Anda di halaman 1dari 22

i

REFERAT
ILMU BEDAH

ABSES PERIANAL
ii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL........................................................................................ i
HALAMAN JUDUL............................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................... iv
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................v
BAB 1. PENDAHULUAN..................................................................................1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 3
2.1 Anatomi.............................................................................................3
2.2 Definisi..............................................................................................4
2.3 Epidemiologi.....................................................................................5
2.4 Etiologi..............................................................................................8
2.5 Patofisiologi......................................................................................8
2.6 Manifestasi Klinis.............................................................................8
2.7 Diagnosis...........................................................................................8
2.8 Tatalaksana........................................................................................8
2.9 Prognosis...........................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................16
iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Rectal.....................................................................................2


Gambar 2.2 Lokasi Anatomis Abses Perianal.........................................................4
Gambar 2.3 Patofisiologi Abses Perianal................................................................8
Gambar 2.4 A Dan B = Daerah Penyebaran Infeksi Pada Perianal Space...............9
Gambar 2.5 MRI Abses Perianal...........................................................................11
Gambar 2.6 Tatalaksana abses ischiorectal............................................................12
Gambar 2.7 Teknik Insisi dan Drainase Abses......................................................14
Gambar 2.8 Pembentukan Fistel............................................................................15
Gambar 2.9 Tipe-tipe Fistel...................................................................................15
iv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Etiologi Abses perianal...............................................................................6


1

BAB 1. PENDAHULUAN

Abses adalah kumpulan nanah setempat yang terkubur dalam jaringan,


organ atau rongga yang tertutup. Abses anorektal merupakan abses yang terdapat
dalam jaringan anorektum. Sedangkan abses perianal merupakan abses anorektal
superficial tepat dibawah kulit sekitar anus. Abses perianal merupakan infeksi
pada jaringan lunak sekitar saluran anal, dengan pembentukan abses rongga
diskrit. Abses anorektal disebabkan oleh radang ruang pararektum akibat infeksi
kuman usus. Umunya, pintu infeksi terdapat dikelenjar rectum di kripta antar
kolumna rectum. Penyebab lain ialah infeksi dari kulit anus, hematom, fisura
anus, dan skleroterapi Tingkat keparahan dan kedalaman dari abses cukup
variable, dan rongga abses dikaitkan dengan pembentukan saluran fistulous.
Abses dinamai sesuai dengan letak anatomic seperti pelvirektal, iskiorektal,
antarsfingter, marginal, yaitu di saluran anus dibawah epitel, dan perianal. Dalam
praktik sehari-hari, abses perianal paling sering ditemukan. Lokasi klasik abses
anorectal tercantum dalam urutan penurunan frekuensi adalah sebagai berikut:
perianal 60%, ischiorectal 20%, intershincteric 5%, supralevator 4%, dan
submukosa 1%.
Kejadian puncak dari abses anorektal adalah didekade ketiga dan keempat
kehidupan. Pria lebih sering terkena daripada wanita, dengan dominasi laki-
laki:perempuan 2:01-3:01. Sekitar 30% dari pasien dengan abses anorektal
laporan riwayat abses serupa yang baik diselesaikan secara spontan atau intervensi
bedah diperlukan.
Sebuah insiden yang lebih tinggi dari pembentukan abses tampaknya sesuai
dengan musim semi dan panas. Sementara demografi menunjukan disparitas yang
jelas dalam terjadinya abses sehubungan dengan usia dan jenis kelamin, tidak ada
pola yang jelas ada di antara berbagai Negara atau wilayah di dunia. Meskipun
menyarankan, hubungan langsung antara pembentukan abses anorektal dan
kebiasaan buang air besar, diare sering, dan kebersihan pribadi yang buruk tetap
tidak terbukti.
2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Rektum merupakan sebuah saluran yang berawal dari ujung usus
besar dan berakhir di anus. Rektum berfungsi sebagai tempat
penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum akan kosong karena tinja
disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika
kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul
keinginan untuk buang air besar (defekasi). Mengembangnya dinding rektum
karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem syaraf
yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi.Jika defekasi tidak
terjadi, seringkali material akan dikembalikan ke usus besar, dimana
penyerapan air akan kembali dilakukan.

Gambar 2.1 Anatomi rectal


Panjang rektum sekitar 15-20cm dan berbentuk-S. Mula-mula rektum
mengikuti kecembungan os sacrum, flexura sacralis, lalu memutar ke
belakang setinggi os coccygis dan berjalan melalui dasar pelvis, flexura
perinealis. Akhirnya rektum menjadi canalis analis dan berakhir pada anus.
3

Sepertiga atas rektum merupakan bagian yang sangat lebar yaitu ampulla
recti. Jika ampulla terisi maka timbul perasaan ingin defekasi.
Rektum merupakan bagiandistal dari usus besaryang dimulai
darisetinggi corpus sacralis tiga (Tortora dan Derrickson, 2009). Rektum
dibagi menjadi 3 bagian diantaranya yaitu :
a. Rektum bagian bawah, yaitu sepanjang 3 -6 cm dari anal verge
b. Rektum bagian tengah, yaitu sepanjang 6–10 cm dari anal verge
c. Rektum bagian atas, yaitu sepanjang sekitar 10 -15 cm dari anal
verge, umumnya rektum mencapai batas atasnya sekitar 12 cm dari
anal verge.
Sepertiga atas rektum dikelilingi oleh peritoneum padapermukaan
anterior dan lateralnya. Lokasi dari tumor rektum umumnya diidentifikasi
berdasarkan jarak dari anal verge, lineadentata, atau cincin anorektalke bagian
distal tumor. Dalam menentukan perluasan tumor primer pada rektum,
sangatlah penting untuk mengetahui lapisan-lapisan dindingnya. Lapisan dinding
rektum dari lumen ke arah luar yaitusebagai berikut : mukosa, lamina
propria, muskularis mukosa, submukosa, muskularis propia yang terdiri dari
otot sirkuler dan otot longitudinal dan serosa.

2.2 Definisi
Abses anorektal berasal dari infeksi yang timbul pada epitel
kriptoglandular yang melapisi saluran anus. Sfingter ani interna diyakini berfungsi
secara normal sebagai penghalang infeksi yang lewat dari lumen usus ke jaringan
perirektal dalam. Penghalang ini dapat ditembus melalui kriptus Morgagni, yang
dapat menembus melalui sfingter internal ke dalam ruang intersfingter.
Setelah infeksi mendapatkan akses ke ruang intersphincteric, ia memiliki
akses mudah ke ruang perirectal yang berdekatan. Perluasan infeksi dapat
melibatkan ruang intersphincteric, ruang ischiorectal, atau bahkan ruang
supralevator. Dalam beberapa kasus, abses tetap berada di dalam ruang
intersphincteric. Tingkat keparahan dan kedalaman abses cukup bervariasi, dan
4

rongga abses sering dikaitkan dengan pembentukan saluran fistula. Untuk alasan
itu, fistula juga dibahas dalam artikel ini jika relevan.
Berbagai gejala sisa anatomi dari infeksi primer diterjemahkan ke dalam
berbagai presentasi klinis. Abses perianal yang relatif sederhana harus dibedakan
dari abses perirektal yang lebih kompleks. Perawatan juga berbeda sesuai dengan
jenis abses yang ada.

Gambar 2.2 Lokasi anatomis abses perianal


Abses anorektal diklasifikasikan menurut lokasi anatominya; berikut ini
adalah lokasi yang paling umum:
- Perianal
- iskiorektal
- Intersphincteric
- Supralevator
Abses perianal merupakan jenis abses anorektal yang paling umum,
terhitung sekitar 60% dari kasus yang dilaporkan. Kumpulan bahan purulen
superfisial ini terletak di bawah kulit saluran anus dan tidak melintang sfingter
eksternal.
Abses ischiorectal adalah jenis yang paling umum berikutnya. Abses ini
terbentuk ketika nanah melintasi sfingter anal eksternal ke dalam ruang
5

ischiorectal. Abses ischiorectal dapat melintasi ruang postanal dalam ke sisi


kontralateral, membentuk apa yang disebut abses tapal kuda.
Abses intersphincteric, tipe ketiga yang paling umum, hasil dari nanah
yang terkandung di antara sphincter anal internal dan eksternal. Mereka mungkin
terletak sepenuhnya di dalam saluran anus, menyebabkan rasa sakit yang parah,
dan hanya dapat ditemukan dengan pemeriksaan dubur digital atau anoskopi.
Abses supralevator, yang paling tidak umum dari empat jenis utama, dapat
terbentuk dari perluasan cephalad dari abses intersphincteric di atas levator ani
atau dari perluasan caudal dari proses abdomen supuratif (misalnya, apendisitis,
penyakit divertikular, sepsis ginekologi) ke dalam ruang supralevator. Abses ini
dapat didiagnosis dengan menggunakan computed tomography (CT), dan
menyebabkan nyeri panggul dan dubur.
Menurut sistem klasifikasi Parks yang banyak digunakan, fistula anorektal
juga dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe utama, sebagai berikut :
a. Intersphincteric (70%) - Ditemukan di antara sphincter internal dan
eksternal
b. Transsphincteric (23%) - Meluas melalui sphincter eksternal ke dalam
fossa ischiorectal
c. Extrasphincteric (5%) - Melewati rektum ke kulit melalui levator ani
d. Suprasphincteric (2%) - Membentang dari bidang intersphincteric melalui
puborectalis, keluar dari kulit setelah melintasi levator ani

2.3 Epidemiologi
Data epidemiologi baru ada pada Amerika Serikat dan statistik
internasional. Dimana sekitar 30% pasien dengan abses anorektal melaporkan
riwayat abses serupa sebelumnya yang sembuh secara spontan atau memerlukan
intervensi bedah.
Insiden pembentukan abses tampaknya lebih tinggi di musim semi dan
musim panas. Sedangkan demografi menunjukkan perbedaan yang jelas dalam
terjadinya abses anal sehubungan dengan usia dan jenis kelamin, tidak ada pola
yang jelas di antara berbagai negara atau wilayah di dunia. Meskipun telah
6

disarankan bahwa ada hubungan langsung antara pembentukan abses anorektal


dan kebiasaan buang air besar, sering diare, dan kebersihan pribadi yang buruk,
hubungan ini tetap tidak terbukti.
Selain itu terdapat demografi terkait usia dan jenis kelamin. Insiden
puncak abses anorektal adalah pada dekade ketiga dan keempat kehidupan. Abses
ini juga cukup umum pada bayi (lihat Abses Anorektal pada Anak). Mekanisme
yang tepat kurang dipahami tetapi tampaknya tidak berhubungan dengan
konstipasi. Untungnya, kondisi ini cukup jinak pada bayi, jarang memerlukan
intervensi operasi selain drainase sederhana.Pria lebih sering terkena daripada
wanita, dengan dominasi pria-wanita 2:1 hingga 3:1.

2.4 Etiologi
Bakteri aerob dan anaerob telah ditemukan bertanggung jawab untuk
pembentukan abses. Bakteri anaerob yang paling sering terlibat adalah
Bacteroides fragilis, Peptostreptococcus, Prevotella, Fusobacterium,
Porphyromonas, dan Clostridium. Aerob yang paling sering terlibat adalah
Staphylococcus aureus, Streptococcus, dan Escherichia coli. Studi yang lebih baru
telah mencatat S aureus resisten methicillin yang didapat masyarakat (MRSA)
sebagai patogen yang menyebabkan pembentukan abses.
Sekitar 10% dari abses anorektal dapat disebabkan oleh alasan selain
infeksi kelenjar dubur, termasuk penyakit Crohn, trauma, imunodefisiensi akibat
infeksi HIV atau keganasan (baik hematologi dan kanker anorektal), tuberkulosis,
hidradenitis suppurativa, penyakit menular seksual, terapi radiasi, benda asing,
penyakit divertikular perforasi, penyakit radang usus, atau radang usus buntu
(penyebab abses supralevator yang jarang).

Etiologi Anorectal Abses


Nonspecific:
Cryptoglandular
Specific:
Inflammatory Bowel Disease
- Crohn’s Disease
- Kolitis Ulseratif
- Infeksi
- Tuberkulosis
- Actinomycosis
- Lymphogranuloma Venerum
7

Trauma
- Impalement
- Foreign Body
- Surgery
Episiotomy
Hemorrhoidectomy
Prostatectomy
Malignansi
- Carcinoma
- Leukimia
- Lymphoma
- Radiasi
Tabel 2.1 Etiologi Abses perianal

2.5 Patofisiologi
Abses anorektal muncul akibat dari obstruksi kriptus analis. Anatomi
normal menunjukkan terdapat 4-10 glandula analis pada linea dentata. Glandula
analis berfungsi untuk melumasi kanalis analis. Obstruksi pada kriptus analis
merupakan hasil dari stasis sekresi kelenjar lalu ketika terjadi infeksi, terbentuk
supurasi dan pembentukan abses pada glandula analis. Abses biasanya terbentuk
di ruang intersphincteric dan dapat menyebar di sepanjang ruang. Setelah infeksi
mendapat akses ke ruang intersphincteric, memiliki akses mudah ke ruang
perirectal yang berdekatan. Perpanjangan infeksi dapat melibatkan ruang
intersfingterik (intersphingteric space), ruang iskiorektalis (ischiorectalis space),
ruang supralevator (supralevator space). Dalam beberapa kasus, abses tetap
terkandung dalam ruang intersphincterik.
8

Gambar 2.3 Patofisiologi abses anorektal


Seiring membesarnya abses, abses dapat menyebar ke beberapa arah.
Abses perianal adalah manifestasi paling umum dan muncul sebagai
pembengkakan yang nyeri di ambang analis. Menyebar melalui sphincter
eksternal di bawah tingkat puborectalis menghasilkan abses iskiorektalis. Abses
ini dapat menjadi sangat besar dan mungkin tidak terlihat di daerah perianal.
Pemeriksaan digital rektal dapat ditemukan pembengkakan yang nyeri di lateral
fossa iskiorektalis. Abses Intersfingterik terjadi di ruang intersfingterik dan sangat
sulit untuk didiagnosa, sering membutuhkan pemeriksaan di bawah anestesi.
Abses pelivik dan supralevator jarang terjadi dan mungkin hasil dari perpanjangan
abses intersfingterik atau iskiorektalis ke atas, atau perpanjangan abses
intraperitoneal ke bawah.

Gambar 2.4 Daerah penyebaran infeksi pada Abses Anorektal


9

2.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis abses anorektal sesuai dengan lokasi anatomi. Lokasi
abses anorektal, diurutkan berdasarkan frekuensi yang sering terjadi, adalah
Perianal (60%) Iskiorektal (20%) Intersphincteric (5%) Supralevator (4%).
Hampir semua abses perirektal berhubungan dengan nyeri perirektal yang bersifat
indolen. Pasien dengan abses perianal biasanya mengeluh ketidaknyamanan nyeri
dan pruritus. Rasa sakit sering diperburuk oleh gerakan dan peningkatan tekanan
perineum dari duduk atau buang air besar. Pada abses ischiorectal sering hadir
dengan demam sistemik, menggigil, dan nyeri perirectal yang parah dan rasa
penuh yang konsisten dengan sifat yang lebih maju dari proses ini. Tanda-tanda
eksternal minimal dan mungkin termasuk eritema, indurasi, atau fluktuasi.
Sebanyak 50% pasien dengan abses perirektal dapat datang dengan
pembengkakan di sekitar rektum, dan sebanyak seperempat mungkin datang
dengan drainase rektal atau perirektal yang mungkin berdarah, purulen, atau
mucoid. Pasien-pasien ini mungkin juga datang dengan konstipasi, kemungkinan
besar karena nyeri saat buang air besar, tetapi tidak adanya konstipasi atau bahkan
diare tidak mengesampingkan diagnosis. Kebanyakan dari penderita abses
anorectal mengakui tidak ada riwayat demam atau kedinginan.

2.7 Diagnosis
a. Pemeriksaan fisik
Pasien dengan abses anorektal biasanya memiliki tanda vital normal pada
evaluasi awal, dengan hanya 21% yang melaporkan demam atau kedinginan.
Pemeriksaan fisik menunjukkan massa subkutan kecil, eritematosa, berbatas tegas,
berfluktuasi di dekat lubang anus. Pada pemeriksaan rektal digital (DRE), massa
indurasi yang berfluktuasi dapat ditemukan. Pemeriksaan colok dubur dibawah
anestesi dapat membantu dalam kasus-kasus tertentu, karena ketidaknyamanan
pasien yang signifikan dapat menghalangi penilaian terhadap pemeriksaan fisik
yang menyeluruh. Contohnya, evaluasi terhadap abses ischiorektal yang optimal
dapat dilakukan dengan hanya menggunakan pemeriksaan colok dubur. Dengan
adanya obat anestesi, fistula dapat disuntikkan larutan peroksida untuk
10

memfasilitasi visualisasi pembukaan fistula internal. Bukti menunjukkan bahwa


penggunaan visualisasi endoskopik (transrektal dan transanal) adalah cara terbaik
untuk mengevaluasi kasus yang kompleks abses perianal dan fistula. Dengan
teknik endoskopik, tingkat dan konfigurasi dari abses dan fistula dapat jelas
divisualisasikan. Visualisasi endoskopi telah dilaporkan sama efektifnya seperti
fistulografi. Jika ditangani dengan dokter yang berpengalaman, evaluasi secara
endoskopik adalah prosedur diagnostik pilihan pada pasien dengan kelainan
perirektal karena rendahnya risiko infeksi serta kenyamanan pasien tidak
terganggu. Evaluasi secara endoskopik setelah pembedahan juga efektif untuk
memeriksa respon pasien terhadap terapi.

b. Pemeriksaan Laboratorium
Belum ada pemeriksaan laboratorium khusus yang dapat dilakukan untuk
mengevaluasi pasien dengan abses perianal atau anorektal, kecuali pada pasien
tertentu, seperti individu dengan diabetes dan pasien dengan imunitas tubuh yang
rendah karena memiliki risiko tinggi terhadap terjadinya sepsis bakteremia yang
dapat disebabkan dari abses anorektal. Dalam kasus tersebut, evaluasi
laboratorium lengkap adalah penting.
c. Pemeriksaan Radiologi
Meskipun pemeriksaan radiologi biasanya tidak diperlukan dalam evaluasi
pasien dengan abses anorektal (yang akan menjadi perianal pada sebagian besar
kasus), kecurigaan klinis dari abses intersphincteric atau supralevator mungkin
memerlukan konfirmasi melalui CT, ultrasonografi anal, atau MRI. Pada
penggunaan USG biasanya digunakan untuk memastikan adanya abses
intersphincteric, meskipun modalitas ini juga dapat digunakan secara intraoperatif
untuk membantu mengidentifikasi abses atau fistula yang sulit.
Ultrasonografi transperineal telah menunjukkan hasil yang baik untuk
mendeteksi saluran fistula dan pengumpulan cairan dalam perencanaan pra
operasi, dengan sensitivitas berkisar dari 85% hingga 100% untuk mendeteksi
penyakit yang signifikan secara pembedahan. MRI adalah standar kriteria untuk
11

pencitraan abses perirektal; sensitivitasnya 91% membuatnya berguna dalam


perencanaan pra operasi.

Gambar 2.5 MRI Abses perianal

2.8 Tatalaksana
Penanganan abses terdiri dari penyaliran. Umumnya, sudah terjadi
pernanahan sewaktu penderita datang. Pemberian antibiotik kurang berguna
karena efeknya hanya untuk waktu terbatas dan menimbulkan risiko penyamaran
keluhan dan tanda. Rendam duduk dan analgesic merupakan terapi paliatif.
Umumnya setelah perforasi spontan atau insisi abses untuk disalirkan, akan
terbentuk fistel. Pada kebanyakan pasien dengan abses anorektal, terapi
medikamentosa dengan antibiotik biasanya tidak diperlukan. Namun, pada pasien
dengan peradangan sistemik, diabetes, atau imunitas rendah, antibiotik wajib
diberikan.
Abses anorektal harus diobati dengan drainase sesegera mungkin setelah
diagnosis ditegakkan. Jika diagnosis masih diragukan, pemeriksaan di bawah
anestesi sering merupakan cara yang paling tepat baik untuk mengkonfirmasi
diagnosis serta mengobati. Pengobatan yang tertunda atau tidak memadai
12

terkadang dapat menyebabkan perluasan abses dan dapat mengancam nyawa


apabila terjadi nekrosis jaringan yang besar, atau bahkan septikemia. Antibiotik
hanya diindikasikan jika terjadi selulitis luas atau apabila pasien
immunocompromised, menderita diabetes mellitus, atau memiliki penyakit katub
jantung. Namun, pemberian antibiotik secara tunggal bukan merupakan
pengobatan yang efektif untuk mengobati abses perianal atauperirektal.
a. Abses Perianal
Kebanyakan abses perianal dapat didrainase di bawah anestesi lokal di
kantor, klinik, atau unit gawat darurat. Pada kasus abses yang besar maupun pada
lokasinya yang sulit mungkin memerlukan drainase di dalam ruang operasi. Insisi
dilakukan sampai ke bagian subkutan pada bagian yang paling menonjol dari
abses. “Dog ear" yang timbul setelah insisi dipotong untuk mencegah penutupan
dini. Luka dibiarkan terbuka dan Sitz bath dapat dimulai pada hari berikutnya.
b. Abses Ischiorectal
Abses ischiorektal dapat menyebabkan pembengkakan yang luas pada
fossa ischiorektal yang melibatkan satu atau kedua sisi, membentuk abses horse
shoe. Abses iskiorektalis sederhana didrainase melalui sayatan pada kulit di
atasnya. Abses tapal kuda membutuhkan drainase sampai ke ruang postanal dalam
dan sering membutuhkan insisi lebih dari satu atau pada kedua ruang iskiorektalis.

Gambar 2.6 Tatalaksana abses ischiorectal


13

c. Abses Intersfingter
Abses intersfingter sangat sulit untuk didiagnosa karena mereka hanya
menghasilkan sedikit pembengkakan dan tanda-tanda infeksi perianal. Nyeri
biasanya digambarkan sebagai nyeri yang jauh didalam lubang anus, dan biasanya
diperburuk oleh batuk atau bersin. Rasa nyeri tersebut begitu hebat sehingga
biasanya menghalangi pemeriksaan colok dubur. Diagnosis dibuat berdasarkan
kecurigaan yang tinggi dan biasanya membutuhkan pemeriksaan di bawah
anestesi. Setelah teridentifikasi, abses intersfingerik dapat di drainase melalui
sfingterotomi internal yang posterior.
d. Abses Supralevator
Jenis abses ini jarang ditemui dan biasanya sulit didiagnosa. Karena
kedekatannya dengan rongga peritoneal, abses supralevator dapat meniru kelainan
pada intra-abdomen. Pada pemeriksaan colok dubur bisa didapatkan massa yang
menonjol diatas cincin anorektal. Asal dari sebuah abses mesti dipastikan sebelum
memberikan pengobatan. Ini penting oleh karena apabila abses supralevator
terbentuk sekunder dari suatu abses intersfingerik yang bergerak ke atas, maka
abses mesti di drainase melewati rektum. Bila abses di drainase melewati fossa
ischiorektal maka fistula suprasfingterik dapat terbentuk. Bila suatu abses
supralevator terbentuk sekunder dari suatu abses ischiorektal yang bergerak ke
atas, maka abses mesti di drainase melewati fossa ischiorektal.
Drainase dari abses in melewati rektum dapat membentuk fistula
ekstrasfingterik. Apabila abses supralevator terbentuk sekunder dari suatu
penyakit intra – abdomen , maka penyebab mesti diobati dan abses di drainase
melewati rute paling langsung (transabdominal, rektal atau melalui fossa
ischiorektal).
14

Gambar 2.7 Teknik Insisi dan Drainase Abses

2.9 Komplikasi
Fistula anorektal terjadi pada 30-60% pasien dengan abses anorektal.
Kelenjar intersfingterik terletak antara sfingter internal dan eksternal anus dan
seringkali dikaitkan dengan pembentukan abses. Fistula anorektal timbul oleh
karena obstruksi dari kelenjar dan/atau kripta anal, dimana ia dapat diidentifikasi
dengan adanya sekresi purulen dari kanalis anal atau dari kulit perianal sekitarnya.
Etiologi lain dari fistula anorektal adalah multifaktorial dan termasuk penyakit
divertikular, IBD, keganasan, dan infeksi yang terkomplikasi, seperti tuberkulosis.
Menurut sistem klasifikasi Parks yang banyak digunakan, fistula anorektal
juga dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe utama, sebagai berikut :
a. Intersphincteric (70%) - Ditemukan di antara sphincter internal dan
eksternal
b. Transsphincteric (23%) - Meluas melalui sphincter eksternal ke dalam
fossa ischiorectal
15

c. Extrasphincteric (5%) - Melewati rektum ke kulit melalui levator ani


d. Suprasphincteric (2%) - Membentang dari bidang intersphincteric melalui
puborectalis, keluar dari kulit setelah melintasi levator ani

Gambar 2.8 Pembentukan Fistel

Gambar 2.9 Tipe- tipe Fistel


16

2.9 Prognosis
Sekitar dua pertiga pasien dengan abses anorektal yang diobati dengan
insisi dan drainase atau dengan drainase spontan akan mendapat komplikasi
sebuah fistula anorektalkronis.
Tingkat kekambuhan fistula anorektal setelah fistulotomi, fistulektomi,
atau penggunaan seton adalah sekitar 1,5%. Tingkat keberhasilan pengobatan
bedah primer dengan fistulotomy tampaknya cukup baik.
17

DAFTAR PUSTAKA

1. Abcarian, Herand. “Anorectal infection: abscess-fistula.” Clinics in colon and


rectal surgery vol. 24,1 (2011): 14-21. doi:10.1055/s-0031-1272819

2. Amato A, Bottini C, De Nardi P, Giamundo P, Lauretta A, Realis Luc A,


Tegon G, Nicholls RJ., Italian society of colorectal surgery. Evaluation and
management of perianal abscess and anal fistula: a consensus statement
developed by the Italian Society of Colorectal Surgery (SICCR). Tech
Coloproctol. 2015 Oct;19(10):595-606.

3. Andre Hebra, MD dan John Geibel. Perianal Abscess, Medscape Reference.


Dapat ditinjau di: http://emedicine.medscape.com/article/191975-overview

4. Balcı S, Onur MR, Karaosmanoğlu AD, et al. MRI evaluation of anal and
perianal diseases. Diagn Interv Radiol. 2019;25(1):21-27.
doi:10.5152/dir.2018.17499

5. Brunicardi F. Charles et all. 2010. Schwartz’s: Principles of Surgery 9 th


Edition. New York : McGraw-Hill Education.

6. Deen-Molenaar CH, Jordanov T, Felt-Bersma RJ. Intersphincteric infection


due to an anal fissure. Int J Colorectal Dis. 2016 Mar;31(3):727-8

7. De Jong. W, Sjamsuhidajat. R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 4. EGC. Jakarta.


2017.

8. Gajendran M, Loganathan P, Catinella AP, Hashash JG. A comprehensive


review and update on Crohn's disease. Dis Mon. 2018 Feb;64(2):20-57.

9. Mappes HJ, Farthmann EH. Anal abscess and fistula. In: Holzheimer RG,
Mannick JA, editors. Surgical Treatment: Evidence-Based and Problem-
Oriented. Munich: Zuckschwerdt; 2001. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK6943

10. Rezmovitz J, MacPhee I, Schwindt G. Horseshoe abscesses in primary care.


Can Fam Physician. 2019;65(7):476-478.

11. Sahnan K, Adegbola SO, Tozer PJ, Watfah J, Phillips RK. Perianal abscess.
BMJ. 2017 Feb 21;356:j475. doi: 10.1136/bmj.j475. PMID: 28223268.

12. Serour F, Somekh E, Gorenstein A. Perianal abscess and fistula-in-ano in


infants: a different entity? Dis Colon Rectum. 2005 Feb;48(2):359-64. doi:
10.1007/s10350-004-0844-0. PMID: 15616754.
18

13. Sigmon DF, Emmanuel B, Tuma F. Perianal Abscess. [Updated 2020 Jun 27].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459167/

14. Spencer J A, Chapple K, Wilson D, Ward J, Windsor A C, Ambrose N S.


Outcome after surgery for perianal fistula. Am J Roentgenol. (1998);171:403–
406.

Anda mungkin juga menyukai