KASUS 4
3
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB I
TINJAUAN PENYAKIT
1. Diabetes Mellitus
1.1 Definisi dan Batasan Klinik
Diabetes Mellitus merupakan kumpulan gangguan metabolisme karbohidrat, protein,
dan lemak yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar glukosa darah (GD) atau
hiperglikemia disebabkan oleh gangguan sekresi insulin, penurunan aktivitas (resistensi)
insulin, atau keduanya (Tripplit et al., 2014).
Berdasarkan ADA, 2018 seseorang dikatakan menderita Diabetes Mellitus apabila
memenuhi salah satu kriteria diagnostik berikut :
1. GDP ≥ 126 mg/dl, puasa didefinisikan tidak adanya asupan kalori minimal 8 jam.
2. GD2PP ≥ 200 mg/dl selama Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO), asupan glukosa
yang direkomendasikan pada tes ini adalah 75 gram.
3. HbA1c ≥ 6,5%
4. GDA ≥ 200 mg/dl disertai dengan gejala-gejala hiperglikemi seperti polidipsia,
poliuria, penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas).
1.2 Klasifikasi dan Etiologi
4
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
1.3 Patofisiologi
Pada kondisi normal peningkatan kadar glukosa darah akan menstimulasi sekresi
insulin dari sel beta pankreas yang menyebabkan supresi produksi glukosa di hepar,
stimulasi ambilan glukosa oleh jaringan perifer, dan supresi sekresi glucagon. Sekresi
insulin pasca konsumsi karbohidrat secara oral dipengaruhi oleh hormon saluran cerna
(incretin) antara lain GLP-1 dan GIP yang mana pada pasien diabetes efek incretin
mengalami penurunan sehingga sekresi insulin pada pasien diabetes hanya sebanyak 50%
dibanding kondisi nondiabetes. Kondisi hiperglikemi pada pasien diabetes dapat
disebabkan karena adanya gangguan pada sekresi insulin ataupun dapat pula karena terjadi
resistensi insulin pada jaringan otot, hepar, dan adiposa. (Triplitt et al., 2014).
Pada pasien DM tipe 1 terjadi ketidakmampuan sekresi insulin oleh sel β pankreas
disebabkan oleh limfosit T selektif yang dapat menimbulkan kerusakan pada sel β
pankreas tersebut. Kerusakan sel β pankreas secara autoimun merupakan proses yang di
mediasi oleh sitokin-sitokin tertentu dan terjadi secara bertahap dalam beberapa tahun
sampai mengakibatkan terjadinya defisiensi insulin. Sementara pada pasien dengan DM
tipe 2, dapat terjadi dua kondisi yaitu resistensi insulin pada jaringan target dan sekresi
insulin oleh sel β pankreas yang tidak adekuat (Funk, 2014). Defek sekresi dan resistensi
5
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
insulin paling sering terjadi di otot rangka, hati dan jaringan adiposa (Triplitt et al., 2014).
Pada pasien diabetes mellitus tipe 2 terdapat dua macam glukosa yang menyebabkan
kondisi hiperglikemi, yaitu dari makanan (post prandial) dan produksi glukosa secara
terus-menerus oleh hepar. Otot rangka merupakan tempat penggunaan glukosa terbesar,
sebesar 80% ambilan glukosa terjadi di otot rangka. Resistensi insulin pada otot rangka
menyebabkan keterlambatan respon insulin terhadap peningkatan konsentrasi gula darah
dalam plasma. Pada jaringan adiposa, insulin merupakan inhibitor terjadinya lipolisis.
Resistensi insulin menyebabkan peningkatan produksi asam lemak bebas akibat proses
lipolisis yang meningkat, yang kemudian masuk ke hepar (Triplitt et al., 2014).
Keadaan hiperglikemia ini akan merangsang produksi insulin yang menyebabkan
pankreas kepayahan dan terjadi resistensi insulin (Funk, 2014). Mekanisme terjadinya
resistensi insulin secara molekuler adalah defek insulin signalling serta defek pada
transport/ fosforilasi glukosa (Tripathy dan Chavez, 2010). Faktor riwayat keluarga dengan
DM dan faktor lingkungan seperti obesitas dan gaya hidup juga berpengaruh pada kejadian
resistensi insulin (Kroon et al., 2009).
Faktor genetik/lingkungan Obesitas/ faktor
lingkungan
Defisiensi Insulin Resistensi Insulin
FFA
Hiperglikemia
Diabetes Tipe 2
Pasien diabetes mellitus dapat mengalami komplikasi secara akut maupun kronis.
Komplikasi akut yang terjadi antara lain ketoasidosis diabetik, status hiperglikemia
6
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
Dehidrasi
Badan keton bersifat
asam
Status Hiperglikemia Hiperosmolar (SHH) Ketoasidosis Diabetik (KAD)
2014)
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar gula darah <70 mg/dl (Perkeni,
2015). Hipoglikemia merupakan komplikasi dari terapi insulin pada penderita DM atau
dengan terapi obat oral antidiabetes (OAD) contohnya golongan sulfonilurea. Hipoglikemi
dipresipitasi oleh dosis insulin eksogen yang tidak tepat atau induksi insulin endogen pada
pasien DM (Funk, 2006). Respon hipoglikemia diperantarai oleh efek hormon
kontraregulator dari glukagon dan katekolamin. Gejala awal penurunan GD dibawah
normal yaitu gemetar, berkeringat dan palpitasi. Apabila gula darah jauh dibawah normal
terjadi neuroglycopenic symptoms seperti lapar, bingung, abnormalitas kognitif bahkan
koma sampai kematian (Barret et al., 2010). Gejala hipoglikemia yang terjadi saat tidur
disebut hipoglikemia nokturnal (Funk, 2014).
7
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
Gambar 3. Efek Hipoglikemia pada Berbagai Macam Level Plasma Glukosa (Barret et al.,
2010)
Hiperglikemia
8
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
Target terapi pada pasien diabetes mellitus ditunjukkan pada Tabel 1.2.II
Tabel 1.5.I. Target terapi pada pasien dewasa berdasarkan beberapa guideline
Keterangan : Target more stringent dikenakan pada pasien tanpa komplikasi maupun
komorbid yang mengancam,
harapan hidup panjang dan monoterapi sedangkan target less stringent dikenakan pada
pasien dengan riwayat hipoglikemia berat, komplikasi maupun komorbid yang mengancam
dan multiterapi OAD dan insulin
Dalam penatalaksanaan terapi DM, target utama adalah penurunan risiko komplikasi
mikrovaskular dan makrovaskular, memperbaiki simptom, mengurangi mortalitas, dan
meningkatkan kualitas hidup (Tripplit et al., 2014). Terapi farmakologis diberikan
bersamaan dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi
farmakologis dapat terdiri dari obat oral maupun injeksi. Algoritma penatalaksanaan
diabetes mellitus menurut ADA seperti terlihat pada Gambar 5 (ADA, 2018).
Pada awal terapi, pasien diabetes mellitus tipe 2 dapat diberikan monoterapi Oral
Antidiabetik (OAD). Monoterapi tidak diberikan kepada pasien bila A1C pasien lebih dari
sama dengan 9%. ADA merekomendasikan pemberian metformin sebagai monoterapi lini
pertama, kecuali terdapat kontraindikasi dengan metformin. Apabila dengan pemberian
monoterapi selama 3 bulan target terapi belum tercapai, maka diberikan kombinasi 2 OAD
dengan cara kerja yang berbeda. Apabila dengan 2 kombinasi OAD target terapi belum
tercapai dalam 3 bulan, maka dapat digunakan kombinasi 3 OAD atau kombinasi terapi 2
OAD bersama dengan insulin basal. Apabila dengan cara tersebut target terapi masih
belum dapat tercapai, maka pemberian OAD dihentikan dan terapi beralih kepada insulin
dengan algoritma seperti pada Gambar 7 (ADA, 2018).
9
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
10
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
Komponen Kegunaan
Insulin
Basal - Menjamin kadar insulin konstan dalam sehari
- Malam hari menekan produksi glukosa dari hepar dan proses lipolisis,
dan efeknya mencapai periode waktu antarmakan
- Mencukupi kebutuhan insulin harian sampai 50%
Bolus - Kadar insulin meningkat segera dan tajam, serta mencapai puncak
dicapai dalam waktu 1 jam
- Mencegah kenaikan hiperglikemia setelah makan
- Mencukupi kebutuhan insulin setiap makan antara 10-20% dari
kebutuhan total insulin harian
11
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
12
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
2. Gangren Pedis
2.1 Definisi dan Klasifikasi
Gangren pedis adalah kematian sel/jaringan pada daerah kaki akibat kurangnya suplai
oksigen dari pembuluh darah (NHS, 2018). Klasifikasi yang umum digunakan untuk
mendiskripsikan gangren adalah Klasifikasi Wagner, yang didasarkan pada kedalaman
luka dan penyebaran jaringan yang mati.
2.2 Etiologi
Pada pasien yang menderita diabetes, gangren pedis dapat disebut dengan diabetic
13
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
foot ulcer. Diabetic foot ulcer dapat disebabkan oleh kondisi neuropati, aterosklerosis, dan
kontrol gula darah yang buruk (Weintrob dan Sexton, 2017). Gangren dapat disebabkan
oleh infeksi bakteri (gangren basah) ataupun noninfeksi (gangren kering). Gangren kering
dapat disebabkan oleh aterosklerosis, thrombosis, dan venospasme yang menyebabkan
suplai oksigen menuju sel/jaringan terganggu. Gangren basah dapat disebabkan oleh
infeksi bakteri staphylococcus, clostridium, dan pseudomonas (Weintrob dan Sexton,
2017).
2.3 Patofisiologi
Kondisi hiperglikemi menyebabkan terjadinya neuropati melalui metabolisme jalur
poliol. Kondisi hiperglikemi menyebabkan aktifitas enzim aldosa reduktase dan sorbitol
dehidrogenase meningkat sehingga terjadi konversi glukosa menjadi sorbitol dan fruktosa
intraseluler. Peningkatan sorbitol dan fruktosa intraseluler menyebabkan vasokonstriksi
dan oxidative stress yang berujung pada terjadinya iskemia. Neuropati pada pasien diabetes
melibatkan komponen saraf motorik, sensorik, dan otonom. Neuropati saraf otonom
menyebabkan kemampuan kelenjar keringat dan minyak di kaki berkurang, sehingga kaki
menjadi kering dan mudah retak sehingga mempermudah terjadinya infeksi. Neuropati
saraf sensorik menyebabkan kemampuan untuk merasakan rasa sakit berkurang, sehingga
pasien tidak menyadari adanya luka yang timbul di kaki.
Kondisi hiperglikemi juga berpengaruh kepada pembuluh darah melalui mekanisme
pembentukan AGE-product yang akan menyebabkan terjadinya disfungsi sel endotel dan
kerusakan sel otot polos pembuluh darah. Kondisi hiperglikemi juga menyebabkan
peningkatan aktifitas tromboksan A2 yang merupakan vasokonstriktor dan mediator
agregasi platelet. Kondisi dislipidemia pada pasien diabetes juga berperan dalam
munculnya aterosklerosis yang dapat menyebabkan iskemia akibat pembuntuan pada
pembuluh darah perifer (Clayton dan Elasy, 2009).
14
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
2. Gangren infeksi
Terapi yang dapat dilakukan adalah debridemen, wound dressing, dan terapi antibiotika.
Pemilihan antibiotika didasarkan pada kedalaman dan tingkat keparahan infeksi yang
terjadi (Weintrob dan Sexton, 2017).
Tabel II.5.1. Pilihan antibiotika terapi yang dapat digunakan:
15
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
3. Sepsis
3.1 Definisi dan Diagnosa
16
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
urinalisis, sekresi pernafasan, cairan serebrospinal, dan luka sebaiknya dilakukan apabila
tanda klinis menunjukkan infeksi yang spesifik pada cairan, jaringan atau organ tersebut.
Tes laboratorium yang menunjang adalah hitung darah lengkap, parameter koagulasi,
comprehensive metabolic panel (CMP), arterial blood gas (ABG) konsentrasi laktat
serum, diagnosis radiografi (Branan, T et al., 2016).
3.3 Etiologi
Sepsis dapat disebabkan oleh bakteri baik bakteri gram negatif (52%) ataupun bakteri
gram positif (37%), jamur (5%) ataupun mikroorganisme lainnya (Dipiro J, 2015). Lokasi
terjadinya infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah saluran pernafasan (39% -
50%), saluran kemih (5% -37%), dan rongga intra-abdominal (8% -16%). Gambar 3.3
menunjukkan organisme yang dapat menyebabkan sepsis yaitu :
3.4 Patofisiologi
Sepsis terjadi ketika pada jaringan normal host terdapat interaksi berlebihan antara
respon kekebalan, proses inflamasi, dan koagulan bila dibandingkan dengan kondisi
jaringan awal. Faktor yang berperan dalam terjadinya sepsis adalah inflamasi yang terjadi
lokal dan merupakan respons terhadap adanya infeksi maupun cedera (Branan, T et al.,
2016). Proses inflamasi yang terjadi dikendalikan oleh mediator proinflamasi seperti
(tumor necrosis factor-α [TNF-α], interleukin [IL]-1, IL-6) dan juga mediator anti-
17
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
inflamasi seperti (IL-1 receptor antagonist, IL-4, and IL-10). Selain itu, terdapat faktor
penting lain yang berperan pada sepsis seperti Interleukin-8, faktor aktivasi
trombosit/platelet, leukotrienes, dan tromboksan A2 (Dipiro, J., 2015).
Gejala dan tanda-tanda awal sepsis Gejala dan tanda-tanda sepsis yang tertunda
18
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
infeksi secara cepat baik menggunakan terapi obat ataupun tindakan pemebedahan,
memberikan terapi antimikroba secara agresif sedini mungkin, menghambat perkembangan
patogen penyebab syok sepsis, dan menghindari timbulnya kegagalan organ. Algoritma
penatalaksanaan terapi untuk pasien sepsis ditunjukkan oleh Gambar 10. Pemberian terapi
antimikroba di awal merupakan hal yang sangat penting untuk pasien sepsis. Regimen
terapi yang dipilih harus didasarkan pada beberapa hal seperti lokasi penyebab infeksi,
kemungkinan patogen penyebab, asal infeksi apakah community acquired atau hospital
acquired, pola resistensi antibiotika setempat, dan tingkat daya tahan tubuh pasien (Dipiro
J., 2015). Antibiotika yang dapat digunakan untuk terapi empiris pada sepsis tercantum
dalam Tabel III.6.1.
Gambar 9. Algoritma Penatalaksanaan Terapi Pada Pasien Sepsis (Branan T et al., 2016)
19
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
20
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
Adanya gangguan ginjal kronis merupakan salah satu faktor risiko terbesar penyebab
terjadinya gangguan ginjal akut dimana risiko tersebut akan meningkat sebesar tiga kali
lipat dengan memburuknya fungsi ginjal yang ditandai dengan klirens kreatinin < 60
ml/menit bila dibandingkan dengan klirens kreatinin normal, sementara untuk klirens
kreatinin < 40 ml/menit risiko ganggguan ginjal akut akan meningkat sebesar 4,5 kali lipat
(Mandala N, 2007). Pasien menderita gangguan ginjal akut apabila mengalami minimal
satu diantara kriteria berikut:
peningkatan kreatinin serum (SCr) paling sedikit 0,3 mg/dl (27 μmol/L) dalam 48 jam,
50% peningkatan baseline SCr dalam 7 hari, atau
produksi urin kurang dari 0,5ml/kg/jam selama minimal 6 jam (Stamakis M, 2016).
4.2 Etiologi
Sebagian besar penyebab gangguan ginjal akut juga merupakan penyebab terjadinya
kondisi Acute on Chronic Kidney Disease yang mana penyebab-penyebab tersebut
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu penyebab prerenal, penyebab intinsik ginjal dan
penyebab post renal seperti yang tercantum pada tabel IV.2.1 dibawah ini (Mandala N,
2007) :
Tabel IV.2.1 Faktor Penyebab Kondisi Acute on Chronic Kidney Disease (Mandala N,
2007)
Penggolongan Faktor Penyebab
Hipovolemia akibat dari beberapa kondisi seperti diare, muntah,
penggunaan diuretik, osmotik diuresis akibat dari diabetes yang tidak
terkontrol, perdarahan, syok tramuatik atau syok sepsis.
Prerenal Penurunan volume darah karena beberapa kondisi seperti gagal
jantung ataupun sirosis.
Vasoregulasi karena penggunaan obat-obatan seperti NSAID, ARB
atau ACE-I, serta dapat pula karena kondisi hiperkalsemia.
21
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
Tabel IV.2.1 (Lanjutan) Faktor Penyebab Kondisi Acute on Chronic Kidney Disease
(Mandala N, 2007)
4.3 Patofisiologi
Gangguan ginjal akut berdasarkan penyebabnya diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok yaitu prerenal, intrinsik, dan postrenal yang mana masing-masing kategori
tersebut memiliki mekanisme patofisiologi yang berbeda yang dijelaskan berikut
(Stamatakis M, 2016)
a. Prerenal gagal ginjal akut
Ciri dari prerenal gagal ginjal akut adalah berkurangnya darah yang menuju ke ginjal
diakibatkan karena ketidakmampuan ginjal mempertahankan aliran melalui proses
autoregulasi. Penyebab utamanya adalah berkurangnya volume intravaskular yang dapat
terjadi karena pendarahan, dehidrasi atau hilangnya cairan gastrointestinal. Perbaikan
volume yang dilakukan dengan segera dapat mempercepat kesembuhan karena pada
kategori ini tidak terdapat kerusakan struktur ginjal. Pada penurunan aliran darah ginjal
yang ringan atau sedang, tekanan intraglomerular dipertahankan melalui dilatasi arteriol
afferent (arteri mensuplai darah ke glomerulus), konstriksi arteriol efferent
(artericmemindahkan darah dari glomerulus) dan redistribusi dari aliran darah ginjal ke
medula renal yang sensitif terhadap oksigen.
b. Intrinsik gagal ginjal akut
Intrinsik gagal ginjal akut disebabkan penyakit yang berdampak pada struktur nefron
(tubulus, glomerulus, intersisium atau pembuluh darah). Penyebab intrinsik gagal ginjal
akut diantaranya adalah glomerulonefritis, systemic lupus erythematosus, nefritis
22
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
intersisial, dan vaskulitis. Nekrosis tubulus akut sering disamakan dengan intrinsik
gangguan ginjal akut.
c. Postrenal gagal ginjal akut
Pada postrenal gagal ginjal akut terjadi obstruksi aliran urin. Penyebabnya antara lain
adalah benign prostatic hypertrophy, tumor pelvis dan pengendapan kalkuli ginjal.
Pemeriksaan penunjang untuk pasien dengan gangguan ginjal akut ialah tes laboratorium
dan urinalisis, seperti yang ditunjukkan oleh Tabel IV.5.1
Tabel IV.5.1 Pemeriksaan penunjang untuk Gangguan Ginjal Akut (Stamatakis M, 2016)
Tes Laboratorium Urinalisis (Sedimen)
a. Peningkatan SCr (0,6-1,2 mg/dl atau a. Sedikit (prerenal atau postrenal GGA)
53-106 μmol/L) b. Berwarna coklat dan terdapat butiran kecil
b. Hiperkalemia (intrinsik acute tubular necrosis)
c. Peningkatan BUN (8-25 mg/dl atau c. Proteinuria (Glomerulonefritis atau alergi
2,9-8,9 mmol/L) intersisial nefritis)
d. Rasio antara BUN:kreatinin > 20:1 d. Eosinophiluria (intersisial nefritis akut)
mg/dl (prerenal GGA), < 20:1 mg/dl e. Hematuria atau terdapat sel darah merah
(intrinsik atau postrenal GGA) (penyakit glomerular atau pendarahan saluran
urin)
e. Asidosis metabolik f. Terdapat WBC/leukosit (intersisial nefritis
akut atau pyelonefritis berat)
4.6 Penatalaksanaan Terapi
Tujuan utama pemberian terapi pada pasien gangguan ginjal akut adalah untuk
mengatasi hal-hal yang menjadi penyebab utama pada gangguan ginjal akut yaitu
mengembalikan aliran darah ginjal, mengatasi gangguan/obstruksi pada saluran kemih, dan
23
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
meninjau kembali penggunaan obat-obatan yang nefrotoksik. Terapi yang diberikan bisa
bervariasi disesuaikan denga penyebab dari gangguan ginjal akut tersebut seperti pada
prerenal gangguan ginjal akut maka terapi yang diberikan adalah menggunakan cairan
kristaloid isotonik (normal saline 0,9%) untuk ekspansi kembali cairan ekstraselular agar
tercapai kondisi kesetimbangan (euvolemia). Selain terapi cairan, penggunaan obat-obatan
vasopressor seperti norepinefrin, dopamin dan vasopresin dapat diberikan pada pasien
dengan syok sepsis pada prerenal GGA.
Terapi farmakologis pada GGA yaitu menggunakan loop diuretik (furosemide,
bumetanide, torsemide, dan asam etakrinat) yang dapat digunakan untuk terapi dengan cara
meningkatkan output urine akan tetapi tidak mempengaruhi terhadap perlu/tidaknya pasien
melakukan dialisis. Namun, menurut beberapa laporan loop diuretik dapat memperburuk
kondisi ginjal karena dapat menimbulkan vasokonstriksi pada ginjal. Sehingga loop
diuretik sebaiknya digunakan untuk mengatasi kelebihan volume cairan dan tidak untuk
mencegah GGA ataupun mempercepat proses pemulihan fungsi ginjal pada kondisi
euvolemik ataupun hipovolemik. Loop diuretik yang digunakan dapat dipilih berdasarkan
profil efek samping yang ditimbulkan, biaya dan perbedaan pada farmakokinetika obat.
Penambahan pemberian diuretik golongan lain seperti metolazone atau
hydrochlorothiazide dapat menimbulkan efek sinergis dalam meningkatkan pengeluaran
urine.
Terapi farmakologis lainnya adalah pemberian dopamin pada dosis rendah yaitu
pada rentang 0,5-3 mcg/kg BB/menit akan dapat merangsang reseptor domain-1 yang
dapat menyebabkan vasodilatasi vaskular ginjal sehingga dapat meningkatkan aliran darah
pada ginjal. Fenoldopam yang merupakan agonis selektif reseptor dopamin-1 dapat
digunakan untuk mengatasi kondisi hipertensi berat jangka pendek sehingga dapat
digunakan untuk mencegah dan mengobati GGA. Selain terapi farmakologis, terdapat pula
terapi non-farmakologis yaitu dengan dialisis pada beberapa kondisi tertentu. Terapi
suportif seperti nutrisi yang adekuat, koreksi elektrolit, keseimbangan asam-basa,
manajemen cairan, dan mengatasi abnormalitas pada hematologi seperti anemia.
24
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
25
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
5. Anemia
5.1 Batasan Klinis
Menurut National Kidney Foundation anemia adalah kadar Hb < 13,5 mg/dL pada pria
dan Hb < 12,0 mg/dL pada wanita (NKF, 2006).
5.2 Etiologi
Anemia pada pasien CKD dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme yaitu defisiensi
besi, asam folat, vitamin B12, perdarahan saluran cerna, hiperparatiroid, penurunan waktu
hidup sel darah merah, namun penurunan sintesis eritropoetin merupakan penyebab utama
dan spesifik pada pasien CKD yang mengalami anemia. Kerusakan tubulus pada pasien
CKD menghasilkan fibrosis pada daerah tubulointersisial yang mengakibatkan penurunan
sintesis eritropoetin (Thomas et al., 2009).
5.3 Patofisiologi
Pada kondisi ginjal normal, eritropoetin akan meningkat ketika terjadi hipoksia. Namun
respon tersebut menghilang ketika CKD memasuki stage 3. Anemia yang dialami oleh
pasien CKD adalah anemia tipe normokromik normositik. Penurunan sintesis eritropoetin
dan kondisi hiperparatiroid akan menghambat proses perkembangan pluripotent stem cell
menjadi proeritroblast, defisiensi besi akan menghambat proses perkembangan eritoblast
menjadi retikulosit, defisiensi asam folat dan vitamin B12 akan menghambat proses
maturase retikulosit menjadi eritrosit. Kondisi pada CKD menghambat proses eritropoesis
pada berbagai tahap (Hudson dan Wazny, 2014).
26
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
6. Ensefalopati
6.1 Definisi dan Batasan Klinis
Diabetes mellitus dapat dikaitkan dengan terjadinya komplikasi mikrovaskular seperti
retinopati, nefropati, dan neuropati baik perifer ataupun sentral. Neuropati sentral akibat
diabetes mellitus dapat menyebabkan disfungsi kognitif atau biasa dikenal dengan diabetik
ensefalopati. Disfungsi kognitif pada pasien DM ditandai dengan penurunan kerja pada
beberapa domain kognitif seperti melambatnya kecepatan mental dan berkurangnya
fleksibilitas. Dampak yang ditimbulkan dari diabetes ensefalopati ini berkisar dari ringan
hingga sedang, akan tetapi dapat mengganggu kehidupan sehari-hari yang berpengaruh
pada kualitas hidup manusia (Mijnhout et al., 2006).
Disfungsi kognitif dapat terjadi pada pasien dengan diagnosa diabetes mellitus tipe 1
dan tipe 2. Pada pasien diabetes mellitus tipe 1 defisit fungsi kognitif yang paling sering
dijumpai antara lain kecepatan memproses informasi menurun, penurunan kecepatan
motorik, penurunan kecerdasan umum, terganggunya fungsi memori, kekuatan motorik
menurun, dan fungsi somatosensori terganggu. Sementara pada pasien DM tipe 2, defisit
fungsi kognitif yang paling sering dijumpai antara lain penurunan kecepatan psikomotor,
gangguan pada fungsi lobus frontalis (fungsi eksekutif), gangguan pada ingatan baik
ingatan verbal ataupun ingatan kerja/tindakan, kemampuan berbicara menurun dan
gangguan pada proses mengamati/memperhatikan (Kodl and Seaquist, 2008).
6.2 Etiologi
Disfungsi kognitif / ensefalopati pada pasien diabetes mellitus dapat disebabkan oleh
kondisi hipoglikemia ataupun hiperglikemia. Hipoglikemi merupakan salah satu etiologi
yang paling mungkin menyebabkan disfungsi kognitif pada pasien diabetes baik DM tipe 1
ataupun DM tipe 2. Hal tersebut dikarenakan risiko hipoglikemi akan meningkatkan upaya
pengendalian gula darah yang diperlukan untuk meminimalisir terjadinya komplikasi
mikrovaskular yang dapat terjadi termasuk neuropati sentral (ensefalopati). Kontrol /
kendali gula darah memegang peranan penting dalam menentukan derajat keparahan dari
disfungsi kognitif yang ditimbulkan (Kodl and Seaquist, 2008).
6.3 Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari perkembangan terjadinya disfungsi kognitif pada pasien
27
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
diabetes mellitus belum sepenuhnya dijelaskan, akan tetapi terdapat hipotesa hubungan
sebab-akibat dari beberapa faktor penyebab antara lain hiperglikemi, penyakit vaskular,
resistensi insulin dan deposisi amyloid seperti pada gambar 12. Berikut adalah penjelasan
mekanisme patofisiologi dari beberapa faktor penyebab (Kodl and Seaquist, 2008) :
a) Hiperglikemia
Mekanisme patofisiologi ensefalopati yang ditimbulkan akibat hiperglikemi dapat
melalui beberapa jalur seperti pembentukan senyawa poliol, peningkatan pembentukan
senyawa AGE’s, aktivasi senyawa diacylglycerol dari protein C-kinase, dan peningkatan
jalur heksosamin mengakibatkan pemecahan glukosa meningkat. Mekanisme-mekanisme
tersebut mungkin terjadi di otak dan akan menginduksi terjadinya perubahan fungsi
kognitif pada pasien.
b) Penyakit vaskular
Pasien dengan diabetes memiliki risiko mengalami stroke trombotik 2-6 kali lipat
dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes yang dapat berkontribusi dalam terjadinya
disfungsi kognitif melalui mekanisme penurunan aliran darah serebral. Penurunan aliran
darah serebral menyebabkan pembuluh darah serebral terganggu dan menurunnya
kemampuan dalam vasodilatasi sehingga terjadi kondisi iskemia pada serebral yang akan
mengganggu fungsi serebral.
c) Hipoglikemia
Kondisi hipoglikemia dapat menimbulkan nekrosis pada neuron yang diakibatkn oleh
aktivasi berlebihan dari reseptor neurotransmiter NMDA.
28
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
29
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
kapasitansi vena. Pada kondisi fisiologis normal, tekanan darah arteri berfluktuasi
sepanjang hari. Umunya mengikuti ritme sinkardian yaitu akan jatuh pada nilai terendah
selama tidur. Kemudian akan mengalami kenaikan tajam mulai beberapa jam sebelum
terbangun dengan nilai tertinggi yang terjadi menjelang tengah hari. Tekanan darah juga
meningkat akut selama aktivitas fisik atau stress emosional (Saseen and Maclaughlin,
2008)
Tabel VII.1.1 Klasifikasi Tekanan Darah pada Dewasa (Usia ≥ 18 tahun) berdasarkan JNC
VII
Klasifikasi SBP (mmHg) DBP (mmHg)
Normal <120 dan <80
Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi derajat 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi derajat 2 ≥160 atau ≥100
7.2 Etiologi
Bagi mayoritas pasien dengan tekanan darah tinggi penyebabnya tidak diketahui dan
digolongkan menjadi hipertensi primer atau esensial. Faktor genetik mungkin menjadi
faktor penting dalam pengembangan hipertensi primer. Sebagian kecil pasien memiliki
penyebab spesifik yang digolongan menjadi hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder
disebabkan oleh kondisi medis atau riwayat pengobatan. Mengontrol kondisi medis
tersebut dan atau menghilangkan obat yang menjadi penyebab hipertensi menjadi
manajemen penting dalam mengobati hipertensi sekunder. Penyebab paling umum
hipertensi sekunder dikaitkan dengan kerusakan ginjal seperti gagal ginjal kronis (CKD)
atau penyakit renovaskular (Bell et al., 2015).
30
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
Zat makanan
Natrium
Etanol
7.3 Patofisiologi
Beberapa faktor yang mengendalikan tekanan darah berkontribusi terhadap
pengembangan hipertensi primer. Dua faktor tersebut adalah masalah hormonal [hormon
natriuretik, renin-angiotensin-aldosteron system (RAAS)] atau gangguan elektrolit
(natrium, klorida, dan kalium). Hormon natriuretik menyebabkan peningkatan konsentrasi
natrium dalam sel yang berdampak pada peningkatan tekanan darah. RAAS mengatur
volume natrium, potasium, dan darah, yang pada akhirnya akan mengatur tekanan darah di
arteri (pembuluh darah yang membawa darah menjauh dari jantung). Dua hormon yang
terlibat dalam sistem RAAS meliputi angiotensin II dan aldosteron. Angiotensin II
menyebabkan penyempitan pembuluh darah, meningkatkan pelepasan bahan kimia yang
meningkatkan tekanan darah, dan meningkatkan produksi aldosteron. Penyempitan
pembuluh darah meningkatkan tekanan darah yang juga memberi tekanan pada jantung.
Aldosteron menyebabkan natrium dan air tetap berada di dalam darah. Akibatnya, ada
volume darah yang lebih besar, yang akan meningkatkan tekanan pada jantung dan
meningkatkan tekanan darah (Bell, et., al., 2015).
31
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
Tabel VII.5.2 Pilihan Terapi pada Hipertensi (James PA, et, al., 2014)
32
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB II
PROFIL PASIEN
Tanggal Diagnosa
29/03/2019 DM Hiperglikemia + General weakness + Sepsis
30/03/2019 DM + Gangren Pedis + Sepsis + Hiponatremia + Anemia
31/03/2019 DM + Gangren Pedis + Sepsis + Hiponatremia + Anemia + ACKD
01/04/2019 DM + Gangren Pedis + Sepsis + ACKD + Hematemesis + HHD +
CAD
02/04/2019 – DM + Gangren Pedis + Sepsis + ACKD +Ensefalopati + HHD + CAD
03/04/2019
04/04/2019 – DM + Gangren Pedis + Sepsis + ACKD +Ensefalopati + Anemia +
05/04/2019 HHD + CAD
33
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
34
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
35
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
36
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
DATA KLINIK
Nilai Tanggal
Data Klinik
Normal 29/3/19 (IGD) 30/3/19 31/3/19 1/4/19 2/4/19 3/4/19 4/4/19 5/4/19
Tekanan Darah 117 92 110 91 75 136 77 71
<140/90
(mmHg) 89 61 78 65 51 84 51 45
Nadi (x/min) 60-100 98 103 108 89 85 89 94 55
RR (x) 12-20 22 20 21 21 26 20 24 24
Suhu (°C) 36,5 -37,2 37,3 37 36,1 38,1 37,6 36,2 37,8 38,7
GCS 456 - 456 456 345 335 456 321 422
Saturasi O2 94-99% - 99% 95% 98% 96% 98% 95% 91%
Lemas,
Pasien Kesadaran Kesadaran
kesadaran Pasien Penurunan
Pasien lemas dan menurun menurun Pasien
menurun, mulai bicara kesadaran
Keluhan - mengeluh muntah dan keluhan dan suara mengeluh
demam, luka sedikit- pada
lemas cairan hitam lainnya nafas grok- diare
di kaki kiri ±1 sedikit pasien
120 cc tidak terkaji grok
bln lalu
Balance Cairan
Hasil dari foto thorax diketahui pasien cardiomegali dengan congestive pulmonum
BAB III PROFIL TERAPI
41
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
42
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
30/3/2019 Ca Glukonas ekstra IV 1 x 1 ampul Stabilisasi Hasil EKG Berdasarkan hasil laboratorium pada tgl 9/8 diketahui
(1 gram) membran jantung pasien dan bahwa pasien memiliki nilai kalium 5,7 (lebih dari nilai
pada kondisi menurut normal). Pada pasien dengan kondisi hiperglikemia
hiperkalemia Kitabchi et krisis seperti pada pasien ini dapat terjadi peningkatan
al.,2009 apabila kadar kalium karena terjadi pergeseran ekstraseluler
nilai serum kalium yang disebabkan oleh pergeseran kalium
kalium >5,2 ekstarselluler akibat dari defisiensi insulin, kondisi
43
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
hingga syok.
Untuk Pada penyakit jantung koroner, manfaat utama dari
antihipertensi golongan β-blocker adalah hambatan kompetitif pada
dan menurunkan reseptor adrenergik β1 yang terletak di miokardium.
1 x 1 tab kontraktilitas Monitoring Hambatan pada resptor β1 ini menyebabkan
31/3/2019–
Concor (Bisoprolol) PO miokard tekanan darah berkurangnya denyut jantung, kontraktilitas miokard
02/4/2019 (2,5 mg)
sehingga pasien dan tekanan darah sehingga mengurangi kebutuhan
mengurangi oksigen jantung. Dosis yang umum digunakan adalah
kebutuhan 2,5 mg/hari, dapat ditingkatkan hingga 5 mg/hari,
oksigen jantung maksimal 20 mg/hari (Lacy et al, 2015)
Atorvastatin merupakan obat golongan statin yang
Untuk stabilisasi terbukti dapat mencegah progresivitas penyakit
1 x 1 tab plak dan kardiovaskular. Statin memiliki efek yang paling efektif
31/3/2019– Kadar kolesterol
Atorvastatin PO menurunkan adalah mengurangi LDL, efek lain yaitu menurunkan
05/4/2019 (20 mg) pasien (LDL)
respon stres oksidatif dan peradangan vaskular dengan
trombogenik meningkatkan stabilisasi lesi aterosklerosis (Malloy &
Kane, 2012).
Pasien diabetes memiliki resiko 2-4 kali lipat lebih
besar menderita komplikasi kardiovaskular seperti
aterosklerosis dan trombosis (ADA, 2018). Kedua
komplikasi tersebut melibatkan peran platelet dalam
agregasi akibat peningkatan aktifitas tromboksan A2.
Berdasarkan guideline ADA (2018) Clopidogrel dengan
dosis 1x75 mg/hari direkomendasikan sebagai
pencegahan primer pada pasien diabetes tipe 1 atau 2
04/4/2019– 1 x 75 mg
Clopidogrel PO Antiplatelet dengan resiko kardiovaskular yang meningkat, berusia
05/4/2019
diatas 40 tahun, atau memiliki faktor resiko tambahan
(hipertensi, merokok, dyslipidemia, albuminuria).
Pemberian antiplatelet pada pasien baru diberikan pada
tgl 15/8 dikarenakan pasien awalnya akan direncanakan
tindakan pembedahan pada tanggal 12/8 sehingga
pemberain antiplatelet ditunda. Namun, pasien tidak
jadi melakukan pembedahan karena kondisi umum
pasien yang masih perlu perbaikan terlebih dahulu.
02/4/2019– Antrain (Metamizol) IV 3 x 1 gram Antipiretik Monitoring suhu Injeksi metamizol/antalgin adalah obat NSAID golongan
05/4/2019 tubuh pasien dipiron yang bekerja dengan menghambat COX1 dan
46
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
47
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
ANALISA DRPs
Kode Masalah:
1. Indikasi : 3. Dosis obat 7. Lama pemberian 10. Ketidaksesuaian RM dengan: 14. Kompatibilitas obat
a. Tidak ada indikasi a. Kelebihan (over dosis) 8. Interaksi obat a. Resep 15. Ketersediaan obat/kegagalan mendapatobat
b. Ada indikasi, b. Kurang (under dosis) a. Obat b. Buku injeksi 16. Kepatuhan
tidak ada terapi 4. Interval pemberian b. Makanan/minuman 11. Kesalahan penulisan resep 17. Duplikasi terapi
c. Kontra indikasi 5. Cara / waktu pemberian c. Hasil laboratorium 12. Stabilitas sediaan injeksi 18. Lain-lain ……………
2. Pemilihan obat 6. Rute pemberian 9. Efek Samping Obat 13. Sterilitas sediaan injeksi
1b Pasien terindikasi memiliki kadar Hb yang Memberikan saran kepada dokter untuk mempertimbangkan pemberian
Ada indikasi, tidak rendah 8,4 suplemen besi atau asam folat atau dapat pula pemberian PRC guna
ada terapi mengatasi kondisi hemoglobinemia.
2. 3b Dosis insulin yang diberikan kurang adekuat Memberikan saran kepada dokter untuk mempertimbangkan untuk
30/3/201
Dosis obat kurang untuk menurunkan kadar gula darah pasien meningkatkan dosis insulin yang diberikan.
9
(under dosis)
Terdapat interaksi antara pemberian Monitoring kadar kalium pasien setelah adanya pemberian terapi
31/3/201 8a
3. concor(bisoprolol) dan furosemide yang dapat furosemide dan concord pada pasien serta balance cairan pada pasien
9 Interaksi obat-obat
mempengaruhi kadar kalium pasien
4. 1/4/2019 8a Terdapat interaksi antara kombinasi furosemide Memberikan saran kepada dokter untuk mempertimbangkan
Interaksi obat-obat dan bisoprolol yang dapat menurunkan tekanan penghentian sementara pemberian furosemid dan concord pada pasien
darah pasien sehingga mempengaruhi efektifitas melihat kondisi tekanan darah terakhir pasien 91/65 mmHg dan
kerja dari vascon melakukan monitoring efektifitas vascon melalui monitoring tekanan
48
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
darah pasien.
Pemberian norepinefrin bersama dengan Monitoring kadar kalium pasien setelah adanya pemberian concord,
8a
bisoprolol dan furosemide perlu dikaji kadar furosemide, dan juga vascon pada pasien. Pemberian furosemide juga
Interaksi obat-obat
elektrolit kalium pasien perlu dimonitoring balance cairan pada pasien
Nilai tekanan darah pasien 75/51 mmHg (MAP Memberikan saran kepada dokter untuk mempertimbangkan
3b = 59 mmHg), dengan dosis vascon 50 peningkatan dosis norepinefrin yang diberikan setelah melihat nilai
Dosis obat kurang (under nano/kgBB/ menit pada hari sebelumnya kurang tekanan darah pasien terakhir yaitu 75/51 mmHg.
dosis) adekuat untuk meningkatkan tekanan darah
5. 2/4/2019 pasien
3b Dosis insulin kurang adekuat dalam menurunkan Memberikan saran kepada dokter untuk mempertimbangkan untuk
Dosis obat kurang (under dan mengontrol kadar gula darah pasien dimana meningkatkan dosis insulin yang diberikan.
dosis) nilai GDA pasien masih diatas nilai normal
Nilai tekanan darah pasien meningkat menjadi Memberikan saran kepada dokter untuk mempertimbangkan penurunan
3a
136/84 mmHg (MAP = 102 mmHg), dengan dosis norepinefrin yang diberikan setelah melihat nilai tekanan darah
Dosis obat kelebihan
dosis vascon 100 nano/kgBB/ menit pada hari pasien terakhir yang meningkat yaitu 136/84 mmHg.
(over dosis)
sebelumnya
6. 3/4/2019
Dosis insulin kurang adekuat untuk menurunkan Memberikan saran kepada dokter untuk mempertimbangkan untuk
3b
dan mengontrol kadar gula darah pasien dimana meningkatkan dosis insulin yang diberikan.
Dosis obat kurang
nilai gula darah pasien masih diatas nilai target
(under dosis)
terapi.
Nilai tekanan darah pasien 77/51 mmHg (MAP Memberikan saran kepada dokter untuk mempertimbangkan peningkatan
3b = 60 mmHg), dengan dosis vascon 50 dosis norepinefrin yang diberikan setelah melihat nilai tekanan darah
Dosis obat kurang nano/kgBB/ menit pada hari sebelumnya kurang pasien terakhir yaitu 75/51 mmHg.
(under dosis) adekuat untuk meningkatkan tekanan darah
7. 5/4/2019 pasien
Efektifitas penggunaan antibiotika kombinasi Memberikan saran kepada dokter untuk melakukan kultur darah dan pus
2 ceftriakson dan metronidazol perlu ditinjau pasien untuk mengetahui mikroorganisme penyebab dan sensitivitas
Pemilihan obat kembali karena sudah digunakan selama 6 hari antibiotika terhadap mikroorganisme tersebut.
dan nilai leukosit pasien 25,39 x 10^3/ul
49
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB IV
MONITORING DAN KONSELING
50
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
51
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
7 Pasien mendapatkan terapi injeksi omeprazole dengan Omeprazole 40 mg direkonstitusi menggunakan 5 ml NaCl 0,9% lalu diencerkan
regimentasi 2x40 mg (40 mg serbuk/vial) kemudian dengan NaCl 0,9% 100 ml dan diberikan secara IV drip selama 20-30 menit.
menjadi 1x40 mg
52
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR PUSTAKA
53
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
54
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
55
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
56
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
Pannone MD & David Tompkins MD. 2012. Treatment and pathogenesis of acute
hyperkalemia. Journal of Community Hospital Internal Medicine Perspectives. 1:4,
7372,
57