memiliki banyak sistem klasifikasi.
Klasifikasi ini dapat berdasarkan kedalaman luka dan tingkat terjadinya infeksi.
Klasifikasi Wagner dan Texas merupakan klasifikasi yang paling sering ditemukan
dan digunakan yang ditunjukkan sebagai berikut.
Gambar 3.6 Klasifikasi Wagner

Gambar 3.7 Klasifikasi Texas


Selain sistem klasifikasi Wagner dan Texas, terdapat juga sistem klasifikasi ulserasi
diabetic yang baru, yaitu sistem klasifikasi PEDIS. Sistem klasifikasi ini mencakup lebih
banyak aspek yang berperan dalam pathogenesis ulserasi diabetic. Sistem klasifikasi PEDIS
memiliki 5 aspek yaitu: perfusion, extent/size, depth/tissue loss, infection, dan sensation.
Kategori ini dianggap menjadi yang paling relevant atau cocok dengan pathogenesis
terjadinya ulserasi diabetic. Sistem klasifikasi PEDIS ditunjukkan sebagai berikut.

Gambar 3.8 Sistem Klasifikasi PEDIS


Risiko seseorang untuk menderita ulserasi diabetic juga diklasifikasikan menjadi
beberapa kategori, diantaranya dijabarkan pada Gambar 3.9 sebagai berikut.
Gambar Klasifikasi risiko ulserasi diabetik / kaki diabetik
Penderita patut dcurigai mengalami osteomyelitis apabila ulserasi berada tepat diatas
penonjolan tulang dan ulserasi gagal sembuh dengan pengurangan tekanan. Tes diagnostic
untuk osteomyelittis ialah probe to bone dan erythrocyte sedimentation rate (ESR). PADA
probe bone test, probe steril yang tumpul dimasukkan kedalam luka, adanya rasa keras,
seperti terdapat pasir merupakan temuan positif terdapat osteomyelitis. Adanya ESR > 70
mm/jam juga mengarahkan adanya osteomyelitis. Selain kedua pemeriksaan tersebut, foto x-
ray juga dapat dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang tambahan.

3.2.3 Gold standard untuk penanganan kaki diabetic diantaranya debridement luka,
manajemen adanya risiko atau telah adanya infeksi, prosedur revaskularisasi, dan
off-loading area yang mengalami ulserasi. Beberapa cara lain juga disarankan untuk
menambah efek yang baik terhadap terapi seperti terapi oksigen hiperbarik,
penggunaan produk perawatan luka dan terapi luka tekanan negative.
a. Debridement
Debridement sebaiknya dilakukan pada semua luka yang kronis untuk
menghlangkan debris dan jaringan nekrotik. Tindakan ini memperbaiki
penyembuhan dengan menginisiasi produksi jaringan granulasi dan dapat dilakukan
baik secara pembedahan, enzimatik, biologis, dan autolysis. Debridement
pembedahan dilakukan dengan menggunakan scalpel dan merupakan tindakan yang
cepat dan feketif untuk menghilangkan hyperkeratosis dan jaringan yang mati.
Perawatan yang particular diperlukan untuk melindungi jaringan yang sehat, yang
tampak berwarna merah hingga merah tua. Scalpel digunakan 45 derajat, semua
jaringan nekrotik harus dihilangkan hingga tampak lapisan jaringan yang sehat.
Apabila dicurigai terdapat iskemia yang berat, debridement harus ditunda hingga
vaskularisasi membaik, jika perlu, lakukan tindakan revaskularisasi.
Debridement enzimatik dapat dilakukan dengan bantuan enzim
termasuk carbe-derived collagenase, kombinasi streptokinase dan streptodornase
dan lain sebagainya. Enzim ini mampu menghilangkan jaringan nekrotik tanpa
merusak jaringan yang sehat. Meskkipun mahal, metode ini diindikasikan untuk
ulserasi yang iskemik.
Debridement biologis dapat dilakukan dengan menggunakan belatung
(maggot) steril. Maggot mempunyai kemampuan untuk mencerna permukaan debris,
bakteri, dan hanya jaringan nekrotik, meninggalkan jaringan sehat yang intak.
Metode ini juga efektif untuk eliminasi pathogen yang resisten terhadap obat seperti
Streptococcus aureus yang resisten terhadap metisilin pada permukaan luka.
Debridement autolitik dilakukan dengan cara menggunakan dressing
yang nantinya akan menciptakan suasana lembab yang akan mengaktifkan enzim-
enzim tubuh dan mengaktivasi kerja neutrofil dan makrofag terhadap jaringan atau
sel yang mati. Autolitik dapat ditingkatkan kerjanya dengan penggunaan
hidrokoloid, hidrogel, dan films.
b. Off-loading
Tindakan pengurangan atau pengtidakadaan beban pada area ulserasi
merupakan hal yang penting untuk penyembuhan ulserasi terutama ulserasi yang
berada di plantar. Metode off-loading yang paling efektif dan dianggap sebagai gold
standard ialah penggunaan nonremovable total-contact cast (NTCC). Alat ini dibuat
dari bahan plaster atau fast-setting fiberglass cast. NTCC diindikasikan untuk
metode efektif off-loading pada ulserasi yang terletak di forefoot atau midfoot.
Adanya iskemia kaki yang berat, abses dakam, osteomyelitis, dan kualitas kulit yang
buruk merupakan kontraindikasi absolute dari penggunaan NTCC.
Selain NTCC, terdapat pilihan lain yaitu removable cast walker
(RCW), yang biasanya memiliki berat yang ringan, dan kerngka semirigid yang
dapat menyokong ekstremitas serta menyediakan perlindungan terhadapnya. Alat ini
memberikan efek off-loading pada forefoot saat berdiri dan berjalan.

Gambar 3.16 Removable cast walker (RCW)

c. Dressing
Ulserasi sembuh lebih cepat dan seringkali sedikit berkomplikasi
dengan infeksi ketika berada pada suasana yang lembab. Satu-satunya pengecualian
yaitu apabila luka ulserasi merupakan luka gangrene yang kering, yang mana area
nekrotik harus dipertahankan agar kering untuk mencegah infeksi dan konversi
menjadi gangrene basah. Eksudat luka kaya akan sitokin, trombosit, leukosit, faktor
pertumbuhan, dan matriks metalloproteinase dan enzim-enzim lain. Sebagian besar
enzim ini menginisiasi proses penyembuhan melalui proliferasi fibroblast dan
keratinosit serta angiogenesis. Dressing yang ideal harus terhindar dari kontaminan
dan mudah menghilangkan eksudat yang timbul dan komponen toksik, yang dapat
mempertahankan lingkungan yang lembab pada dressing, impermeable dari
mikroorganisme, memungkinkan terjadinya pertukaran gas, dan dapat mudah dilepas
serta biaya murah.
d. Terapi luka dengan tekanan negative
Negative pressure wound therapy (NPWT) mulai diperkenalkan
sebagai metode penanganan baru untuk kaki diabetic. Metode ini dilakukan dengan
penggunaan tekanan negative yang berkelanjutan atau berselang melalui pompa
khusus yang menyediakan lingkungan tertutup. Pompa dihubungkan dengan suatu
wadah untuk menampung discharge atau eksudat dari luka. NPWT dianggap dapat
mengoptimalisasi aliran darah, mengurangi edema jaringan, menghilangkan eksudat,
sitokin proinflamasi, dan bakteri dari area luka. Tindakan ini sebaiknya dilakukan
setelah tindakan debridemnt dan diteruskan hingga jaringan granulasi yang sehat
pada permukaan ulserasi terbentuk. NPWT diindikasikan pada luka kaki diabetic
yang kompleks dan kontraindikasi pada penderita dengan ulserasi yang mengalami
perdarahan aktif.
e. Oksigen hiperbarik
Dari studi-studi sebelumnya, terdapat bukti yang kuat jika sel
fibroblast, endotel, dan keratinosit dapat bereplikasi pada kecepatan yang paling
tinggi pada lingkungan yang kaya dengan oksigen. Leukosit juga dapat
mengeliminasi bakteri secara efektif ketika diberi suplai oksigen yang adekuat.
Metode ini merupakan metode dengan pemberian oksigen 100% pada tekanan yang
lebih tinggi dibandingkan tekanan diatas permukaan laut. Metode ini dilakukan
dalam sebuah ruang dengan pasien yang menghirup oksigen 100% berselang dengan
tekanan atmosfer dinaikkan hingga 2-3 atm selama 1-2 jam. Oksigen hiperbarik
dapat sebagai terapi tambahan pada penderita dengan infeksi jaringan lunak yang
berat dan osteomyelitis yang tidak berespon terhadap penanganan konvensional.
f. Pengendalian Infeksi
Penderita dengan kaki diabetic terinfeksi sebaiknya diberikan regimen
antibiotic berdasarkan hasil kultur luka. Infeksi ringan dapat diberikan antibiotic
selama 2 minggu, infeksi dalam dapat diberikan antibiotic hingga mencapai 2 bulan.
Mikrooorganisme yang paling sering terdapat pada infeksi kaki diabetic adalah
Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella, Escherichia coli, dan Staphylococcus aureus.
Bakteri gram negative berespon terhadap ampicillin dengan sulfobactam, cefepine
dengan tazobactam, dan ceftriaxon dengan tazobactam. Bakteri gram positif
berespon terhadap antibiotic golongan teicoplanin, minosiklin, dan amoksisilin plus
asam klavulanat.
g. Perawatan kaki
Bagi penderita diabetes mellitus yang telah mengalami komplikasi
berupa neuropati perifer, penyakit arteri perifer, dan ulserasi kaki, perlu
memerhatikan beberapa hal sebagai berikut.
1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air.
2. Periksa kaki setiap hari, dan dilaporkan pada dokter apabila kulit terkelupas,
kemerahan, atau luka.
3. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.
4. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan mengoleskan krim
pelembab pada kulit kaki yang kering.
5. Potong kuku secara teratur.
6. Keringkan kaki dan sela-sela jari kaki secara teratur setelah dari kamar mandi.
7. Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan pada
ujung-ujung jari kaki.
8. Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur.
9. Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang dibuat khusus.
10. Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak tinggi.
11. Hindari penggunaan bantal atau botol berisi air panas/batu untuk
menghangatkan kaki.
DAFTAR PUSTAKA

Alexiadou, K. dan Doupis, J. 2012. Management of diabetic foot ulcers. Diabetes


Ther. (3)4: 1-15
American Diabetes Association. 2010. Diagnosis and classification of diabetes:
standards of medical care in diabetes-2010. Supplement 1. 62-69.
https://doi.org/10.2337/dc10-S062
American Diabetes Association. 2018. Diagnosis and classification of diabetes:
standards of medical care in diabetes-2018. Supplement 1. 13-27.
https://doi.org/10.2337/dc18-S002
Amin, N. dan Doupis, J. 2016. Diabetic foot disease: From the evaluation of the “foot
at risk” to the novel diabetic ulcer treatment modalities. World Journal of
Diabetes. 7(7): 153-164
Aru W. Sudoyo, et al. 2017. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Aumiller, W.D. dan Dollahite, H.A. 2015. Pathogenesis and management of diabetic
foot ulcers. Journal of the American Academy of Physician Assistants. 28(5):
28-34
Cho, N.H., Shaw, J.E., Karuranga, S., Huang, Y., Fernandes, J.D.R., Ohlrogge, A.W.,
dan Malanda, B. 2018. IDF diabetes atlas: Global estimates of diabetes
prevalence for 2017 and rojections for 2045. Diabetes Research and Clinical
Practice. 138: 271-281
Chuan, F., Tang, K., Jiang, P. Zhou, B., dan He, X. 2015. Reliability and validity of
the perfusion, extent, depth,infection, and sensation (PEDIS) classification
system and score in patient with diabetic foot ulcer. PLOS ONE. 10(4):1-9
EAPC. 2019. Global Statistics on Diabetes. https://www.escardio.org/Sub-specialty-
communities/European-Association-of-Preventive-Cardiology-
(EAPC)/News/global-statistics-on-diabetes [Diakses pada tanggal 28 Juni 2021]

International Diabetes Federation. . 2017. IDF Diabetes Atlas. International


Diabetes Federation. Jurnal International Diabetes
Federation Doi:10.1289/Image.Ehp.V119.I03.
Kate Evans. 2019. Diabetic ketoacidosis: update on management. Journal Clinical
Medicine Volume 19, No 5. UK: Royal Collage Physicians
Kemenkes RI. 2018. InfoDATIN: Hari Diabetes Sedunia. Jakarta: Kemenkes RI
Mogensen CE, Andersen NH, Diabetic and Renal Disease: ACE-Inhibitors,
The Diabetic Kidney,ed Pedro Cortes, Carl Eric Mogensen, Humana
Press Inc 2006,Totowa,New Yersey, page 437-452.
PERKENI. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 Dewasa
di Indonesia 2019. PB PERKENI: 2019.
Prilli G, et al. 2013. Diabetic Ketoacidocis: A Review and Update. Journal Curr
Emerg Hosp Med Rep vol 1, No 10-17. USA; Dapartement of Interna
Medicine
Report., W. | G. 2016. World Health Organization; Available. Retrieved from
http://who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/. [28 Juni 2021]
Sahay, M. dan Sahay, R. 2015. Hyponatremia: a practical approach. Indian Journal of
Endocrinology and Metabolism. 18(6):760-771
Scorpiowomen Dr. 2017. Diabetic Ketoacidocis Management.
https://forum.facmedicine.com/threads/diabetic-ketoacidosis-diagnosis-and-

management.26952/ . [28 Juni 2021]

Silvio et al. 2015. Management of hyperglycaemia in type 2 diabetes, 2015: a


patient-centred approach. Update to a Position Statement of the American
Diabetes Association and the European Association for the Study of Diabetes.
USA; Division of Endocrinology, University of North Carolina School of
Medicine
Schwatrz SS, et al. The time is right for a new classification system for diabetes
rationale and implications of the beta-cell-centric classification schema.
Diabetes Care, 2016;39:179-86.
WHO. 2018. Diabetes. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/diabetes
[Diakses pada tanggal 28 Juni 2021]
Yazdanpanah, L., Shahbazian, H., Nazari, I., Arti, H. R., Ahmadi, F.,
Mohammadianejad, S.E., Cheraghian, B., dan Hesam, S. 2018. Incidence and
risk factors of diabetic foot ulcer: a population-based diabetic foot cohort
(ADFC-study)—two-year follow-up study. International Journal of
Endocrinology 2018. 1-9
Zhang, P., Lu, J., Jing, Y., Tang, S., Zhu, D., dan Bi, Y. 2016. Global epidemiology of
diabetic foot ulceration: a systematic review and meta-analysis. Annals of
Medicine. 49(2): 106-116

Anda mungkin juga menyukai