Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETIC FOOT

A. Definisi Diabetic Foot


Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolik menahun akibat
pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau kemampuan tubuh untuk
bereaksi terhadap insulin menurun. Akibatnya, terjadi peningkatan glukosa di
dalam darah (hiperglikemia) (Kemenkes RI, 2014). Insulin diibaratkan
sebagai anak kunci yang dipergunakan untuk membuka pintu sel, sehingga
glukosa di dalam darah dapat masuk ke dalam sel yang kemudian diubah
menjadi energi untuk kehidupan sel (Rudijanto, 2014). Berkurang atau tidak
adanya insulin menjadikan glukosa tertahan di dalam darah dan menimbulkan
peningkatan gula darah, sementara sel menjadi kekurangan glukosa yang
sangat dibutuhkan dalam kelangsungan dan fungsi sel (Tarwoto dkk, 2012).
Diabetic Foot (Kaki diabetik) adalah kelainan pada tungkai bawah yang
merupakan komplikasi kronik diabetes mellitus; merupakan suatu penyakit
pada penderita diabetes bagian kaki. (Misnadiarly, 1997). Salah satu
komplikasi yang sangat ditakuti penderita diabetes adalah kaki diabetik.
Komplikasi ini terjadi karena terjadinya kerusakan saraf, pasien tidak dapat
membedakan suhu panas dan dingin, rasa sakit pun berkurang.(Thoha,
Wibowo.EW).
Ada beberapa tipe Diabetes Melitus yang berbeda, penyakit ini
dibedakan berdasarkan penyebab, perjalanan klinik, dan terapinya. Klasifikasi
diabetes yang utama adalah (Brunner & Suddarth, 2013):
1. Tipe 1 : Diabetes Melitus tergantung insulin (insulin dependent diabetes
mellitus (IDDM)),
2. Tipe 2 : Diabetes Melitus tidak tergantung insulin (non insulin-dependent
diabetes mellitus (NIDDM))
3. Diabetes Melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya
4. Diabetes Melitus gestasional (gestasional diabetes mellitus (GDM)).
90-95% penderita mengalami diabetes tipe 2, yaitu diabetes yang tidak
tergantung insulin. Diabetes tipe 2 terjadi akibat penurunan sensitivitas
terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah produksi
insulin (Brunner & Suddarth, 2013).
Hiperglikemia yang berkepanjangan mengakibatkan perubahan
struktur pembuluh darah perifer yang mengakibatkan berkurangnya suplai
darah ke arah distal khususnya pada ekstremitas bawah yang menyebabkan
permasalahan pada sistem persarafan (neuropati) (Tarwoto dkk, 2012).
Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya
saraf ekstremitas bawah. Penurunan sensibilitas nyeri dan suhu membuat
penderita neuropati berisiko mengalami cidera dan infeksi pada kaki tanpa
diketahui (Brunner & Suddarth, 2013), sehingga bila penderita Diabetes
Melitus mengalami luka sedikit saja akan sangat mudah berkembang
menjadi ulkus bahkan mengalami nekrosis jaringan yang berakhir pada
amputasi bila tidak dilakukan penanganan dengan benar (Tarwoto dkk,
2012).

B. Anatomi Dan Fisiologi


1. Anatomi Pankreas  
Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira-kira
15 cm, lebar 5 cm, mulai dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata-
rata 60-90 gram. Terbentang pada vertebrata lumbalis 1 dan 2 di belakang
lambung.
Pankreas juga merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di
dalam tubuh baik hewan maupun manusia. Bagian depan ( kepala ) kelenjar
pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk oleh duodenum dan
bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang merupakan bagian utama
dari organ ini merentang ke arah limpadengan bagian ekornya menyentuh
atau terletak pada alat ini. Dari segi perkembangan embriologis, kelenjar
pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan epitel yang
membentuk usus (Tambayong, 2001).
Fungsi pankreas ada 2 yaitu :
a. Fungsi eksorin yaitu membentuk getah pankreas yang
berisi enzim dan elektrolit.
b. Fungsi endokrin yaitu sekelompok kecil atau pulau langerhans,
yang bersama-sama membentuk organ endokrin yang
mensekresikan insulin. Pulau langerhan manusia mengandung tiga
jenis sel utama,yaitu :
1) Sel-sel A ( alpha ), jumlahnya sekitar 20-40 %; memproduksi
glukagon yang manjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon
yang mempunyai “ anti insulin like activity “.
2) Sel-sel B (betha), jumlahnya sekitar 60-80 %, membuat insulin.
3) Sel-sel D (delta), jumlahnya sekitar 5-15%, membuat
somatostatin yang menghambat pelepasan insulin dan
glukagon. (Tambayong, 2001).

Anatomi Pankreas
2. Fisiologi
Kadar glukosa dalam darah sangat dipengaruhi fungi hepar,
pankreas, adenohipofisis dan adrenal. Glukosa yang berasal dari absorpsi
makanan diintestin dialirkan ke hepar melalui vena porta, sebagian glukosa
akan disimpan sebagai glikogen. Pada saat ini kadar glukosa di vena porta
lebih tinggi daripada vena hepatica, setelah absorsi selesai gliogen hepar
dipecah lagi menjadi glukosa, sehingga kadar glukosa di vena hepatica
lebih tinggi dari vena porta. Jadi hepar berperan sebagai glukostat. Pada
keadaan normal glikogen di hepar cukup untuk mempertahankan kadar
glukosa dalam beberapa hari, tetapi bila fungsi hepar terganggu akan
mudah terjadi hipoglikemi atau hiperglikemi. Sedangkan peran insulin dan
glucagon sangat penting pada metabolisme karbonhidrat. Glukagon
menyebabkan glikogenolisis dengan merangsang adenilsiklase, enzim
yang dibutuhkan untuk mengaktifkan fosforilase. Enzim fosforilase
penting untuk gliogenolisis. Bila cadangan glikogen hepar menurun maka
glukoneogenesis akan lebih aktif. Jumlah glukosa yang diambil dan
dilepaskan oleh hati dan yang dipergunakan oleh
jaringan perifer tergantung dari keseimbangan fisiologis beberapa hormon
antara lain :
a. Hormon yang dapat merendahkan kadar gula darah yaitu insulin.
Kerja insulin yaitu merupakan hormon yang menurunkan glukosa
darah dengan cara membantu glukosa darah masuk kedalam sel.
1) Glukagon yang disekresi oleh sel alfa pulau lengerhans.
2) Epinefrin yang disekresi oleh medula adrenal dan
jaringan kromafin.
3) Glukokortikoid yang disekresikan oleh korteks adrenal.
4) Growth hormone yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior.
b. Glukogen, epineprin, glukokortikoid, dan growth
hormone membentuk suatu mekanisme counfer-regulator yang
mencegah timbulnya hipoglikemia akibat pengaruh insulin.

C. Etiologi Diabetic Foot


Etiologi penyakit DM tipe 2 diantaranya sebagai berikut (Wijaya & Putri, 2013).
1. Obesitas
Obesitas menurunkan jumlah reseptor insulin dari sel target di seluruh
tubuh, insulin yang tersedia menjadi kurang efektif dalam meningkatkan
efek metabolik.
2. Usia
Cenderung meningkat di atas usia 65 tahun.
3. Kelompok etnik
4. Faktor genetik
Faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya
resistensi insulin. Diabetes Melitus tidak tergantung insulin (DMTTI)
penyakitnya mempunyai pola familiar yang kuat. DMTTI ditandai dengan
kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya
tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin.
Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan
sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraseluler yang meningkatkan
transport glukosa menembus membran sel. Pada pasien dengan DMTTI
terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Hal ini
disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif
insulin pada membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal
antara komplek reseptor insulin dengan sistem transport glukosa. Kadar
glukosa normal dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan
meningkatkan sekresi insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang
beredar tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia (Rendi &
Margareth, 2012).
5. Usia
Usia di atas 45 tahun merupakan faktor risiko terhadap peningkatan jumlah
pasien DM, selain faktor riwayat keluarga dan obesitas. Proses penuaan
yang disebabkan oleh perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia
menyebabkan penurunan sensitivitas insulin dan terjadinya gangguan sel
beta yang menyebabkan produksi insulin berkurang biasanya terjadi pada
usia lanjut. Proses bertambah usia dapat memengaruhi homeostasis tubuh,
termasuk perubahan fungsi sel beta pankreas yang menghasilkan insulin
akan menyebabkan gangguan sekresi hormon atau penggunaan glukosa
yang tidak adekuat pada tingkat sel yang berdampak terhadap peningkatan
kadar glukosa darah (Jeanny Rantung dkk, 2015). Kurangnya insulin yang
berperan dalam menstimulasi glukosa masuk ke jaringan dan pengaturan
pelepasan glukosa di hati menyebabkan kurangnya cadangan energi,
adanya kelaparan sel, kehilangan potassium mengakibatkan pasien merasa
lemah dan mudah lelah (Tarwoto dkk, 2012).
6. Kesehatan Fisik (Proses Penyakit/Cidera)
Proses penyakit dapat memengaruhi kemampuan mobilitas karena dapat
memengaruhi fungsi sistem tubuh (Hesti Widuri, 2010). Luka kecil pada
penderita diabetes dapat menjadi besar dan parah karena sirkulasi
peredaran darah biasanya juga sudah tidak terlalu baik, yang berakibat
terhambatnya proses penyembuhan (Peter C. Kurniali, 2013). Komplikasi
jangka panjang akan menyebabkan perubahan besar dalam diri pasien,
sehingga mengalami keterbatasan dalam menjalankan fungsi sehari-hari
bahkan tidak dapat menikmati kegiatan yang menyenangkan. Perubahan
gaya hidup, akan membatasi dalam melakukan
kegiatan sehari-hari. Gangguan fungsi atau fisik, psikologis maupun sosial
akan menyebabkan perubahan besar dan keadaan ini akan berdampak
terhadap kualitas hidup pasien (Jeanny Rantung dkk, 2015). Penderita
mengalami perubahan metabolisme yang menyebabkan berkurangnya
energi untuk perbaikan sel-sel tubuh sehingga memengaruhi gangguan
oksigenasi sel. Hal inilah yang menyebabkan pasien merasa lelah dan
lemah (Hesti Widuri, 2010).

D. Patofisiologi Diabetic Foot


Terjadinya masalah pada kaki diawali adanya hiperglikemia pada
penyandang DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada
pembuluh darah. Diabetes seringkali menyebabkan penyakit vaskular perifer
yang menghambat sirkulasi darah. Dalam kondisi ini, terjadi penyempitan di
sekitar arteri yang sering menyebabkan penurunan sirkulasi yang signifikan di
bagian bawah tungkai dan kaki. Sirkulasi yang buruk ikut berperan terhadap
timbulnya kaki diabetik dengan menurunkan jumlah oksigen dan nutrisi yang
disuplai ke kulit maupun jaringan lain, akibatnya, perfusi jaringan bagian
distal dari tungkai menjadi kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat
berkembang menjadi nekrosi/gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak
jarang memerlukan tindakan amputasi.
Angiopati diabetes disebabkan oleh beberapa faktor yaitu genetik,
metabolik dan faktor risiko yang lain. Kadar glukosa yang tinggi
(hiperglikemia) ternyata mempunyai dampak negatif yang luas bukan hanya
terhadap metabolisme karbohidrat, tetapi juga terhadap metabolisme protein
dan lemak yang dapat menimbulkan pengapuran dan penyempitan pembuluh
darah (aterosklerosis), akibatnya terjadi gaangguan peredaran pembuluh darah
besar dan kecil., yang mengakibatkan sirkulasi darah yang kurang baik,
pemberian makanan dan oksigenasi kurang dan mudah terjadi penyumbatan
aliran darah terutama derah kaki.
Neuropati diabetik dapat menyebabkan insensitivitas atau hilangnya
kemampuan untuk merasakan nyeri, panas, dan dingin. Diabetes yang
menderita neuropati dapat berkembang menjadi luka, parut, lepuh, atau luka
karena tekanan yang tidak disadari akibat adanya insensitivitas. Apabila
cedera kecil ini tidak ditangani, maka akibatnya dapat terjadi komplikasi dan
menyebabkan ulserasi dan bahkan amputasi.
Berkurangnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Secara umum penderita
diabetes lebih rentan terhadap infeksi. Hal ini dikarenakan kemampuan sel
darah putih ‘memakan’ dan membunuh kuman berkurang pada kondisi kadar
gula darah (KGD) diatas 200 mg%. Karena kekurangan suplai oksigen,
bakteri-bakteri yang akan tumbuh subur terutama bakteri anaerob. Hal ini
karena plasma darah penderita diabetes yang tidak terkontrol baik mempunyai
kekentalan (viskositas) yang tinggi. Sehingga aliran darah menjadi melambat.
Akibatnya, nutrisi dan oksigen jaringan tidak cukup. Ini menyebabkan luka
sukar sembuh dan kuman anaerob berkembang biak
 PATHWAY
Reaksi Obesitas, Usia, Genetik
Autoimun

DM tipe I DM tipe II

Sel beta pancreas hancur Sel beta pancreas hancur

Difisiensi Insulin

Anabolisme protein Lipolisis Aterosklerois Penurunan


Metabolisme
protein menurun meningkat pemakaian glukosa

Kerusakan pada antibodi Gliserol asam lemak


betas meningkat
Hiperglikemi
Merangsang
Kekebalan tubuh hipotalamus
menurun
Aterosklerois Ketogenesis Glyosuria Viskositas
darah
Perut lapar dan haus meningka
Ketonuria t
Resiko Osmotic
Neuropati
infeksi diuresis
sensori
perifer Polidipsi & polifagi Ketoasidosis Aliran
daah
Poliuria melamba
Nyeri abdomen t
Ketidakseimbangan Mual muntah
Klien merasa nutrisi kurang dari
tidak sakit Hiperventilasi
kebutuhan tubuh Nafas bau keton Dehidrasi Iskemic
saat luka jaringan
koma

Kekurang
Mikro vaskuler an volume
cairan Ketidake
Makro vaskuler fektifan
Retina perfusi
jaringan
Jantung Serebral perifer
Retina diabetik

Miocard Penyumbat
Gangguan penglihatan
infark an pada Stroke
otak
Resiko cidera
Nyeri akut Resiko Gangguan
Perfusi Jaringan
Cereberal Nekrosis luka

Gangren

Kerusakan
integritas jaringan
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terjadi apabila tidak segera diatasi yaitu :
1. Keletihan
Adanya luka gangren dan kelemahan otot-otot pada tungkai bawah
menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan aktivitas
sehari-hari secara maksimal serta akan mudah mengalami kelelahan
yang berarti (Taqiyyah & Jauhar, 2013).
2. Atrofi otot
Otot yang tidak dipergunakan dalam waktu lama akan kehilangan sebagian
kekuatan dan fungsi normalnya (Ernawati, 2012).
3. Kekakuan dan nyeri sendi
Jaringan kolagen pada sendi dapat mengalami ankilosa. Selain itu, tulang
juga akan mengalami demineralisasi yang akan menyebabkan akumulasi
pada sendi yang dapat mengakibatkan kekakuan dan nyeri pada sendi
(Ernawati, 2012).
4. Nekrosis jaringan
Menurunnya sirkulasi darah akibat imobilitas menyebabkan terjadinya
iskemia serta nekrosis jaringan superfisial pada daerah luka juga dapat
menyebabkan adanya luka baru yaitu dekubitus sebagai akibat tirah baring
yang lama (Ernawati, 2012).

F. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah puasa
>120 mg/dl dan dua jam post prandial > 200 mg/dl.
b. Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan
dilakukan dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui
perubahan warna pada urine : hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ),
dan merah bata ( ++++ )
c. Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang
sesuai dengan jenis kuman. (Zaidah 2005)
d. Pemeriksaan X-ray untuk mengetahui ada tidaknya osteomyelitis
Tes lain yang dapat dilakukan : sensasi pada getaran, merasakan
sentuhan ringan, kepekaan terhadap suhu.
G. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan pasien dengan Diabetic Foot adalah mengontrol
gula darah dalam rentang normal. Untuk mengontrol gula darah, ada lima
faktor penting yang harus diperhatikan yaitu:
1. Asupan makanan atau manajemen diet.
2. Latihan fisik atau exercise.
3. Obat-obatan penurun gula darah.
4. Pendidikan kesehatan.
5. Monitoring.
Penatalaksanaan Diabetes Melitus + Diabetic Foot bersifat individual
artinya perlu dipertimbangkan kebutuhan terhadap usia pasien, gaya hidup,
kebutuhan nutrisi, kematangan, tingkat aktivitas, pekerjaan, dan kemampuan
pasien dalam mengontrol gula darah secara mandiri (Tarwoto dkk, 2012).
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian merupakan kegiatan menganalisis informasi yang
dihasilkan dari pengkajian skrining untuk menilai suatu keadaan normal
atau abnormal, kemudian nantinya akan digunakan sebagai pertimbangan
dengan diagnosa keperawatan yang berfokus pada masalah atau risiko.
Pengkajian harus dilakukan dengan dua tahap yaitu pengumpulan data
(informasi subjektif maupun objektif) dan peninjauan informasi riwayat
pasien pada rekam medik. Pengkajian melibatkan beberapa langkah salah
satunya yaitu pengkajian skrining. Dalam pengkajian skrining hal yang
pertama dilakukan adalah pengumpulan data. Pengumpulan data
merupakan pengumpulan informasi tentang pasien yang dilakukan secara
sistemastis. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu
wawancara (anamnesa), pengamatan (observasi), dan pemeriksaan fisik
(pshysical assessment). Langkah selanjutnya setelah pengumpulan data
yaitu lakukan analisis data dan pengelompokan informasi (NANDA
International, 2018).
Terdapat lima kategori data yang harus dikaji yaitu fisiologis,
psikologis, perilaku, relasional, dan lingkungan, di mana setiap kategori
terdiri dari beberapa subkategori. Subkategori tersebut diantaranya
respirasi, sirkulasi, nutrisi dan cairan, eliminasi, aktivitas dan istirahat,
neurosensori, reproduksi dan seksualitas, nyeri dan kenyamanan, integritas
ego, pertumbuhan dan perkembangan, kebersihan diri, penyuluhan dan
pembelajaran, interaksi sosial, keamanan dan proteksi. Masalah intoleransi
aktivitas termasuk ke dalam kategori fisiologis dan subkategori aktivitas
dan istirahat. Pengkajian keperawatan fokus intoleransi aktivitas pada
pasien Diabetes Melitus + Diabetic Foot adalah pasien mengeluh lelah,
merasa lemah, dan merasa tidak nyaman setelah beraktivitas (Tim Pokja
SDKI DPP PPNI, 2017).
1. Identitas Klien
Di identitas klien meliputi nama, usia, jenis kelamin, agama, status
perkawinan, tanggal MRS, dan diagnosa medis.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan Utama
Pada pasien dengan diabetes melitus biasanya akan merasakan
badannya lemas dan mudah mengantuk terkadang juga muncul
keluhan berat badan turun dan mudah merasakan haus. Pada pasien
diabetes dengan ulkus diabetic biasanya muncul luka yang tidak
kunjung sembuh.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Pasien biasanya merasakan nyeri, merasakan paresthesia
ekstremitas bawah, luka yang susah untuk sembuh, turgor kulit
jelek, mata cekung, nyeri kepala, mual dan muntah, kelemahan
otot, letargi, mengalami kebingungan dan bisa terjadi koma.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya hipertensi dan penyakit jantung. Gejala yang muncul
pada pasien DM tidak terdeteksi, pengobatan yang di jalani berupa
kontrol rutin ke dokter maupun instansi kesehatan terdekat.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Muncul akibat adanya keturunan dari keluarga yang menderita
penyakit DM.
3. Pengkajian Pola Sehari – hari
a. Pola persepsi
Persepsi pasien ini biasanya akan mengarah pada pemikiran
negative terhadap dirinya yang cenderung tidak patuh berobat dan
perawatan
b. Pola nutrisi metabolik
Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya kurang insulin
maka kadar gula darah tidak bisa dipertahankan sehingga
menyebabkan keluhan sering BAK, banyak makan, banyak minum,
BB menurun dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat
menyebabkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang
mempengaruhi status kesehatan.
c. Pola eliminasi
Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik
yang menyebabkan pasien sering kencing (poliuri) dan
pengeluaran glukosa pada urine (glukosuria). Pada eliminasi alvi
relatif tidak ada gangguan.
d. Pola aktivitas dan latihan
Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan istirahat
dan tidur, tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas dan
bahkan sampai terjadi koma. Adanya luka gangren dan kelemahan
otot – otot pada tungkai bawah menyebabkan penderita tidak
mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal,
penderita mudah mengalami kelelahan.
e. Pola tidur dan istirahat
Istirahat kurang efektif adanya poliuri, nyeri pada kaki diabetic,
sehingga klien mengalami kesulitan tidur.
f. Kognitif persepsi
Pasien dengan gangren cenderung mengalami neuropati/mati rasa
pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya nyeri. Pengecapan
mengalami penurunan, gangguan penglihatan.
g. Persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan
penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Luka yang
sukar sembuh, lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan
dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan
gangguan peran pada keluarga (self esteem).
h. Peran hubungan
Luka gangren yang susah sembuh dan berbau menjadikan
penderita kurang percaya diri dan menghindar dari keramaian.
i. Seksualitas
Menyebabkan gangguan kualitas ereksi, gangguan potensi seks,
adanya peradangan pada daerah vagina, serta orgasme menurun
dan terjadi impoten pada pria risiko lebih tinggi terkena kanker
prostat berhubungan dengan nefropati.
j. Koping toleransi
Waktu peraatan yang lama, perjalanan penyakit kronik, tidak
berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis
yang negatif seperti marah, cemas,mudah tersinggung, dapat
mengakibatkan penderita kurang mampu menggunakan mekanisme
koping yang konstruktif/adaptif.
k. Nilai keprercayaan
Perubahan status kesehatan, turunnya fungsi tubuh dan luka pada
kaki tidak menghambat penderita dalam melakukan ibadah tetapi
mempengaruhi pola ibadahnya.

B. Pemeriksaan fisik

1. Status kesehatan umum : meliputi keadaan penderita yang sering


muncul adalah kelemahan fisik.

2. Tingkat kesadaran : normal, letargi, stupor, koma (tergantung kadar


gula yang dimiliki dan kondisi fisiologis untuk melakukan kompensasi
kelebihan kadar gula dalam darah)

3. Tanda-tanda vital

a.Tekanan darah (TD) : biasanya mengalami hipertensi dan juga ada


yang mengalami hipotensi.

b. Nadi (N) : biasanya pasien DM mengalami takikardi saat


beristirahat maupun beraktivitas.

c.Pernapasan (RR) : biasanya pasien mengalami takipnea

d. Suhu (S) : biasanya suhu tubuh pasien mengalami peeningkatan


jika terindikasi adanya infeksi.

e.Berat badan : pasien DM biasanya akan mengalami penuruan BB


secara signifikan pada pasien yang tidak mendapatkan terapi dan
terjadi peningkatan BB jika pengobatan pasien rutin serta pola
makan yang terkontrol.
4. Kepala dan leher
a. Wajah : kaji simetris dan ekspresi wajah, antara lain paralisis
wajah (pada klien dengan komplikasi stroke).
b. Mata : kaji lapang pandang klien, biasanya pasien mengalami
retinopati atau katarak, penglihatan kabur, dan penglihatan ganda
(diplopia).
c. Telinga : pengkajian adakah gangguan pendengaran, apakah
telinga kadang-kadang berdenging, dan tes ketajaman pendengaran
dengan garputala atau bisikan.
d. Hidung : tidak ada pembesaran polip dan tidak ada sumbatan, serta
peningkatan pernapasan cuping hidung (PCH).
e. Mulut :
1) Bibir : sianosis (apabila mengalami asidosis atau
penurunan perfusi jaringan pada stadium lanjut).
2) Mukosa : kering, jika dalam kondisi dehidrasi akibat diuresis
osmosis.
3) Pemeriksaan gusi mudah bengkak dan berdarah, gigi mudah
goyah.
f. Leher : pada inspeksi jarak tampak distensi vena jugularis,
pembesaran kelenjar limfe dapat muncul apabila ada infeksi
sistemik
g. Thorax dan paru-paru
1) Inspeksi : bentuk dada simetris atau asimetris, irama
pernapasan, nyeri dada, kaji kedalaman dan juga suara nafas
atau adanya kelainan suara nafas, tambahan atau adanya
penggunaan otot bantu pernapasan.
2) Palpasi : lihat adnya nyeri tekan atau adanya massa.
3) Perkusi : rasakan suara paru sonor atau hipersonor.
4) Auskultasi : dengarkan suara paru vesikuler atau
bronkovesikuler.
Gejala : merasa kekurangan oksigen, batuk dengan atau tanpa
sputum purulent (tergantung adanya infeksi atau tidak)
Tanda : frekuensi pernapasan meningkat dan batuk
h. Abdomen
1) Inspeksi : amati bentuk abdomen simetris atau asimetris.
2) Auskultasi : dengarkan apakah bising usus meningkat.Perkusi :
dengarkan thympany atau hiperthympany.
3) Palpasi : rasakan adanya massa atau adanya nyeri tekan.
i. Integumen
1) Kulit : biasanya kulit kering atau bersisik
2) Warna : tampak warna kehitaman disekitar luka karena adanya
gangren, daerah yang sering terpapar yaitu ekstremitas bagian
bawah.
3) Turgor : menurun karena adanya dehidrasi
4) Kuku : sianosis, kuku biasanya berwarna pucat
5) Rambut : sering terjadi kerontokan karena nutrisi yang kurang.
j. Sirkulasi
Gejala : adanya riwayat hipertensi, klaudikasi, kebas, dan kesemutan
pada ektremitas, ulkus pada kaki dan penyembuhan lama.
Tanda : adanya takikardia, perubahan tekanan darah postural,
hipertensi, disritmia.
k. Genetalia : adanya perubahan pada proses berkemih, atau poliuria,
nokturia, rasanyeri seperti terbakarpada bagian organ genetalia,
kesulitan berkemih (infeksi).
l. Neurosensori : terjadi pusing, pening, sakit kepala, kesemutan,
kebas pada otot.
Tanda : disorientasi; mengantuk, letargi, stupor/koma (tahap lanjut)
C. Diagnosa
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik d.d mengeluh nyeri, tampak
meringis, gelisah, sulit tidur, nafsu makan berubah Resiko jatuh d.d
gangguan keseimbangan.
2. Resiko infeksi d.d penyakit kronis diabetes melitus
3. Gangguan integritas kulit/jaringan b.d neuropati perifer d.d kerusakan
jaringan dan lapisan kulit, nyeri (Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia, 2017)

D. Intervensi Keperawatan

No Tujuan Intervensi Rasional


1 Setelah dilakukan Observasi Obsrvasi
intervensi selama 1x24 1. Identifikasi gejala yang 1. Untuk mengetahui gejala yang
jam, maka Nyeri Akut tidak menyenangkan (mis, timbul
menurun dengan mual, nyeri, gatal, sesak) 2. Untuk mengetahui suasana hati
kriteria hasil : 2. Identifikasi pemahaman klien
1. Keluhan nyeri tentang kondisi, situasi, dan Terapeutik
menurun (5) perasaannya 1. Agar klien merasa nyaman
2. Kesulitan tidur Terapeutik 2. Agar klien merasa
menurun (5) 1. Berikan posisi nyaman lingkungannya aman
3. Nafsu makan 2. Ciptakan lingkungan yang 3. Agar klien dapat merasakan
membaik (5) nyaman bahwa ia dapat perhatian dari
3. Dukungan keluarga dan keluarga
pengasuh terlibat daam Edukasi
terapi/pengobatan 1. Untuk menurunkan tingkat
Edukasi kesakitan
1. Ajarkan terapi relaksasi 2. Agar klien mengetahui teknik
2. Ajarkan latihan pernapasan pernapsan
Kolaborasi Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian 1. Untuk menurunkan rasa sakit
analgesic, antipruritus, klien
antihstanin, jika perlu

2 Setelah dilakukan Obersevasi Obsservasi


intervensi selama 1x24 1. Monitor tanda dan gejala 1. Agar resiko infeksi dapat di
jam, maka Resiko infeksi local dan siskemik hindari dengan tepat
Infeksi menurun dengan 2. Monitor Tanda-tanda vital 2. Agar tanda-tanda vital dapat
kriteria hasil : Terapeutik terkontrol setiap saat sehingga
1. Nyeri menurun (5) 1. Batasi jumlah pengunjung meminimalisir terjadinya
2. Cairan berbau busuk 2. Berikan perawatan kulit infeksi
menurun (5) pada area edema Terapeutik
3. Demam menurun (5) 3. Berikan teknik aseptic 1. Jumlah kunjungan akan
pada pasien beresiko membuat resiko terkena infeksi
tinggi bakteri dari luar lebih tinggi.
Edukasi 2. Perawatan kulit dapat membuat
1. Jelaskan tanda dan gejala proses recovery kulit baru akan
infeksi lebih cepat dan juga
2. Ajarkan cara mencuci mengurangi resiko infeksi
tangan dengan benar 3. Teknik aseptic digunakan
3. Ajarkan cara memeriksa untuk mengurangi resiko
kondisi luka infeksi terjadi
4. Anjurkan meningkatkan Edukasi
asupan nutrisi 1. Agar klien dapat mengetahui
tanda dan gejala infeksi
sehingga dapat membut pasien
lebih berhati-hati
2. Mencuci tangan dapat
mengurangi resiko terkena
infeksi bakteri dari tangan
3. Agar klien dapat mengetahui
kondisi yang tepat saat luka
sudah harus di bersihkan
kembali sehingga mengurangi
penyebaran luka yang baru
4. Asupan nutrisi penting untuk
mempercepat proses
penyembuhan dari sakit
3 Setelah dilakukan Observasi Observasi
intervensi selama 1x24 1. Identifikasi penyebab 1. Untuk mengetahui penyebab
jam, maka Gangguan gangguan integritas kulit dari kerusakan kulit dan
Integritas Kulit dan 2. Monitor tekanan darah jaringan
Jaringan meningkat 3. Monitor kadar gula darah 2. Untuk mengetahui tekanan
dengan kriteria hasil : atau nilai HbA1c<7% darah klien
1. Kerusakan jaringan 4. Monitor neuropati perifer 3. Untuk mengetahui kadar gula
menurun (5) Terapeutik darah klien
2. Kerusakan kulit 1. Lakukan perawatan luka 4. Untuk memantau keadaan
menurun (5) sesuai kebutuhan neuropati perifer agar dapat
3. Kemerahan menurun 2. Fasilitasi pasien dan mengetahui tindakan yang
(5) keluarga untuk modifikasi akan dilakukan selanjutnya
gaya hidup sehat Terapeutik
3. Pertahankan suhu tubuh 1. Perawatan luka dilakukan
dalam rentang normal untuk mencegah pembusukan
4. Lakukan irigasi luka dan mencegah penyebaran
dengan cairan steril atau infeksi luka ke jaringan
cairan povidone lainnya
Edukasi 2. Agar dapat hidup bersih dan
1. Anjurkan meningkatkan sehat dan dapat meningkatkan
asupan nutrisi kualitas kesehatan
3. Untuk memantau tidak
terjadinya infeksi
4. Irigasi luka dengan cairan
steril agar luka tetap bersih dan
pertumbuhan jaringan baru
lebih cepat
Edukasi
1. Asupan Nutrisi akan
membantu proses
penyembuhan dari dalam.
(Standar Luaran Keperawatan Indonesia, 2022), (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, 2018)

E. Implementasi Keperawatan
Tindakan keperawatan adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang
dikerjakan oleh perawat untuk mengimplementasikan intervensi
keperawatan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Implementasi
proses keperawatan merupakan rangkaian aktivitas keperawatan dari
hari ke hari yang harus dilakukan dan didokumentasikan dengan
cermat. Perawat melakukan pengawasan terhadap efektivitas
intervensi yang dilakukan, bersamaan pula dengan menilai
perkembangan pasien terhadap pencapaian tujuan atau hasil yang
diharapkan. Pada tahap ini, perawat harus melaksanakan tindakan
keperawatan yang ada dalam rencana keperawatan dan langsung
mencatatnya dalam format tindakan keperawatan (Dinarti, 2013).
Implementasi keperawatan membutuhkan fleksibilitas dan kreativitas
perawat. Sebelum melakukan suatu tindakan, perawat harus
mengetahui alasan mengapa tindakan tersebut dilakukan. Perawat
harus yakin bahwa tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai
dengan yang sudah direncanakan, dilakukan dengan cara yang tepat,
aman, serta sesuai dengan kondisi pasien, selalu dievaluasi apakah
sudah efektif, dan selalu didokumentasikan menurut urutan waktu
(Oda Debora, 2013).

F. Evaluasi
Evaluasi keperawatan dicatat menyesuaikan dengan setiap diagnosa keperawatan.
Evaluasi untuk setiap diagnosa keperawatan yaitu SOAP meliputi data subjektif
(S) yang berisikan pernyataan atau keluhan dari pasien, data objektif (O) yaitu
data yang diobservasi oleh perawat atau keluarga di mana data subjektif dan data
objektif harus relevan dengan diagnosa keperawatan yang dievaluasi.

Anda mungkin juga menyukai