Anda di halaman 1dari 18

DAFTAR ISI

JUDUL……………………………………………………………………. i
KATA PENGANTAR……………...……………………………….......... ii
DAFTAR ISI ……………..………………………………………............ iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 1
2.1 Pendahuluan Mengenai Resusitasi Jantung Paru Otak................. 3
2.2 Indikasi Resusitasi Jantung Paru Otak………………….............. 4
2.3 Tahap Resusitasi Jantung Paru Otak …….................................. 5
2.4 Prosedur Resusitasi Jantung Paru Otak Terfokus pada Bantuan
Hidup Dasar.................................................................................... 7
BAB III PENUTUP ................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Cardiopulmonary arrest (CPA) didefinisikan sebagai berhentinya secara tiba-tiba


sirkulasi dan ventilasi yang efektif dan spontan. CPA bisa disebabkan oleh kegagalan
jantung primer atau merupakan suatu manifestasi kondisi medis yang heterogen. CPA
bisa disebabkan oleh berbagai hal, yang berasal dari jantung maupun diluar jantung.
Institusi besar di Eropa melaporkan bahwa penyakit kardiovaskular adalah penyebab
kematian pertama pada dewasa dengan CPA karena iskemia koroner sebagai kausa
utama.1 Penyebab yang berasal dari luar jantung meliputi trauma, overdosis obat,
asfiksia dan tenggelam.2 Insiden terjadinya CPA bervariasi tergantung pada umur,
jenis kelamin, ras, lokasi terjadinya arrest.3 Kejadian henti jantung merupakan hal
yang fatal dan masih menjadi topik utama kesehatan komunitas di seluruh dunia.
Angka insiden per tahun dan luaran klinis dari henti jantung merupakan suatu
indikator dari kesehatan suatu Negara.3 Laporan di seluruh dunia melalui meta-
analysis memaparkan bahwa insiden henti jantung sebesar 45-83,7 per 100.000
penduduk.4 Menurut data American Heart Association pada tahun 2016 terdapat
lebih dari 350.000 insiden CPA diluar Rumah Sakit dengan jumlah yang dapat
diselamatkan sebesar 12%, sedangkan terdapat 209.000 insiden CPA didalam Rumah
Sakit dengan jumlah yang dapat diselamatkan pada orang dewasa sebesar 24,8%.5
Terdapat peran penting dari metode resusitasi jantung paru otak (RJPO) dalam
menentukan keberhasilan penyelamatan korban henti jantung. Keberhasilan resusitasi
terhadap henti jantung membutuhkan aksi yang terkoordinasi dan terintegrasi yang
diwujudkan dengan Chain of Survival. Tujuan dilakukannya RJPO adalah oksigenasi
darurat yang diberikan secara efektif pada organ vital seperti otak dan jantung melalui
ventilasi buatan dan sirkulasi buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan
oksigen dengan kekuatan sendiri secara normal. Hal ini adalah untuk mencegah
berhentinya sirkulasi darah atau berhentinya pernapasan. Resusitasi mencegah
terjadinya berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi yang

1
dapat menyebabkan kematian sel-sel akibat dari kekurangan oksigen dan memberikan
bantuan eksternal terhadap sirkulasi melalui kompresi dada dan ventilasi dari korban
yang mengalami henti jantung atau henti nafas.6
Maka dari itu penulis tertarik untuk membahas mengenai RJPO yang terfokus
pada pembahasan bantuan hidup dasar agar dapat menambah pengetahuan dan
aplikasi dalam praktik kedokteran selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendahuluan Mengenai Resusitasi Jantung Paru Otak


RJPO merupakan serangkaian tindakan gawat darurat penyelamatan nyawa yang
dilakukan dengan usaha meresusitasi secara manual seseorang yang mengalami henti
jantung.7 Dilakukannya RJPO penting ketika suplai oksigen ke otak tidak mencukupi
untuk mempertahankan fungsi serebral. Suplai oksigen ke otak tergantung pada:
1. Cardiac output
2. Konsentrasi hemoglobin
CaO2 = Hb (g/dL) x SaO2 x 1,34 ml/O2 + (PaO2 x 0,003)
3. Saturasi oksigen-hemoglobin dimana sangat bergantung pada fungsi respirasi
Berhentinya suplai oksigen ke otak melebihi 3-4 menit pada suhu normal akan
menyebabkan korteks serebri rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat
jantung berdenyut kembali.8
Pada RJPO terdapat chains of survival yang berbeda antara henti jantung yang
terjadi diluar maupun didalam rumah sakit. Pada henti jantung diluar rumah sakit
(OHCA) chains of survival secara berturut-turut adalah pengenalan dan aktivasi
respon sistem emergensi, segera melakukan CPR yang berkualitas, defibrilasi cepat,
penanganan kegawatdaruratan dasar dan lanjutan serta bantuan hidup lanjut pada
keadaan paska henti jantung. Pada henti jantung didalam rumah sakit (IHCA) chains
of survival secara berturut-turut adalah pencegahan dan pengawasan, pengenalan dan
aktivasi respon sistem emergensi, segera melakukan CPR yang berkualitas, defibrilasi
cepat dan terakhir bantuan hidup lanjut pada keadaan paska henti jantung. Chains of
survival pada RJPO merupakan penanganan ideal yang harus diberikan ketika
terdapat kejadian henti jantung.9
Pada RJPO terdapat tiga tahap resusitasi yang ditandai dengan awalan sesuai
abjad. Tahap pertama yaitu Bantuan hidup dasar meliputi A (airway), B (breathing)
dan C (circulation). Tahap kedua yaitu Bantuan hidup lanjut meliputi D (drugs and
fluid), E (electrocardiography) dan F (fibrillation treatment). Tahap terakhir yaitu
Bantuan hidup jangka panjang meliputi G (gauging), H (human mentation) dan I
(intensive care).10

2.2 Indikasi Resusitasi Jantung Paru Otak


Beberapa indikasi dilakukannya RJPO yaitu:
1. Henti jantung
Henti jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara
mendadak untuk mempertahankan sirkulasi normal darah untuk memberi kebutuhan
oksigen ke otak dan organ vital lainnya akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi
secara efektif. Henti jantung berbeda dengan serangan jantung, dimana serangan
jantung adalah ketika arteri coroner yang mensuplai darah ke jantung terblok pada
kebanyakan kasus oleh adanya plak aterosklerosis, sehingga daerah otot jantung yang
terkena akan mati karena kurangnya suplai oksigen. Kebanyakan henti jantung pada
dewasa disebabkan karena seseorang tersebut pernah mengalami serangan jantung
dan dapat berkembang menjadi irama jantung yang berbahaya sehingga timbul henti
jantung. Irama jantung abnormal yang paling sering menimbulkan henti jantung
adalah ventrikular takikardi tanpa denyut (VT) dan ventrikular fibrilasi (VF)
kemudian disusul oleh ventrikel asistol dan berakhir dengan disosiasi elektro-
mekanik.8
Henti jantung bisa disebabkan oleh kegagalan jantung pimer atau bisa merupakan
akhir dari kondisi medis yang heterogen. Kausa dari henti jantung bisa oleh penyakit
di jantung seperti penyakit jantung kongenital, iskemia, aritmia, obstruksi akut dan
kardiomiopati. Kausa sirkulasi meliputi hypovolemia, tension pneumothorax, reflex
vagal dan emboli pulmonum. Kausa respirasi bisa meliputi hipoksia dan
hiperkarbia,serta kausa metabolik yaitu abnormalitas elektrolit, hipotermia dan badai
katekolamin. Dari beebrapa kausa tersebut, kausa yang paling cepat menimbulkan
henti jantung adalah aritmia, ketidakadekuatan respirasi akut, hipotensi dan infark
miokard akut.2
Pada seseorang dengan henti jantung, terdapat beberapa tanda yang dtunjukkan
yaitu:8
a. Pasien tidak sadar
b. Denyut arteri besar yang tidak teraba (a. karotis, a. femoralis)
c. Sianosis
d. Pernafasan berhenti atau gasping
2. Kegagalan nafas
Kegagalan nafas didefinisikan sebagai ketidakmampuan sistem respirasi untuk
melakukan pertukaran gas dan mengoksigenasi darah secara adekuat. Terdapat dua
mekanisme dasar terjadinya gagal nafas:
a. Kegagalan ventilasi pulmonal (kegagalan pompa)
b. Kegagalan pertukaran gas (kegagalan paru)
Mekanisme pertama dikarenakan oleh penyakit neuromuskular (penyalahgunaan
obat, etraplegi servikal, poliomielitis), deformitas dinding dada (post trauma) dan
penyakit paru obstruktif (pneumotoraks, obstruksi benda asing). Mekanisme kedua
(mismatch pertukaran gas di darah) dikarenakan oleh beberapa sebab patologis
seperti:
 Sindrom distress nafas akut (ARDS)
 Sindrom distress nafas neonatus
 Edema pulmonum kardiogenik akut
 Status asmatikus berat
 Atelektasis
 Emboli pulmonum
Tanda klinis serta gejala pasien dengan gagal nafas merujuk pada dua manifestasi
utama pada pulmonal yaitu hiperkapnia dan hipoksemia arteri. Pasien dengan agal
nafas akan menunjukkan gejala berupa dyspnea dan tanda seperti sianosis, takipnea,
penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan paradoksal dan takikardi.11

2.3 Tahap Resusitasi Jantung Paru Otak


Tahapan dalam RJPO dibagi menjadi tiga yaitu Bantuan Hidup Dasar, Bantuan
Hidup Lanjut dan Bantuan Hidup Jangka Panjang.10
A. Bantuan Hidup Dasar
Merupakan prosedur pertolongan darurat untuk mengatasi obstruksi jalan nafas,
henti nafas dan henti jantung dan bagaimana melakukan RJP dengan benar. Pada
tahap ini dilakukan oksigenasi darurat yang terdiri dari langkah-langkah:
a. Airway (A) : menjaga jalan nafas tetap terbuka
b. Breathing (B) : ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat
c. Circulation (C) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru
B. Bantuan Hidup Lanjut
Sirkulasi spontan hendaknya dikembalikan selekas mungkin setelah dimulainya
bantuan hidup dasar karena kompresi jantung luar hanya menghasilkan aliran darah
perbatasan yang mungkin tidak cukup untuk mempertahankan otak dan jantung agar
hidup lebih lama dari beberapa menit RJP. Pengembalian sirkulasi spontan biasanya
memerlukan:
d. Drugs and fluid (D): pemberian obat-obatan termasuk cairan secara intravena
e.Electrocardiography (E): diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin untuk
mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistol atau agonal ventricular
complexes
f. Fibrillation treatment (F): tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel
Urutan langkah pada bantuan hidup lanjut ini berbeda-beda tergantung pada
kondisi pasien saat itu. Pada fibrilasi ventrikel yang terjadi sewaktu EKG, jangan
ditunda oleh karena langkah D dan E dan dapat mendahului langkah A, B, C. begitu
pula tidak satu pun langkah D, E dan F akan dibutuhkan jika nadi spontan segera
kembali setelah ventilasi buatan dan kompresi jantung luar dimulai.
C. Bantuan Hidup Jangka Panjang
Merupakan resusitasi jangka panjang yaitu bantuan pengelolaan intensif untuk
kegagalan organ multipel. Tahap ini terdiri dari:
g. Gauging (G): evaluasi dan triase pengelolaan kritis. Dilakukan pengukuran
dan pemeriksaan untuk monitoring pasien secaara terus-menerus lalu dinilai
dan ditemukan penyebabnya kemudian dilakukan pengobatan.
h. Human Mentation (H): tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan
sistem saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung
sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologis yang permanen.
i. Intensive Care (I): terapi intensif untuk bantuan hidup secara umum.
Perawatan intensif di intensive care unit (ICU) meliputi tunjangan ventilasi
(trakeostomi, pengontrolan nafas terus menerus, sonde lambung, pengukuran
pH, pCO2 bila diperlukan) dan tunjangan sirkulasi serta mengendalikan kejang.

2.4 Prosedur Resusitasi Jantung Paru Otak Terfokus pada Bantuan Hidup
Dasar
2.4.1 Penanganan Awal
Sebelum menolong korban, didahulukan untuk:
1. Mengamankan lingkungan
Keamanan sangat penting. Sebelum penolong dapat membantu korban yang
sakit atau terluka, pastikan bahwa tempat kejadian aman untuk penolong dan
orang yang berada di dekatnya, dan kumpulkan kesan awal tentang situasi ini.
Sebelum penolong mencapai korban, terus gunakan indera untuk mendapatkan
kesan awal tentang penyakit atau cedera dan kenali hal yang mungkin salah.
Informasi yang dikumpulkan membantu menentukan tindakan langsung
penolong.12
2. Menilai respon korban
Begitu korban dapat dijangkau, evaluasi tingkat responsif korban. 13 Ini terlihat
jelas dari kesan awal misalnya, korban bisa berbicara dengan penolong, atau
korban mungkin mengeluh, menangis, membuat suara lain atau bergerak. Jika
korban responsif, mintalah persetujuan korban, yakinkan korban dan coba cari
tahu apa yang terjadi. Jika korban tersebut diam dan tidak bergerak, dia
mungkin tidak responsif. Untuk memeriksa responsif, tepuk bahu korban dan
berteriak, "Apakah Anda baik-baik saja?" Gunakan nama orang itu jika
penolong mengetahuinya. Berbicara dengan keras. Selain itu, gunakan AVPU
untuk membantu menentukan tingkat kesadaran korban. AVPU terdiri dari:12
A - Alert/Awas: korban bangun, meskipun mungkin masih dalam keadaan
bingung terhadap apa yang terjadi.
V - Verbal/Suara: korban merespon terhadap rangsang suara yang diberikan
oleh penolong. Oleh karena itu, penolong harus memberikan rangsang suara
yang nyaring ketika melakukan penilaian pada tahap ini.
P - Pain/Nyeri: korban merespon terhadap rangsang nyeri yang diberikan oleh
penolong. Rangsang nyeri dapat diberikan melalui penekanan dengan keras di
pangkal kuku atau penekanan dengan menggunakan sendi jari tangan yang
dikepalkan pada tulang sternum/tulang dada. Namun, pastikan bahwa tidak ada
tanda cidera di daerah tersebut sebelum melakukannya.
U - Unresponsive/tidak respon: korban tidak merespon semua tahapan yang
ada di atas.
Jika korban tidak merespon, inilah saatnya untuk mencari pertolongan sebelum
memulai ventilasi dan kompresi dada. Selain itu, upaya harus dilakukan untuk
mendapatkan defibrilator. Waktu untuk terapi khusus ritme, terutama
defibrilasi untuk takikardia ventrikel atau fibrilasi ventrikel, sangat penting
untuk pemulihan korban dalam serangan jantung.13
2.4.2 Bantuan Hidup Dasar
A. Penguasaan Jalan Nafas
Posisikan korban dalam keadaan telentang pada alas yang keras dengan
lengan disepanjang sisi tubuh, bila diatas kasur sisipkan papan. 14 Periksa dan
tangani jalan nafas korban sebagai berikut:
 Membuka mulut korban dengan benar adalah langkah kritis dan
berpotensi menyelamatkan nyawa
 Lihat apakah terdapat benda asing. Mulut dan orofaring harus
diperiksa untuk sekresi atau benda asing. Jika ada sekresi, dapat
dikeluarkan dengan penggunaan isap orofaringeal. Benda asing
dapat dikeluarkan dengan menggunakan finger sweep dan
kemudian dikeluarkan secara manual. Obstruksi oleh benda asing
juga dapat diatasi dengan menggunakan Heimlich Manuver dan
Chest Thrust. Heimlich Manuver dengan meletakkan kepalan
tangan ke garis tengah perut korban tepat di atas pusar dan jauh di
bawah prosesus xiphoid. Sambil memegang kepalan tangan
dengan tangan yang lain, penolong menekan kepalan tangan ke
perut korban dengan dorongan cepat ke atas. Chest thrust
dilakukan dengan meletakkan sisi ibu jari dari kepalan tangan
terhadap sternum korban, menjauhi batas kosta dan prosesus
xiphoid. Sambil memegang kepalan tangan dengan tangan
satunya, penolong menekan kepalan tangan ke dada korban
dengan dorongan cepat ke belakang. Kedua maneuver ini dapat
diulang sampai sumbatan keluar atau korban menjadi tidak
sadarkan diri.12
 Lakukan Manuver untuk Membuka Jalan Nafas. Penyebab umum
penyumbatan jalan nafas pada korban yang tidak sadar adalah
oklusi orofaring oleh lidah dan kelemahan epiglotis. Dengan
hilangnya tonus otot, lidah atau epiglotis dapat dipaksakan
kembali ke orofaring pada inspirasi. Hal ini dapat menciptakan
efek katup satu arah di pintu masuk trakea, yang menyebabkan
tersumbatnya obstruksi jalan napas sebagai stridor. Setelah
orofaring dibersihkan, dua manuver dasar untuk membuka jalan
napas dapat dicoba untuk meringankan obstruksi jalan napas
bagian atas, yang terdiri dari head tilt-chin lift dan jaw thrust.
Manuver ini membantu membuka jalan napas dengan cara
menggeser mandibula dan lidah secara mekanis. 13 Head tilt-chin
lift biasanya merupakan manuver pertama yang dicoba jika tidak
ada kekhawatiran akan cedera pada tulang belakang servikal.
Head tilt dilakukan dengan ekstensi leher secara lembut, yaitu
menempatkan satu tangan di bawah leher korban dan yang
lainnya di dahi lalu membuat kepala dalam posisi ekstensi
terhadap leher. Ini harus menempatkan kepala korban di posisi
"sniffing position" dengan hidung mengarah ke atas. Hal ini
dilakukan dengan hati-hati meletakkan tangan, yang telah
menopang leher untuk head tilt, di bawah simfisis mandibula agar
tidak menekan jaringan lunak segitiga submental dan pangkal
lidah. Mandibula kemudian diangkat ke depan sampai gigi hampir
tidak menyentuh. Ini mendukung rahang dan membantu
memiringkan kepala ke belakang.13 Jaw thrust adalah metode
paling aman untuk membuka jalan napas jika ada kemungkinan
cedera tulang belakang servikal. Ini membantu mempertahankan
tulang belakang servikal dalam posisi netral selama resusitasi.
Penolong yang diposisikan di kepala korban, meletakkan tangan
di sisi wajah korban, menjepit rahang bawah pada sudutnya, dan
mengangkat mandibula ke depan. Siku penolong bisa diletakkan
di permukaan tempat korban berada kemudian mengangkat
rahang dan membuka jalan napas dengan gerakan kepala
minimal.13
B. Menilai Respirasi dan Bantuan Ventilasi
Pernapasan Agonal dalam korban yang baru saja mengalami henti jantung
dianggap tidak adekuat.13 Pernapasan agonal adalah napas yang terisolasi atau
terengah-engah yang terjadi tanpa adanya pernapasan normal pada korban
yang tidak sadar. Napas ini bisa terjadi setelah jantung berhenti berdetak dan
dianggap sebagai tanda henti jantung. Jika korban menunjukkan pernapasan
agonal, perlu dilakukan perawatan korban seolah-olah dia sama sekali tidak
bernapas. Penilaian pernafasan dengan melakukan Look, Listen dan Feel. Look
yaitu penolong harus mencari gerakan ekspansi dada pada korban, Listen dan Feel
yaitu mendengarkan serta merasakan aliran udara yang keluar dari jalan nafas korban.
Selanjutnya jika setelah evaluasi respirasi ditemukan tidak adanya gerakan dada,
hembusan dan suara nafas, dilakukan pemberian bantuan ventilasi melalui mulut ke
mulut, mulut ke hidung, mulut ke stoma atau trakeostomi serta mulut ke masker.
Menurut AHA 2015, bantuan ventilasi adalah pemberian ventilasi yang dilakukan tiap
5-6 detik dengan hitungan 10-12x/ menit secara kontinu selama kompresi dada
dilakukan.9

C. Bantuan Sirkulasi dan Kompresi Dada


Arteri karotis umumnya lokasi yang paling dapat diandalkan dan dapat
diakses untuk meraba denyut nadi. Arteri karotis dapat ditemukan dengan
menempatkan dua jari pada trakea dan kemudian menggesernya ke alur antara
trakea dan otot sternocleidomastoid. Penilaian terhadap denyut nadi dan
respirasi dilakukan secara simultan selama 10 detik. Bila tidak ditemukan
denyut nadi setelah 5 sampai 10 detik, kompresi dada harus dimulai. 13 Teknik
kompresi dada menurut AHA 2015 adalah sebagai berikut:9
Korban ditempatkan telentang di permukaan yang keras dengan penolong
di sampingnya. Penolong menempatkan tumit pada satu garis tengah, tangan di
setengah bagian bawah sternum, kira-kira 2 jari diatas prosesus xiphoid. Tumit
tangan harus sejajar dengan tubuh korban. Tangan kedua kemudian diletakkan
di atas tangan pertama sehingga kedua tangan sejajar satu sama lain. Jari-jari
kedua tangan saling terjalin. Lengan harus lurus dan siku terkunci
Kedalaman kompresi dada pada orang dewasa adalah minimum 2 inci (5
cm), namun tidak lebih dalam dari 2,4 inci (6 cm) pada orang dewasa dengan
kecepatan kompresi dada yang disarankan adalah 100 hingga 120/min
(diperbarui dari minimum 100/min). Jumlah kompresi dada yang diberikan per
menit saat RJP berlangsung adalah faktor penentu utama kondisi RSOC
(return of spontaneous circulation) dan kelangsungan hidup dengan fungsi
neurologis yang baik. Untuk korban dewasa, kompresi dada terdiri dari 30
penekanan
dada diikuti 2 ventilasi. Dengan satu penolong, ventilasi harus diberikan
setelah setiap 15 penekanan. Dengan dua regu penolong, ventilasi harus
diberikan setelah setiap penekanan kelima. Penting bagi penolong untuk tidak
bertumpu di atas dada di antara kompresi untuk memberi kesempatan rekoil di
antara setiap penekanan sehingga memungkinkan darah mengalir kembali ke
jantung mengikuti penekanan. Minimalkan interupsi, batas interupsi yang
diperbolehkan adalah kurang dari 10 detik.
Siklus kompresi dan ventilasi terus diulang dan dievaluasi tiap 2 menit.
Evaluasi yang dilakukan adalah:
 Tidak adanya nafas dan nadi: teruskan kompresi dan ventilasi
hingga bantuan datang
 Tidak terdapat nafas namun nadi teraba: mulai lakukan pernafasan
buatan
 Terdapat nadi dan nafas: korban mulai membaik
Automated external defibrillator (AED) aman dan efektif bila digunakan
oleh orang awam dengan pelatihan minimal atau tidak terlatih. Disarankan
bahwa program AED untuk korban dengan OHCA diterapkan di lokasi umum
tempat adanya kemungkinan korban serangan jantung terlihat relatif tinggi
(misalnya, bandara dan fasilitas olahraga). Penyedia RJP harus melanjutkan
RJP saat memasang AED dan selama penggunaannya. Penyedia RJP harus
berkonsentrasi untuk mengikuti suara segera saat AED berbicara, khususnya
melanjutkan RJP segera setelah diinstruksikan, dan meminimalkan interupsi
pada kompresi dada. Memang, kejutan pra-shock dan pasca-shock pada
penekanan dada harus sesingkat mungkin
Gambar 1. Algoritma BHD Dewasa
Gambar 2. Perawatan Pasca Henti Jantung
BAB III
PENUTUP

Cardiopulmonary arrest (CPA) didefinisikan sebagai berhentinya secara tiba-tiba


sirkulasi dan ventilasi yang efektif dan spontan. Terdapat peran penting dari metode
resusitasi jantung paru otak (RJPO) dalam menentukan keberhasilan penyelamatan
korban henti jantung. Tujuan dilakukannya RJPO adalah oksigenasi darurat yang
diberikan secara efektif pada organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi
buatan dan sirkulasi buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen
dengan kekuatan sendiri secara normal.
RJPO merupakan serangkaian tindakan gawat darurat penyelamatan nyawa yang
dilakukan dengan usaha meresusitasi secara manual seseorang yang mengalami henti
jantung. Pada RJPO terdapat tiga tahap resusitasi yang ditandai dengan awalan sesuai
abjad. Tahap pertama yaitu Bantuan hidup dasar meliputi A (airway), B (breathing)
dan C (circulation). Tahap kedua yaitu Bantuan hidup lanjut meliputi D (drugs and
fluid), E (electrocardiography) dan F (fibrillation treatment). Tahap terakhir yaitu
Bantuan hidup jangka panjang meliputi G (gauging), H (human mentation) dan I
(intensive care).
DAFTAR PUSTAKA

1. Gräsner JT, Bossaert L. 2013. Epidemiology and management of cardiac


arrest: what registries are revealing. Best Pract Res Clin
Anaesthesiol.;27(3):293-306.
2. Felix YL and Kimberly AD. Cardiac Arrest and Resuscitation.
Comprehensive Critical Care Adult; 139-151
3. Boyd TS, Perina DG. 2012. Out-of-hospital cardiac arrest. Emerg Med Clin
North Am; 30: 13-23.
4. Berdowski J, Berg RA, Tijssen JG, Koster RW. 2010. Global incidences of
out-of-hospital cardiac arrest and survival rates: Systematic review of 67 pro-
spective studies. Resuscitation; 81: 1479-87.
5. Ahn SG, Dariush M, Veronique L et al. 2013. Heart Disease and Stroke
Statistics—2013 Update. AHA Statistical Update:1-241. Available at
http://cpr.heart.org/AHAECC/CPRAndECC/General/UCM_477263_Cardiac-
Arrest-Statistics.jsp. Access on 12th May 2017
6. Jian P, Jian YZ, Ho SK et al. 2015. Compression, Ventilation, Defibrillation,
Drug Treatment, and Targeted Temperature Management in Cardiopulmonary
Resuscitation. Chinese Medical Journal;128:550-554
7. Kwangha L. 2012. Cardiopulmonary Resuscitation: New Concept.
Tuberculosis and Respiratory Diseases; 72: 401-408
8. Anonim. 2011. Cardiac Arrest. British Heart foundation
9. American Heart Association. 2020. AHA Guideline Update for CPR and
ECC.Circulation
10. Forte P, Mazzone M, Portale G et al. 2006. Approach to respiratory failure in
emergency department. European Review for Medical and Pharmacological
Sciences: Vol 10;135-151
11. American Red Cross. 2015. Basic Life Support for Healthcare Providers
Handbook.
12. Tintinalli J, Kelen G, Stapczynski J. 2004. Emergency medicine. 1st ed. New
York: McGraw-Hill, Medical Pub. Division
13. Latief SA. 2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. FKUI. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai