Anda di halaman 1dari 7

DIABETES MELLITUS TIPE 2

1. Definisi dan klasifikasi


Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karen kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
keduanya. Diabetes mellitus dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologinya yang terbagi
sebagai berikut (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2019).
Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologi (dikutip dari Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia, 2019)
Klasifikasi Deskripsi
Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya berhubungan dengan defisiensi insulin
absolut oleh karena autoimun ataupun idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin
Diabetes mellitus Diabetes yang didiagnosis pada trimester kedua atau ketiga kehamilan
gestasional dimana sebelum kehamilan tidak didapatkan diabetes
Tipe spesifik yang - Sindroma diabetes monogenik (diabetes neonatal, maturity-onset
berkaitan dengan diabetes of the young {MODY})
penyebab lain. - Penyakit eksokrin pankreas (fibrosis kistik, pankreatitis)
- Disebabkan oleh obat atau zat kimia (misalnya penggunaan
glukokortikoid pada HIV/AID atau setelah transplantasi organ)

Yang akan dibahas selanjutnya dalam laporan ini adalah mengenai DM tipe 2.

2. Patofisiologi
Diabetes mellitus dapat disebebkan oleh banyak faktor mulai dari usia, jenis kelamin,
diet, aktivitas fisik, riwayat konsumsi rokok dan alkohol, dsb. Dasar-dasar terjadinya DM tipe
2 adalah sebagai berikut (Decroli, 2019).
a. Resistensi Insulin
Dua patofisiologi utama yang mendasari terjadinya kasus DMT2 secara genetik
adalah resistensi insulin dan defek fungsi sel beta pankreas. Resistensi insulin merupakan
kondisi umum bagi orang-orang dengan berat badan overweight atau obesitas. Insulin tidak
dapat bekerja secara optimal di sel otot, lemak, dan hati sehingga memaksa pankreas
mengkompensasi untuk memproduksi insulin lebih banyak. Ketika produksi insulin oleh sel
beta pankreas tidak adekuat guna mengkompensasi peningkatan resistensi insulin, maka
kadar glukosa darah akan meningkat, pada saatnya akan terjadi hiperglikemia kronik.
Hiperglikemia kronik pada DMT2 semakin merusak sel beta di satu sisi dan memperburuk
resistensi insulin di sisi lain, sehingga penyakit DMT2 semakin progresif.
Secara klinis, makna resistensi insulin adalah adanya konsentrasi insulin yang lebih
tinggi dari normal yang dibutuhkan untuk mempertahankan normoglikemia. Pada tingkat
seluler, resistensi insulin menunjukan kemampuan yang tidak adekuat dari insulin signaling
mulai dari pre reseptor, reseptor, dan post reseptor. Secara molekuler beberapa faktor yang
diduga terlibat dalam patogenesis resistensi insulin antara lain, perubahan pada protein kinase
B, mutasi protein Insulin Receptor Substrate (IRS), peningkatan fosforilasi serin dari protein
IRS, Phosphatidylinositol 3 Kinase (PI3 Kinase), protein kinase C, dan mekanisme molekuler
dari inhibisi transkripsi gen IR (Insulin Receptor).

b. Disfungsi Sel Beta Pankreas


Pada perjalanan penyakit DMT2 terjadi penurunan fungsi sel beta pankreas dan
peningkatan resistensi insulin yang berlanjut sehingga terjadi hiperglikemia kronik dengan
segala dampaknya. Hiperglikemia kronik juga berdampak memperburuk disfungsi sel beta
pankreas.
Sebelum diagnosis DMT2 ditegakkan, sel beta pankreas dapat memproduksi insulin
secukupnya untuk mengkompensasi peningkatan resistensi insulin. Pada saat diagnosis
DMT2 ditegakkan, sel beta pankreas tidak dapat memproduksi insulin yang adekuat untuk
mengkompensasi peningkatan resistensi insulin oleh karena pada saat itu fungsi sel beta
pankreas yang normal tinggal 50%. Pada tahap lanjut dari perjalanan DMT2, sel beta
pankreas diganti dengan jaringan amiloid, akibatnya produksi insulin mengalami penurunan
sedemikian rupa, sehingga secara klinis DMT2 sudah menyerupai DMT1 yaitu kekurangan
insulin secara absolut.
Sel beta pankreas merupakan sel yang sangat penting diantara sel lainnya seperti sel
alfa, sel delta, dan sel jaringan ikat pada pankreas. Disfungsi sel beta pankreas terjadi akibat
kombinasi faktor genetik dan faktor lingkungan. Jumlah dan kualitas sel beta pankreas
dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain proses regenerasi dan kelangsungan hidup sel beta
itu sendiri, mekanisme selular sebagai pengatur sel beta, kemampuan adaptasi sel beta
ataupun kegagalan mengkompensasi beban metabolik dan proses apoptosis sel.
Pada orang dewasa, sel beta memiliki waktu hidup 60 hari. Pada kondisi normal, 0,5
% sel beta mengalami apoptosis tetapi diimbangi dengan replikasi dan neogenesis.
Normalnya, ukuran sel beta relatif konstan sehingga jumlah sel beta dipertahankan pada
kadar optimal selama masa dewasa. Seiring dengan bertambahnya usia, jumlah sel beta akan
menurun karena proses apoptosis melebihi replikasi dan neogenesis. Hal ini menjelaskan
mengapa orang tua lebih rentan terhadap terjadinya DMT2.
Pada masa dewasa, jumlah sel beta bersifat adaptif terhadap perubahan homeostasis
metabolik. Jumlah sel beta dapat beradaptasi terhadap peningkatan beban metabolik yang
disebabkan oleh obesitas dan resistensi insulin. Peningkatan jumlah sel beta ini terjadi
melalui peningkatan replikasi dan neogenesis, serta hipertrofi sel beta.
Ada beberapa teori yang menerangkan bagaimana terjadinya kerusakan sel beta,
diantaranya adalah teori glukotoksisitas, lipotoksisitas, dan penumpukan amiloid. Efek
hiperglikemia terhadap sel beta pankreas dapat muncul dalam beberapa bentuk. Pertama
adalah desensitasi sel beta pankreas, yaitu gangguan sementara sel beta yang dirangsang oleh
hiperglikemia yang berulang. Keadaan ini akan kembali normal bila glukosa darah
dinormalkan. Kedua adalah ausnya sel beta pankreas yang merupakan kelainan yang masih
reversibel dan terjadi lebih dini dibandingkan glukotoksisitas. Ketiga adalah kerusakan sel
beta yang menetap.
Pada DMT2, sel beta pankreas yang terpajan dengan hiperglikemia akan
memproduksi reactive oxygen species (ROS). Peningkatan ROS yang berlebihan akan
menyebabkan kerusakan sel beta pankreas. Hiperglikemia kronik merupakan keadaan yang
dapat menyebabkan berkurangnya sintesis dan sekresi insulin di satu sisi dan merusak sel
beta secara gradual.

c. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan juga memegang peranan penting dalam terjadinya penyakit DMT2.
Faktor lingkungan tersebut adalah adanya obesitas, banyak makan, dan kurangnya aktivitas
fisik.

Peningkatan berat badan adalah faktor risiko terjadinya DMT2. Walaupun demikian
sebagian besar populasi yang mengalami obesitas tidak menderita DMT2. Penelitian terbaru
telah menelaah adanya hubungan antara DMT2 dengan obesitas yang melibatkan sitokin
proinflamasi yaitu tumor necrosis factor alfa (TNFα) dan interleukin-6 (IL-6), resistensi
insulin, gangguan metabolisme asam lemak, proses selular seperti disfungsi mitokondria, dan
stres retikulum endoplasma.
Gambar 1. Keterlibatan Sebelas Hal yang Mempengaruhi Terjadinya DM tipe 2 (dikutip dari
Schwartz et al., 2016)

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh sebelas hal (egregious
eleven) yaitu :

a. Kegagalan Sel Beta Pancreas


Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang.
Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1
agonis dan DPP-4 inhibitor.

b. Liver
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP = hepatic
glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang
menekan proses glukoneogenesis.

c. Otot
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multipel di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin dan tiazolidindion.

d. Sel Lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA = Free Fatty Acid) dalam
plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan
resistensi insulin di liver dan otot. Free Fatty Acid juga akan mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja
dijalur ini adalah tiazolidindion.

e. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2
hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2
didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin
segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit.
Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran
pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa-
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh
usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk
menghambat kinerja enzim alfa-glukosidase adalah akarbosa.

f. Sel alfa Pancreas


Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah
diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa
kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam
keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang
menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis,
DPP-4 inhibitor dan amylin.
g. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM tipe-2.
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. 90% dari glukosa terfiltrasi ini akan
diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada bagian
convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan diabsorbsi melalui peran SGLT-1
pada tubulus desenden dan asenden sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada
penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja
SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga
glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor.
Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
h. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obesitas baik
yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme
kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat
akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah
GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin

i. Kolon/mikrobiota
Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam keadaan
hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM tipe 1, DM tipe 2, dan
obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya sebagian individu berat badan berlebih akan
berkembang DM. Probiotik dan prebiotik diperkirakan sebagai mediator untuk menangani
keadaan hiperglikemia.’
j. Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensi kerusakan sel beta
pankreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan percepatan pengosongan lambung dan
peningkatan absorpsi glukosa di usus halus, yang berhubungan dengan peningkatan kadar
glukosa postprandial.
k. Sistem imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respons fase akut (disebut sebagai
inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari aktivasi sistem imun bawaan/innate) yang
berhubungan kuat dengan patogenesis DM tipe 2 dan berkaitan dengan komplikasi seperti
dislipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah berperan dalam induksi
stress pada endoplasma akibat peningkatan kebutuhn metabolisme untuk insulin. DM tipe 2
ditandai dengan resistensi insulin, disertai dengan inflamasi kronik derajat rendah pada
jaringan perifer seperti adiposa, hepar dan otot.
Sumber :
Decroli, E. (2019). Diabetes Mellitus Tipe 2. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. (2019). Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia. Jakarta: PB Perkeni.
Schwartz, S. S., Epstein, S., Corkey, B. E., Grant, S. F. A., Gavin, J. R., & Aguilar, R. B.
(2016). The time is right for a new classification system for diabetes: Rationale and
implications of the β-cell-centric classification schema. Diabetes Care, 39(2), 179–186.
https://doi.org/10.2337/dc15-1585

Anda mungkin juga menyukai