Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019


FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

KASUS 4

DIABETES MELLITUS + GANGREN PEDIS +


SEPSIS + ACKD + ANEMIA + ENSEFALOPATI
+ HHD + CAD

3
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB I
TINJAUAN PENYAKIT

1. Diabetes Mellitus
1.1 Definisi dan Batasan Klinik
Diabetes Mellitus merupakan kumpulan gangguan metabolisme karbohidrat, protein,
dan lemak yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar glukosa darah (GD) atau
hiperglikemia disebabkan oleh gangguan sekresi insulin, penurunan aktivitas (resistensi)
insulin, atau keduanya (Tripplit et al., 2014).
Berdasarkan ADA, 2018 seseorang dikatakan menderita Diabetes Mellitus apabila
memenuhi salah satu kriteria diagnostik berikut :
1. GDP ≥ 126 mg/dl, puasa didefinisikan tidak adanya asupan kalori minimal 8 jam.
2. GD2PP ≥ 200 mg/dl selama Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO), asupan glukosa
yang direkomendasikan pada tes ini adalah 75 gram.
3. HbA1c ≥ 6,5%
4. GDA ≥ 200 mg/dl disertai dengan gejala-gejala hiperglikemi seperti polidipsia,
poliuria, penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas).
1.2 Klasifikasi dan Etiologi

American Diabetic Association (ADA) mengklasifikasikan diabetes sebagai berikut:


1. Diabetes tipe 1 (akibat dekstrusi sel β secara autoimun, umumnya menyebabkan
defisiensi insulin secara absolut)
2. Diabetes tipe 2 (akibat kehilangan progresivitas sekresi insulin oleh sel β atau terjadi
resistensi insulin)
3. Diabetes mellitus gestasional (GDM) (diagnosa diabetes pada trimester kedua atau
ketiga kehamilan tanpa adanya diabetes sebelum kehamilan)
4. Diabetes tipe spesifik akibat penyebab lain, contohnya seperti monogenic diabetes
syndromes (seperti neonatal diabetes dan maturity-onset diabetes of the young),
penyakit pada eksokrin pankreas (seperti cystic fibrosis) dan bahan kimia atau obat yang
menginduksi diabetes (seperti penggunaan glukokortikoid, pengobatan HIV/AIDS atau
setelah transplantasi organ (ADA, 2018).

4
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Sedangkan PERKENI mengklasifikasikan diabetes seperti pada Tabel 1.2.I.


Tabel 1.2.I. Klasifikasi diabetes melitus (PERKENI, 2015)
Tipe 1 Destruksi sel beta (umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut)
 Autoimun
 Idiopatik
Tabel 1.2.I. (Lanjutan) Klasifikasi diabetes melitus (PERKENI, 2015)

Tipe 2 Bervariasi (mulai yang dominan resistensi insulin disertai


defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi
insulin disertai resistensi insulin)
Tipe Lain  Defek genetik fungsi sel beta
 Defek genetik kerja insulin
 Penyakit eksokrin pankreas
 Endokrinopati
 Karena obat atau zat kimia
 Infeksi
 Sebab imunologi yang jarang
 Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
Diabetes Melitus
Gestasional

1.3 Patofisiologi

Pada kondisi normal peningkatan kadar glukosa darah akan menstimulasi sekresi
insulin dari sel beta pankreas yang menyebabkan supresi produksi glukosa di hepar,
stimulasi ambilan glukosa oleh jaringan perifer, dan supresi sekresi glucagon. Sekresi
insulin pasca konsumsi karbohidrat secara oral dipengaruhi oleh hormon saluran cerna
(incretin) antara lain GLP-1 dan GIP yang mana pada pasien diabetes efek incretin
mengalami penurunan sehingga sekresi insulin pada pasien diabetes hanya sebanyak 50%
dibanding kondisi nondiabetes. Kondisi hiperglikemi pada pasien diabetes dapat
disebabkan karena adanya gangguan pada sekresi insulin ataupun dapat pula karena terjadi
resistensi insulin pada jaringan otot, hepar, dan adiposa. (Triplitt et al., 2014).
Pada pasien DM tipe 1 terjadi ketidakmampuan sekresi insulin oleh sel β pankreas
disebabkan oleh limfosit T selektif yang dapat menimbulkan kerusakan pada sel β
pankreas tersebut. Kerusakan sel β pankreas secara autoimun merupakan proses yang di
mediasi oleh sitokin-sitokin tertentu dan terjadi secara bertahap dalam beberapa tahun
sampai mengakibatkan terjadinya defisiensi insulin. Sementara pada pasien dengan DM
tipe 2, dapat terjadi dua kondisi yaitu resistensi insulin pada jaringan target dan sekresi
insulin oleh sel β pankreas yang tidak adekuat (Funk, 2014). Defek sekresi dan resistensi

5
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

insulin paling sering terjadi di otot rangka, hati dan jaringan adiposa (Triplitt et al., 2014).
Pada pasien diabetes mellitus tipe 2 terdapat dua macam glukosa yang menyebabkan
kondisi hiperglikemi, yaitu dari makanan (post prandial) dan produksi glukosa secara
terus-menerus oleh hepar. Otot rangka merupakan tempat penggunaan glukosa terbesar,
sebesar 80% ambilan glukosa terjadi di otot rangka. Resistensi insulin pada otot rangka
menyebabkan keterlambatan respon insulin terhadap peningkatan konsentrasi gula darah
dalam plasma. Pada jaringan adiposa, insulin merupakan inhibitor terjadinya lipolisis.
Resistensi insulin menyebabkan peningkatan produksi asam lemak bebas akibat proses
lipolisis yang meningkat, yang kemudian masuk ke hepar (Triplitt et al., 2014).
Keadaan hiperglikemia ini akan merangsang produksi insulin yang menyebabkan
pankreas kepayahan dan terjadi resistensi insulin (Funk, 2014). Mekanisme terjadinya
resistensi insulin secara molekuler adalah defek insulin signalling serta defek pada
transport/ fosforilasi glukosa (Tripathy dan Chavez, 2010). Faktor riwayat keluarga dengan
DM dan faktor lingkungan seperti obesitas dan gaya hidup juga berpengaruh pada kejadian
resistensi insulin (Kroon et al., 2009).
Faktor genetik/lingkungan Obesitas/ faktor
lingkungan
Defisiensi Insulin Resistensi Insulin
FFA

Ambilan glukosa Produksi glukosa hepatik


Gluko-
lipotoksisitas

Hiperglikemia

Diabetes Tipe 2

Gambar 1. Skema Mekanisme Patofisiologi Diabetes Mellitus


1.4 Komplikasi

Pasien diabetes mellitus dapat mengalami komplikasi secara akut maupun kronis.
Komplikasi akut yang terjadi antara lain ketoasidosis diabetik, status hiperglikemia

6
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

hiperosmolar, dan hipoglikemia. Komplikasi kronis terdiri dari komplikasi makrovaskular


dan mikrovaskular. Komplikasi makrovaskular yang terjadi antara lain coronary artery
disease (CAD), cerebrovascular disease (CVD) dan peripheral vascular disease (PVD).
Sedangkan komplikasi mikrovaskular yang terjadi antara lain retinopati, nefropati dan
neuropati (Funk, 2014).
Gambar 2. Skema Mekanisme Patofisiologi Komplikasi Akut Diabetes Melitus (Funk,
Defisiensi insulin Kondisi infeksi. Trauma berat yang memicu hormon
relatif/ absolut kontraregulator (glukagon, katekolamin, kortisol, growth
hormone)

Osmolaritas cairan ekstrasel Stimulasi glikegenolisis, glukoneogenesis

Menarik air intra ke ekstrasel Penurunan produksi piruvat & okasaloasetat

Peningkatan filtrasi glomerulus Asetil koA yang banyak dihasilkan


akibat akumulasi glukoneogenesis
tidak dapat memasuki siklus TCA
Glukosuria
Asetil koA diubah jadi badan keton;
Kehilangan air & elektrolit asetoasetat; aseton; β-hidroksi butirat
melalui ketogenesis

Dehidrasi
Badan keton bersifat
asam
Status Hiperglikemia Hiperosmolar (SHH) Ketoasidosis Diabetik (KAD)
2014)
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar gula darah <70 mg/dl (Perkeni,
2015). Hipoglikemia merupakan komplikasi dari terapi insulin pada penderita DM atau
dengan terapi obat oral antidiabetes (OAD) contohnya golongan sulfonilurea. Hipoglikemi
dipresipitasi oleh dosis insulin eksogen yang tidak tepat atau induksi insulin endogen pada
pasien DM (Funk, 2006). Respon hipoglikemia diperantarai oleh efek hormon
kontraregulator dari glukagon dan katekolamin. Gejala awal penurunan GD dibawah
normal yaitu gemetar, berkeringat dan palpitasi. Apabila gula darah jauh dibawah normal
terjadi neuroglycopenic symptoms seperti lapar, bingung, abnormalitas kognitif bahkan
koma sampai kematian (Barret et al., 2010). Gejala hipoglikemia yang terjadi saat tidur
disebut hipoglikemia nokturnal (Funk, 2014).

7
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Gambar 3. Efek Hipoglikemia pada Berbagai Macam Level Plasma Glukosa (Barret et al.,
2010)

Hiperglikemia

Substrat enzim Glukosa berikatan Peningkatan


aldosereduktase dengan gugus amino glukoneogenesislipolisis
protein
Aldose reduktase Membentuk basa schiff Free fatty acid (FFA)
mengubah glukosa yang tidak stabil
menjadi sorbitol
Very low density
Produk Amadori lipoprotein (VLDL)
Penumpukan sorbitol
Advaced glycosylation end Low density lipoprotein (LDL)
Sorbitol menurunkan products (AGE’s product) lipoprotein atherogenic
konduksi syaraf
AGE’s berikatan kovalen dengan Atherosklerosis
membran basalterakumulasi di
pembuluh darah Penyempitan pembuluh darah

Komplikasi mikrovaskular (retinopati, Komplikasi makrovaskular


neuropati yang dapat menyebabkan (CAD, CVD, PVD)
diabetic foot ulcers, nefropati)

Gambar 4. Skema Mekanisme Patofisiologi Komplikasi Kronik Diabetes Melitus (Funk,


2014).

8
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

1.5 Target Terapi

Target terapi pada pasien diabetes mellitus ditunjukkan pada Tabel 1.2.II
Tabel 1.5.I. Target terapi pada pasien dewasa berdasarkan beberapa guideline

ADA 2018 Perkeni 2015


Less stringent < 8 Less stringent < 7,5
A1C (%)
More stringent < 6,5 More stringent < 7
Glukosa puasa pra- 80-130 80-110
prandial (mg/dL)
Glukosa post-prandial <180 < 180
(mg/dL)

Keterangan : Target more stringent dikenakan pada pasien tanpa komplikasi maupun
komorbid yang mengancam,
harapan hidup panjang dan monoterapi sedangkan target less stringent dikenakan pada
pasien dengan riwayat hipoglikemia berat, komplikasi maupun komorbid yang mengancam
dan multiterapi OAD dan insulin

1.6 Penatalaksanaan Terapi

Dalam penatalaksanaan terapi DM, target utama adalah penurunan risiko komplikasi
mikrovaskular dan makrovaskular, memperbaiki simptom, mengurangi mortalitas, dan
meningkatkan kualitas hidup (Tripplit et al., 2014). Terapi farmakologis diberikan
bersamaan dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi
farmakologis dapat terdiri dari obat oral maupun injeksi. Algoritma penatalaksanaan
diabetes mellitus menurut ADA seperti terlihat pada Gambar 5 (ADA, 2018).
Pada awal terapi, pasien diabetes mellitus tipe 2 dapat diberikan monoterapi Oral
Antidiabetik (OAD). Monoterapi tidak diberikan kepada pasien bila A1C pasien lebih dari
sama dengan 9%. ADA merekomendasikan pemberian metformin sebagai monoterapi lini
pertama, kecuali terdapat kontraindikasi dengan metformin. Apabila dengan pemberian
monoterapi selama 3 bulan target terapi belum tercapai, maka diberikan kombinasi 2 OAD
dengan cara kerja yang berbeda. Apabila dengan 2 kombinasi OAD target terapi belum
tercapai dalam 3 bulan, maka dapat digunakan kombinasi 3 OAD atau kombinasi terapi 2
OAD bersama dengan insulin basal. Apabila dengan cara tersebut target terapi masih
belum dapat tercapai, maka pemberian OAD dihentikan dan terapi beralih kepada insulin
dengan algoritma seperti pada Gambar 7 (ADA, 2018).

9
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Gambar 5. Algoritma Penatalaksanaan Diabetes Melitus (ADA, 2018)


Regimen terapi insulin diperlukan pada kondisi DM tipe 2 dengan :
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
 Penurunan berat badan ya>10%
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OAD dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

10
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OAD


 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi.
Konsep terapi basal-bolus ditujukan untuk sedapat mungkin mendekati pola
fisiologis sekresi insulin pada individu yang sehat. Konsep terapi basal-bolus secara rutin
digunakan pada pasien diabetes mellitus tipe 1, akan tetapi dapat pula diaplikasikan pada
pasien diabetes mellitus tipe 2. Hal tersebut dikarenakan pada pasien DM tipe 2 terjadi
pula peningkatan gula darah saat prandial ataupun waktu puasa. Pemberian insulin basal-
bolus pada pasien DM tipe 2 dapat diberikan secara bertahap, pada awalnya pemberian
insulin basal (misal: glargine, detemir, NPH) bersama obat oral, setelah itu baru berikutnya
diberikan insulin prandial (misal: actrapid, aspart, lispro atau glulisine) seiring terjadinya
progresivitas penurunan sel beta pankreas. Insulin prandial diberikan sebesar 4 unit
sebelum masuk jadwal makan sehingga diharapkan untuk mengontrol gula darah post-
prandial. Obat oral golongan insulin sekretagog seperti golongan sulfonilurea harus
diturunkan secara bertahap atau akhirnya dihentikan jika pemberian insulin prandial mulai
diberikan (Pranoto, 2012).
Tabel 1.6.I. Konsep Basal-Bolus (Pranoto, 2012)

Komponen Kegunaan
Insulin
Basal - Menjamin kadar insulin konstan dalam sehari
- Malam hari menekan produksi glukosa dari hepar dan proses lipolisis,
dan efeknya mencapai periode waktu antarmakan
- Mencukupi kebutuhan insulin harian sampai 50%
Bolus - Kadar insulin meningkat segera dan tajam, serta mencapai puncak
dicapai dalam waktu 1 jam
- Mencegah kenaikan hiperglikemia setelah makan
- Mencukupi kebutuhan insulin setiap makan antara 10-20% dari
kebutuhan total insulin harian

11
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Gambar 8. Algoritma pemberian insulin (ADA, 2018)

Gambar 7. Pola Farmakokinetika Sediaan Insulin (Perkeni, 2015)

12
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Tabel 1.6.II. Farmakokinetika Sediaan Insulin (Perkeni, 2015)

Jenis Insulin Onse Puncak Lama Kemasan


t Efek Kerja
Kerja pendek (insulin manusia, insulin regular) 30-45 2-4 jam 6-8 Vial/ penfill
Humulin® R menit jam Jernih
Actrapid®
Kerja cepat (insulin analog) 5-15 1-2 jam 4-6 Vial/flexpen
Insulin lispro (Humalog®) menit jam Jernih
Insulin aspart (Novorapid®)
Insulin glulisine (Apidra®)
Kerja menengah (insulin manusia, Neutral 1,5-4 4-10 8-12 Vial/ penfill
Protamin Hagedorn) jam jam jam Keruh
Humulin N®
Kerja panjang (insulin analog) 1-3 Hampir 12-24 Vial/flexpen
Insulin glargine (Lantus®) jam tanpa jam Jernih
Insulin detemir (Levemir®) puncak
Campuran (premixed, insulin manusia) 30-60 3-12 Vial/flexpen
Humulin® 30/70 (30% reguler, 70% NPH) menit jam Keruh
Campuran (premixed, insulin analog) 12-30 1-4 jam Vial/flexpen
Humalog® 75/25 (75% protamin lispro, 25% lispro) menit Keruh
Novomix® 30/70 (30% aspart, 70% protamin
aspart)

2. Gangren Pedis
2.1 Definisi dan Klasifikasi
Gangren pedis adalah kematian sel/jaringan pada daerah kaki akibat kurangnya suplai
oksigen dari pembuluh darah (NHS, 2018). Klasifikasi yang umum digunakan untuk
mendiskripsikan gangren adalah Klasifikasi Wagner, yang didasarkan pada kedalaman
luka dan penyebaran jaringan yang mati.

Tabel II.1.1. Klasifikasi Wagner (Mehraj, 2018)


Grade Kondisi Luka
I Luka bersifat superficial (pada permukaan kulit)
Luka lebih dalam meliputi ligament, tendon, kapsul, fascia tanpa adanya abses atau
II
osteomyelitis
III Luka dalam dengan abses atau osteomyelitis
IV Gangrene meliputi bagian kaki depan
V Gangrene meliputi seluruh bagian kaki

2.2 Etiologi
Pada pasien yang menderita diabetes, gangren pedis dapat disebut dengan diabetic

13
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

foot ulcer. Diabetic foot ulcer dapat disebabkan oleh kondisi neuropati, aterosklerosis, dan
kontrol gula darah yang buruk (Weintrob dan Sexton, 2017). Gangren dapat disebabkan
oleh infeksi bakteri (gangren basah) ataupun noninfeksi (gangren kering). Gangren kering
dapat disebabkan oleh aterosklerosis, thrombosis, dan venospasme yang menyebabkan
suplai oksigen menuju sel/jaringan terganggu. Gangren basah dapat disebabkan oleh
infeksi bakteri staphylococcus, clostridium, dan pseudomonas (Weintrob dan Sexton,
2017).

2.3 Patofisiologi
Kondisi hiperglikemi menyebabkan terjadinya neuropati melalui metabolisme jalur
poliol. Kondisi hiperglikemi menyebabkan aktifitas enzim aldosa reduktase dan sorbitol
dehidrogenase meningkat sehingga terjadi konversi glukosa menjadi sorbitol dan fruktosa
intraseluler. Peningkatan sorbitol dan fruktosa intraseluler menyebabkan vasokonstriksi
dan oxidative stress yang berujung pada terjadinya iskemia. Neuropati pada pasien diabetes
melibatkan komponen saraf motorik, sensorik, dan otonom. Neuropati saraf otonom
menyebabkan kemampuan kelenjar keringat dan minyak di kaki berkurang, sehingga kaki
menjadi kering dan mudah retak sehingga mempermudah terjadinya infeksi. Neuropati
saraf sensorik menyebabkan kemampuan untuk merasakan rasa sakit berkurang, sehingga
pasien tidak menyadari adanya luka yang timbul di kaki.
Kondisi hiperglikemi juga berpengaruh kepada pembuluh darah melalui mekanisme
pembentukan AGE-product yang akan menyebabkan terjadinya disfungsi sel endotel dan
kerusakan sel otot polos pembuluh darah. Kondisi hiperglikemi juga menyebabkan
peningkatan aktifitas tromboksan A2 yang merupakan vasokonstriktor dan mediator
agregasi platelet. Kondisi dislipidemia pada pasien diabetes juga berperan dalam
munculnya aterosklerosis yang dapat menyebabkan iskemia akibat pembuntuan pada
pembuluh darah perifer (Clayton dan Elasy, 2009).

2.4 Manifestasi Klinis


Luka pada kaki dapat disertai dengan inflamasi pada daerah sekitarnya,
dan/atau adanya nanah pada luka atau sinus tract. Tanda-tanda SIRS dapat muncul
apabila infeksi telah menyebar menuju sistemik (Weintrob dan Sexton, 2017).

2.5 Penatalaksanaan Terapi


Terapi gangren didasarkan pada tipe gangren yang terjadi (Weintrob dan Sexton, 2017).
1. Gangren iskemik

14
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Dapat dilakukan debridema, wound dressing, dan revaskularisasi. Revaskularisasi


disarankan untuk dilakukan pada pasien dengan iskemia tungkai atau pada pasien dengan
gangren iskemik yang tidak membaik setelah perawatan.

2. Gangren infeksi

Terapi yang dapat dilakukan adalah debridemen, wound dressing, dan terapi antibiotika.
Pemilihan antibiotika didasarkan pada kedalaman dan tingkat keparahan infeksi yang
terjadi (Weintrob dan Sexton, 2017).
Tabel II.5.1. Pilihan antibiotika terapi yang dapat digunakan:

Dosis Dewasa Aktivitas Terhadap Pseudomonas


Betalaktam
Ampisilin - Sulbaktam 3 g tiap 6 jam -
Piperasilin - Sulbaktam 4,5 g tiap 6-8 jam + (bila tiap 6 jam)
Carbapenem
Imipenem-cilastatin 500 mg tiap 6 jam +
Meropenem 1 g tiap 8 jam +
Ertapenem 1 g tiap 24 jam -
Floroquinolon
Moxifloxacin 400 mg IV tiap 14 jam ±
Regimen lain
Metronidazol 500 mg IV tiap 8 jam -
dikombinasi dengan :
Ceftriaxone 1-2 g tiap 24 jam -
Ceftazidim 2 g tiap 8-12 jam +
Cefepim 2 g tiap 12 jam +
Ciprofloxacin 400 mg IV tiap 8-12 jam ±
Levofloxacin 750 mg IV tiap 24 jam ±
Aztreonam 2 g tiap 6-8 jam +
Ditambah dengan antibiotika berikut bila ingin mengcover MRSA
Vancomicyn 15-20 mg/kg tiap 8-12 jam
Linezolid 600 mg IV tiap 12 jam
Daptomycin 4-6 mg/kg tiap 24 jam

15
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

3. Sepsis
3.1 Definisi dan Diagnosa

Sepsis merupakan rangkaian tahap fisiologi dalam merespon infeksi dengan


manifestasi inflamasi sistemik, koagulasi, dan hipoperfusi jaringan yang berpotensi
menyebabkan gangguan fungsi organ (Branan, T et al., 2016). Sepsis adalah juga sering
dideinisikan sebagai sindrom respon inflamasi sistemik sekunder akibat infeksi (Dipiro J,
2014).
Pasien dapat diagnosa sepsis, severe sepsis ataupun syok sepsis berdasarkan kriteria yang
tertera pada Tabel III.1.1. berikut (Branan, T et al., 2016) :
Tabel III.1.1. Kriteria Diagnosa Pada Sepsis, Severe Sepsis, dan Syok Sepsis
Pasien dinyatakan atau diduga infeksi disertai dengan ≥ 1 tanda-tanda
berikut :
Tanda-tanda umum (General Variables) :
Hipertermi (>38,3oC), Hipotermia (<36 oC), Takikardi (nadi >90x/min),
tachypnea, edema/ balans cairan positif (> 20 ml/kg BB selama 24 jam),
dan hiperglikemia pada pasien non-diabetes (gula darah >120 mg/dl)
Tanda-tanda inflamasi (Inflamation Variables) :
Leukositosis (> 12.000/mm3), Leukopenia (< 4000/mm3), dari hasil hitung
sel darah putih terdapat 10% dalam bentuk immature, peningkatan C-R
Sepsis protein, dan peningkatan prokalsitonin.
Tanda-tanda hemodinamik (Haemodynamic Variables) :
hipotensi arterial (TD sistolik < 90 mmHg; MAP <70 mmHg; ataupun
terjadi penurunan TD sistolik > 40 mmHg)
Tanda-tanda disfungsi organ (Organ Dysfunction) :
peningkatan serum kreatinin >0,5 mg/dl, abnormalitas proses koagulasi
(INR> 1,5 atau APTT >60 detik), paralisis ileus, dan hiperbilirubinemia
(total bilirubin >4 mg/dl).
Tanda-tanda pada perfusi jaringan (Perfusion-tissue Variables) :
Hiperlaktatemia (Laktat > 1 mmol/L)
Severe sepsis Pasien mengalami sepsis disertai dengan timbulnya disfungsi organ
Pasien mengalami sepsis yang disertai dengan salah satu tanda baik
Syok Sepsis
hipotensi ataupun hiperlaktatemia.

3.2 Pemeriksaan Penunjang


Kultur mikrobiologi sebaiknya dilakukan sebelum memulai pemberian terapi
antimikroba selama hal tersebut tidak berdampak pada penundaan pemberian terapi. Kultur
mikrobiologi dapat dilakukan menggunakan berbagai sepesimen baik urin dengan

16
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

urinalisis, sekresi pernafasan, cairan serebrospinal, dan luka sebaiknya dilakukan apabila
tanda klinis menunjukkan infeksi yang spesifik pada cairan, jaringan atau organ tersebut.
Tes laboratorium yang menunjang adalah hitung darah lengkap, parameter koagulasi,
comprehensive metabolic panel (CMP), arterial blood gas (ABG) konsentrasi laktat
serum, diagnosis radiografi (Branan, T et al., 2016).

3.3 Etiologi
Sepsis dapat disebabkan oleh bakteri baik bakteri gram negatif (52%) ataupun bakteri
gram positif (37%), jamur (5%) ataupun mikroorganisme lainnya (Dipiro J, 2015). Lokasi
terjadinya infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah saluran pernafasan (39% -
50%), saluran kemih (5% -37%), dan rongga intra-abdominal (8% -16%). Gambar 3.3
menunjukkan organisme yang dapat menyebabkan sepsis yaitu :

Gambar 8. Patogen Penyebab Sepsis (Branan T et al., 2016)

3.4 Patofisiologi
Sepsis terjadi ketika pada jaringan normal host terdapat interaksi berlebihan antara
respon kekebalan, proses inflamasi, dan koagulan bila dibandingkan dengan kondisi
jaringan awal. Faktor yang berperan dalam terjadinya sepsis adalah inflamasi yang terjadi
lokal dan merupakan respons terhadap adanya infeksi maupun cedera (Branan, T et al.,
2016). Proses inflamasi yang terjadi dikendalikan oleh mediator proinflamasi seperti
(tumor necrosis factor-α [TNF-α], interleukin [IL]-1, IL-6) dan juga mediator anti-

17
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

inflamasi seperti (IL-1 receptor antagonist, IL-4, and IL-10). Selain itu, terdapat faktor
penting lain yang berperan pada sepsis seperti Interleukin-8, faktor aktivasi
trombosit/platelet, leukotrienes, dan tromboksan A2 (Dipiro, J., 2015).

Mediator proinflamasi membantu menghilangkan rangsang penyebab luka,


mempercepat proses terjadinya cedera, dan terlibat dalam proses perbaikan jaringan yang
rusak. Mediator antiinflamasi dilepaskan untuk mengendalikan intensitas dan durasi
respons inflamasi akibat dari pelepasan mediator proinflamasi. Keseimbangan dari
mediator proinflamasi dan antiinflamasi ini akan membantu perbaikan dan penyembuhan
jaringan. Ketika keseimbangan proses inflamasi ini hilang akan terjadi kerusakan jaringan
yang jauh, dan mediator ini akan menyebabkan efek sistemik yang merugikan tubuh.
Proses ini dapat berlanjut sehingga menimbulkan multiple organ dysfunction syndrome
(MODS). (Branan, T., et al., 2016).

3.5 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis dan perkembangan sepsis sendiri dapat bervariasi antara pasien
yang satu dengan yang lain.. Gejala dan tanda-tanda dari sepsis dibedakan menjadi gejala
awal dan gejala yang tertunda (prosesnya berjalan lambat dan timbul beberapa jam
setelah terjadi hipoperfusi) ditunjukkan oleh Tabel III.5.1. Gejala dan tanda-tanda awal
sepsis adalah demam, badan terasa dingin, dan perubahan status mental (Branan, T., et al.,
2016)
Tabel III.5.1 Gejala dan tanda-tanda sepsis (Branan, T., et al., 2016)

Gejala dan tanda-tanda awal sepsis Gejala dan tanda-tanda sepsis yang tertunda

Takikardi Asidosis laktat


Takipnea Oliguria
Mual dan muntah Leukopenia
Hiperglikemia Trombositopenia
Lesu dan tidak enak badan Depresi miokardial
Proteinuria Edema pulmonar
Leukositosis Hipotensi
Hipoksia Hipoglikemia
Hiperbilirubinemia Pendarahan gastrointestinal

3.6 Penatalaksanaan Terapi


Tujuan utama pemberian terapi pada pasien dengan diagnosa sepsis antara lain yaitu
melakukan diagnosa dan identifikasi patogen tepat waktu, mengeliminasi sumber penyebab

18
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

infeksi secara cepat baik menggunakan terapi obat ataupun tindakan pemebedahan,
memberikan terapi antimikroba secara agresif sedini mungkin, menghambat perkembangan
patogen penyebab syok sepsis, dan menghindari timbulnya kegagalan organ. Algoritma
penatalaksanaan terapi untuk pasien sepsis ditunjukkan oleh Gambar 10. Pemberian terapi
antimikroba di awal merupakan hal yang sangat penting untuk pasien sepsis. Regimen
terapi yang dipilih harus didasarkan pada beberapa hal seperti lokasi penyebab infeksi,
kemungkinan patogen penyebab, asal infeksi apakah community acquired atau hospital
acquired, pola resistensi antibiotika setempat, dan tingkat daya tahan tubuh pasien (Dipiro
J., 2015). Antibiotika yang dapat digunakan untuk terapi empiris pada sepsis tercantum
dalam Tabel III.6.1.

Gambar 9. Algoritma Penatalaksanaan Terapi Pada Pasien Sepsis (Branan T et al., 2016)

19
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Tabel III.6.1. Regimen antimikroba empiris untuk sepsis

4. ACKD (Acute on Chronic Kidney Diseases)


4.1 Definisi dan Batasan Klinis
Gangguan ginjal akut merupakan salah satu kondisi kegawatdaruratan medis dimana
terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus secara cepat yang timbul dalam hitungan jam
ataupun hari. Sebagian besar penderita gangguan ginjal akut sebelumnya dilatarbelakangi
dengan adanya gangguan ginjal kronis yang telah ada sebelumnya atau yang lebih dikenal
dengan istilah Acute on Chronic Kidney Disease (Mandala N, 2007). Chronic Kidney
Disease (CKD)/Gagal Ginjal Kronis (GGK) menurut The National Kidney Foundation
(NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative (K/DOQI) adalah:
1. Kerusakan Ginjal selama ≥ 3 bulan, yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi
ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR dengan salah satu manifestasi berikut (NKF,
2002):
a. Kelainan patologi
b. Terdapat kerusakan ginjal, termasuk kelainan komposisi darah atau urin atau kelainan
radiologi.
2. GFR < 60 mL/menit/ 1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Tabel IV.4.1. Stadium gagal ginjal kronis (NKF, 2002)

Stadium Deskripsi GFR


1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat >90
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan 60-89
3 Penurunan GFR sedang 30-59
4 Penurunan GFR berat 15-29
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

20
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Adanya gangguan ginjal kronis merupakan salah satu faktor risiko terbesar penyebab
terjadinya gangguan ginjal akut dimana risiko tersebut akan meningkat sebesar tiga kali
lipat dengan memburuknya fungsi ginjal yang ditandai dengan klirens kreatinin < 60
ml/menit bila dibandingkan dengan klirens kreatinin normal, sementara untuk klirens
kreatinin < 40 ml/menit risiko ganggguan ginjal akut akan meningkat sebesar 4,5 kali lipat
(Mandala N, 2007). Pasien menderita gangguan ginjal akut apabila mengalami minimal
satu diantara kriteria berikut:
 peningkatan kreatinin serum (SCr) paling sedikit 0,3 mg/dl (27 μmol/L) dalam 48 jam,
 50% peningkatan baseline SCr dalam 7 hari, atau
 produksi urin kurang dari 0,5ml/kg/jam selama minimal 6 jam (Stamakis M, 2016).

4.2 Etiologi

Sebagian besar penyebab gangguan ginjal akut juga merupakan penyebab terjadinya
kondisi Acute on Chronic Kidney Disease yang mana penyebab-penyebab tersebut
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu penyebab prerenal, penyebab intinsik ginjal dan
penyebab post renal seperti yang tercantum pada tabel IV.2.1 dibawah ini (Mandala N,
2007) :
Tabel IV.2.1 Faktor Penyebab Kondisi Acute on Chronic Kidney Disease (Mandala N,
2007)
Penggolongan Faktor Penyebab
 Hipovolemia akibat dari beberapa kondisi seperti diare, muntah,
penggunaan diuretik, osmotik diuresis akibat dari diabetes yang tidak
terkontrol, perdarahan, syok tramuatik atau syok sepsis.
Prerenal  Penurunan volume darah karena beberapa kondisi seperti gagal
jantung ataupun sirosis.
 Vasoregulasi karena penggunaan obat-obatan seperti NSAID, ARB
atau ACE-I, serta dapat pula karena kondisi hiperkalsemia.

21
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Tabel IV.2.1 (Lanjutan) Faktor Penyebab Kondisi Acute on Chronic Kidney Disease
(Mandala N, 2007)

Penggolongan Faktor Penyebab


 Acute tubular necrosis
 Acute interstitial nephritis yang disebabkan oleh adanya infeksi
Intrinsik Renal ataupun penggunaan NSAID
 Crystal Induced seperti yang sering terjadi pada pasien dengan
penyakit autoimun yang menggunakan obat-obatan antiretroviral
 Hipertensi berat (severe hipertention)
 Hipertrofi prostat
 Batu saluran kemih
Post-renal  Tindakan intra-abdomen yang berkaitan dengan pembedahan ureter
seperti pada fibrosis retroperitonial atau prostat, dan adanya tumor
pada panggul.

4.3 Patofisiologi
Gangguan ginjal akut berdasarkan penyebabnya diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok yaitu prerenal, intrinsik, dan postrenal yang mana masing-masing kategori
tersebut memiliki mekanisme patofisiologi yang berbeda yang dijelaskan berikut
(Stamatakis M, 2016)
a. Prerenal gagal ginjal akut
Ciri dari prerenal gagal ginjal akut adalah berkurangnya darah yang menuju ke ginjal
diakibatkan karena ketidakmampuan ginjal mempertahankan aliran melalui proses
autoregulasi. Penyebab utamanya adalah berkurangnya volume intravaskular yang dapat
terjadi karena pendarahan, dehidrasi atau hilangnya cairan gastrointestinal. Perbaikan
volume yang dilakukan dengan segera dapat mempercepat kesembuhan karena pada
kategori ini tidak terdapat kerusakan struktur ginjal. Pada penurunan aliran darah ginjal
yang ringan atau sedang, tekanan intraglomerular dipertahankan melalui dilatasi arteriol
afferent (arteri mensuplai darah ke glomerulus), konstriksi arteriol efferent
(artericmemindahkan darah dari glomerulus) dan redistribusi dari aliran darah ginjal ke
medula renal yang sensitif terhadap oksigen.
b. Intrinsik gagal ginjal akut
Intrinsik gagal ginjal akut disebabkan penyakit yang berdampak pada struktur nefron
(tubulus, glomerulus, intersisium atau pembuluh darah). Penyebab intrinsik gagal ginjal
akut diantaranya adalah glomerulonefritis, systemic lupus erythematosus, nefritis

22
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

intersisial, dan vaskulitis. Nekrosis tubulus akut sering disamakan dengan intrinsik
gangguan ginjal akut.
c. Postrenal gagal ginjal akut
Pada postrenal gagal ginjal akut terjadi obstruksi aliran urin. Penyebabnya antara lain
adalah benign prostatic hypertrophy, tumor pelvis dan pengendapan kalkuli ginjal.

4.4 Manifestasi Klinis


Gejala dan tanda-tanda dari gangguan ginjal akut adalah (Stamatakis M, 2016)

- Edema perifer - Nafas pendek


- Berat badan bertambah - Pruritus
- Mual, muntah, diare - Berat badan menurun (prerenal GGA)
- Anoreksia - Anuria dan poliuria secara bergantian (postrenal GGA)
- Perubahan keadaan mental
- Nyeri abdomen dan menyebar dari panggul hingga
- Kelelahan paha

4.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk pasien dengan gangguan ginjal akut ialah tes laboratorium
dan urinalisis, seperti yang ditunjukkan oleh Tabel IV.5.1

Tabel IV.5.1 Pemeriksaan penunjang untuk Gangguan Ginjal Akut (Stamatakis M, 2016)
Tes Laboratorium Urinalisis (Sedimen)
a. Peningkatan SCr (0,6-1,2 mg/dl atau a. Sedikit (prerenal atau postrenal GGA)
53-106 μmol/L) b. Berwarna coklat dan terdapat butiran kecil
b. Hiperkalemia (intrinsik acute tubular necrosis)
c. Peningkatan BUN (8-25 mg/dl atau c. Proteinuria (Glomerulonefritis atau alergi
2,9-8,9 mmol/L) intersisial nefritis)
d. Rasio antara BUN:kreatinin > 20:1 d. Eosinophiluria (intersisial nefritis akut)
mg/dl (prerenal GGA), < 20:1 mg/dl e. Hematuria atau terdapat sel darah merah
(intrinsik atau postrenal GGA) (penyakit glomerular atau pendarahan saluran
urin)
e. Asidosis metabolik f. Terdapat WBC/leukosit (intersisial nefritis
akut atau pyelonefritis berat)
4.6 Penatalaksanaan Terapi
Tujuan utama pemberian terapi pada pasien gangguan ginjal akut adalah untuk
mengatasi hal-hal yang menjadi penyebab utama pada gangguan ginjal akut yaitu
mengembalikan aliran darah ginjal, mengatasi gangguan/obstruksi pada saluran kemih, dan

23
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

meninjau kembali penggunaan obat-obatan yang nefrotoksik. Terapi yang diberikan bisa
bervariasi disesuaikan denga penyebab dari gangguan ginjal akut tersebut seperti pada
prerenal gangguan ginjal akut maka terapi yang diberikan adalah menggunakan cairan
kristaloid isotonik (normal saline 0,9%) untuk ekspansi kembali cairan ekstraselular agar
tercapai kondisi kesetimbangan (euvolemia). Selain terapi cairan, penggunaan obat-obatan
vasopressor seperti norepinefrin, dopamin dan vasopresin dapat diberikan pada pasien
dengan syok sepsis pada prerenal GGA.
Terapi farmakologis pada GGA yaitu menggunakan loop diuretik (furosemide,
bumetanide, torsemide, dan asam etakrinat) yang dapat digunakan untuk terapi dengan cara
meningkatkan output urine akan tetapi tidak mempengaruhi terhadap perlu/tidaknya pasien
melakukan dialisis. Namun, menurut beberapa laporan loop diuretik dapat memperburuk
kondisi ginjal karena dapat menimbulkan vasokonstriksi pada ginjal. Sehingga loop
diuretik sebaiknya digunakan untuk mengatasi kelebihan volume cairan dan tidak untuk
mencegah GGA ataupun mempercepat proses pemulihan fungsi ginjal pada kondisi
euvolemik ataupun hipovolemik. Loop diuretik yang digunakan dapat dipilih berdasarkan
profil efek samping yang ditimbulkan, biaya dan perbedaan pada farmakokinetika obat.
Penambahan pemberian diuretik golongan lain seperti metolazone atau
hydrochlorothiazide dapat menimbulkan efek sinergis dalam meningkatkan pengeluaran
urine.
Terapi farmakologis lainnya adalah pemberian dopamin pada dosis rendah yaitu
pada rentang 0,5-3 mcg/kg BB/menit akan dapat merangsang reseptor domain-1 yang
dapat menyebabkan vasodilatasi vaskular ginjal sehingga dapat meningkatkan aliran darah
pada ginjal. Fenoldopam yang merupakan agonis selektif reseptor dopamin-1 dapat
digunakan untuk mengatasi kondisi hipertensi berat jangka pendek sehingga dapat
digunakan untuk mencegah dan mengobati GGA. Selain terapi farmakologis, terdapat pula
terapi non-farmakologis yaitu dengan dialisis pada beberapa kondisi tertentu. Terapi
suportif seperti nutrisi yang adekuat, koreksi elektrolit, keseimbangan asam-basa,
manajemen cairan, dan mengatasi abnormalitas pada hematologi seperti anemia.

24
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Keterangan: CrCl: creatinine clearance; ECF: extracellular fluid;


HCTZ: Hidroklorotiazid; po: oral
Gambar 11. Algoritma terapi ekspansi cairan ekstraseluler (Stamatakis M, 2016)

25
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

5. Anemia
5.1 Batasan Klinis
Menurut National Kidney Foundation anemia adalah kadar Hb < 13,5 mg/dL pada pria
dan Hb < 12,0 mg/dL pada wanita (NKF, 2006).
5.2 Etiologi
Anemia pada pasien CKD dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme yaitu defisiensi
besi, asam folat, vitamin B12, perdarahan saluran cerna, hiperparatiroid, penurunan waktu
hidup sel darah merah, namun penurunan sintesis eritropoetin merupakan penyebab utama
dan spesifik pada pasien CKD yang mengalami anemia. Kerusakan tubulus pada pasien
CKD menghasilkan fibrosis pada daerah tubulointersisial yang mengakibatkan penurunan
sintesis eritropoetin (Thomas et al., 2009).

5.3 Patofisiologi
Pada kondisi ginjal normal, eritropoetin akan meningkat ketika terjadi hipoksia. Namun
respon tersebut menghilang ketika CKD memasuki stage 3. Anemia yang dialami oleh
pasien CKD adalah anemia tipe normokromik normositik. Penurunan sintesis eritropoetin
dan kondisi hiperparatiroid akan menghambat proses perkembangan pluripotent stem cell
menjadi proeritroblast, defisiensi besi akan menghambat proses perkembangan eritoblast
menjadi retikulosit, defisiensi asam folat dan vitamin B12 akan menghambat proses
maturase retikulosit menjadi eritrosit. Kondisi pada CKD menghambat proses eritropoesis
pada berbagai tahap (Hudson dan Wazny, 2014).

5.4 Manifestasi Klinis


Pasien dengan kondisi anemia akan merasa mudah lelah, lemah, pusing, pernapasan
meningkat, dan takikardi. Pada pemeriksaan laboratorium pasien akan mengalami
penurunan nilai Hb (Hudson dan Wazny, 2014).

5.5 Penatalaksanaan Terapi


Pada pasien CKD Stage 3-5 non dialisis dengan anemia, pengecekan kadar Hb dilakukan
minimal 3 bulan sekali. Terapi yang disarankan adalah Erythropoietin Stimulating Agent
(ESA) untuk pasien dengan kadar Hb < 10,0 g/dL, untuk pasien dengan kadar Hb > 10,0
g/dL terapi ESA tidak direkomendasikan. Transfusi PRC disarankan pada pasien dengan
terapi ESA namun tidak memperoleh hasil yang adekuat. Sebelum terapi ESA atau
transfusi PRC dilakukan, terapi yang disarankan untuk mengatasi anemia adalah suplemen

26
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

besi selama 1 – 3 bulan (KDIGO, 2012).

6. Ensefalopati
6.1 Definisi dan Batasan Klinis
Diabetes mellitus dapat dikaitkan dengan terjadinya komplikasi mikrovaskular seperti
retinopati, nefropati, dan neuropati baik perifer ataupun sentral. Neuropati sentral akibat
diabetes mellitus dapat menyebabkan disfungsi kognitif atau biasa dikenal dengan diabetik
ensefalopati. Disfungsi kognitif pada pasien DM ditandai dengan penurunan kerja pada
beberapa domain kognitif seperti melambatnya kecepatan mental dan berkurangnya
fleksibilitas. Dampak yang ditimbulkan dari diabetes ensefalopati ini berkisar dari ringan
hingga sedang, akan tetapi dapat mengganggu kehidupan sehari-hari yang berpengaruh
pada kualitas hidup manusia (Mijnhout et al., 2006).
Disfungsi kognitif dapat terjadi pada pasien dengan diagnosa diabetes mellitus tipe 1
dan tipe 2. Pada pasien diabetes mellitus tipe 1 defisit fungsi kognitif yang paling sering
dijumpai antara lain kecepatan memproses informasi menurun, penurunan kecepatan
motorik, penurunan kecerdasan umum, terganggunya fungsi memori, kekuatan motorik
menurun, dan fungsi somatosensori terganggu. Sementara pada pasien DM tipe 2, defisit
fungsi kognitif yang paling sering dijumpai antara lain penurunan kecepatan psikomotor,
gangguan pada fungsi lobus frontalis (fungsi eksekutif), gangguan pada ingatan baik
ingatan verbal ataupun ingatan kerja/tindakan, kemampuan berbicara menurun dan
gangguan pada proses mengamati/memperhatikan (Kodl and Seaquist, 2008).

6.2 Etiologi
Disfungsi kognitif / ensefalopati pada pasien diabetes mellitus dapat disebabkan oleh
kondisi hipoglikemia ataupun hiperglikemia. Hipoglikemi merupakan salah satu etiologi
yang paling mungkin menyebabkan disfungsi kognitif pada pasien diabetes baik DM tipe 1
ataupun DM tipe 2. Hal tersebut dikarenakan risiko hipoglikemi akan meningkatkan upaya
pengendalian gula darah yang diperlukan untuk meminimalisir terjadinya komplikasi
mikrovaskular yang dapat terjadi termasuk neuropati sentral (ensefalopati). Kontrol /
kendali gula darah memegang peranan penting dalam menentukan derajat keparahan dari
disfungsi kognitif yang ditimbulkan (Kodl and Seaquist, 2008).

6.3 Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari perkembangan terjadinya disfungsi kognitif pada pasien

27
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

diabetes mellitus belum sepenuhnya dijelaskan, akan tetapi terdapat hipotesa hubungan
sebab-akibat dari beberapa faktor penyebab antara lain hiperglikemi, penyakit vaskular,
resistensi insulin dan deposisi amyloid seperti pada gambar 12. Berikut adalah penjelasan
mekanisme patofisiologi dari beberapa faktor penyebab (Kodl and Seaquist, 2008) :
a) Hiperglikemia
Mekanisme patofisiologi ensefalopati yang ditimbulkan akibat hiperglikemi dapat
melalui beberapa jalur seperti pembentukan senyawa poliol, peningkatan pembentukan
senyawa AGE’s, aktivasi senyawa diacylglycerol dari protein C-kinase, dan peningkatan
jalur heksosamin mengakibatkan pemecahan glukosa meningkat. Mekanisme-mekanisme
tersebut mungkin terjadi di otak dan akan menginduksi terjadinya perubahan fungsi
kognitif pada pasien.
b) Penyakit vaskular
Pasien dengan diabetes memiliki risiko mengalami stroke trombotik 2-6 kali lipat
dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes yang dapat berkontribusi dalam terjadinya
disfungsi kognitif melalui mekanisme penurunan aliran darah serebral. Penurunan aliran
darah serebral menyebabkan pembuluh darah serebral terganggu dan menurunnya
kemampuan dalam vasodilatasi sehingga terjadi kondisi iskemia pada serebral yang akan
mengganggu fungsi serebral.
c) Hipoglikemia
Kondisi hipoglikemia dapat menimbulkan nekrosis pada neuron yang diakibatkn oleh
aktivasi berlebihan dari reseptor neurotransmiter NMDA.

Keterangan : Tidak semua mekanisme dapat terjadi pada setiap pasien

Gambar 12. Kemungkinan Mekanisme Penyebab Terjadinya Disfungsi Kognitif Pada


Pasien Diabetes Mellitus (Kodl and Seaquist, 2008).

28
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

6.4 Penatalaksanaan Terapi

Pengobatan ensefalopati disesuaikan dengan manajemen/penatalaksanaan terapi dari


kondisi/penyakit yang mendasari timbulnya ensefalopati berdasarkan hasil evaluasi dari
gejala dan tanda-tanda neurologis. Pada pasien diabetik ensefalopati yang perlu
diperhatikan adalah dalam pengendalian gula darah pasien untuk meminimalisir adanya
komplikasi mikrovaskular yang lebih lanjut dengan menggunakan terapi insulin, terapi oral
antidiabetes ataupun kombinasi keduanya (Kodl and Seaquist, 2008).

7. Hipertensive Heart Disease (HHD)


7.1 Definisi, Batasan Klinis dan Klasifikasi
Hipertensi adalah penyakit umum yang secara sederhana didefinisikan sebagai
meningkatnya tekanan darah arteri (tekanan darah tinggi). Hipertensi diidentifikasikan
sebagai salah satu faktor risiko penyakit kardiovaskular (CV) yang paling signifikan
(Saseen and Maclaughlin, 2008). Tekanan darah tinggi didefinisikan sebagai BP ≥140 dan
atau ≥90 mmHg, pada pemeriksaan berulang. Tekanan darah sistolik merupakan
pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi. Nilai tekanan darah
akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia, sehingga sangat umum terjadi pada
lansia. Risiko seumur hidup seseorang untuk memiliki hipertensi seumur hidup di antara
mereka yang berusia 55 tahun ke atas yang saat ini tekanan darahnya normal adalah 90%
(Bell et al., 2015).
Tekanan darah arteri adalah tekanan pada pembuluh darah, khususnya dinding arteri.
Hal ini diukur dalam milimeter merkuri (mmHg). Dua nilai tekanan darah arterial adalah
tekanan darah sistolik (SBP) dan tekanan darah diastolik (DBP). SBP adalah nilai puncak
(tertinggi) yang dicapai saat jantung berkontraksi. DBP tercapai sementara jantung
beristirahat (tekanan terendah) dan ruang jantung dipenuhi darah (Bell, et., al., 2015).
Tekanan darah arteri secara hemodinamik dihasilkan oleh interaksi antara aliran darah dan
resistensi terhadap aliran darah. Ini secara matematis didefinisikan sebagai produk curah
jantung dan ketahanan perifer total sesuai dengan persamaan berikut :
BP = curah jantung × daya perifer total
Curah jantung merupakan penentu utama SBP, sedangkan daya perifer total
menentukan DBP. Curah jantung adalah fungsi volume stroke, denyut jantung, dan

29
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

kapasitansi vena. Pada kondisi fisiologis normal, tekanan darah arteri berfluktuasi
sepanjang hari. Umunya mengikuti ritme sinkardian yaitu akan jatuh pada nilai terendah
selama tidur. Kemudian akan mengalami kenaikan tajam mulai beberapa jam sebelum
terbangun dengan nilai tertinggi yang terjadi menjelang tengah hari. Tekanan darah juga
meningkat akut selama aktivitas fisik atau stress emosional (Saseen and Maclaughlin,
2008)
Tabel VII.1.1 Klasifikasi Tekanan Darah pada Dewasa (Usia ≥ 18 tahun) berdasarkan JNC
VII
Klasifikasi SBP (mmHg) DBP (mmHg)
Normal <120 dan <80
Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi derajat 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi derajat 2 ≥160 atau ≥100

7.2 Etiologi
Bagi mayoritas pasien dengan tekanan darah tinggi penyebabnya tidak diketahui dan
digolongkan menjadi hipertensi primer atau esensial. Faktor genetik mungkin menjadi
faktor penting dalam pengembangan hipertensi primer. Sebagian kecil pasien memiliki
penyebab spesifik yang digolongan menjadi hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder
disebabkan oleh kondisi medis atau riwayat pengobatan. Mengontrol kondisi medis
tersebut dan atau menghilangkan obat yang menjadi penyebab hipertensi menjadi
manajemen penting dalam mengobati hipertensi sekunder. Penyebab paling umum
hipertensi sekunder dikaitkan dengan kerusakan ginjal seperti gagal ginjal kronis (CKD)
atau penyakit renovaskular (Bell et al., 2015).

Tabel VII.2.1 Penyebab Hipertensi Sekunder (Bell et al., 2015)


Penyakit Obat
Chronic Kidney Disease (CKD) Obat yang Diresepkan
Cushing’s syndrome Steroid adrenal (prednisone, fluodrocortisone,
Coarctation of aorta triamcinolone)
Obstructive sleep apnea Amfetamin
Parathyroid disease Antivascular endothelin growth factor agents
Primary aldosteronism (bevacizumab, sorafenib), estrogen (umumnya
Renovascular disease kontrasepsi oral)
Thyroid disease Calcineurin inhibitor (siklosporin dan takrolimus)
Decongestan (fenilpropanolamin)
NSAID, cyclooxygenase-2 inhibitor
Street Drugs and other natural products
Kokain dan kokain withdrawal
Nikotin withdrawal
Narcotic withdrawal

30
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Zat makanan
Natrium
Etanol
7.3 Patofisiologi
Beberapa faktor yang mengendalikan tekanan darah berkontribusi terhadap
pengembangan hipertensi primer. Dua faktor tersebut adalah masalah hormonal [hormon
natriuretik, renin-angiotensin-aldosteron system (RAAS)] atau gangguan elektrolit
(natrium, klorida, dan kalium). Hormon natriuretik menyebabkan peningkatan konsentrasi
natrium dalam sel yang berdampak pada peningkatan tekanan darah. RAAS mengatur
volume natrium, potasium, dan darah, yang pada akhirnya akan mengatur tekanan darah di
arteri (pembuluh darah yang membawa darah menjauh dari jantung). Dua hormon yang
terlibat dalam sistem RAAS meliputi angiotensin II dan aldosteron. Angiotensin II
menyebabkan penyempitan pembuluh darah, meningkatkan pelepasan bahan kimia yang
meningkatkan tekanan darah, dan meningkatkan produksi aldosteron. Penyempitan
pembuluh darah meningkatkan tekanan darah yang juga memberi tekanan pada jantung.
Aldosteron menyebabkan natrium dan air tetap berada di dalam darah. Akibatnya, ada
volume darah yang lebih besar, yang akan meningkatkan tekanan pada jantung dan
meningkatkan tekanan darah (Bell, et., al., 2015).

7.4 Manifestasi Klinis


Hipertensi dikenal sebagai “silent killer” karena umumnya tidak memiliki tanda atau
gejala yang dapat menjadi peringatan sehingga banyak orang yang tidak mengetahui bahwa
dirinya hipertensi. Beberapa orang mungkin mengalami gejala seperti sakit kepala, muntah,
pusing, dan mimisan (Merai et al., 2016).

7.5 Penatalaksanaan Terapi


Tabel VII.5.1 Pilihan Terapi pada Hipertensi dengan Penyakit Penyerta (James PA, et, al.,
2014)

Penyakit Penyerta Pilihan Terapi


Gagal jantung ACEI/ARB + BB + Diuretik + Spironolaton
Post-MI/Clinical CAD ACEI/ARB dan BB
CAD ACEI, ARB, Diuretik, CCB
Diabetes ACEI/ARB, CCB, Diuretik
Mencegah serangan
ACEI, Diuretik
stroke berulang
β-1 Selective β-Blockers (Metoprolol, Bisoprolol, Betaxolol,
Asma
Acebutolol)

31
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Tabel VII.5.2 Pilihan Terapi pada Hipertensi (James PA, et, al., 2014)

Obat Pilihan Terapi


HCT 12,5-50 mg
Diuretik
Furosemide 20-80 mg setiap 12 jam
ACEI : Lisinopril, benazepril, fosinopril, dan quinapril 10-40
mg; ramipril 5-10 mg; trandolapril 2-8 mg
ACEI/ARB
ARB : Candesartan 8-32 mg, valsartan 80-320 mg, losartan
50-100 mg, olmesartan 20-40 mg, telmisartan 20-80 mg
Metoprolol suksinat 50-100 mg dan tartrate 50-100 mg setiap 12
jam
β-Blockers
Nebivolol 5-10 mg, propranolol 40-120 mg setiap 12 jam
Bisoprolol 5-10 mg, labetalol 100-300 mg setiap 12 jam
Dihidriopiridin : Amlodipin 5-10 mg, nifedipin ER 30-90 mg
CCB (Calcium Channel
Non-dihidropiridin : Diltiazem ER 180-360 mg, verapamil 80-120
Blockers)
mg
Antagonis Aldosteron Spironolakton 25-50 mg
Hidralazin 25-100 mg setiap 12 jam
Vasodilator
Doxazosin 1-4 mg bedtime
Clonidin 0,1-0,2 mg setiap 12 jam, metildopa 250-500 mg
Centrally-acting Agents
setiap 12 jam

32
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB II
PROFIL PASIEN

Inisial Pasien : Tn. Ms


Usia : 64 tahun
BB/ TB : 59 kg/170 cm
No. RM : 12.74.xxxx
Alamat : Surabaya
Tgl. MRS : 29/03/2019

 Alasan MRS : lemas 3 hari sebelum MRS, nafsu makan dan


minum menurun, kesadaran menurun, pasien sulit diajak komunikasi, demam 1 hari
sebelum MRS, terdapat luka di kaki kiri pasien selama ± 1 bulan terakhir.
 Kronologi Diagnosa :

Tanggal Diagnosa
29/03/2019 DM Hiperglikemia + General weakness + Sepsis
30/03/2019 DM + Gangren Pedis + Sepsis + Hiponatremia + Anemia
31/03/2019 DM + Gangren Pedis + Sepsis + Hiponatremia + Anemia + ACKD
01/04/2019 DM + Gangren Pedis + Sepsis + ACKD + Hematemesis + HHD +
CAD
02/04/2019 – DM + Gangren Pedis + Sepsis + ACKD +Ensefalopati + HHD + CAD
03/04/2019
04/04/2019 – DM + Gangren Pedis + Sepsis + ACKD +Ensefalopati + Anemia +
05/04/2019 HHD + CAD

 Riwayat Penyakit : DM (+), sepsis, gangren pedis


Hipertensi (HT) disangkal
 Riwayat Pengobatan : Levemir 0-0-12 unit; Novorapid 3 x 8 unit;
Concor 1 x 2,5 mg; Lisinopril 1 x 5 mg; dan
Simvastatin 1 x 20 mg
 Riwayat Alergi : Tidak Ada
 Status Pasien : BPJS

33
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Catatan Perkembangan Pasien Inisial Pasien: Tn. Ms


Tanggal Problem/Kejadian/Tindakan Klinisi
29/03/2019 Pasien datang ke IGD dengan keluhan lemas 3 hari terakhir, nafsu makan
dan minum menurun, kesadaran menurun, pasien sulit diajak komunikasi,
demam 1 hari sebelum MRS, dan terdapat luka di kaki kiri selama ± 1 bulan
terakhir.
Data klinik pasien
TD=117/89 mmHg; N=98x/min; RR=22x/min; T=37,3ºC; GCS=456 dan
GDA=“high”
Data laboratorium pasien
Hb=8,4L; Leukosit=32,21H; Natrium=125L; Kalium=5,7L; BUN=96,6H;
SCr=3,42H
Terapi yang didapatkan pasien
PZ 21 tpm (1500 cc/24 jam); Ceftriakson 2x1 g; Metronidazole 3x500 mg;
Levemir 12 unit; Novorapid 3x8 unit; dan RCI 2x10 unit (GDA=high) pasien
mendapat RCI 2x8 unit (GDA= 438 mg/dl) RCI 2x6 unit (GDA=306)
30/03/2019 Pasien masuk rawat inap di lantai 4 dan mengalami keluhan umum lemas
serta keluhan lainnya dari pasien tidak terkaji.
Data klinik pasien
TD=128/86 mmHg; N=87x/min; RR=20x/min; T=36,4ºC; GCS=456;
GDP=306 mg/dl dan GD2PP=224 mg/dl
Data laboratorium pasien
Albumin 3,22L
Terapi yang didapatkan pasien
PZ 21 tpm (1500 cc/24 jam); Ceftriakson 2x1 g; Metronidazole 3x500 mg;
Levemir (naik dosis) 18 unit; Novorapid (naik dosis) 3x10 unit; Ca Glukonas
ekstra 1 ampul (1g/ampul); dan Furosemid 1x1 ampul (20 mg/2ml)
31/03/2019 Pasien mengalami keluhan umum lemas, muntah cairan hitam 120 cc serta
keluhan lainnya dari pasien tidak terkaji.
Data klinik pasien
TD=112/77 mmHg; N=103x/min; RR=20x/min; T=36,2ºC; GCS=456;
GDP=224 mg/dl dan GDA=266 mg/dl
Data laboratorium pasien
Hb=10,4L; Leukosit=27,09H; Kalium=5,2L; BUN=109H; SCr=3,30H
Data pemeriksaan lain pasien
- Hasil pemeriksaan EKG
Sinus rhythm (QRST) contour abnormality consider anterolateral
myocardial damage; ST & T Abnormality consider anterior ischemia or
left ventricular strain
- Foto Thorax
Hasil dari foto thorax diketahui pasien cardiomegali dengan congestive
pulmonum
Terapi yang didapatkan pasien
PZ 21 tpm (1500 cc/24 jam); Ceftriakson 2x1 g; Metronidazole 3x500 mg;
Levemir (naik dosis) 22 unit; Novorapid 3x10 unit; Furosemid 1x1 ampul
(20 mg/2ml); Inbumin 3x1 tab; Omeprazole Inj 2x40 mg; Sukralfat 3x1 C;
Transfusi PRC 1 bag; Atorvastatin 1x20 mg tab; dan Concor 1x2,5 mg tab

34
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Catatan Perkembangan Pasien Inisial Pasien: Tn. Ms


Tanggal Problem/Kejadian/Tindakan Klinisi
01/04/2019 Pasien mengalami keluhan umum lemas, terjadi penurunan
kesadaran, keluhan lainnya dari pasien tidak terkaji serta pasien
tidak jadi bedah dan nekrotomi dikarenakan perlu perbaikan
kondisi terlebih dahulu
Data klinik pasien
TD=91/65 mmHg; N=89x/min; RR=21x/min; T=38,1ºC;
GCS=345; GDP=171 mg/dl dan GDA=168 mg/dl
Data laboratorium pasien
(-)
Terapi yang didapatkan pasien
PZ 14 tpm (1000 cc/24 jam); Ceftriakson 2x1 g; Metronidazole
3x500 mg; Levemir (naik dosis) 24 unit; Novorapid 3x10 unit;
Furosemid 1x1 ampul (20 mg/2ml); Inbumin 3x1 tab; Omeprazole
Inj 2x40 mg; Sukralfat 3x1 C; Transfusi PRC 1 bag; Atorvastatin
1x20 mg tab; Concor 1x2,5 mg tab dan Vascon (NE) 50 nano/kg
bb/menit (2,95 ug/menit).
02/04/2019 Pasien mengalami penurunan kesadaran dan suara nafas pasien
grok-grok
Data klinik pasien
TD=75/51 mmHg; N=85x/min; RR=26x/min; T=37,6ºC;
GCS=335; GDP=153 mg/dl dan GDA=215 mg/dl
Data laboratorium pasien
(-)
Terapi yang didapatkan pasien
PZ 14 tpm (1000 cc/24 jam); Ceftriakson 2x1 g; Metronidazole
3x500 mg; Levemir (naik dosis) 26 unit; Novorapid 3x10 unit;
Inbumin 3x1 tab; Omeprazole Inj (turun dosis) 1x40 mg; Sukralfat
3x1 C; Atorvastatin 1x20 mg tab; Vascon/Norepinefrin (naik
dosis) 100 nano/kg bb/menit (5,9 ug/menit); dan Antrain 3x1 g
(bila px demam)
03/04/2019 Kondisi pasien secara umum masih lemah dan pasien sudah mulai
berbicara sedikit-sedikit.
Data klinik pasien
TD=136/84 mmHg; N=89x/min; RR=20x/min; T=36,2ºC;
GCS=456; GDP=223 mg/dl dan GDA=167 mg/dl
Data laboratorium pasien
Hb=9,1L; Leukosit=25,39H; BUN=100H; SCr=2,81H
Terapi yang didapatkan pasien
PZ 7 tpm (500 cc/24 jam); Ceftriakson 2x1 g; Metronidazole
3x500 mg; Levemir (naik dosis) 30 unit; Novorapid 3x10 unit;
Inbumin 3x1 tab; Omeprazole Inj 1x40 mg; Sukralfat 3x1 C;
Atorvastatin 1x20 mg tab; Vascon/Norepinefrin (turun dosis) 50
nano/kg bb/menit (2,95 ug/menit); dan Antrain 3x1 g.

35
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Catatan Perkembangan Pasien Inisial Pasien: Tn. Ms


Tanggal Problem/Kejadian/Tindakan Klinisi
04/04/2019 Pasien mengalami keluhan diare dan kondisi pasien secara umum
masih lemah.
Data klinik pasien
TD=77/51 mmHg; N=94x/min; RR=24x/min; T=37,8ºC;
GCS=321; GDP=126 mg/dl dan GDA=147 mg/dl
Data laboratorium pasien
-
Terapi yang didapatkan pasien
PZ 7 tpm (500 cc/24 jam); Ceftriakson 2x1 g; Metronidazole 3x500
mg; Levemir 30 unit; Novorapid 3x10 unit; Inbumin 3x1 tab;
Omeprazole Inj 1x40 mg; Sukralfat 3x1 C; Atorvastatin 1x20 mg
tab; Vascon/Norepinefrin (turun dosis) 50 nano/kg bb/menit (2,95
ug/menit); Antrain 3x1 g dan Clopidogrel 1x75 mg.
05/04/2019 Pasien mengalami penurunan kesadaran dan perburukan kondisi
sehingga diputuskan pasien dirujuk ke RS. Dr. Soetomo guna
mendapatkan penanganan dan perawatan lebih lanjut.
Data klinik pasien
TD=71/45 mmHg; N=55x/min; RR=24x/min; T=38,7ºC;
GCS=334; GDP=87 mg/dl dan GDA=126 mg/dl
Data laboratorium pasien
-
Terapi yang didapatkan pasien
PZ 7 tpm (500 cc/24 jam); Ceftriakson 2x1 g; Metronidazole
3x500 mg; Levemir (turun dosis) 26 unit; Novorapid (turun dosis)
3x6 unit; Inbumin 3x1 tab; Omeprazole Inj 1x40 mg; Sukralfat
3x1 C; Atorvastatin 1x20 mg tab; Vascon/Norepinefrin (turun
dosis) 50 nano/kg bb/menit (2,95 ug/menit); dan Biodiar 3x2 tab.

36
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

DATA KLINIK

Nilai Tanggal
Data Klinik
Normal 29/3/19 (IGD) 30/3/19 31/3/19 1/4/19 2/4/19 3/4/19 4/4/19 5/4/19
Tekanan Darah 117 92 110 91 75 136 77 71
<140/90
(mmHg) 89 61 78 65 51 84 51 45
Nadi (x/min) 60-100 98 103 108 89 85 89 94 55
RR (x) 12-20 22 20 21 21 26 20 24 24
Suhu (°C) 36,5 -37,2 37,3 37 36,1 38,1 37,6 36,2 37,8 38,7
GCS 456 - 456 456 345 335 456 321 422
Saturasi O2 94-99% - 99% 95% 98% 96% 98% 95% 91%
Lemas,
Pasien Kesadaran Kesadaran
kesadaran Pasien Penurunan
Pasien lemas dan menurun menurun Pasien
menurun, mulai bicara kesadaran
Keluhan - mengeluh muntah dan keluhan dan suara mengeluh
demam, luka sedikit- pada
lemas cairan hitam lainnya nafas grok- diare
di kaki kiri ±1 sedikit pasien
120 cc tidak terkaji grok
bln lalu
Balance Cairan

Input - 1050 cc 560 cc 1760 cc 1860 cc 1250 cc 1310 cc 1310 cc


Output - 1x GP 1620 cc 720 cc 1800 cc 1100 cc 850 cc 980 cc
Komentar :
- Data klinis pasien meliputi tekanan darah, nadi, suhu tubuh pasien, respiratory rate, dan GCS selama menjalani rawat inap tidak stabil. Hal
tersebut kemungkinan dikarenakan pasien didiagnosa sepsis.
- Pada hari terakhir rawat inap diketahui pasien mengalami perburukan kondisi bila dilihat dari tanda-tanda vital pasien seperti TD,nadi,suhu, RR,
dan GCS bila dibandingkan dengan saat pasien awal masuk di IGD.
- Monitoring balance cairan pada pasien perlu dilakukan karena berdasarkan hasil foto thorax pasien diketahui mengalami cardiomegali disertai
dengan congestive pulmonum yang mana pasien menggunakan terapi furosemide.
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

DATA LABORATORIUM DAN DATA PEMERIKSAAN LAIN

DATA NILAI TANGGAL KOMENTAR


NO.
LABORATORIUM NORMAL 29/3/19 30/3/19 31/3/19 1/4/19 2/4/19 3/4/19 4/4/19 5/4/19
PEMERIKSAAN DARAH LENGKAP
1. Leukosit (x103/ µL) 6 – 12 32,21 27,09 25,39 Pada tiga kali pengecekan diketahui nilai
leukosit pasien lebih dari normal hal ini
2. Hemoglobin (mg/dl) 13,2 – 17,3 8,4 10,4 9,1 terjadi karena pasien mengalami sepsis.
3. Eritrosit (x106/ µL) 4,4 – 5,9 3,11 3,69 3,39 Selain itu, nilai hemoglobin pasien
dibawah nilai normal (anemia) bahkan
4. Trombosit (x103/µL) 150 – 440 431 471 457 setelah pemberian transfusi PRC.
5. Hematokrit (%) 40 - 52 24,9 31,4 28,1
SERUM ELEKTROLIT
6. K (mEq/L) 3,5 – 5,0 5,7 5,2 Pada dua kali pengecekan diketahui pasien
7. Na (mEq/L) 135 – 147 125 138 mengalami hiperkalemia yang perlu
diperhatikan karena dapat berisiko
8. Cl (mEq/L) 95 – 105 99 109 menimbulkan aritmia atau henti jantung.
FUNGSI GINJAL
9. BUN (mg/dL) 8 – 18 96,6 109 100 Fungsi ginjal pasien mengalami gangguan
10. SCr (g/dL) 0,6 – 1,10 3,42 3,3 2,81 bisa dilihat dari nilai Scr maupun BUN
yang jauh melebihi nilai normal.
FUNGSI LIVER
11. SGOT (IU/L) 0 – 50 44 Fungsi liver pasien normal
12. SGPT (IU/L) 0 –50 29
LAIN-LAIN
13. GDP (mg/dL) 70 – 110 306 224 171 153 223 126 87 Kadar gula darah pasien selama menjalani
14. GD2PP (mg/dl) ≤ 200 224 142 rawat inap sulit terkendali kemungkinan
karena pasien didiagnosa sepsis serta nilai
15. GDA (mg/dL) ≤ 200 High 266 168 215 167 147 126 albumin pasien sedikit di bawah nilai
16. Albumin (g/dL) 3,4 – 4,8 3,22 normal

1. PEMERIKSAAN ELEKTROKARDIOGRAFI (11/08/2018)


Sinus rhythm (QRST) contour abnormality consider anterolateral myocardial damage; ST & T Abnormality consider anterior ischemia or left
ventricular strain
2. PEMERIKSAAN RADIOGRAFI (11/08/2018)
39
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Hasil dari foto thorax diketahui pasien cardiomegali dengan congestive pulmonum
BAB III PROFIL TERAPI

Tanggal Pemberian Obat


No. Nama Obat Regimen Dosis dan Rute Pemberian
29/3/19 30/3/19 31/3/19 1/4/19 2/4/19 3/4/19 4/4/19 5/4/19
21 tpm (1500 ml/24 jam) V V V //
1. Infus PZ 14 tpm (1000 ml/24 jam) v v //
7 tpm (500 ml/24 jam) v v v
2 x 10 unit IV V //
RCI (Regulasi Cepat
2. 2 x 8 unit IV V //
Insulin)
2 x 6 unit IV V //
3. Seftriakson 2 x 1 gram IV V V V v v v v v
4. Metronidazol 3 x 500 mg IV V V V v v v v v
12 unit SC V //
18 unit SC V //
22 unit SC V //
5. Levemir
24 unit SC v //
26 unit SC v
30 unit SC v v
3 x 8 unit SC V //
6. Novorapid 3 x 10 unit SC V V v v v v //
3 x 6 unit SC v
7. Ca Glukonas Ekstra 1 x 1 ampul (1 gram) IV V //
8. Furosemide 1 x 1 ampul (20 mg/2 ml) IV V V v v //
9. Inbumin (Striatin) 3x1 tab (@250 mg) PO V V v v v v v
2x40 mg IV V v //
10 Omeprazole
1x40 mg IV v v v v
11. Sucralfat Syr 3x1 sdm (15 ml) PO V v v v v v
50 nano/kgBB/menit IV v // v v
12. Vascon (Norepinefrin)
100 nano/kgBB/menit IV v //
13. Transfusi PRC 1 bag IV V
14. Concor (Bisoprolol) 1 x 2,5 mg tab PO V v v //
15. Atorvastatin 1 x 20 mg tab PO V v v v v v
40
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

16. Clopidogrel 1 x 75 mg tab PO v v


17. Antrain (Antalgin) 3 x 1 ampul (1 gram) IV v v v //

41
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB IV ANALISA SOAP DAN PEMBAHASAN

Tanggal Indikasi pada Pemantauan


Obat Rute Regimen Komentar dan Alasan
Pemberian Obat Pasien Kefarmasian
Dosis
Pasien datang ke IGD dengan nilai GDA “high” atau
pasien mengalami krisis hiperglikemia yaitu kondisi
21 tpm (1500 dimana nilai GDA > 600 mg/dl. PZ adalah cairan
29/3/2019 – 30/03 kristaloid normal salin (NaCl 0,9%) yang mengandung
cc/24 jam)
154 meq/l Na dan 154 meq/l Cl. Infus PZ digunakan
Kadar elektrolit untuk terapi cairan pasien (Malesker and Dipiro, 2016).
pasien Terapi cairan pada pasien hiperglikemia hiperosmolar
Na (135-145 diperlukan untuk ekspansi volume cairan intravaskular,
Infus PZ IV Terapi cairan
mmol/L) interstitial, dan intraseluler yang telah berkurang dalam
14 tpm (1000 Cl (95-105 kondisi hiperglikemi-hiperosmolar serta
31/3/2019 – 1/04 mengembalikan perfusi aliran ke ginjal. Selama tidak
cc/24 jam) mmol/L)
ada kontraindikasi jantung, pasien diberikan NaCl 0,9%
dengan laju 15-20 ml/kg bb/jam selama satu jam
pertama dan dilanjutkan dengan NaCl 0,45% bila kadar
7 tpm (500 natrium normal/meningkat dan NaCl 0,9% apabila
1/4– 5/04/2019
cc/24 jam) kadar natrium pasien rendah (Kitabchi et al., 2009)
2 x 10 unit Kontrol gula darah merupakan salah satu terapi dalam
Menurunkan
2 x 8 unit kondisi HHS. Regulasi cepat insulin yang dilakukan
kadar glukosa
Gula Darah pada pasien mengikuti pedoman regulasi cepat insulin
Regulasi Cepat Insulin 2 x 6 unit darah pada
29/3/2019 IV Acak (GDA) intravena oleh Digunakan insulin regular dalam
(RCI) kondisi
pasien pelaksanaan regulasi cepat insulin karena insulin yang
hiperglikemia
dapat diberikan secara IV hanya insulin regular/insulin
hiperosmolar
short acting (Trissel, 2009).

42
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Dipilih kombinasi antibiotik sefalosporin generasi 3


dan metronidazol untuk memperluas cakupan efek
antimikroba yang mana ceftriaxon bersifat spektrum
29/3/2019– luas (gram positif dan negatif) dan metronidazol
Seftriakson IV 2 x 1 gram Tanda-tanda bersifat antimikroba anaerob. Penggunaan kedua
5/04/2019
Antibiotika SIRS pada antibiotik diatas bersifat empiris dan sudah sesuai
terapi pada pasien (Suhu, dengan pilihan antibiotik untuk infeksi gangren
gangren pedis Nadi, RR, (Weintrob dan Sexton, 2017). Namun pada pasien
WBC) setelah penggunaan terapi empiris selama 72 jam (3
hari) belum ada perbaikan kondisi pada pasien bisa
29/3/2019– dilihat dari nilai WBC,Nadi, dan RR pasien yang masih
Metronidazol IV 3 x 500 mg
5/04/2019 diatas nilai normal. Namun, terapi tersebut masih tetap
dilanjutkan.
29/3/2019 0-0-12 unit Setelah regulasi cepat insulin selesai dilakukan, maka
kontrol gula darah dilanjutkan menggunakan insulin
30/3/2019 0-0-18 unit subkutan. Dari riwayat pengobatan pasien, pasien
menggunakan insulin prandial dan insulin basal. Insulin
31/3/2019 0-0-22 unit Mengontrol gula prandial dengan regimen 24 unit sebelum makan dan
Levemir SC darah basal/puasa GDP insulin basal dengan regimen 12 unit di malam hari.
1/04/2019 0-0-24 unit (GDP) Regimen insulin basal-bolus menurut ADA (2018)
2/04/2019 0-0-26 unit memiliki dosis:
Insulin basal : 0,1-0,2 unit/KgBB
3/04/2019–
0-0-30 unit Insulin bolus : 0,1 unit/KgBB/makan
5/04/2019
Jumlah insulin bolus yang digunakan oleh pasien jauh
29/3/2019 3 x 8 unit Mengontrol diatas dosis permulaan insulin (BB pasien 59 kg) yang
30/3/2019– kadar gula darah GD2PP atau disarankan oleh ADA, 2018
Novorapid SC 3 x 10 unit
4/04/2019 post prandial GDA
5/04/2019 3 x 6 unit (GD2JPP)

30/3/2019 Ca Glukonas ekstra IV 1 x 1 ampul Stabilisasi Hasil EKG Berdasarkan hasil laboratorium pada tgl 9/8 diketahui
(1 gram) membran jantung pasien dan bahwa pasien memiliki nilai kalium 5,7 (lebih dari nilai
pada kondisi menurut normal). Pada pasien dengan kondisi hiperglikemia
hiperkalemia Kitabchi et krisis seperti pada pasien ini dapat terjadi peningkatan
al.,2009 apabila kadar kalium karena terjadi pergeseran ekstraseluler
nilai serum kalium yang disebabkan oleh pergeseran kalium
kalium >5,2 ekstarselluler akibat dari defisiensi insulin, kondisi
43
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

hipertonis ataupun asidemia (Kitabchi et al., 2009).


Pasien didiagnosa hiperkalemi yang merupakan
mEq/l maka
kegawatan klinis karena dapat memicu kondisi aritmia
diperlukan
atau henti jantung sehingga dapat diindikasikan
pengecekan
pemberian Ca glukonas 10%. Ca glukonas dapat
kadar kalium
memproteksi miokardium dari efek toksik kalium, akan
setiap 2 jam.
tetapi tidak memiliki efek terhadap kadar kalium
(Yelena et al.,2012).
Monitoring Pasien diketahui mengalami hiperkalemia (tgl 9/8
efektivitas yaitu K+=5,7 mEq/L). Menurut literatur, pemberian diuretik
dengan melihat kuat (furosemide) dosis 40-80 mg dengan infusi normal
peningkatan saline pada pasien hiperkalemia dapat membantu
urine output ekskresi kalium pada pasien (Yelena et al., 2012).
dan penurunan Pemberian furosemide pada pasien juga dapat
Terapi pada diindikasikan sebagai terapi pada kondisi ACKD
kadar kalium
kondisi ACKD dengan dosis 40 mg yang dapat diberikan satu kali
pasien.
30/3/2019– 1 x 1 ampul dan membantu sehari atau dua kali sehari (Stamakis M, 2016). Dosis
Furosemide IV
02/4/2019 (20 mg/2 ml) menurunkan furosemide yang diberikan untuk kondisi hiperkalemia
Monitoring
kadar kalium dan terapi ACKD belum sesuai dengan literartur. Selain
efek samping
pada pasien itu pada tanggal 11/8 didapatkan pasien cardiomegali
yaitu dengan
melihat dari hasil foto thorax. Berdasarkan literature pemberian
penurunan diuretik kuat (furosemide) diindikasikan untuk pasien
kadar serum dengan cardiomegali dengan dosis 20-40 mg/hari
elektrolit (PERKI,2015)
lainnya.
Vipalbumin merupakan ekstrak
Ophiocephalus striatus yang digunakan
30/3/2019– Untuk mengatasi Kadar albumin
Inbumin (Striatin) PO 3 x 1 tablet sebagai terapi penunjang untuk
05/4/2019 hipoalbuminemia pasien
meningkatakan nilai albumin pada
kondisi hipoalbuminemia (Chasanah et al.,2015)
31/3/2019– Untuk terapi Keluhan Pada tgl 11/8 pasien mengalami muntah cairan hitam
2 x 40 mg
01/4/2019 stress ulcer muntah yang 120 cc. Terapi pada kasus stress ulcer adalah dengan
Omeprazole IV
02/4/2019– dialami pasien menggunakan golongan PPI dimana yang diberikan
1 x 40 mg
05/4/2019 berkurang pada pasien adalah omeprazole. Omeprazol bekerja
31/3/2019– Sukralfat PO 3 x C1 (15 ml) menjadi tidak dengan cara menghambat pompa proton H+ K+ ATP
05/4/2019 ada. ase sehingga H+ pada sel parietal sehingga asam
44
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

lambung tidak diproduksi. Omeprazol (IV) pada kasus


pencegahan re-bleeding setelah terjadinya perdarahan
diberikan dengan dosis 40 mg/12 jam selama 5 hari
(Lacy et al., 2015). Selain omeprazole, terapi lain yang
dapat diberikan adalah sukralfat yang bekerja dengan
cara berikatan dengan sisi positif protein pada tukak,
membentuk kompleks menyerupai pasta yang kental
sehingga dapat menjadi pelindung dari asam lambung,
pepsin, serta garam empedu. Dosis sucralfat untuk
pasien dewasa dengan kasus tukak peptik adalah 4x1g,
maksimal 8 g/hari (Lacy et al.,2015).
50 Vascon mengandung norephineprin. Berfungsi sebagai
01/4/2019 & nano/kgBB/m vasopresor, pada pasien ini diberikan karena pasien
3/4– 4/4/2019 mengalami hipotensi. Pada tanggal 12/8 mendapatkan
enit
NE dikarenakan nilai TD pasien 91/63 mmHg (MAP =
100
73,37), pada tgl 13/8 nilai TD pasien 75/51 mmHg
nano/kgBB/m sehingga dosis ditingkatkan, dan pada tgl 14/8 nilai TD
enit pasien 136/84 mmHg sehingga dosis kembali
Sebagai Tekanan darah diturunkan seperti semula. Norepinefrin bekerja dengan
Vascon (Norepinefrin) IV
vasopressor pasien merangsang reseptor alfa di arterial dan vena serta
02/4/2019 reseptor beta 1 di jantung, yang menghasilkan
vasokonstriksi perifer dan stimulasi kontraktilitas
jantung. Dosis : 2-3 ml/menit dari 4 mcg base/ml
larutan (8 sampai 12 mcg/menit). Untuk dosis
penjagaan adalah 2 sampai 4 mcg/menit, tetapi dosis
dapat disesuaikan dengan respons klinis pasien
(Micromedex IBM)
31/3/2019 Transfusi PRC IV 1 bag Untuk Monitoring Pasien mengalami anemia sehingga menyebabkan
meningkatkan efektifitas hemoglobinemia. Transfusi PRC dapat diberikan pada
kadar dengan kadar pasien dengan rentang Hb >8 dan<10 g/dl yang disertai
hemoglobin hemoglobin dengan tanda-tanda klinis anemia hipoksia (Muller et
pasien dan hematokrit al., 2015). Satu unit PRC dapat meningkatkan Hb
pasien sekitar 1g/dL atau Hct sekitar 3% pada orang dewasa
Monitoring (American Society of Haematology, 2012). Pada pasien
efek samping: CKD Stage 3-5 non dialisis dengan anemia, pengecekan
demam, alergi, kadar Hb dilakukan minimal 3 bulan sekali.
45
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

hingga syok.
Untuk Pada penyakit jantung koroner, manfaat utama dari
antihipertensi golongan β-blocker adalah hambatan kompetitif pada
dan menurunkan reseptor adrenergik β1 yang terletak di miokardium.
1 x 1 tab kontraktilitas Monitoring Hambatan pada resptor β1 ini menyebabkan
31/3/2019–
Concor (Bisoprolol) PO miokard tekanan darah berkurangnya denyut jantung, kontraktilitas miokard
02/4/2019 (2,5 mg)
sehingga pasien dan tekanan darah sehingga mengurangi kebutuhan
mengurangi oksigen jantung. Dosis yang umum digunakan adalah
kebutuhan 2,5 mg/hari, dapat ditingkatkan hingga 5 mg/hari,
oksigen jantung maksimal 20 mg/hari (Lacy et al, 2015)
Atorvastatin merupakan obat golongan statin yang
Untuk stabilisasi terbukti dapat mencegah progresivitas penyakit
1 x 1 tab plak dan kardiovaskular. Statin memiliki efek yang paling efektif
31/3/2019– Kadar kolesterol
Atorvastatin PO menurunkan adalah mengurangi LDL, efek lain yaitu menurunkan
05/4/2019 (20 mg) pasien (LDL)
respon stres oksidatif dan peradangan vaskular dengan
trombogenik meningkatkan stabilisasi lesi aterosklerosis (Malloy &
Kane, 2012).
Pasien diabetes memiliki resiko 2-4 kali lipat lebih
besar menderita komplikasi kardiovaskular seperti
aterosklerosis dan trombosis (ADA, 2018). Kedua
komplikasi tersebut melibatkan peran platelet dalam
agregasi akibat peningkatan aktifitas tromboksan A2.
Berdasarkan guideline ADA (2018) Clopidogrel dengan
dosis 1x75 mg/hari direkomendasikan sebagai
pencegahan primer pada pasien diabetes tipe 1 atau 2
04/4/2019– 1 x 75 mg
Clopidogrel PO Antiplatelet dengan resiko kardiovaskular yang meningkat, berusia
05/4/2019
diatas 40 tahun, atau memiliki faktor resiko tambahan
(hipertensi, merokok, dyslipidemia, albuminuria).
Pemberian antiplatelet pada pasien baru diberikan pada
tgl 15/8 dikarenakan pasien awalnya akan direncanakan
tindakan pembedahan pada tanggal 12/8 sehingga
pemberain antiplatelet ditunda. Namun, pasien tidak
jadi melakukan pembedahan karena kondisi umum
pasien yang masih perlu perbaikan terlebih dahulu.
02/4/2019– Antrain (Metamizol) IV 3 x 1 gram Antipiretik Monitoring suhu Injeksi metamizol/antalgin adalah obat NSAID golongan
05/4/2019 tubuh pasien dipiron yang bekerja dengan menghambat COX1 dan
46
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

COX 2 sehingga memiliki efek analgesik antipiretik,


namun efek antiinflamasinya rendah sehingga hanya
digunakan untuk analgesik dan antipiretik (Wilmana
P.Gan, 2007)

47
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

ANALISA DRPs
Kode Masalah:
1. Indikasi : 3. Dosis obat 7. Lama pemberian 10. Ketidaksesuaian RM dengan: 14. Kompatibilitas obat
a. Tidak ada indikasi a. Kelebihan (over dosis) 8. Interaksi obat a. Resep 15. Ketersediaan obat/kegagalan mendapatobat
b. Ada indikasi, b. Kurang (under dosis) a. Obat b. Buku injeksi 16. Kepatuhan
tidak ada terapi 4. Interval pemberian b. Makanan/minuman 11. Kesalahan penulisan resep 17. Duplikasi terapi
c. Kontra indikasi 5. Cara / waktu pemberian c. Hasil laboratorium 12. Stabilitas sediaan injeksi 18. Lain-lain ……………
2. Pemilihan obat 6. Rute pemberian 9. Efek Samping Obat 13. Sterilitas sediaan injeksi

No. Hari/ DRP Uraian Masalah Rekomendasi / Saran


Tanggal
9 Pemberian RCI +penggunaan levemir 12 unit+ Melakukan pemantauan kadar gula darah pasien secara periodik.
Efek Samping Obat novorapid 3x8 unit perlu diperhatikan dengan
baik agar tidak terjadi penurunan gula darah
mendadak
1b Pasien terindikasi memiliki kadar kalium yang Memberikan saran kepada dokter untuk memberikan terapi pada
29/3/201
1. Ada indikasi, tidak tinggi (hiperkalemi) yaitu 5,7, yang perlu untuk kondisi hiperkalemia seperti Ca Glukonas injeksi maupun insulin dan
9
ada terapi diperhatikan dan juga di berikan terapi. melakukan monitoring kadar kalium pasien

1b Pasien terindikasi memiliki kadar Hb yang Memberikan saran kepada dokter untuk mempertimbangkan pemberian
Ada indikasi, tidak rendah 8,4 suplemen besi atau asam folat atau dapat pula pemberian PRC guna
ada terapi mengatasi kondisi hemoglobinemia.
2. 3b Dosis insulin yang diberikan kurang adekuat Memberikan saran kepada dokter untuk mempertimbangkan untuk
30/3/201
Dosis obat kurang untuk menurunkan kadar gula darah pasien meningkatkan dosis insulin yang diberikan.
9
(under dosis)
Terdapat interaksi antara pemberian Monitoring kadar kalium pasien setelah adanya pemberian terapi
31/3/201 8a
3. concor(bisoprolol) dan furosemide yang dapat furosemide dan concord pada pasien serta balance cairan pada pasien
9 Interaksi obat-obat
mempengaruhi kadar kalium pasien
4. 1/4/2019 8a Terdapat interaksi antara kombinasi furosemide Memberikan saran kepada dokter untuk mempertimbangkan
Interaksi obat-obat dan bisoprolol yang dapat menurunkan tekanan penghentian sementara pemberian furosemid dan concord pada pasien
darah pasien sehingga mempengaruhi efektifitas melihat kondisi tekanan darah terakhir pasien 91/65 mmHg dan
kerja dari vascon melakukan monitoring efektifitas vascon melalui monitoring tekanan
48
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

darah pasien.
Pemberian norepinefrin bersama dengan Monitoring kadar kalium pasien setelah adanya pemberian concord,
8a
bisoprolol dan furosemide perlu dikaji kadar furosemide, dan juga vascon pada pasien. Pemberian furosemide juga
Interaksi obat-obat
elektrolit kalium pasien perlu dimonitoring balance cairan pada pasien
Nilai tekanan darah pasien 75/51 mmHg (MAP Memberikan saran kepada dokter untuk mempertimbangkan
3b = 59 mmHg), dengan dosis vascon 50 peningkatan dosis norepinefrin yang diberikan setelah melihat nilai
Dosis obat kurang (under nano/kgBB/ menit pada hari sebelumnya kurang tekanan darah pasien terakhir yaitu 75/51 mmHg.
dosis) adekuat untuk meningkatkan tekanan darah
5. 2/4/2019 pasien
3b Dosis insulin kurang adekuat dalam menurunkan Memberikan saran kepada dokter untuk mempertimbangkan untuk
Dosis obat kurang (under dan mengontrol kadar gula darah pasien dimana meningkatkan dosis insulin yang diberikan.
dosis) nilai GDA pasien masih diatas nilai normal
Nilai tekanan darah pasien meningkat menjadi Memberikan saran kepada dokter untuk mempertimbangkan penurunan
3a
136/84 mmHg (MAP = 102 mmHg), dengan dosis norepinefrin yang diberikan setelah melihat nilai tekanan darah
Dosis obat kelebihan
dosis vascon 100 nano/kgBB/ menit pada hari pasien terakhir yang meningkat yaitu 136/84 mmHg.
(over dosis)
sebelumnya
6. 3/4/2019
Dosis insulin kurang adekuat untuk menurunkan Memberikan saran kepada dokter untuk mempertimbangkan untuk
3b
dan mengontrol kadar gula darah pasien dimana meningkatkan dosis insulin yang diberikan.
Dosis obat kurang
nilai gula darah pasien masih diatas nilai target
(under dosis)
terapi.
Nilai tekanan darah pasien 77/51 mmHg (MAP Memberikan saran kepada dokter untuk mempertimbangkan peningkatan
3b = 60 mmHg), dengan dosis vascon 50 dosis norepinefrin yang diberikan setelah melihat nilai tekanan darah
Dosis obat kurang nano/kgBB/ menit pada hari sebelumnya kurang pasien terakhir yaitu 75/51 mmHg.
(under dosis) adekuat untuk meningkatkan tekanan darah
7. 5/4/2019 pasien
Efektifitas penggunaan antibiotika kombinasi Memberikan saran kepada dokter untuk melakukan kultur darah dan pus
2 ceftriakson dan metronidazol perlu ditinjau pasien untuk mengetahui mikroorganisme penyebab dan sensitivitas
Pemilihan obat kembali karena sudah digunakan selama 6 hari antibiotika terhadap mikroorganisme tersebut.
dan nilai leukosit pasien 25,39 x 10^3/ul

49
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB IV
MONITORING DAN KONSELING

No Parameter Tujuan Monitoring


1 Tanda-tanda klinis infeksi (Nadi, RR, suhu) dan data Mengetahui efektifitas terapi antibiotika kombinasi metronidazole dan
laboratorium (leukosit) seftriakson yang digunakan untuk terapi infeksi pada gangren pedis.
2 GDA, GD2PP, dan GDP Mengetahui efektifitas terapi insulin yang digunakan dalam kendali gula
darah yang diberikan pada pasien.
3 Suhu tubuh pasien Mengetahui efektifitas terapi injeksi metamizol/antalgin yang digunakan
untuk terapi demam pada pasien
4 Keluhan muntah pasien Mengetahui efektifitas pemberian terapi kombinasi omeprazol dan
sukralfat untuk mengatasi muntah akibat stress ulcer pada pasien.
5 Data laboratorium hemoglobin pasien Mengetahui efektifitas pemberian terapi transfusi PRC yang diberikan
pada pasien dalam meningkatkan nilai Hb.
6 Nilai tekanan darah pasien Mengetahui efektifitas pemberian terapi vascon (norepinefrin) yang
diberikan pada pasien untuk mengatasi kondisi hipotensi.
7. Data laboratorium serum elektrolit dan balance cairan Mengetahui efektifitas pemberian furosemide untuk terapi pada kondisi
ACKD pasien dan kondisi cardiomegali pasien dan monitoring efek
samping terhadap penurunan kadar elektrolit pasien
8. Data laboratorium serum elektrolit kalium Mengetahui efektifitas pemberian furosemide untuk mengatasi kondisi
hiperkalemia pada pasien, monitoring dari efek samping bisoprolol dan
norepinefrin terhadap kadar kalium pasien yang mana bisoprolol akan
meingkatkan kadar kalium, sementara norepinefin akan menurunkan
kadar kalium pasien bersama dengan furosemide.
9. Hasil Elektrokardiografi (EKG) Mengetahui efektifitas pemberian Ca glukonas dalam stabilisasi
membran jantung pada pasien karena hiperkalemia.

50
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

KONSELING DAN INFORMASI OBAT


Pemberian Informasi Pada Perawat
No Obat Konseling
1 Dilakukan regulasi cepat insulin selama tiga kali dengan Perlu dilakukan monitoring kadar gula darah pasien selama pemberian RCI tiap satu
regimentasi 2x10 unit, 2x8 unit dan 2x6 unit dengan gula jam dan setelah pemberian RCI untuk menghindari adanya penurunan kadar gula darah
darah awal = high mg/dL dan kadar gula darah akhir = yang mendadak pada pasien.
306 mg/dl . Insulin yang dapat digunakan untuk RCI
adalah insulin regular/short acting.
2 Pasien menerima kombinasi ceftriaxon dan Ceftriaxon 1000 mg direkonstitusi dengan 9,6 mL WFI lalu diencerkan dengan NS
metronidazole. Ceftriaxon berbentuk serbuk kering dan 100 mL kemudian diberikan secara IV Drip selama 15-30 menit. Metronidazol
harus direkonstitusi sebelum digunakan. Metronidazole diberikan IV Drip selama 1 jam (Trissel, 2009).
berbentuk larutan untuk penggunaan IV drip.
3 Pasien menerima regimen insulin basal (levemir) SC Insulin basal diberikan malam hari sebelum tidur pada jam yang sama tiap hari.
pada malam hari dan insulin prandial (novorapid) SC Insulin prandial diberikan 15 – 30 menit sebelum pasien makan. Setelah digunakan
tiga kali sehari. insulin pen dapat disimpan di suhu ruang (Trissel, 2009)
4 Pasien menerima regimen Ca Glukonas Ekstra sebanyak Untuk pemberian secara intravena baik bolus maupun infusi intermitten, sediaan Ca
1 ampul 10 ml (100 mg/ml) Glukonas perlu diencerkan terlebih dahulu dengan NS 0,9% hingga diperoleh
konsentrasi 10 mg/ml. Pemberian dengan infusi intermitten, perlu diperhatikan laju
infusinya agar tidak lebih dari 200 mg/menit (Trissel, 2009).
5 Pasien menerima regimen furosemide 1x1 ampul Furosemide dapat diberikan secara injeksi intramuskular ataupun i.v bolus selama
(20mg/2ml) 1-2 menit. Selain itu, dapat diberikan pula menggunakan infusi intravena dengan
kecepatan tidak lebih dari 4 mg/menit (Trissel, 2009).
6 Pasien mendapatkan terapi norepinefrin(vascon) dengan Injeksi NE diberikan dengan cara infusi intravena terkontrol menuju vena besar
regimen 50 nano/kgBB/menit kemudian menjadi 100 menggunakan syringe pump ataupun infus pump. Sediaan norephinefrin diencerkan
nano/kgBB/menit disesuaikan dengan hasil pengukuran terlebih dahulu dengan menggunakan larutan NaCl 0,9% hingga diperoleh
tekanan darah pasien. konsentrasi tertentu dan diinfuskan dengan kecepatan tertentu disesuaikan dengan
kebutuhan pasien (Trissel, 2009).

51
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

7 Pasien mendapatkan terapi injeksi omeprazole dengan Omeprazole 40 mg direkonstitusi menggunakan 5 ml NaCl 0,9% lalu diencerkan
regimentasi 2x40 mg (40 mg serbuk/vial) kemudian dengan NaCl 0,9% 100 ml dan diberikan secara IV drip selama 20-30 menit.
menjadi 1x40 mg

52
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR PUSTAKA

ADA, 2018. Standards of Medical Care in Diabetes-2018: Classification and Diagnosis of


Diabetes: Vol 341
American Society of Haematology. 2012. 2012 Clinical Practice Guide on Red Blood Cell
Transfusion. Washington: American Society of Haematology
Barret K., Heddwen B., Scot B., Susan B., 2010. Ganong’s Review of Medical Physiology. 23rd
Ed. United States: Mc Graw Hill Companies. Pp. 317, 319, 325.
Bell, K., Twiggs, J., and Olin, B.R. 2015. Hypertension : The Silent Killer : Updated JNC 8
Guidelinde Recommendations. Continuing Education. Albama Pharmacy
Association
Branan, T., Bland, C., and Sutton, S. 2016. Sepsis and Septic Shock. In: Chrisholm A. Marie;
Barbara G Wells, Pharmacotherapy principles and practice 4th edition. Mc Graw Hill
Education p.1207
Clayton, W. and Elasy, T.A., 2009. A Review of the Pathophysiology,
Classification, and Treatment of Foot Ulcers in Diabetic Patients. Clinical
Diabetes 27(2):52-58
Cooper A., Skinner, J., Nherera L., Feder, G., Ritchie G., Kathoria, M., Tumbull
N., Shaw, G., MacDermott, K., Minhas, R., Packham, C., Squires, H.,
Thomson, D., Timmis, A., Walsh, J., Williams, H., White, A., 2007.
Clinical Guidelines and Evidence Review for Post Myocardial Infarction:
Secondary prevention in primary and secondary care for patients
following a myocardial infarction. National Collaborating Centre for
Primary Care and Royal College of General Practitioners: London. p. 20-21
Dipiro, J. 2014. Sepsis and Septic Shock. In: Dipiro, J.T.,
Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M.(Eds.).
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. 9th Edition. New York:
The McGraw-Hill Companies.
Funk, J. L., 2014. Disorder of The Endrocine Pancreas. In: McPhee S.J; Hammer G.D (Eds),
Pathophysiology of Disease An Indroduction to Clinical Medicine. 7th ed: New York: Mc

53
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Graw Hill. Pp. 533, 538-539.


Hudson, J.Q., and Wazny, L.D., 2014. Chronic Kidney Disease. In: Dipiro, J.T.,
Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M.(Eds.).
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. 9th Edition. New York:
The McGraw-Hill Companies.
James, P.A., Oparil, S., Carter, B.L., Cushman, W.C.
2014. Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in
Adults. Journal of the American Medical Association. Vol. 311, No. 5, p. 507-520
KDIGO, 2012. KDIGO Clinical Practice Guideline for Anemia in Chronic
Kidney Disease. Kidney International Supplements Vol 2 Issue 4.
Kitabchi, A.E., Umpierrez, G.E., Miles, J.M., Fisher, J.N., 2009. Hyperglycemic
Crises in Adult Patients with Diabetes. Diabetes Care 32(7):1335-1343.
Kodl, C. and Seaquist, E. (2008). Cognitive Dysfunction and Diabetes Mellitus. Endocrine
Reviews, 29(4), pp.494-511.
Kroon L. A., Assemi Miltra, Carlisle Betsy A., 2009. In: Koda Kimble M. A. Applied
Therapetics: The Clinical Use of Drugs. 9th ed. United S tates: Lippincott Williams &
Wilkins. Pp. 50-5, 50-43.
Lacy,C.,Amstrong,L.,Goldman,M., and Lance,L. 2015. Dug Information Handbook.24th ed.
Hudson, OH: Lexi-Comp
Malesker, M.A., Morrow L.E.., 2016. Fluids and Electrolytes. In: M. Chisholm- Burns, T.
Scwinghammer, B. Wells, P. Malone, J. Kolesar and J. Dipiro, ed., Pharmacotherapy
Principle and Practice, 4th ed. New York: Mc Graw Hill Education, pp. 427-440.
Malloy M.J and Kane J.P. 2012. Agents Used in Dyslipidemia. In Katzung G.B.,
Masters S.B., Trevor A.J., Basic and Clinical Pharmacology Twelfth
Edition. New York: Mc Graw Hill Medical, p.625.
Mandala, N. 2007. Acute Renal Failure in Patients With Chronic Kidney Disease. CME, 25(8),
pp.395-398.
McMurray, J.J.V., Adamopoulos, S., Anker, S.D., et al., 2012. ESC Guidelines
for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012.
European Heart Journal, Vol 33: 1787–1847.

54
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

McPhee S.J., Hammer, G.D., 2010. Pathophysiology of Disease an Introduction


to Clinical Medicine. 6th Edition. Lange Mc Graw Hill.
Medcape
Mehraj, D. 2018. A review of Wagner classification and current concepts in management of
diabetic foot. International Journal of Orthopaedics Sciences, 4(1n), pp.933-935.
Merai, R., Siegel, C., Rakotz, M., Basch, P., Wright, J., Wong, B., and Thorpe, P. 2016. CDC
Grand Rounds : A Public Health Approach to Detect and Control Hypertension. Morb
Mortal Wkly Rep. Vol. 65, p. 1261-1264
Micromedex IBM
Mijnhout, G., Scheltens, P., Diamant, M., Biessels, G., Wessels, A., Simsek, S., Snoek, F. and
Heine, R. (2006). Diabetic encephalopathy: a concept in need of a definition. Diabetologia,
49(6), pp.1447-1448.
Muller, M. M., Geisen, C., Zacharowski, K., Tonn, T., and Seifried, E. 2015. Tranfusion of
Packed Red Cells. Deutsches Ärzteblatt International 112: 50, 7–18
NHS, 2018. Gangrene. Diakses di http://www.nhs.uk/conditions/Gangrene/ pada
tanggal 13 Oktober 2018.
NKF, 2002. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:
Evaluation, Classification, and Stratification. NKF KDOQI Guidelines.
NKF, 2006. KDOQI Clinical Practice Guideline and Clinical Practice
Recommendations for Anemia in Chronic Kidney Disease. NKF KDOQI
Guidelines.
Pagana K D., Pagana T.J., Pagana T.N. 2015. Moby’s Diagnostic and
Laboratory Test Reference Twelfth Edition. Missouri. Elsevier Inc, p.
248-927.
Page R.L and Nappi J.M. 2013. Heart Failure. In: Alldredge, B.K., Corelli, R.L.,
Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A., Kradjan, W.A., Williams,
B.R (Eds.). Koda-Kimble & Young’s Applied Theraupeutics The Clinical
Use of Drugs, Ed 10th, United States of America: Lippincott Williams and
Wilkins., p.436-488.
Perkeni, 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia

55
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

2015. Halaman 14-76.


Pranoto A., 2012. Terapi Insulin Pada Penderita Diabetes Melitus Rawat Jalan dan Rawat
Inap. Surabaya: Airlangga University Press Halaman 1-2.
Saseen, J.J. and Maclaughlin, E.J. 2008. Hypertension. In : Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee,
G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M. Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach. 7th Ed. New York: McGraw-Hill Companies, Inc,
Chapter 15, p. 139-171
Schwinghammer T.L. 2015. Cardiovascular Disorders. In Dipiro J.T., Wells B.G.,
Dipiro C.V., Schwinghammer T.L., Pharmacotherapy Handbook. New
York: Mc Graw Hill Medical, p.75.
Stamatakis, M. 2016. Acute Kidney Injury. In: Chrisholm A. Marie; Barbara G Wells,
Pharmacotherapy principles and practice 4th edition. Mc Graw Hill Education p.38
Thomas, R., Kanso, A., Sedor, J.R., 2009. Chronic Kidney Disease and Its
Complications. Prim Care 35(2): 329–vii.
Tripathy Devjit, Chavez Alberto O. 2010. Defects in Insulin Secretion and Action in the
Pathogenesis of Type 2 Diabetes Melitus. Springer Science
Triplitt, C.L., Repas, T., Alvarez, C.A., 2014. Diabetes Mellitus. In: Dipiro, J.T.,
Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M.(Eds.).
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. 9th Edition. New York:
The McGraw-Hill Companies.
Trissel, L.A., 2009. Handbook on Injectable Drugs. 15 th Ed. Vol 1.New York:
AmericanSociety of Health System Pharmacist.
Weintrob, A.C. and Sexton, D.J., 2017. Clinical manifestations, diagnosis, and
management of diabetic infections of the lower extremities. Diakses di
Https://www.uptodate.com/contents/clinical-manifestations-diagnosis-andmanagement-of-
diabetic-infections-of-the-lower-extremities pada tanggal 13 Oktober 2018
Wilmana, P., Gan, S., 2007. Analgesik-Antipiretik, Analgesik Antiinflamasi Nonsteroid,
dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. In: Gunawan,G., Setiabudy, R., Elysabeth ed.,
Farmakologi dan Terapi , 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI Jakarta, pp. 230-246.
Yelena Mushiyakh MD, Harsh Dangaria MD, Shahbaz Qavi MD, Noorjahan Ali MD, John

56
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Pannone MD & David Tompkins MD. 2012. Treatment and pathogenesis of acute
hyperkalemia. Journal of Community Hospital Internal Medicine Perspectives. 1:4,
7372,

57

Anda mungkin juga menyukai