Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Diabetes Mellitus Tipe 2
a. Definisi
Diabetes melitus tipe 2 (DMT2) adalah kelainan metabolik dan
endokrin yang kompleks akibat hubungan faktor genetik dan
lingkungan yang mengakibatkan berbagai perubahan fungsi insulin
pada jaringan perifer serta sel β pankreas (Durruty et al., 2019).
Penyebab terjadinya DMT2 karena sel β kehilangan progresif sekresi
insulin akibat dari resistensi insulin (American Diabetes Association,
2018). DMT2 merupakan salah satu penyakit yang merusak regulasi
homeostatis glukosa darah dibuktikan dengan tingginya kadar glukosa
darah dalam kondisi puasa >126 mg/dl (Hurtado and Vella, 2019).

b. Patofisiologi
Resistensi insulin dan disfungsi sel beta pankreas merupakan
patofisiologi sentral dari penyakit DMT2 (Decroli, 2019). Resistensi
insulin adalah kegagalan atau ketidakmampuan sel – sel yang menjadi
sasaran insulin merespon secara normal (Fatimah, 2015). Resistensi
insulin terjadi saat kondisi seseorang mengalami kenaikan berat badan
dan terjadi penumpukan jaringan lemak area subkutan (perut, hati, dan
otot) serta di bagian otak, pembuluh darah, dan usus. Jaringan adiposit
juga akan mengeluarkan adipokin yang berlebihan sehingga
metabolisme akan terganggu (Govers et al., 2015).
Perkembangan penyakit DMT2 akan menyebabkan penurunan
fungsi pada sel beta pankreas terhadap sekresi insulin dan belanjutnya
kondisi resistensi insulin yang terjadi secara terus menerus (Decroli,
2019). Schwartz et al. (2016) melaporkan bahwa sel beta yang telah
lebih awal gagal memproduksi insulin akan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumya.

13
14

Kondisi hiperglikemia pada DMT2 diperantarai oleh ominous


octet. Konsep dasar patofisiologinya sebagai berikut (PERKENI,
2019) :
1) Upaya rehabilitatif tidak hanya bertujuan menurunkan HbA1c saja
tetapi juga harus bertujuan memperbaiki gangguan patogenesis
2) Pengobatan yang dikombinasi harus didasari kinerja obat yang
menyesuaikan patofisiologi DMT2
3) Waktu pengobatan harus dimulai sedini mungkin dengan tujuan
memperlambat atau mencegah progresivitas kegagalan sel beta
pada penderita yang telah mengalami gangguan toleransi glukosa
Berikut sentral patogenesis DMT2 yang disebut sebagai the
agregious eleven dapat dilihat pada Gambar 2.1 (PERKENI, 2019).

(Schwartz et al., 2016)


Gambar 2.1 The Egegious Eleven
1) Sel beta pankreas
Kegagalan sel beta pankreas merupakan sentral dari
perkembangan penyakit DMT2 (Halban et al., 2014).
2) Disfungsi sel alfa pankreas
Sel alfa berperan dalam sintesis glukagon dimana plasma
mengalami peningkatan dalam kondisi puasa sehingga
menyebabkan peningkatan produksi glukosa hati (hepatic glucose
production) dalam keadaan basal dibanding orang sehat.
15

3) Sel Lemak
Lipolisis dan kadar asam lemak bebas (Free Fatty
Acid/FFA) dalam plasma mengalami peningkatan akibat sel lemak
yang resisten terhadap insulin. Akibat peningkatan FFA terjadi
proses glukoneogenesis dan resistensi insulin di liver dan otot. FFA
juga akan mengganggu sekresi insulin pada sel beta pankreas (Oh
et al., 2018).
4) Otot
Kinerja insulin terganggu pada penderita DMT2 yang
multipel di intramioseluler. Akibat gangguan fosforilasi tirosin
terjadi gangguan transpor glukosa dalam sel otot, penurunan
oksidasi glukosa, dan sintesis glikogen.
5) Liver
Proses glukoneogenesis menyebabkan produksi glukosa
meningkat dalam keadaan basal oleh liver.
6) Ginjal
Patogenesis DMT2 melibatkan peran ginjal dimana 163
gram glukosa setiap harinya difiltrasi oleh ginjal. Sebanyak 90%
dari glukosa yang difiltrasi akan diabsorpsi melalui Sodium
Glucose Cotransporter 2 (SGLT-2) pada bagian convulted tubulus.
Proksimal sedangkan 10% sisanya akan diabsorpsi di bagian
tubulus desenden dan asenden oleh Sodium Glucose Cotransporter
1 (SGLT-1) sehingga tidak ada glukosa dalam urin. Ekspresi gen
SGLT-2 meningkat pada kondisi DM dan terjadi reabsorpsi
glukosa yang meningkat dalam tubulus ginjal dan mengakibatkan
hiperglikemik.
7) Otak
Individu yang obesitas baik menderita DM ataupun non
DM akan mengalami hiperinsulinemia. Hal ini akibat mekanisme
kompensasi dari resistensi insulin di otak yang menyebabkan
asupan makan meningkat.
16

8) Usus Halus
Saluran pencernaan berperan dalam proses absorpsi
karbohidrat dengan bantuan kinerja enzim α-glukosidase yang
bertugas memecah polisakarida menjadi monosakarida dan diserap
oleh usus sehingga glukosa darah meningkat setelah makan.
Hormon inkretin diperankan oleh glucagon-like polypeptide-1
(GLP-1) dan glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau
disebut gastric inhibitory polypeptide (GIP). Penderita DMT2
mengalami defisiensi GLP-1 dan resisten GIP. Selain itu, inkretin
dipecah oleh enzim DPP-4.
9) Kolon/Mikrobiota
Mikrobiota kolon mengalami perubahan komposisi dimana
berkontribusi dalam meningkatkan kadar glukosa darah.
Mikrobiota di usus memiliki hubungan dengan kejadian DM dan
obesitas. Probiotik serta prebiotik dianggap sebagai mediator untuk
mengatasi kadar glukosa darah yang meningkat.
10) Lambung
Sel β pankreas yang rusak mengalami penurunan produksi
amilin sehingga mempercepat pengosongan lambung dan
meningkatkan absorpsi glukosa pada usus halus yang berhubungan
dengan meningkatnya kadar glukosa postprandial.
11) Sistem Imun
DMT2 memiliki hubungan yang kuat dengan aktivasi
sistem imun bawaan/innate). Respon fase akut diinduksi oleh
sitokin (disebut sebagai inflamasi derajat rendah). Komplikasi
DMT2 seperti dislipidemia dan aterosklerosis juga memiliki
hubungan yang kuat dengan aktivasi imun innate. Induksi stres
pada endoplasma terjadi karena peran inflamasi sistemik derajat
rendah. Hal ini menyebabkan peningkatan kebutuhan metabolisme
untuk memproduksi insulin. Pada penderita DMT2 terjadi
resistensi insulin perifer dan produksi insulin yang menurun,
17

disertai dengan inflamasi kronik derajat rendah pada jaringan


perifer seperti adiposa, otot, dan liver.

c. Resistensi Insulin
Insulin adalah hormon yang disekresi oleh sel β pankreas dari
pulau langerhans dengan target sasaran pada jaringan target responsif
insulin yang mengekspresikan reseptor insulin (Rose, 2019). Jaringan
otot merupakan tempat utama pengeluaran glukosa yang distimulasi
insulin dimana terjadinya resistensi insulin pada otot rangka akan
mempengaruhi mobilisasi glukosa ke seluruh tubuh. Fungsi utama
insulin pada otot rangka adalah mempromosikan ambilan glukosa yang
dikendalikan Glucose Transporter-4 (GLUT-4) (Petersen and
Shulman, 2018). Kondisi DMT2 menyebabkan ketidakmampuan
insulin memobilisasi glukosa darah ke dalam sel akibat dari resistensi
reseptor insulin (Malau, 2014). Kemudian insulin diproduksi lebih
banyak oleh pankreas yang dinilai sebagai gangguan untuk
menyeimbangkan glukosa darah (Petersen and Shulman, 2018).
Berikut gambaran patogenesis resistensi insulin pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Mekanisme Patogenesis Resistensi Insulin Pada Otot


Rangka
(Paleva, 2019)
18

Hiperinsulinemia yang berlanjut akan mengaktivasi jalur


protein kinase mTOR/S6K1 yang menyebabkan peningkatan
fosforilasi IRS-1. Selain itu, aktivasi jalur ini menghambat IRS-1 dari
aktivasi fofatidilinositol 3-kinase (PI3K) dan AKT yang merupakan
efektor metabolisme insulin. Hal tersebut mengakibatkan resistensi
insulin dan klirens insulin menurun. Jalur aktivasi mTOR memiliki
peran utama pada otot rangka dan jaringan adiposit yang menyebabkan
penurunan klirens insulin (Paleva, 2019; Petersen and Shulman, 2018).
Kondisi resistensi insulin pada jaringan adiposa putih
menyebabkan aktivitas tirosin kinase berkurang. Jaringan adiposa yang
hipertrofi menyebabkan FFA pada jaringan adiposa dan non-adiposa
akan berlebihan sehingga terjadi penumpukan lemak ektopik dan
derivat aktif FFA yang menyebabkan resistensi insulin (Petersen and
Shulman, 2018). Selain itu, adiposit yang hipertrofi menyebabkan
hipoksia lokal pada retikulum endoplasma (RE) sel, infiltrasi
makrofag, dan kerusakan jaringan adiposit. Keadaan yang
berkelanjutan akan menyebabkan peningkatan sekresi sitokin pro
inflamasi seperti TNF-α, IFNϒ, IL-6, IL-1, dan monocytes
chemottractant protein (MCP-1) yang mengganggu pemberian sinyal
insulin (Item and Konrad, 2012).
Sekresi pro inflamasi memicu aktivasi c-jun-N terminal kinase
(JNK) dan Inhibitor κB Kinase (IKK) mengakibatkan resistensi insulin
dengan meningkatkan fosforilasi serin yang menghambat IRS-1.
Selain itu, meningkatkan aktivasi transkrip gen inflamasi seperti iNOS.
Hal tersebut meningkatkan pembentukan nitrit oksida (NO) dan bentuk
turunan peroksi nitrit (ONOO) yang bersifat reaktif dan menghambat
persinyalan insulin dengan menghambat IRS-1, PI3K dan AKT yang
menjadi peran utama dalam translokasi GLUT-4 (Tchernof and
Despres, 2013).
Abnormalitas profil lipid (dislipidemia) juga merupakan salah
satu penyebab resistensi insulin yang ditandai dengan naiknya kadar
trigliserida, kolesterol total, dan LDL serta HDL yang menurun. FFA
19

yang meningkat berperan dalam pembentukan trigliserida (TG) di liver


dan sebagian di intestinal (Hirano, 2018). Resistensi insulin
berhubungan dengan tingginya TG dan rendahnya HDL-C (Sandika,
2020). Rasio TG atau HDL-C berhubungan dengan penyimpanan
glukosa yang dimediasi insulin dan disfungsi sel β pankreas
(lipotoksisitas & apoptosis) (Young et al., 2019).

d. Disfungsi Sel Beta Pankreas


Keadaan hiperglikemia yang semakin meningkat ditunjukkan
dengan terjadinya resistensi insulin yang berat akan menurunkan
sekresi insulin. Hiperglikemia dan hiperlipidemia bersifat toksik bagi
sel β pankreas. Sel β mengalami apoptosis yang cepat akibat
perubahan metabolik dari mekanisme seperti glukotoksisitas,
lipotoksisitas, glukolipotoksisitas, disfungsi mitokondria, dan stres
oksidatif (Kupsal et al., 2015). Keadaan tersebut juga memicu
peningkatan FFA dan Reavtive Oxidative Species (ROS) yang
mengganggu sekresi insulin (Hasnain et al., 2016). Tahap lanjut dari
penyakit DMT2 yaitu kerusakan sel beta pankreas dan fungsinya
digantikan jaringan amiloid sehingga terjadi defisiensi insulin secara
absolut (Decroli, 2019).

e. HOMA-IR (Homeostatic Model Assesment Insuline Resistance)


Penilaian model homeostasis resistensi insulin (HOMA-IR)
dikembangkan oleh Matthews et al. pada tahun 1985 digunakan secara
luas dalam studi epidemiologi untuk mengukur sensitivitas insulin
berdasarkan glukosa plasma dan konsentrasi insulin dalam kondisi
puasa. Satuan hasil kadar insulin yang digunakan yaitu mIU/l, glukosa
puasa mg/dl serta 405 sebagai konstanta (faktor normalitas). Metode
penilaian resistensi insulin terhadap penyakit DM menggunakan
HOMA-IR relatif sederhana dan telah tervalidasi sehingga lebih efisien
(Siahaan and Lindarto, 2017). Rumus perhitungan untuk penilaian
HOMA-IR sebagai berikut (Matthews et al., 1985).
20

( )
HOMA-IR =

Nilai ambang batas (cut-off) HOMA-IR bervariasi menurut ras,


jenis kelamin, usia, komplikasi penyakit, dan beberapa wilayah
geografis ataupun negara berdasarkan hasil dari dilakukannya studi
berbasis populasi (Gayoso-Diz et al., 2013). Indeks HOMA-IR ≥2
dianggap telah menunjukkan terjadinya resistensi insulin
(Tjokroprawiro, 2017). Semakin tingginya nilai HOMA-IR (≥2,5)
maka menunjukkan terjadinya sindrom metabolik (Tang et al., 2015).
Penelitian Wang et al. (2020) menunjukkan tidak ada perbedaan
indeks HOMA-IR pada penderita DMT2 yang mengidap ≤ 1 tahun
hingga 30 tahun.

f. HOMA-β (Homeostatis Model Assessment Β- Cell Function)


HOMA-β (%B) adalah cara menilai kemampuan fungsi sel beta
berdasarkan glukosa darah puasa dan insulin. Orang sehat berumur
<35 tahun dan berat badan normal ditemukan nilai HOMA-β (100%)
dan HOMA-IR (1,0). Nilai tersebut menunjukkan keseimbangan antara
produksi glukosa dan sekresi insulin selama kondisi basal (Cersosimo
et al., 2014). Rumus perhitungan untuk penilaian HOMA-β yaitu :

HOMA- β =
( )

(Matthews et al., 1985)


Nilai normal sel beta pankreas yaitu 70 s.d. 150% sedangkan
<70% menandakan fungsi sel β terganggu. Aktivitas yang berlebihan
dari sel β (>150%) juga mengakibatkan disfungsi (Tjokroprawiro,
2017). Kerusakan sel β pankreas juga dapat dipicu akibat peningkatan
sitokin proinflamasi (Butler and Dhawan, 2015). Kondisi inflamasi
yang meningkat ditandai dengan kadar hsCRP yang meningkat
(Rahman et al., 2019). Penelitian yang dilakukan Bautista et al. (2019)
di negara Filipina membandingkan resistensi insulin (HOMA-IR) dan
fungsi sel β pankreas (HOMA-β) pasien DMT2 dengan status gizi
kurus, overweight, dan obesitas. Hasil penelitiannya melaporkan
21

pasien DMT2 dengan status gizi overweight dan obesitas lebih banyak
mengalami resistensi insulin dan penurunan fungsi sel-β pankreas
dibanding pasien DMT2 dengan status gizi kurus. Hal ini
menunjukkan status gizi berpengaruh terhadap nilai HOMA-IR dan
HOMA- β.

g. Terapi Obat
Penyakit DM termasuk penyakit kronis seumur hidup yang
dapat dikendalikan dengan obat (terapi farmakologi), pola hidup sehat
seperti aktivitas fisik dan penerapan nutrisi yang tepat (terapi non
farmakologi). Terapi farmakologi terbagi 2 jenis intervensi yakni obat
antihiperglikemia oral dan injeksi (PERKENI, 2019). Injeksi insulin
merupakan kebutuhan inisiasi pada penderita DMT1 (Silver et al.,
2018) sedangkan OAD merupakan penanganan utama terapi pada
penderita DMT2 (Gusti et al., 2020).
Glibenklamid merupakan golongan obat sulfonilurea yang
digunakan sebagai salah satu terapi farmakologi penyakit DMT2 yang
bersifat hipoglikemik bentuk oral (Furman, 2017). Glibenklamid
bekerja dengan cara merangsang sekresi insulin jalur eksitosis melalui
ATP-dependent potassium channel sehingga terjadi depolarisasi sel
beta pankreas. Glibenklamid juga mengaktivasi glikogen fosforilase
alfa dan meningkatkan fruktosa seluler 2,6-bifosfat pada liver sehingga
menurunkan glukoneogenesis dan meningkatkan glikolisis di liver
(Gumantara and Oktarlina, 2017). Glibenklamid berperan dalam
penurunan glukosa tetapi tidak signifikan terhadap peningkatan status
antioksidan (SOD, GSH, CAT, GPx, dan GST) (Chukwunonso Obi et
al., 2016). Berikut karakteristik jenis obat antidiabetes oral dan jenis
obat yang sering digunakan di Indonesia (Tabel 2.1).
22

Tabel 2.1 Karakteristik Jenis Obat Antidiabetes Oral


Golongan Nama Obat Mekanisme Kerja Efek Samping
Obat
Metformin Menurunkan kadar Gangguan
Biguanid glukosa hati dan gastrointestinal
menurunkan glikemia
Glipizid, Peningkatan sekresi Hipoglikemia
Sulfonilurea Glibenklamid, insulin
Glikazid,
Repaglinid, Peningkatan sekresi Hipoglikemia
Glinid Nateglinid, insulin.dengan mengikat
reseptor yang berbeda
dari sulfonylurea
Acarbose, Menunda pemecahan Meningkatkan
Pengahambat Miglitol karbohidrat di usus produksi gas dan
α-glukosidase (mengahmbat α- gangguan
glukosidase gastrointestinal

Pioglitazon Bertindak sebagai Penambahan BB


Tiazoidinedion peroksisom proliferator dan retensi
dengan mengaktifkan cairan
reseptor modulator
gamma
Exenatid Mengikat reseptor GLP-1 Mual, muntah,
GLP-1 Liraglutid atau diare

Sitagliptin, Menghambat enzim DPP4 Infeksi saluran


DPP-4 Vildagliptin, dengan meningkatkan pernafasan atas
Saxagliptin, kerja inkretin
dan
Linagliptin
Sumber : (Derosa and Maffioli, 2012)

Tabel 2.2 Obat Hipoglikemik Oral di Indonesia


Dosis Dosis Lama Frekuensi
Nama generik Merk Dagang Harian (mg) Awal Kerja
(mg) (jam)
Golongan Sulfonilurea

Khlorpropamid Diabenes 100-500 - 24-36 1


(100-250 mg)
Glibenklamid Daonil Euglucon 2,5-5 - 12-24 1-2
(2,5-5 mg)
Glipizid Minidiab 5-20 5 10-18 1-2
(5-10 mg) Glucontrol XL 1

Glicazid Diamicron MR 30 30-120 30 24 1


mg
Damicron 80 mg
Gliquidon Glurenorm 30-120 30 - 1-3
(30 mg)
Glipemirid Amaryl 6 1 - 1
(1,2,3,4 mg)
Matrix
Glinid

Refaglinde Novonorm 6 0,5 - 1-3


(0,5;1;2 mg)
23

Dosis Dosis Lama Frekuensi


Nama generik Merk Dagang Harian (mg) Awal Kerja
(mg) (jam)
Golongan Biguanid

Metformin Glucophage 250-3000 - 6-8 1-3


(500-850 mg) Diabex
Neodipar
Golongan Tiazolindion/ Glitazon

Pioglitazone Actos 15-30 15 24 1


(15-30 mg)
Rosiglitazone

Golongan Penghambat Alfa Glukosidase

Acarbose Glucobay 50-300 1-3


(50-100 mg)
Kombinasi

Mentformin Glucovance 250/1,25 – 250/1 6-24 1-4


dengan 1000/5 ,25
Glibenklamid
(250/1,25mg)
(500/2,5 mg)
Sumber : (FKUI, 2015)

2. Stres Oksidatif pada Diabetes Mellitus Tipe 2


Stres oksidatif adalah suatu kondisi ketidakseimbangan radikal
bebas dan antioksidan yang mengarah pada kerusakan oksidatif pada
protein, lemak, asam nukleat, dan karbohidrat (Adwas et al., 2019).
Hiperglikemia menyebabkan terjadinya stres oksidatif pada DMT2 dari
enzimatis, non enzimatis, dan jalur mitokondria. Faktor yang paling
dominan adalah auto-oksidasi glukosa yang menghasilkan radikal bebas.
Faktor lainnya adalah ketidakseimbangan redoks dan penurunan
kemampuan petahanan antioksidan (Zatalia and Sanusi, 2013).
Mitokondria memegang peranan penting sebagai sumber utama ROS pada
penyakit DMT2. Selain itu, berperan terhadap homeostatis redoks dan
metabolisme kalsium serta produksi ATP serta apoptosis (Burgos-Moron
et al., 2019). Berikut peran mitokondria sebagai sumber ROS pada DMT2
ditunjukkan pada Gambar 2.3.
24

Gambar 2.3 Mekanisme Mitokondria Sebagai Sumber ROS pada


DMT2
(Burgos-Moron et al., 2019)
Glukosa yang teroksidasi dalam transport elektron akan
menghasilkan NADH dan FADH sehingga menghasilkan ATP, ROS, dan
anion superoksida (O2) dan peroksinitrit (ONOO) serta bentuk radikal
bebas lainnya. Enzim antioksidan seperti SOD, MnSOD, GPx, dan Trx
berperan menjaga keseimbangan redoks seluler. Tidak adanya atau
rusaknya histon pada DNA mitokondria (mtDNA) membuat mitokondria
sangat rentan terhadap kerusakan DNA yang disebabkan oleh O 2. Hal lain
yang terjadi yakni oksidasi protein dan peroksidasi lemak (Burgos-Moron
et al., 2019). Peroksidasi lemak terjadi karena reaksi oksidasi lemak
akibat radikal bebas yang menghasilkan produk akhir salah satunya
malondialdehid (MDA).
MDA adalah produk akhir yang lebih stabil untuk mengukur
peroksida lipid kumulatif (Ayala et al., 2014; Ghazizadeh et al., 2019).
Hasil penelitian Kristina et al. (2015) dan Sunita et al. (2020) melaporkan
kadar MDA pada penderita DMT2 lebih tinggi dibandingkan orang sehat.
Stres oksidatif berhubungan dengan kejadian resistensi insulin dan
diabetes sehingga dibutuhkan antioksidan untuk dapat mengurangi radikal
bebas dan memperbaiki kondisi penyakit DMT2 (Hurrle and Hsu, 2017).
25

Kejadian stres oksidatif pada kondisi DMT2 melalui beberapa jalur


sebagai berikut (Decroli, 2019).
a. Jalur Poliol
Jalur ini aktif ketika kadar glukosa intrasel meningkat. Enzim
aldose reduktase berperan mereduksi glukosa menjadi sorbitol dengan
NADPH sebagai kofaktor. Afinitas aldose reduktase pada keadaan
hiperglikemik menyebabkan sorbitol berakumulasi dan NADPH
digunakan lebih banyak. Aktivitas enzim ini menimbulkan kerusakan
pada sel. Kadar sorbitol dan fruktosa meningkat akibat aktifnya jalur
ini. Sorbitol dan fruktosa merupakan agen glikosilasi yang berperan
dalam pembentukan AGEs.
Penggunaan NADPH berlebih akibat aktivitas berlebihan dari
aldosa redukatase menyebabkan kurangnya ketersediaan kofaktor
untuk proses metabolisme seluler dan enzim. Akibatnya mengurangi
kapabilitas sel dalam merespon stres oksidatif sehingga
mengompensasi aktivitas glucose monophosphate shunt dan terjadi
peningkatan rasio NADPH/NAD+ (pseudohipoksia) akibat penggunaan
NAD+ oleh sorbitol dehydrogenase.
b. Advanced Glycation End Products (AGEs)
Protein yang terglikosilasi secara non enzimatik akan diubah
menjadi produk irreversibel yaitu AGEs pada sel mesangial dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada DMT2.
c. Jalur Heksosamin
Akumulasi berlebihan dari metabolit glikolisis akan
mengaktivasi jalur ini sehingga meningkatkan pembentukan ROS.
d. Aktivasi Protein Kinase (PKC)
Kondisi hiperglikemik memicu aktivitas PKC-B di sel endotel
ginjal.
26

3. Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.)


a. Deskripsi Kayu Secang
Caesalpinia sappan L. atau Biancaea sappan L. yang biasa
disebut kayu secang oleh masyarakat merupakan tanaman obat dengan
berbagai manfaat untuk kesehatan yang banyak digunakan di Asia
(data Worldagoforesty). Karakteristik secang yakni pohon semak
berukuran kecil sampai sedang, tinggi 4 hingga 10 meter; berdiameter
hingga 14 cm; kulit kayu dengan tonjolan yang berbeda dan banyak
duri, coklat keabu-abuan; ranting dan tunas muda berbulu kecoklatan
(Orwa et al., 2009). Menurut United States Departement of Agiculture
(USDA) klasifikasi tanaman secang sebagai berikut (USDA, 2016).
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceace
Genus : Caesalpinia L
Spesies : Caesalpinia sappan L

Gambar 2.4 Kayu Secang


(Nirmal et al., 2015)
27

Kayu secang mudah ditemukan di daerah tropis dengan


ketinggian 500 s.d. 1000 MDPL. Batang berwarna hijau dan
kecoklatan berbentuk bulat serta percabangannya berduri dengan
bentuk bengkok, lentisel, dan letaknya tersebar. Akar tunggang
berwarna merah coklat dan daunnya berbentuk majemuk, menyirip
ganda dengan panjang 25 s.d. 40 cm, jumlah anak daun 10 s.d. 20
pasang dan letaknya berhadapan. Anak daun berbentuk lonjong dengan
panjang 10 s.d. 25 mm dan lebar 3 s.d. 11 mm serta tidak bertangkai.
Bagian kulit dan batang serta polong berwarna merah cerah dan ungu
muda (Sari and Suhartati, 2016).

b. Senyawa Fitokimia Kayu Secang


Kayu secang memiliki komponen lebih dari 1 senyawa aktif
yakni; brazilin, brazielin, 3’-O-metilbrazilin, polifenol, sappanone,
chalcone, sappancalchone, dan terpenoid (Rina, 2013; Widowati,
2011). Brazilin merupakan bagian senyawa flavonoid dan komponen
utama kayu secang yang memiliki aktivitas farmakologi sebagai
antioksidan (Nirmal et al., 2015). Berikut struktur kimia utama pada
kayu pada kayu secang pada Gambar 2.5.

I II III
Gambar 2.5 Struktur Kimia Utama Kayu Secang (I) Brazilin,
(II) Brazilein, (III) 3-O-metilbrazilin
(Padmaningum et al., 2012)

Brazilin berpotensi dalam pengembangan farmakologi yang


diaplikasikan pada makanan, minuman, kosmetik, dan industri
farmaseutikal. Brazilin memiliki aktivitas hipoglikemik dengan
menginduksi GLUT-4 dari intraseluler ke membran plasma melalui
28

aktivasi PI3K. Brazilin juga secara signifikan meningkatkan 6-


fosfofrukto-2-kinase dan aktivitas piruvat kinase terhadap glukagon
yang berperan menghambat glukoneogenesis. Brazilin juga memiliki
aktivitas anti inflamasi dengan menghambat produksi NO dan iNOS
(Nirmal et al., 2015).
Polifenol memiliki peran menurunkan radikal bebas dengan
sifat mereduksi hidrogen atau agen donor elektron (Nirmal et al.,
2015). Polifenol yang paling populer memiliki sifat anti diabetes yaitu
flavonoid (Aba and Asuzu, 2018). Flavonoid memiliki sifat
hipoglikemik dengan meningkatkan metabolisme glukosa dan
menghambat stres oksidatif (Gaikwad et al., 2014). Beberapa studi
melaporkan flavanol, flavonol, flavanon, flavon, isoflavon, dan
antosianin berperan merangsang pengangkutan glukosa pada jaringan
otot dan adiposa serta mengurangi produksi/ pengeluaran glukosa di
hepar. Flavonoid tersebut berperan mengurangi resistensi insulin dan
HbA1c. Flavonoid bekerja dengan mengaktivasi jalur PI3K/ AKT,
menghambat glukoneogenesis, dan menstimulasi sistesis glikogen
(Russo et al., 2019).

c. Ekstraksi dan Toksisitas Kayu Secang


Ekstraksi yang dilakukan Rusita dan Suhartono menggunakan
metode maserasi dari berat simplisia kayu secang 50 g menghasilkan
berat ekstrak 3,595 g dengan kandungan flavonoid sebesar 0,0539%
(Rusita and Suhartono, 2016). Kadar brazilin yang terkandung dalam
20 µg/ml ekstrak kayu secang sekitar 1,74-4,4 µg/ml yang dianalisis
dengan HPLC (Hwang and Shim, 2018). Hasil uji aktivitas
penangkapan radikal DPPH oleh ekstrak kayu secang dengan pelarut
etanol 96% yang dilakukan Tanzaq et al., 2019 sebesar 74,4395 µg/ml
yang tergolong aktivitas antioksidan kuat (Molyneux, 2004).
Sireeratawong et al. (2010) menguji toksisitas ekstrak kayu
secang terhadap tikus wistar, toksisitas akut dengan dosis 5000
mg/kgBB selama 15 hari dan toksisitas subakut dosis 250, 500, serta
29

1000 mg/kgBB selama 30 hari. Penelitian tersebut menunjukkan hasil


tidak ada kelainan perilaku, mortalitas, berat badan, parameter
hematologi, hispatologi, nekropsi, dan profil kimia darah baik pada
kelompok kontrol maupun perlakuan.

d. Peran Ekstrak Kayu Secang terhadap Kadar Glukosa Darah,


Insulin, dan MDA
Pemberian ekstrak etanol kayu secang dengan dosis 100 dan
200 mg/kgBB selama 21 hari pada tikus DM yang diinduksi aloksan
terbukti signifikan menurunkan kadar gula darah, HbA1c,
memperbaiki profil lipid, profil hati (SGOT, SGPT, ALP), dan
hispatologi (Annamalai et al., 2014). Penelitian Aftianingsih (2019)
juga membuktikan bahwa ekstrak etanol kayu secang mampu
menurunkan kadar MDA jaringan hati dan plasma dengan metode
TBARs (Thiobarbituric Acid Reactive Substance) pada tikus DM
selama 14 hari dengan kelompok kontrol positif yang diberikan
glibenklamid 0,9 mg/kgBB/hari. Penurunan kadar MDA baik jaringan
hati ataupun plasma paling efektif dengan dosis ekstrak kayu secang
100 dan 400 mg/kgBB.

4. Pegagan (Centella asiatica L.)


a. Deskripsi Pegagan
Pegagan (Centella asiatica L.) dengan sinonim Hydrocotyle
asiatica L. Pes, yang sering dikenal ―Gotu kola‖ tersebar di daerah
tropis Asia. Tanaman ini lebih mudah tumbuh pada tanah yang agak
lembap dan agak terlindungi dari sinar matahari karena mempengaruhi
morfologi daun dan kandungan bioaktifnya. Tumbuh di dataran sedang
pada ketinggian sekitar 700 MDPL hingga dataran tinggi 2.500 MDPL
(Sutardi, 2017). Menurut United States Departement of Agiculture
(USDA) klasifikasi tanaman pegagan sebagai berikut.
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super divisi : Spermatophyta
30

Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo : Apiales
Famili : Apiaceae/ Umbelliferae
Genus : Centella L.
Spesies : Centella asiatica L.

Gambar 2.6 Pegagan


(Irham et al., 2019)
Pegagan dapat tumbuh hingga 15 cm (6 inci) dengan batang
yang pendek dan percabangan merayap. Daun tunggal tersusun spiral
berjumlah 1 s.d. 3 daun di tiap ruas batang dengan lebar 1,5 s.d. 5 cm
dan panjangnya 2 s.d. 6 cm. Tangkai daun panjang 1 s.d. 50 cm dari
pangkal dan terdapat bunga berbentuk tunggal atau majemuk terdiri 3
s.d. 4 berwarna putih keungunan atau merah muda. Daun mahkota
kemerahan dengan pangkal berukuran 1 s.d. 1,5 mm (Seevaratnam et
al., 2012).
31

b. Senyawa Fitokimia Pegagan


Pegagan banyak mengandung bahan aktif seperti alkaloid,
steroid, triterpenoid, saponin, tanin, dan flavonoid (Sutardi, 2017).
Pegagan terbukti memiliki sifat antioksidan, anti inflamasi, dan anti
mikroba. Komponen utama pegagan yakni pentacyclic triterpenoid
terdiri dari asam asiatic, asam madecassic, asiaticoside, dan
madecassoside (Yasurin et al., 2015). Berikut Gambar 2.7 merupakan
struktur kimia dari beberapa senyawa pada pegagan.

I II

III IV
Gambar 2.7 Struktur Kimia Utama Pegagan (I) Asiatic acid,
(II) Madecassic acid, (III) Asiaticoside, (IV) Madecassoside
(Irham et al., 2019)
Asiatikosida adalah glikosida triterpenik turunan alfamarin
dengan molekul gula. Asiatikosida memiliki gugus alkohol primer,
glikol, dan satu karboksilat teresterifikasi gugus gula. Asiatikosida
berfungsi memperkuat dan memperbaiki kerusakan sel kulit,
menstimulasi sistem imunitas, serta sebagai antibiotik alami (Sutardi,
2017). Selain itu, mampu bekerja sebagai antioksidan, anti inflamasi,
memperbaiki memori, memiliki aktivitas anti tumor, dan detoksifikasi
pada hati (Choi et al., 2016).
Asam asiatik berperan sebagai senyawa anti diabetes melalui
peningkatan glikolisis sehingga meningkatkan sekresi insulin, GLUT-
4, IR, IRS-1, dan IRS-2 (Lindawati et al., 2014; Ramachandran and
32

Saravanan, 2015, 2013). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa


kandungan asam asiatic pada pegagan dapat mengurangi produksi
ROS serta sitokin proinflamasi melalui peningkatan bioavaibilitas nitrit
oxide yang diujikan terhadap tikus sindrom metabolik (Pakdeechote et
al., 2014). Studi in silico dengan analisis PASS Prediction yang
dilakukan Fachrudin (2019) melaporkan adanya aktivitas anti diabetes
pada senyawa triterpen pada tanaman pegagan yakni asam asiatik,
asiatikosida, madekassosida, dan asam madekasik.

c. Kandungan Zat Gizi Pegagan


Zat gizi makro yang ditemukan dalam pegagan yakni protein,
karbohidrat, dan serat (Chandrika and Kumarab, 2015). Dari beberapa
penelitian kandungan zat gizi yang diperoleh bervariasi. Kandungan
zat gizi makro pada umumnya yakni; protein (2,4%), karbohidrat
(6,7%), dan lemak (0,2%). Selain itu, zat gizi mikro yang terkandung
yakni; serat tak larut air (5,4%), serat larut air (0,49%), fosfor (17
mg/100 g), kalium (345 mg/ 100 g), zat besi (14,9 mg/100 g), natrium
(107,8 mg/100 g), kalsium (171 mg/100 g). Pegagan juga kaya akan
vitamin C (48,5 mg/100 g), B1 (0,09 mg/100 g), B2 (0,19 mg/100 g),
B3 (0,1/100 g), karoten (2649 µg/100 g), vitamin A (442 µg/100 g)
(Das, 2011; Hashim, 2011; Joshi and Chaturvedi, 2013).

d. Ekstraksi dan Toksisitas Pegagan


Penelitian Lestari et al. (2012) menganalisis perbedaan pelarut
etanol dan air pada proses ekstraksi herba pegagan menunjukkan hasil
bahwa pelarut etanol 96% tanpa campuran air merupakan pelarut
terbaik untuk melarutkan kadar asiatikosida. Hal ini dikarenakan sifat
kepolaran asiatikosida yang mendekati semi polar. Penelitian Artanti et
al. (2014) juga melaporkan pelarut etanol 96% adalah salah satu
pelarut terbaik dalam melarutkan flavonoid, fenol, serta triterpenoid.
Penelitian yang dilakukan di Malaysia oleh Nurlaily et al. (2012)
membandingkan kandungan fenol total dengan reagen Folin-Ciocalteu,
asiatikosida, dan maddecassoside dengan metode HPLC dari tiga
33

pelarut (metanol, etanol, dan air) pada ekstrak pegagan. Hasil


penelitian tersebut menunjukkan ekstrak pegagan menggunakan
pelarut etanol lebih tinggi (efektif) melarutkan senyawa tersebut dan
disusul metanol dan air. Kandungan fenol total (17,76; 15,52; dan
13,16 g/100 g), asiatikosida (42,86; 36,37; dan 2,82 mg/g), dan
maddecassoside (18,66; 15,87; dan 3,75 mg/g).
Kadar asiatikosida ekstrak etanol pegagan yang dianalisis oleh
(Ramadhan, 2019) berdasarkan pengujian LCMS sebesar 1,03017%
menggunakan pegagan yang tumbuh di UPT. Materia Medica Malang.
Menurut Faramakope Herbal Indonesia (FHI) kadar asiatikosida
>0,07% pada herba pegagan dan >0,09% pada ekstrak pegagan telah
memenuhi standar asiatikosida untuk digunakan sebagai bahan obat
(Kementrian Kesehatan RI, 2017). Selain itu, aktivitas antioksidan dari
ekstrak etanol pegagan juga diuji dengan metode DPPH berdasarkan
nilai IC50 diperoleh sebesar 56,50 µg/ml (tergolong aktivitas
antioksidan yang kuat).
Studi toksisitas akut dan subakut pemberian ekstrak aseton
pegagan pada hewan coba berupa mencit dengan dosis 500, 1000,
2000, dan 4000 mg/kgBB selama 15 hari menunjukkan hasil LD50
(the medium lethal dose) lebih dari 4000 mg/kgBB tidak memiliki
perubahan terhadap BB, organ seperti liver, lambung, jantung, kelenjar
limpa, dan ginjal (Chauhan and Singh, 2012).

e. Peran Ekstrak Pegagan terhadap Kadar Glukosa Darah, Insulin,


dan MDA
Fitrianda et al. (2017) melakukan penelitian terhadap tikus DM
yang diberikan ekstrak etanol pegagan dengan dosis 500 mg/kgBB
selama 21 hari signifikan menurunkan kadar glukosa darah, HbA1c,
dan meningkatkan kadar insulin. Penelitian lain yang menguji
pengaruh variasi dosis ekstrak pegagan terhadap kadar gula darah,
berat badan, dan asupan makan tikus model DMT2 dengan induksi
STZ-NA selama 28 hari melaporkan pemberian 300 mg/kgBB/ hari
34

dapat menurunkan kadar glukosa darah secara signifikan tetapi


beberapa tikus masih dengan kondisi hiperglikemia (>150 mg/dL).
Pemberian 600 mg/kgBB/hari kadar glukosa darah juga menurun tetapi
masih belum termasuk kategori glukosa normal sedangkan 1200
mg/kgBB menunjukkan penurunan kadar glukosa darah yang
signifikansinya sama dengan kelompok kontrol positif (metformin 45
mg/kgBB/hari) (Muhlishoh et al., 2019). Penelitian Muchtaromah et
al. (2016) melaporkan pemberian ekstrak pegagan sebanyak 300
mg/kgBB/hari mampu menurunkan kadar MDA dan meningkatkan
SOD pada tikus DM.

5. Tikus Model Diabetes Melitus Tipe 2


STZ (streptozotocin) atau 2-deoksi-2-(3-metil-nitrosourea)-1-D-
glukopiranosa merupakan senyawa alami yang terdapat pada bakteri
Streptomyces achromogenes (Eleazu et al., 2013). STZ digunakan untuk
menginduksi tikus atau mencit menjadi model DM. Zat ini bersifat toksik
terhadap sel β pankreas (Husna et al., 2019). STZ memiliki potensi sebagai
sumber radikal bebas karena ditemukan peningkatan malondialdehid
(MDA) secara signifikan serta aktivitas enzim antioksidan seperti GPx,
katalase, dan SOD yang menurun (Stevani, 2016). STZ bersifat stabil
dalam larutan baik sebelum ataupun sesudah penyuntikan. Selain itu,
model ini lebih mirip dengan komplikasi akut dan kronis pada penderita
DM serta melaporkan hasil yang sama pada beberapa abnormalitas
struktural dan biokimianya. Kelebihan STZ sebagai agen diabetagonik
dibanding induksi DM lain seperti aloksan yaitu lebih efektif, lebih
reproducible, serta efek hepatoksik dan nefrotoksik yang minimal pada
hewan coba. Hal ini yang menjadikan STZ lebih tepat dengan tujuan
memeriksa mekanisme DM (Husna et al., 2019).
STZ bekerja masuk ke sel dengan GLUT-2 dan afinitas yang
rendah pada membran plasma sel β, sel hepatosit dan sel tubulus ginjal
(Husna et al., 2019). Kemudian terjadi kerusakan DNA yang berakibat
pada aktivitas ADP-ribose polimerase 1 (PARP-1) yang meningkat.
35

Aktivitas yang berlebih dari enzim tersebut menyebabkan nekrosis pada


NAD intraseluler dan ATP serta sel yang berperan dalam sekresi insulin.
Aktivitas PARP-1 dapat dihambat dengan nicotinamide (NA) sehingga
metilasi DNA pun terhambat (Ghasemi et al., 2014; Husna et al., 2019).
Hewan coba yang diinduksi dengan STZ dan NA akan mengalami gejala
diabetes yang relatif ringan dibanding induksi oleh STZ saja. Sel β
pankreas pada tikus yang mengalami kerusakan hanya sebagian sedangkan
pada tikus yang hanya diinduksi dengan STZ menunjukkan nekrosis pada
sel β-pankreas yang lebih berat (Szkudelski et al., 2013). Induksi terhadap
hewan coba dengan kombinasi STZ dan NA lebih menguntungkan karena
efek protektif dari NA terhadap efek sitotoksik dari STZ sehingga
berpotensi lebih baik dalam menguji efek diabetik terhadap senyawa alami
dan farmakologis. Selain itu, insulin di pankreas disimpan hingga
mencapai 60% dan terjadi intoleransi glukosa karena sekresi insulin
terganggu (Ghasemi et al., 2014).
Induksi STZ dan NA diberikan secara intraperitoneal dengan dosis
STZ 65 mg/kgBB pada tikus dan pemberian NA dilakukan 15 menit
sebelum induksi STZ sebanyak 230 mg/kgBB (Husna et al., 2019). Tikus
yang diinjeksi NA sebanyak 200 s.d. 230 mg/kg, 15 menit kemudian
diberikan STZ (60 mg/kg melalui intravena) mendapatkan hasil 75 sampai
80% tikus mengalami hiperglikemia (150 s.d. 180 mg/dl) dan sisanya
mengalami hiperglikemia dengan kondisi yang jauh lebih buruk (Masiello,
2006). Waktu efektif untuk melihat efektivitas STZ yaitu 72 jam hingga 8
minggu (Ghasemi et al., 2014). Hasil penelitian Saputra et al., (2018)
melaporkan bahwa dalam kurun waktu 3 hari hewan coba tikus yang
diinduksi STZ telah mencapai DM dengan kondisi diabetik ringan
(21,5%), sedang (11,8%), hingga kondisi diabetik berat (21,5%).
B. Kerangka Berpikir
Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan, maka kerangka berpikir pada penelitian ini sebagai berikut (Gambar 2.8).

Tikus DM STZ-NA

ROS Aktivasi protein


kinase C
IRS

Disfungsi Resistensi Translokasi


HOMA-β Asiatikosida
sel β HOMA-IR GLUT-4
insulin
pankreas
Pegagan
Ambilan glukosa ke sel Lipolisis
Insulin Sekresi
otot, jaringan adipose, dan
insulin Kombinasi
liver Sitokin pro ekstrak kayu
FFA inflamasi secang dan
pegagan

Glibenklamid
Glukosa darah Glukoneogenesis
Kayu Secang

Absorpsi Flavonoid
MDA
Glukosa di
Usus Halus

Stres oksidatif

Gambar 2.8 Kerangka Berpikir


36
37

: diteliti

: tidak diteliti

: memicu/menyebabkan

: meningkat

: menurun

: menghambat

: flavonoid

: asiatikosida

Tikus model DMT2 akibat induksi STZ-NA akan mengalami peningkatan


radikal bebas (terutama jenis ROS). Kondisi DMT2 menyebabkan insulin menjadi
resisten (sensitivitasnya berkurang) terhadap sel-sel target hingga mengganggu
fungsi sel β pankreas. Penurunan fungsi sel β pankreas secara langsung
mengganggu sekresi insulin. Resistensi insulin dapat dinilai berdasarkan HOMA-
IR dan fungsi sel β pankreas dinilai berdasarkan HOMA-β. Resistensi insulin atau
gangguan fungsi sel β pankreas mengakibatkan penurunan absorpsi glukosa di
usus halus. Penurunan absopsi glukosa juga terjadi di sel otot, jaringan adiposa,
dan liver. Hal inilah yang menyebabkan kadar gula darah meningkat. Kondisi
hiperglikemia juga mengakibatkan peningkatan kadar MDA dan proses
glukoneogenesis.
Gabungan senyawa dari kombinasi ekstrak kayu secang dan pegagan
diharapkan mampu memperbaiki kondisi DMT2 secara spesifik dengan
meningkatkan sensitivitas insulin sehingga absorpsi glukosa ke sel meningkat,
meningkatkan sekresi insulin karena perbaikan kondisi sel β pankreas, dan
menginduksi GLUT-4 serta IRS. Selain itu, diharapkan mampu menurunkan
ataupun menghambat terjadinya stres oksidatif, glukoneogenesis, aktivasi protein
kinase C, dan produksi sitokin pro inflamasi.
38

C. Hipotesis
1. Ada pengaruh dosis dan lama pemberian kombinasi ekstrak kayu secang
dan ekstrak pegagan te rhadap penurunan kadar GDP pada tikus model
DMT2.
2. Ada pengaruh dosis dan lama pemberian kombinasi ekstrak kayu secang
dan ekstrak pegagan terhadap peningkatan kadar insulin pada tikus model
DMT2.
3. Ada pengaruh dosis dan lama pemberian kombinasi ekstrak kayu secang
dan ekstrak pegagan terhadap penurunan HOMA-IR pada tikus model
DMT2.
4. Ada pengaruh dosis dan lama pemberian kombinasi ekstrak kayu secang
dan ekstrak pegagan terhadap peningkatan HOMA-β pada tikus model
DMT2.
5. Ada pengaruh dosis dan lama pemberian kombinasi ekstrak kayu secang
dan ekstrak pegagan terhadap penurunan kadar MDA pada tikus model
DMT2.

Anda mungkin juga menyukai