Anda di halaman 1dari 24

29

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus Tipe 2

2.1.1 Definisi

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu sindrom dengan terganggunya

metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak yang penyebabnya merupakan akibat

dari kurangnya sekresi insulin atau terdapat kurangnya sentivitas insulin. (Hall,

2011). Diabetes melitus memiliki beberapa tipe yaitu DMT1, DMT2 , DM

Gestasional, dan DM tipe lain (ADA, 2021).

2.1.2 Epidemiologi

Secara global diestimasikan bahwa terdapat 462 juta orang yang mengalami

DMT2, jumlah tersebut merupakan sekitar 2,28 % dari populasi penduduk dunia.

Pada tahu 2017 terdapat 1 juta kematian yang disebabkan oleh DMT2, hal tersebut

membuat DMT2 menjadi penyebab mortalitas tersebesar kesembilan di dunia,

meningkat pesat dibandingkan pada tahun 1990 dengan posisi kedelapan belas

(Khan et al., 2020)

Berdasarkan data dari IDF pada tahun 2014 dikatakan bahwa Indonesia

menempati peringkat ke-5 sebagai penyandang diabetes terbanyak di dunia dengan

jumlah 9,1 juta orang (Decroli, 2019). Terdapat peningkatan angka prevalensi

Diabetes yang cukup besar di Indonesia, yaitu dari 6,9% di tahun 2013 menjadi
30

8,5% di tahun 2018 yang kemudian memiliki risiko terkena penyakit lain, seperti :

stroke, dan serangan jantung (Kemenkes RI, 2019).

2.1.3 Patogenesis

Karakteristik khas dari DMT2 adalah gangguan sekresi insulin, resistensi

insulin, produksi glukosa hepatic yang berlebih, metabolisme lemak yang

abnormal, dan inflamasi sistemik tingkat rendah. Pada tahap awal penyakit,

toleransi glukosa tetap berada dibatas normal walaupun terdapat resistensi insulin,

hal ini akibat dari kompensasi yang dilakukan oleh sel beta pankreas dengan

meningkatkan sekresi insulin. Ketika resistensi insulin dan kompensasi

hiperinsulinemia terus terjadi, hal ini akan mengakibatkan sel beta pankreas pada

beberapa orang akan gagal untuk mempertahankan produksi insulinnya yang

kemudian akan menyebabkan terjadinya Impaired glucose tolerance (IGT) yang

ditandai dengan meningkatnya gula darah postprandial. Dengan terus menurunnya

sekresi insulin dan meningkatnya produksi glukosa hepatik akan menyebabkan

terjadinya diabetes dengan hiperglikemik puasa. Pada akhirnya, sel beta pankreas

akan rusak, kerusakan ini disebabkan oleh beberapa hal seperti supresi insulin yang

tidak adekuat, produksi glukagon yang berlebihan, dan produksi glukosa hepatik

yang terus bertambah (Jameson et al., 2018)

2.1.4 Patofisiologi

Mengenai patofisiologi penyakit, gangguan fungsi siklus umpan balik antara

kerja insulin dan sekresi insulin menyebabkan kadar glukosa darah yang tinggi

secara abnormal. Dalam kasus disfungsi sel beta , sekresi insulin berkurang,

membatasi kapasitas tubuh untuk mempertahankan kadar glukosa fisiologis. Di sisi


31

lain, resistensi insulin berkontribusi pada peningkatan produksi glukosa di hati dan

penurunan pengambilan glukosa baik di otot, hati, dan jaringan adiposa. Bahkan

jika kedua proses berlangsung di awal patogenesis dan berkontribusi pada

perkembangan penyakit, disfungsi sel beta biasanya lebih parah daripada resistensi

insulin. Namun, ketika disfungsi sel beta dan resistensi insulin terjadi bersamaan ,

hiperglikemia akan semakin diperkuat dan akan mengarah pada perkembangan

DMT2 (Galicia-Garcia et al., 2020). Berikut merupakan mekanisme dari terjadinya

disfungsi sel beta :

1.) Fisiologi sel beta

Sel beta bertanggung jawab dalam produksi insulin, yang disintesis sebagai

pra-proinsulin. Pada proses maturasi, preproinsulin mengalami modifikasi yang

dilakukan oleh bantuan beberapa protein di dalam retikulum endoplasma (RE)

untuk menghasilkan proinsulin. Setelah itu, proinsulin ditranslokasi dari RE ke

aparatus Golgi (AG), masuk ke dalam vesikel sekretorik yang belum matang dan

dipecah menjadi C-peptida dan insulin.

Setelah matang, insulin disimpan dalam granule sampai sekrersi insulin

dipicu. Sekresi insulin terutama dipicu oleh respons terhadap konsentrasi glukosa

yang tinggi. Perlu dicatat bahwa beberapa faktor lain juga dapat menginduksi

sekresi insulin seperti asam amino, asam lemak dan hormon. Ketika kadar glukosa

meningkat, sel mengambil glukosa terutama melalui glucose transporter 2

(GLUT2), protein pembawa zat terlarut yang juga bekerja sebagai sensor glukosa

untuk sel . Setelah glukosa masuk, katabolisme glukosa diaktifkan, meningkatkan


32

rasio ATP/ADP intraseluler, yang menginduksi penutupan saluran kalium yang

bergantung pada ATP di membran plasma. Hal ini menyebabkan depolarisasi

membran dan pembukaan saluran Ca2+ yang bergantung pada tegangan,

memungkinkan Ca2+ masuk ke dalam sel. Peningkatan konsentrasi Ca2+

intraseluler memicu persiapan dan penggabungan granula sekretorik yang

mengandung insulin ke membran plasma, menghasilkan eksositosis insulin. Namun

, sinyal sel lain juga dapat membantu atau meningkatkan sekresi insulin dari sel .

Di antaranya adalah cAMP yang mungkin merupakan aspek terpenting yang

menyebabkan pelepasan insulin. Bukti yang terkumpul menunjukkan bahwa cAMP

menginduksi mobilisasi vesikel sekretori yang mengandung insulin dengan

menghabiskan cadangan Ca2+ intraseluler, sehingga meningkatkan konsentrasi

Ca2+ intraseluler (Galicia-Garcia et al., 2020)

2.) Mekanisme terjadinya disfungsi sel beta

Disfungsi sel secara umum dikaitkan dengan kematian sel. Namun, bukti

terbaru menunjukkan bahwa disfungsi sel pada DMT2 mungkin disebabkan oleh

beberapa interaksi yang lebih kompleks antara lingkungan dan jalur molekuler yang

berbeda yang terlibat dalam biologi sel. Dalam keadaan gizi yang berlebihan, mirip

dengan yang ditemukan pada obesitas yaitu sering munculnya hiperglikemia dan

hiperlipidemia, hal tersebut mendukung munculnya resistensi insulin dan

peradangan kronis. Dalam keadaan ini, karena perbedaan dalam kerentanan

genetiknya, sel beta menjadi rawan untuk rusak akibat dari tekanan toksik termasuk

peradangan, stres inflamasi, stres RE, stres metabolik / oksidatif, stres amiloid,
33

dengan potensi yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya integritas pulau

langerhans.

Kelebihan free fatty acid (FFA) dan hiperglikemia menyebabkan disfungsi

sel dengan menginduksi stres RE melalui aktivasi jalur apoptotic unfolded protein

response (UPR). Faktanya, lipotoksisitas, glukotoksisitas dan glukolipotoksisitas

yang terjadi pada obesitas, menginduksi stres metabolik dan oksidatif yang

mengarah pada kerusakan sel . Stres yang berasal dari FFA jenuh tingkat tinggi

dapat mengaktifkan jalur UPR melalui beberapa mekanisme termasuk

penghambatan sarco/endoplasmic reticulum Ca2+ ATPase (SERCA) yang

bertanggung jawab untuk mobilisasi RE Ca2+; aktivasi reseptor IP3 atau gangguan

langsung homeostasis RE. Selain itu, kadar glukosa tinggi yang berkelanjutan

meningkatkan proinsulin biosynthesis and islet amyloid polypeptides (IAAP) dalam

sel , yang menyebabkan akumulasi misfolded insulin dan IAAP dan meningkatkan

produksi protein oksidatif yang di mediasi oleh reactive oxygen species (ROS).

Efek ini mengubah mobilisasi RE Ca2+ fisiologis dan mendukung sinyal

proapoptosis, degradasi mRNA proinsulin dan menginduksi pelepasan interleukin

(IL)-1 yang merekrut makrofag dan meningkatkan inflamasi pulau langerhans.

Seperti disebutkan sebelumnya, sekresi insulin harus diatur dengan baik

untuk memenuhi kebutuhan metabolik dengan tepat. Oleh karena itu, integritas

pulau langerhans yang tepat harus dipertahankan agar sel dapat merespon

kebutuhan metabolisme. Dalam kondisi yang tidak normal, mekanisme yang

dijelaskan di atas pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan integritas pulau,

mengganggu komunikasi antar sel yang optimal dalam pulau langerhans, hal ini
34

berkontribusi pada regulasi pelepasan insulin dan glukagon yang buruk dan

akhirnya memperburuk hiperglikemia. gangguan sintesis pada setiap prekursor

insulin, atau insulin itu sendiri, serta gangguan mekanisme sekresi, dapat

menyebabkan disfungsi sekresi insulin yang berujung sebagai pendorong utama

kegagalan sel beta , dan dasar dari terjadinya DMT2. (Galicia-Garcia et al., 2020)

Gambar 2.0.1 Perbedaan antara sel beta normal dan sel beta yang mengalami
disfungsi

1.1.5 Faktor Resiko

Determinan dari penyebab kejadian DMT2 adalah ada nya hubungan dengan

genetik, epigenetik, dan gaya hidup. Faktor-faktor tersebut dapat berhubungan satu

sama lain dalam mempengaruhi DMT2. Walaupun DMT2 memiliki hubungan yang

kuat dengan genetik, sebuah penelitian mengatakan bahwa DMT2 dapat di cegah

dengan modifikasi gaya hidup (Zheng et al., 2018)

1. Faktor Genetik
35

Diestimasikan bahwa orang DMT2 bersifat hereditary sekitar 70%-

90% dan bukti dari hal ini diambil dari berbagai populasi, keluarga, dan

penelitian pada orang kembar. Orang dengan dua orang tua memiliki

Riwayat DMT2 akan memiliki risiko mengidap DMT2 sekitar 40%.

Resistensi insulin terdapat pada banyak relatif tingkat pertama tanpa

diabetes dari individu dengan DMT2. Penyakit ini bersifat poligenik dan

multifaktorial, karena selain kerentanan genetik, faktor lingkungan (seperti

obesitas, gizi buruk, dan aktivitas fisik) dapat memodulasi fenotipe.

Lingkungan dalam Rahim juga berkontribusi, dan baik peningkatan atau

penurunan berat badan saat lahir meningkatkan risiko DM tipe 2 pada saat

dewasa. Anak-anak dari kehamilan dengan hiperglikemia gestasional juga

menunjukkan peningkatan risiko DMT2. Gen-gen yang menjadi

predisposisi DMT2 tidak teridentifikasi secara lengkap, tetapi sebuah

genome-wide association studies (GWAS) telah mengidentifikasi sejumlah

besar gen yang membawa risiko yang relatif kecil untuk DMT2 (>70 gen,

masing-masing dengan risiko relatif 1,06-1,5). Yang paling menonjol

adalah varian dari faktor transkripsi 7-like 2 gene yang telah dikaitkan

dengan DMT2 di beberapa populasi dan dengan IGT. Polimorfisme genetik

terkait dengan DMT2 juga telah ditemukan pada gen yang mengkode

proliferator peroksisom seperti activated receptor γ, inward rectifying

potassium channel, zinc transporter, IRS, dan calpain 10. Mekanisme dari

bagaimana lokus genetic ini meningkatkan kerentanan terhadap DMT2


36

masih tidak jelas tetapi sebagian besar diperkirakan mengubah fungsi pulau

langerhans atau perkembangan atau sekresi insulin (Jameson et al., 2018).

2. Faktor Epigenetik

Epigenetik didefinisikan sebagai perubahan yang diwariskan dalam

fungsi gen yang terjadi tanpa adanya perubahan dalam urutan DNA. Dalam

hal ini dapat dikatakan bahwa epigenetik merupakan sifat yang di wariskan

(Ling & Rönn, 2019).Terdapat beberapa contoh dari pengaruh epigenetik

terhadap risiko terjadinya DMT2 seperti Gangguan homeostasis glukosa

pada orang tua dikatakan dapat mengubah program metabolisme pada

keturunannya yang bertepatan dengan perubahan spesifik pada epigenetik

menunjukkan bahwa perubahan epigenetik merupakan faktor risiko dari

penyakit metabolik. Serta perubahan epigenetik akibat lingkungan juga

dapat terjadi yang menyebabkan sebuah perubahan pada garis germinal,

pengaruh faktor lingkungan termasuk aktivitas fisik, ritme sirkadian, stress,

dan suhu pada ekspresi gen dapat di mediasi oleh mekanisme epigenetk

yang menunjukkan bagaimana sel beradaptasi terhadap lingkungan

(Dhawan & Natarajan, 2020)


37

Faktor Lingkungan :
Status Gizi
Aktifitas
Ritme sirkadian
Suhu
Umur

Perubahan epigenetik :
Modifikasi Histon
Metilasi DNA
Arsitektur kromatin
Non coding RNAs

Sel vascular
Sel Beta Liver Sel Imun Gamet
Pankreas Otot Ginjal
Adiposa Mata
neuron

Penurunan masa sel Resistensi Komplikasi Pewarisan epigenetik


beta Insulin Diabtes

Gambar 2.0.2 Pengaruh epigenetic terhadap DMT2

3. Faktor Perilaku dan Lingkungan

Diketahui bahwa pada umumnya diet dengan energi tinggi seperti diet

pada orang barat bersamaan dengan gaya hidup sedentary merupakan

penyebab utama dari terjadinya DMT2. Dua faktor tersebut juga

bertanggung jawab terhadap terjadinya epidemi obesitas di dunia yang juga

merupakan salah satu kejadian yang berhubungan kuat dengan


38

meningkatnya kejadian DMT2 di dunia. Beberapa hal lain yang berisiko

menyebabkan terjadinya DMT2 adalah aktifitas fisik kurang, depresi, stress,

konsumsi alkohol, merokok, dan kurang tidur (Kolb & Martin, 2017).

DMT2 dihipotesiskan sebagai hasil interaksi antara faktor risiko

lingkungan, biologis, dan perilaku. Gaya hidup sehat dianggap kurang

berpengaruh jika tidak ada lingkungan yang mendukungnya, dan intervensi

perilaku dan pendidikan dapat berkurang secara signifikan atau menjadi

tidak efektif dalam lingkungan yang tidak mendukung tersebut. Bukti dalam

literatur menunjukkan bahwa faktor sosial ekonomi, demografi, dan

perilaku tingkat individu merupakan fsktor penting kejadian DMT2

(Dendup et al., 2018).

Gambar 2.0.3 Pengaruh Lingkungan pada DMT2


39

Karakteristik lingkungan dihipotesiskan dapat meningkatkan paparan

faktor risiko DMT2 dengan meningkatkan atau membatasi stresor perilaku,

psikososial dan fisik. Ketersediaan dan/atau kedekatan dengan sumber

rekreasi, ruang hijau, ruang terbuka, tujuan pejalan kaki, trotoar, dan tempat

umum yang dirancang dan terhubung dengan baik, campuran penggunaan

lahan yang lebih tinggi dapat mendorong aktivitas fisik dan interaksi sosial.

Individu yang tinggal di lingkungan yang dapat dilalui dengan berjalan kaki

cenderung lebih banyak berjalan , sehingga mengurangi risiko obesitas.

Demikian pula, memiliki supermarket yang dekat dapat mendorong pola

makan yang sehat, dan lingkungan yang padat dapat memfasilitasi akses dan

penggunaan fasilitas lokal, kegiatan sosial , dan aktivitas fisik. Sebaliknya,

akses terbatas ke supermarket dapat meningkatkan kunjungan ke gerai

makanan cepat saji yang dapat meningkatkan kemungkinan asupan

makanan yang tidak sehat. pengaruh lingkungan dan perilaku seperti ini

dapat mengatur asupan kalori dan pembakaran yang memengaruhi risiko

obesitas, disfungsi sel beta , dan resistensi insulin.

Polusi udara diketahui dapat mengubah fungsi endotel, memicu

peradangan dan resistensi insulin, dan dikaitkan dengan peningkatan risiko

hipertensi. Polusi udara dan kebisingan lalu lintas jalan juga dapat

mempengaruhi tingkat lipid darah yang selanjutnya dapat mempengaruhi

tekanan darah dan meningkatkan risiko kejadian DMT2. Beberapa bukti

menunjukkan ruang hijau, sistem transportasi dan lalu lintas dapat

mempengaruhi tingkat polusi lokal dan aktivitas fisik. Polusi udara dapat
40

menghambat olahraga, sementara kebisingan dapat memengaruhi tidur dan

kesehatan mental. Selanjutnya, karakteristik sosial ekonomi tingkat individu

dan terkait juga dapat mempengaruhi pengaruh lingkungan pada pasien

DMT2. Misalnya, individu dengan penghasilan rendah mungkin lebih

rentan terhadap kondisi lingkungan yang merugikan (Dendup et al., 2018).

1.1.6 Diagnosis

Skrining dan diagnosis diabetes mellitus dilakukan dengan pemeriksaan

kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah yang dianjurkan adalah secara enzimatik

menggunakan plasma darah vena. Namun pemeriksaan glukosa darah juga dapat

dilakukan menggunakan darah kapiler dengan glucometer.

Beberapa keluhan yang dapat ditemukan pada penderita DM adalah sebagai

berikut :

1. Keluhan Klasik : polydipsia, pliuria, polifagia, dan penurunan berat

badan yang tidak jelas sebabnya

2. Keluhan lain : kesemutan, gatal, lemah badan, mata kabur, pruritus

vulva pada vagina, dan disfungsi ereksi pada pria.

Diagnosis diabetes mellitus dapat ditegakkan melalui pemeriksaan darah

sebagai berikut :

1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi

tidak ada asupan kalori selama minimal 8 jam

2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dl 2-jam setelah tes toleransi

glukosa oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram


41

3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl denga keluhan

klasik

4. Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang

terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization

Program (NGSP)

(Perkeni, 2015)

Table 2.1 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa pada DM dan non-DM

Non-DM Prediabetes DM

Kadar Plasma Vena <100 100-199 ≥200

glukosa Darah <90 90-199 ≥200

darah kapiler

sewaktu

(mg/dl)

Kadar Plasma Vena <90 100-125 ≥126

glukosa Darah <90 90-99 ≥100

darah puasa kapiler

(mg/dl)

(Decroli, 2019)

2.2 Ritme Sirkadian

2.2.1 Definisi

Ritme sirkadian merupakan ritme endogen yang mengontrol berbagai

fungsi fisiologis dan juga menjadi salah satu faktor penting dalam kontrol
42

pola tidur. Ritme sirkadian memiliki pengaruh terhadap berbagai macam

fungsi endokrin, sekresi asam lambung, aktivitas motorik, pernapasan,

tekanan darah, serta aktivitas sistem saraf pusat (SSP) (Burman, 2017).

2.2.2 Fungsi

Ritme sirkardian berfungsi mengatur berbagai hal dalam tubuh seperti

irama bangun tidur, tekanan darah, temperatur tubuh, dan sekresi hormon.

Ritme sirkardian juga mengatur peraturan dan mekanisme tidur dan terjaga

yang diregulasi oleh alat pacu yang ada pada suprachiasmatic nuclei (SCN)

yang memiliki fungsi untuk menjadi Master Clock. SCN ini lebih aktif pada

siang hari dan pengaturannya diatur setiap hari berdasarkan berbagai hal

seperti masuknya cahaya dari retina serta siklus gelap oleh sekresi melatonin

dari kelenjar pineal, serta pada ginjal, liver, dan jantung (Ambarwati, 2017).

Ritme sirkadian memiliki berbagai fungsi dan hubungan terhadap

homeostasis metabolisme tubuh. Metabolik homeostasis merupakan

komponen penting dalam meregulasi metabolisme energi, Salah satu hormon

yang terlibat dalam hal ini adalah leptin, hormon ini berperan dalam

metabolisme energi dengan meningkatkan aktivasi sistem saraf simpatik dan

meningkatkan termogenesis dengan meningkatkan hormon tiroid. Sekresi

hormon leptin terjadi dalam siklus sirkadian dan kadar serum leptin

memuncak pada malam hari. Dengan demikian, gangguan keseimbangan

sirkadian dapat mempengaruhi sekresi leptin, termogenesis, dan homeostasis

energi, secara tidak langsung. Berbanding terbalik dengan leptin, beberapa

hormon dari hipotalamus menunjukkan aktifitas yang lebih tinggi pada


43

malam hari, salah satu contohnya yaitu growth hormone (GH). Kadar serum

GH puncaknya berada diantara pukul 02.00 am dan 04.00 am. Jika interaksi

dari ritme sirkadian dan GH ini terganggu oleh gangguan tidur contohnya,

GH tidak dapat disekresi dalam kadar normalnya. Maka dari itu, pola tidur

pada anak kecil sangat perlu untuk diperhatikan. (Serin & Acar Tek, 2019)

2.2.3 Fisiologi ritme sirkadian

Bagian yang bertanggung jawab dari ritme sirkadian merupakan SCN

yang ada di hipotalamus. Saat terjadi transisi dari terang menuju gelap tubuh

melakukan sebuah reaksi berubah dikirimnya input menuju

retinohypothalamic pineal pathway (RPP). Saat dalam keadaan terang akson

mengirim sinyal yang mengaktifkan SCN melalui nervus optikus. Lalu SCN

mengirimkan sinyal melalui neurotransmitter inhibitor gamma-amino-

butyric-acid (GABA) yang menginhibisi nukleus paraventricular. Pada saat

yang sama akson mengirimkan impuls menuju kolumna lateral intermediet

untuk menghambat ganglion servikal superior sehingga menghambat system

saraf simpatis. Akibatnya, melatonin tidak dapat dikeluarkan dari kelenjar

pineal menuju sirkulasi. Pada malam hari, tidak adanya cahaya memberi

sinyal ke sel ganglion retina untuk menghambat nukleus suprachiasmatic

mengaktifkan nukleus paraventrikular yang kemudian mengirimkan akson

melalui nukleus intermediolateral ke ganglion servikal superior merangsang

sistem saraf simpatik yang menginduksi kantuk. Kelenjar pineal dimobilisasi

untuk mensekresi melatonin ke dalam sirkulasi (Reddy et al., 2018).


44

Gambar 2.0.4 Sistem Sirkadian

2.2.4 Gangguan ritme sirkadian

Gangguan ritme sirkadian dapat dideskripsikan sebagai sebagai sebuah

keadaan terjadinya ketikselarasan dalam ritme sirkadian tubuh. Salah satu

gangguan sirkadian yang sering terjadi adalah gangguan pada siklus tidur

yang berkaitan dengan jam biologis pada malam hari, selain itu terdapat juga

gangguan pada pola makan yang berkaitan erat dengan pola tidur dan pola

gelap-terang, dan terakhir terdapat juga gangguan pada ritme sentral dan

perifer (Baron & Reid, 2017).

2.2.5 Etiologi gangguan ritme sirkadian

Ritme sirkadian dari manusia dipengaruhi oleh stimuli internal

(endogen) dan eksternal (eksogen). Stimuli endogen termasuk marker genetic

seperti genotip MTNR1B. Sementara itu, stimuli eksogen berupa faktor

lingkungan seperti cahaya, kegelapan, suara berisik, dan hal-hal

mempengaruhi waktu bangun-tidur seperti aktivitas, konsumsi makanan, dan


45

tidur (Seixas et al., 2019). Paparan cahaya yang berlebihan pada malam hari

Bersama dengan jam kerja yang Panjang dan beberapa faktor psikososial

berperan sebagai faktor-faktor yang dapat menyebabkan gangguang

sirkadian, beberapa faktor risiko tersebut sering kali ditemukan pada pekerja

shift malam yang diketahui memiliki efek buruk pada kesehatan (James et al.,

2017)

Ritme sirkadian selaras dengan pengaturan waktu eksternal tubuh setiap

harinya. Waktu biologis pada siang hari selaras dengan waktu, sedangkan

waktu biologis malam hari selaras dengan periode gelap. Keselarasan ini akan

terganggu jika waktu biologis yang ada dalam tubuh berbeda dengan waktu

yang sebenarnya. Perbedaan pada waktu biologis dalam tubuh dengan waktu

yang sebenarnya ini terjadik akibat beberapa hal seperti jet lag, kerja shift,

gangguan tidur, dan lain-lain. Seperti contoh ada shift kerja malam tubuh akan

terpaksa untuk terpapar sinar cahaya yang berlebih dan waktu tidur tidak

sesuai dengan waktu biologis tubuh, hal tersebut menjadi faktor terjadinya

gangguan ritme sirkadian. (Khan et al., 2020)

2.3 Pengaruh Ritme Sirkadian Terhadap Metabolisme Tubuh

Kenaikan gula darah sementara setelah makan menunjukkan suatu proses

metabolisme. Makanan yang lebih banyak akan menyebabkan lonjakan gula darah

lebih besar, sedangkan makanan kaya protein dan lemak akan menyebabkan

lonjakan yang diredam. Respon fisiologis terhadap apa dan berapa banyak yang

dimakan merupakan dasar ilmu yang bertujuan untuk mencegah dan mengobati

obesitas, diabetes, dan penyakit lain. Namun, asupan kalori total dan kualitas nutrisi
46

makro , waktu konsumsi makanan juga merupakan faktor penting dalam menjaga

kesehatan metabolisme. Misalkan, ketika orang dewasa yang sehat makan makanan

yang sama saat sarapan, makan siang, atau makan malam, kenaikan glukosa

postprandial paling rendah setelah sarapan dan tertinggi setelah makan malam ,

seolah-olah makan malam itu dua kali ukuran sarapan. Selain itu, ketika orang

dewasa yang sehat diberi infus glukosa konstan selama 24 jam, glukosa meningkat

di malam hari dan turun sekitar fajar , menunjukkan bahwa selain apa dan berapa

banyak yang dikonsumsi , waktu konsumsi juga membantu menentukan respons

fisiologis terhadap nutrisi (Panda, 2016).

Metabolisme tubuh berada dalam kontrol sirkadian , hal ini ditunjukkan

dalam sebuah pengamatan bahwa sebagian besar cycling transcripts di hati terlibat

dalam beberapa jalur metabolisme. Proses seperti metabolisme glukosa, kolestrol,

dan trigliserida merupakan beberapa hal yang terbukti dipengaruhi oleh regulasi

sirkadian. Metabolisme berada di bawah kendali sirkadian yang kuat. Peripheral

clock (misalnya hati, pankreas, jaringan adiposa, dll.) diatur oleh SCN yang juga

akan memberikan umpan balik pada SCN. Cahaya mengatur fase jam molekuler di

SCN, sementara sinyal hormonal (misalnya insulin dan glukokortikoid) dan

perilaku makan/puasa yang mengubah kadar glukosa mengubah fase peripheral

clock. Molecular clock dari kedua sel perifer dan SCN kemudian berinteraksi

dengan sistem kontrol metabolik. Molecular clock terdiri dari putaran umpan balik

dari Per/Cry dan Clock/Bmal1 . Gen-gen ini Bersama dengan produk proteinnya

juga mengontrol ekspresi faktor transkripsi hilir yang lalu akan mengatur gen target

metabolik. Regulator umum termasuk DBP (D site of albumin promoter (albumin


47

D-box) binding protein) yang mengikat promotor hulu dalam gen insulin; HLF

(Hepatic leukaemia factor), yang mengatur aspek fungsi hati; dan TEF (Thyrotroph

embryonic factor), yang terlibat dalam pelepasan hormon perangsang tiroid.

Koordinasi metabolisme sirkadian juga melibatkan anggota famili reseptor rev-erb

(REV-ERB), retinoic acid orphan receptors (ROR), PPAR (peroxisome

proliferator-activated receptors) dan nuclear receptor (NR) lainnya. Regulator

metabolik, seperti REV-ERBα dan ROR, juga berpartisipasi langsung dalam

mekanisme jam dengan mengatur transkripsi Bmal1. Selain itu, PPARα hati, yang

diaktifkan oleh asam lemak, diatur secara ritmis oleh CLOCK dan BMAL1 dan

juga diatur oleh glukokortikoid. Regulator transkripsi ini pada gilirannya

berinteraksi dengan gen yang terkait dengan metabolisme glikogen, asam lemak,

dan trigliserida. Gen target tersebut meliputi: Glikogen sintase, terlibat dalam

mengubah glukosa menjadi glikogen; HMG-CoA reduktase yang merupakan enzim

pengatur laju yang menghasilkan kolesterol; CYP7A1 adalah enzim pembatas

kecepatan dalam sintesis asam empedu; Acetyl-CoA carboxylase (ACC) dan Fatty

acid synthase (FAS) terlibat dalam mengkatalisis sintesis asam lemak. Regulasi ini

bisa sangat kompleks, dengan beberapa putaran umpan balik yang saling terkait

antara jam dan gen/protein metabolik. Misalnya, regulasi transkripsi CYP7A1,

didorong oleh DBP, jam protein DEC2, dan oleh reseptor nuklir termasuk PPARα.

PPARα juga mengatur ekspresi Rev-erbα di sel hati dan adiposa, sementara ROR

dan Rev-erbα mengatur metabolisme lipid serta terlibat dalam ekspresi Clock dan

Bmal1 (Jagannath et al., 2017).


48

Gambar 2.0.5 Hubungan sirkadian terhadap kontrol system metabolisme

2.4 Pengaruh gangguan ritme sirkadian pada terjadinya DMT2

Resistensi insulin pada hati, otot dan jaringan adiposa, yang awalnya

dikompensasi oleh peningkatan sekresi, merupakan karakteristik awal dalam

berkembangnya DMT2. Sebagai catatan, selain resistensi insulin, kerusakan sel beta

pancreas juga berkontribusi pada pengembangan DMT2. Peran utama hati dalam

pemeliharaan homeostasis glukosa adalah untuk mensekresi glukosa (produksi

glukosa endogen) ketika glukosa plasma dan kadar insulin rendah. Dalam kondisi

normal, produksi glukosa endogen sangat ditekan oleh insulin. Saat terjadi resistensi

insulin pada hati, produksi glukosa endogen tetap tidak tertekan meskipun kadar

insulin plasma yang tinggi, sehingga berkontribusi pada peningkatan kadar glukosa

melalui peningkatan gluconeogenesis dan pengurangan penyerapan glukosa

(Stenvers et al., 2019)


49

Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebab terjadinya DMT2 dan

berakitan langsung dengan gangguan ritme sirkadian, beberapa faktor tersebut

merupakan :

1. Pengaruh cahaya

Cahaya matahari merupakan siknronasi utama dari SCN. Dengan gaya

hidup modern dan pekerjaan yang menyebabkan berkurangnya paparan

cahaya siang hari dan meningkatnya paparan cahaya pada malam hari, hal ini

menyebabkan gangguan dalam keselarasan waktu sirkadian pada tubuh. Pada

sebuah penelitian pada beberapa hewan menemukan bahwa paparan cahaya

pada malam hari mengganggu ritme diurnal dari asupan makan dan perilaku

sehari-hari. Dalam kondisi asupan makanan dan aktivitas fisik yang

terkontrol, paparan cahaya yang terang secara langsung ditunjukkan dapat

mengurangi sensitivitas insulin dengan cara yang bergantung pada waktu

pada individu dengan keadaan sehat. Ketika orang yang sehat dibiarkan

terjaga di malam hari, cahaya terang menyebabkan peningkatan kadar

glukosa dalam plasma.

2. Melatonin dan Kortisol

Terdapat dua manifestasi endokrin yang paling penting dari ritme

sirkadian yaitu siklus harian melatonin dan kortisol. Dua transduser endokrin

kunci dari jam sirkadian: melatonin dan kortisol, melatonin biasanya mulai

meningkat dengan timbulnya kegelapan dan mencapai puncaknya beberapa

jam kemudian, sedangkan sebaliknya konsentrasi kortisol biasanya rendah di

malam hari dan mulai meningkat sebelum bangun (Walker et al., 2020).
50

Melatonin disekresi oleh kelenjar pineal dan menunjukkan ritme

diurnal yang jelas. Saat dalam keadaan gelap, kadal melatonin dalam plasma

terhitung tinggi, dan sekresi dari melatonin ini sangat ditekan dengan paparan

cahaya, melatonin berperan dalam meningkatnya sekresi insulin pada sel

pancreas (Stenvers et al., 2019). Sementara itu, Kortisol adalah pengatur

penting fungsi endokrin, metabolisme, dan diferensiasi adiposit,

berkontribusi untuk adipogenesis dan peningkatan simpanan lemak visceral.

Selain itu, kortisol memainkan peran penting dalam jalur pensinyalan insulin,

kortisol dapat mengganggu sensitivitas insulin di beberapa jaringan,

akibatnya mengurangi intake glukosa dan berkontribusi pada resistensi

insulin (Morais et al., 2019).

3. Pola tidur

Terbukti bahwa pola tidur dapat berpengaruh dalam terjadinya

resistensi insulin. Sebuah meta analisis menunjukka bahwa individu yang

tidur terlalu panjang dan yang tidur terlalu pendek, dengan waktu tidur

optimal 7-8 jam, memiliki risiko yang sama terhadap meningkatnya risiko

DMT2. Kualitas tidur yang buruk memiliki peran dalam risiko terjadinya

obesitas dan DMT2, bersamaan dengan hal tersebut, individu dengan sleep

apnea ditemukan memiliki risiko terhadap terjadinya DMT2, hal ini dapat

terjadi akibat meningkatnya asupan makanan dan kurangnya aktifitas fisik.

Berkaitan dengan asupan makanan, terdapat dua hormon yang memiliki

pengaruh terhadap terjadinya DMT2 yaitu hormon leptin dan ghrelin.


51

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hormon metabolik leptin dan

ghrelin terlibat dalam hubungan antara pola tidur dan risiko diabetes. Leptin

adalah hormon yang disekresikan oleh jaringan adiposa yang terlibat dalam

sinyal perasaan kenyang. Studi laboratorium telah menunjukkan bahwa

kurang tidur akut dapat menurunkan kadar leptin. Ghrelin, di sisi lain, adalah

hormon yang disekresikan oleh lambung secara perlahan, sebelum makan,

merangsang rasa lapar. Dalam penelitian laboratorium, kurang tidur akut telah

mengakibatkan peningkatan ghrelin, yang mungkin mengakibatkan

peningkatan rasa lapar fisiologis, peningkatan rasa lapar ini akan

mengakibatkan meningkatnya asupan makanan yang jika terjadi pada jangka

Panjang akan mengakibatkan sensitivitas insulin dan sekresi insulin menurun

(Grandner et al., 2016)

Leptin sebagai hormon yang mengatur food intake dan penggunaan

energi telah dihubungkan dengan DMT2, hiperkolestrolemia, dan sindrom

metabolik pada pria dan wanita di negara berkembang. Leptin dan insulin

berperan dalam area yang sama pada hipotalamus untuk menurunkan food

intake dan menigkatkan energi ekspenditur yang berarti mengatur energi

jangka panjang. Insulin menstimuli produksi dari leptin saat adiposit

terekspos oleh glukosa untuk meningkatkan rasa kenyang. Sedangkan, leptin

melalui umpan balik negatif menurunkan sekresi insulin dan meningkatkan

sensitivitas jaringan insulin ,yang setelah itu berujung pada uptake glukosa

untuk digunakan atau untuk penyimpanan. Berlawanan dengan defisiensi

leptin yang diamati pada tikus obesitas, kadar serum leptin yang tinggi dapat
52

menyebabkan resistensi leptin yang terlihat pada manusia obesitas, hal

tersebut dapat menyebabkan peningkatan risiko DMT2. Ini mungkin karena

deregulasi sumbu adiposit-insulin dalam sel beta pankreas dalam keadaan

hiperleptinemia menyebabkan hiperinsulinemia; di mana aksi anabolik

insulin merangsang adipogenesis sehingga menyebabkan peningkatan lebih

lanjut dalam sekresi insulin, dan akibatnya terjadi resistensi insulin dengan

perkembangan kejadian DMT2. (Osegbe et al., 2016).

4. Shift kerja dan jetlag

Pada orang dengan shift kerja dan jetlag yang berulang ditemukan

memiliki pengaruh terhadap risiko terjadinya DMT2. Sebuah penelitian

menemukan individu dengan shift kerja kronik memiliki penurunan dalam

toleransi glukosa dan sensitivitas insulin, hal ini disebbakan akibat dari

meningkatnya asupan makanan, peningkatan berat badan, serta gangguan

metabolisme glukosa. Sebuah penelitian translational menemukan bahwa

pada tikus yang diberikan perlakuan jet lag berulang memiliki penurunan

pada toleransi glukosa yang disebabkan oleh gangguang pada mikrobioma

pada usus, hal ini menunjukkan bahwa jam mikrobioma mungkin memiliki

peran penting dalam perkembangan resistensi insulin (Stenvers et al., 2019)

Anda mungkin juga menyukai